Hani menatap kepergian ketiga sahabatnya dengan tajam. Ada dendam yang menyelimuti hati. Dia tidak terima dipermalukan seperti ini.
“Kalian akan merasakan hal yang lebih menyakitkan dari apa yang aku alami sekarang,” ancam Hani dengan terus menatap bayangan teman-temannya yang sudah tidak tampak lagi.
“Dan kamu, Roby, awas kalo kita ketemu lagi. Akan aku becek-becek wajah bulatmu itu, biar jadi bola sekalian! Gedeg banget bikin aku malu di hadapan banyak orang,” batin Hani seraya meremas-remas kanebo basah yang tengah ia pegang.
“Ayo kerja, Bu! Jangan kebanyakan bengong!” Di tempatnya berdiri, Pak Satpam menegur.
Hani melirik marah pada pria itu. “Gak usah bawel jadi orang! Kayak yang punya toko aja,” semprotnya kesal.
"Oke... aku harus memata-matai Mas Panji dan Layla,” tekad Hani dengan yakin.Dia langsung membuka dus ponsel tersebut. Wanita itu lantas mengambil SIM card pada ponselnya yang sudah rusak. Di kartu tersebut tersimpan banyak daftar nama kontak teman dan keluarga.Hani tersenyum saat gadget barunya sudah menyala. Tangannya langsung menyimpan nomor telepon Pak Roby. Setelah itu dia mengetik pesan yang berisi penerimaan maafnya untuk pria itu.“Mamaaa!”Tiba-tiba dari arah belakang, Zea mendekap perempuan itu. Hani yang risih lekas melepas dekapan anak itu. Perempuan itu sedikit terkesima saat tangannya menyentuh kulit lengan Zea.Suhu tubuh anak itu terasa hangat. Hani menatap putrinya baik-baik. Zea terlihat lesu. Namun, cacing di pe
Suhu tubuh Zea kian meningkat. Ini sudah bukan lagi hangat, tetapi panas. Anak itu tertidur di gendongan Ijah dengan bibir yang terus merintih.Ijah prihatin melihat anak kecil itu. Dia membaringkan tubuh Zea perlahan di ranjangnya. Penasaran dengan suhu tubuh anak itu, Ijah mengambil termometer digital pada wadah obat.Ijah menjempitkan alat tersebut pada ketiak Zea. Sembari menunggu, tangannya terus mengelus rambut anak itu. Beberapa menit kemudian, alat pengukur suhu tubuh itu berbunyi.Ijah gegas mengambilnya. Mata perempuan yang hari ini mengenakan bergo hitam itu membelalak. Suhu tubuh Zea menunjukkan angka tiga puluh sembilan koma delapan.“Aku harus telpon Bapak,” putus Ijah menaruh alat tersebut kembali ke tempatnya.Perempuan itu merogoh saku dasterny
Panji bangkit dan langsung meraih kunci mobilnya. Dia gegas meninggalkan ruang kerjanya. Pada anak buahnya dirinya pamit.Hati Panji lumayan tidak tenang mendengar kabar Zea di rumah sakit. Anaknya memang jarang sakit. Namun, sekalinya jatuh sakit biasanya langsung parah.Pernah saat waktu umur dua tahun, Zea sakit sepulang diajak jalan-jalan oleh Panji dan Hani. Mereka berlibur ke Bali sewaktu usaha Panji lancar.Dokter bilang anak itu kelelahan. Panji dan Hani sempat dibuat kalut saat melihat Zea kejang-kejang saking tingginya suhu badan. Hampir saja bocah lucu itu lewat.Bersyukur Allah masih memberi umur untuk Zea, sehingga sampai detik ini bocah itu masih bernapas. Jika mengingat itu Panji dilanda trauma.Panji sudah di dalam mobil. Pria langsung tanc
