“Bu Hani tunggu!”
Hani tidak mengindahkan peringatan itu. Dirinya terus memaksa angkat kaki. Hingga akhirnya dirinya yang tergesa-gesa harus terjerembap karena kakinya terantuk batu.
“Arghhh!”
Hani meringis. Tangannya yang masih terbalut gips harus tertindih badan sendiri. Wanita itu tidak bisa menahan rasa sakit.
Hani lantas merengek saking sakitnya. Tulang tangan seolah patah kembali. Untuk bangkit pun ia rasa tak mampu.
“Ibu gak papa?” tanya perawat begitu tiba di hadapan Hani. Gadis berseragam putih itu jongkok bersama sang petugas.
“Kamu punya mata gak sih?” sindir Hani seraya menahan sakit, “gara-gara kalian ngejar, tanganku harus ketindihan tubuh sendiri,” semburnya deng
Tiga hari sebelumnyaSetelah menutup mata hampir dua jam lamanya, Panji akhirnya pun terjaga. Pria itu menatap langit-langit kamar. Terlihat begitu asing.Saat menatap ke samping, tampak seorang wanita yang tengah membelakanginya. Panji mengenal sosok perempuan itu. Seli.Kakak ipar Banyu itu tampak begitu telaten menyuapi Zea putrinya. Seketika Panji sadar jika masih berada di rumah sakit. Angannya melayang pada kejadian tadi pagi. Saat Zea tengah bertarung nyawa.Beruntung setiap doa yang ia dan keluarganya panjatkan didengarkan oleh Sang Pencipta. Zea kembali bernapas. Dirinya jatuh pingsan karena begitu terharu serta daya tahan tubuh yang menurun.“Ayah.”Ternyata Zea menyadari ayahnya sudah terbangun. Gadis itu menunjuk
“Mas, kamu sedang bercanda kan?” cecar Hani tidak percaya. Perempuan itu langsung berlutut dan meraih tangan Panji.“Lepas!” Panji menepis tangan Hani, “talak aku sudah jatuh satu padamu, Han. Kita sudah tidak boleh lagi bersentuhan kulit,” tuturnya datar.“Kenapa tidak boleh? Kita masih sah sebagai suami dan istri kok,” tukas Hani mengelak.Panji dan Tantri sama-sama menggeleng. Keduanya juga kompak membuang napas.“Hani mana paham ilmu agama, Nji,” ujar Tantri sedikit meremehkan. “Mau kamu jabarin sepanjang jalan kereta api pun, dia juga bakalan nyampe. Di otaknya cuma ada uang dan Atha saja.” Perempuan itu tersenyum mengejek.Hani kini berpaling pada Tantri. “Mbak, aku tahu kamu kakak kandungn
“Lho... Bu Hani kok bawa-bawa koper, emang mau ke mana, Bu?”Langkah Hani tertahan saat berpapasan dengan beberapa tetangganya di jalanan kompleks.“Bukannya Adek Zea baru saja pulang dari rumah sakit, ya?” Seorang tetangganya bertanya lagi.“Kita ini mau tengok Dek Zea ke rumah, lha kok Bu Hani malah mau pergi,” ujar yang lain.“Iya, kemarin-kemarin gak sempat membesuk waktu Dek Zea masih di rumah sakit,” timpal tetangga yang rumahnya selisih tiga nomor itu.Hani sendiri tidak bingung harus menjawab apa. Tidak mungkin juga dia harus jujur kalau baru saja kena usir suami dan kakak iparnya.“Tapi ... bukannya ini saat yang tepat untuk menghancurkan citra Mas Panji dan
Mata Hani merebak melihat nasi kotaknya terjatuh. Perutnya sudah melilit lapar. Tadi pagi perempuan itu hanya mengganjal perutnya dengan segelas teh tawar dan sebungkus roti saja. Hingga kini dia belum mengisi bahan makanan lagi ke perutnya.Andai saja nasi kotak tersebut jatuhnya tidak berantakan, Hani tidak ragu untuk memungutnya. Sayang nasi dan lauk-pauknya berserakan di jalanan.“Hani!”Hani tersentak. Dia tidak menduga jika Layla sungguhan mengejar. Takut mantan istri Panji menghina keadaannya yang sekarang, Hani memilih lekas angkat kaki seribu.Sikap buruk Hani di masa lalu membuatnya selalu berpikiran buruk. Dia selalu berpikiran bahwa mereka yang pernah disakiti akan menuntut balas atau menghujat keadaannya yang sekarang.“Ck. H
Hani menyusut air matanya. Wanita itu melepas mukena, lantas melipatnya. Ketika sedang mengembalikan kain tersebut ke lemari, seorang wanita seusia ibunya mendekat.“Anggota baru ya, Neng? Kok saya baru lihat,” tegur perempuan itu sopan.Hani meringis jengah. “Eum ... kebetulan saya numpang sholat di sini,” dalihnya belum bisa jujur. Dirinya masih malu jika harus mengatakannya yang sesungguhnya kalau niat datang ke sini karena mau darah jatah makanan.“Saya lihat situ nangis tadi, suka ya sama ceramah Bu Ustazahnya?” Si Ibu bertanya lagi.“Iya, saya suka.” Kali ini Hani bicara jujur.“Di sini memang kajiannya memang bagus-bagus, saya saja suka ngaji di sini. Ilmu agama saya jadi nambah.”
“Kenapa sih dari tadi diem aja?” tegur Banyu pada sang istri.Keduanya plus Gilang baru saja keluar dari mesjid. Mereka mampir sholat Maghrib bersama di mesjid yang letaknya tidak jauh dari kantornya Banyu.“Tadi di mesjid aku ketemu Hani, Mas,” sahut Layla jujur.“Hani? Istrinya Panji?” tebak Banyu sedikit ragu.“Iya.” Layla mengangguk yakin.“Di mesjid kita sholat tadi?” Banyu meyakinkan.
"Ayo Non Zea aaak dulu!” bujuk Ijah pada anakmajikannya.Zea menggeleng lesu.“Ini enak lho, ayam goreng kesukaan Non Zea.” Bibir Ijahterus saja merayu. “Makan, ya?” suruhnya lembut.“Gak mau!” Zea menggeleng-geleng seraya membungkam mulutnyadengan tangan. “Mau Tante Seli.”Ijah menghembus napas panjang. “Tante Selinya masihsibuk, nanti kalo enggak main lagu ke sini.”Bahu Zea luruh. Anak itu memilih rebahan di lantaiyang beralaskan karpet. Dia sama sekali menolak suapan nasi dari Ijah.“Kalo gak mau makan nanti lemes, bisa jatuh sakit teruske rumah sakit lagi.” Ijah tanpa putus asa terus merayu.“Gak mau!” Akhi
“Sekarang semuanya tenang dulu, ya!” pinta Ibu Sita tenang tapi tegas. “Ibu-ibu silakan teruskan perawatan kalian, biar Mbak Hani ikut dengan saya,” tuturnya sopan.“Pokoknya kalo gak dikeluarkan dari sini, kita bakalan males berlangganan ke mari.” Ibu Lia kembali memprovokasi.“Sepakat!”“Setuju.”Ibu Sita tersenyum. “Ibu-ibu semua, setiap orang pasti punya masa lalu. Jika pun Mbak Hani pernah ada salah di waktu lalu dan sekarang mau berubah, apa salahnya kalo kita menerima. Tuhan saja memberi ampun kok pada umatnya yang bersungguh-sungguh. Masa kita yang