"Periiih banget!” rintih Hani seraya mengusap-usap wajahnya.“Pake ini!”Roby dengan perhatian menyodorkan sebotol air mineral. Kebetulan dia membeli dua botol air mineral kemasan enam ratus mililiter pada stan bakso yang sedang mereka tempati.Dengan mata yang sedikit terbuka Hani sigap meraih botol yang diangsurkan oleh Roby. Maniknya terasa begitu pedih karena kuah bakso ia kasih banyak sambal. Namun, baru saja hendak membuka tutup botolnya, Ibu Lia langsung merampas minuman tersebut.“Perah-perih! Perihan mana sama hatiku yang kamu curi suamiku, hah?!” semprot Ibu Lia garang. Dia menjauhkan botol tersebut dari jangkauan Hani.Namun, Hani tidak kehabisan akal. Dia mengambil botol yang satunya lagi. Dirinya dengan cepat membuka tutup botol l
Sopir seumuran Roby itu turun dari kendaraannya. Dia ingin memeriksa keadaan korban yang baru saja terserempet taksi. Ternyata ada beberapa saksi yang ikutan mendekat.Pria berseragam biru donker itu jongkok. Beberapa orang juga melakukan hal yang sama. Si sopir melihat pergerakan di dada Hani.“Sepertinya cuma pingsan,” ujar si sopir karena melihat Hani hanya lecet-lecet saja di beberapa bagian tubuhnya.“Tapi tetap harus dibawa ke rumah sakit, Pak. Siapa tahu ada luka dalam,” balas seorang warga.“Betul, siapa tahu dia gegar otak atau patah tulang. Soalnya kepalanya kan kena aspal.” Temannya menimpali.“Iya, pasti akan saya bawa ke rumah sakit kok.” Si sopir menunjukkan rasa tanggung jawabnya, “sekarang tolong bawa sa
"Mamaaa...” Zea merintih. Tubuhnya masih lemas. “Mamaaa.” Dia merindukan Hani.“Iya, Sayang.” Tantri dengan perhatian memeluk anak itu. Sementara Panji mengambil tisu untuk mengelap darah yang menetes pada hidung si putri.“Mama mana? Mana?” Zea mendongak sendu pada sang ayah yang mendekapnya. “Mau mama,” ucap bocah itu lirih.Hati Panji bergetar melihatnya.“Coba telpon Hani, Nji.” Tantri yang ikut trenyuh langsung memerintah, “siapa tahu sudah ada di rumah. Ini kan udah malam, jadi nomernya sudah aktif. Sedih aku lihat Zea sakit begini,” sarannya pilu melihat sang keponakan terlihat lemah.“Mau Mama ....” Bocah itu kembali mengharap.&ldquo
Panji baru saja selesai sholat subuh. Dia mengerjakan ibadah dua rakaat tersebut di mushola yang ada di rumah sakit ini. Ketika dia masuk kembali ke kamarnya Zea, Tantri kakaknya masih meringkuk di sofa dengan masih mengenakan mukena.Ketika tadi Panji ajak, wanita itu bilang akan mau beribadah sendiri di kamar. Tantri tidak mau meninggalkan Zea sendiri. Semalam suhu tubuh anak itu kembali naik. Kedua kakak adik itu sampai harus bolak-balik memanggil suster dan dokter.Wajar jika pagi ini Tantri merasa sangat lelah. Perempuan itu sama sekali tidak tertidur. Maka Panji membiarkannya saja sang kakak beristirahat.Entah kenapa hari ini Panji merasa seluruh persendiannya lemas. Pria itu duduk di tepat di hadapan sang putri. Dia meraih jemari mungil nan lentik itu. Beberapa bintik merah memenuhi kulit Zea.Pertaha
Banyu sigap menangkap tubuh Panji yang ambruk. Pria itu merasa kepayahan karena tubuh orang pingsan jauh lebih berat dari biasanya. Dokter muda yang masih menangani Zea ikut menolong Banyu mengangkat tubuh Panji.Ayah Zea itu dibawa ke brankar yang tidak jauh dari ranjang sang putri. Dokter senior mendekat lantas memeriksa kondisi Panji.“Gimana, Dok?” tanya Banyu usai dokter menempelkan stetoskop pada dada Panji.“Bapak Panji cuma kelelahan dan stres,” jawab dokter dengan senyum tipis, “kurangnya asupan makanan dan tidur membuat staminanya menurun. Nanti setelah makan yang teratur dan minuman obat insya Allah kondisi membaik,” paparnya menjelaskan.“Syukurlah,” sahut Banyu lepas dari rasa khawatir.“Biarkan Bapak Panji
Besok pagi adalah pesta ulang tahun Azriel yang kesebelas. Tumben-tumbennya bocah yang sudah mulai beranjak gede itu minta pada ayahnya untuk diadakan pesta. Padahal selama ini Azriel tidak pernah mau jika hari lahirnya dirayakan. Walaupun berkali-kali dulu sudah dibujuk oleh Layla, Panji ataupun Banyu.Bukannya Layla tidak mau menuruti keinginan Azriel. Namun, kondisi tubuh wanita itu sudah tidak memungkinkan lagi untuk mengurus persiapan pesta. Hari perkiraan lahir tinggal seminggu lagi. Badannya juga terasa amat berat. Malah sedari pagi sebenarnya dia sudah merasakan mulas-mulas ringan.Kehamilan kali ini membuat berat badan Layla naik lumayan drastis. Jika sebelum hamil bobot tubuhnya paling berat hanya lima puluh kilogram. Sekarang sudah mencapai enam puluh delapan. Hampir dua puluh kilogram penambahannya.Anehnya banyak yang bilang jika hanya bagian perut dan pipi saja yang mengalami peningkatan. Lainnya tetap terlihat normal. Dan yang membuat
Tiga hari kemudianLayla tengah mematutkan diri di cermin. Siang itu dia akan pergi periksa kandungan. Usia kandunganku sudah memasuki minggu ketiga puluh lima.Detik-detik menanti kelahiran. Layla sudah harus cek kandungan seminggu sekali. Beruntung Banyu selalu bersedia menemaninya untuk check up. Sesibuk apapun dirinya tidak pernah absen.Ketika Layla baru saja memoles bibirnya dengan lipstik terdengar derit pintu kamar. Perempuan itu menoleh. Seraut wajah kusut datang. Banyu suami tercinta melangkah masuk dengan gontai.Pria itu melempar begitu saja tubuhnya ke ranjang dengan tengkurap. Wajah Banyu terbenam pada bantal bersarung warna putih tersebut. Mau tak mau aku harus menghampiri sang suami."Ayang Mbep, ada apa ini?" tanya Layla lembut. Perlahan dia memegang pundak suami tercinta. "Dateng-dateng kok mukanya ditekuk gitu?" tegurnya perhatian.Banyu membalikkan badan. Wajah pria yang sehari-hari tampak tenang kini terlihat keruh. "Bu
Layla dan Banyu tengah jalan pagi mengitari komplek. Aktivitas menyehatkan itu sudah Layla jalani dari awal hamil. Syukurnya Banyu selalu setia menemani.Padahal Layla tidak pernah mengajak sang suami. Namun, Banyu punya kesadaran untuk melakukan olahraga tersebut. Karena kata Banyu, jalan pagi itu selain mudah, murah, juga kaya manfaat yang baik untuk kesehatan tubuh.Banyu sendiri berusaha menjadi suami yang siaga. Jadi setiap pagi sebelum berangkat kerja, dia menyempatkan diri untuk menemani sang istri jalan pagi. Selain itu dirinya juga sekalian berolahraga untuk kebugaran tubuh.Jalan kaki dipilih karena dapat menjaga berat badan, menurunkan kadar kolesterol, serta menyeimbangkan tingkat tekanan darah. Sehingga mengurangi resiko kelahiran prematur.Satu jam berlalu. Layla merasa cukup berolahraga. Peluh sudah mulai membanjiri badan. Belum lagi cacing di dalam perut sana meminta jatah makan pagi. Akhirnya wanita itu pun mengajak sang suami untuk
"Hani hamil anakku?” gumam Panji tidak percaya. Pria itu tertawa sumbang, “kami bahkan sudah berpisah hampir dua bulan, Pak. Dan sebelum itu, aku dan Hani juga sudah pisah ranjang,” papar Panji menerangkan keraguan hatinya. “Terus kalo bukan anak kamu, itu anaknya sapa?” sergah Bapaknya Hani mulai meradang, “Hani memang bukan wanita yang alim, tapi saya bisa menjamin kalo dia gak akan mungkin murahan menjajakan diri,” semburnya cukup lantang. “Ayah!” Dari dalam menghambur Zea yang diikuti oleh Bik Ijah dan Tantri. Kakak Panji itu sengaja mampir begitu pulang dari kantor. Perempuan itu ingin mendengar jalannya sidang perdana perceraian sang adik. “Pak Hadi?” sapa Tantri begitu sadar akan kehadiran mertua adiknya, “dari Bogor langsung ke sini kah?” “Gak,” sahut
“Dia bukan istri saya,” tampik Bapak Beni begitu dokter menyangka Hani adalah istrinya.“Oh bukan? Lantas adiknya?” Dokter bertanya seraya membetulkan letak kaca matanya.“Bukan adik saya juga.” Pak Beni kembali menggeleng.Dokter seumuran Pak Beni itu tersenyum. “Oke ... entah itu teman, saudara atau pun tetangga, saya cuma mau menjelaskan kalo ibu ini lagi hamil. Dan sekarang sudah menginjak minggu ke delapan.”Bapak Beni hanya mengangguk.
Ibu Lia menyeringai puas. Hatinya cukup merasa bahagia melihat Hani beranjak pergi dengan menarik dua kopernya. Wanita itu lantas memotret Hani dari belakang.Walau pun tidak terlihat jelas wajah Hani, tetapi Ibu Hani tetap akan menyebarkan foto Hani yang mengenaskan tersebut. Jika dituruti hawa nafsunya, wanita itu ingin sekali melihat Hani menangis berdarah-darah di hadapannya.Perempuan itu lantas mengeluarkan satu gepok uang pada amplop cokelat. Ibu Lia mengangsurkan amplop tersebut pada seorang kepala preman. Dia sengaja menyewa preman guna mengusir Hani.Ibu Lia pikir Hani masih sama seperti yang dulu. Pintar beradu mulut dan keras kepala. Makanya dirinya mengantisipasi dengan membawa preman.
"Diperintahkan?” Dahi Hani berkerut indah.“Apakah Mas Panji yang menyuruh?”otak Haniberpikir gusar, “tidak mungkin!”Hani menggeleng keras sendiri, “jika dia mau menggunakan ruko ini untukmembuka usaha, harusnya dari kemarin-kemarin cek keadaan ruko ini.”Hani lantas menatap para preman bertubuh besar dihadapannya. “Memangnya siapa yang memerintahkan kalian untuk mengosongkan rukoini?” tanya dia cukup penasaran.“Aku yang menyuruh mereka, Hani.”Hani menoleh. Saking kagetnya melihat kedua kopernyadikeluarkan oleh orang yang tidak dikenal, dia sampai tidakngehjikaada mobil yang berhenti tidak jauh dari pelataran ruko itu.Hani mengenal mobil me
Hani baru saja keluar dari kamar mandi. Hari ini adalah jadwal sidang perceraiannya. Dia akan datang untuk mempertahankan rumah tangganya.Sebenarnya Hani enggan keluar dari kediamannya. Karena sejak tadi pagi dia mual-mual. Padahal dirinya sudah meminum obat masuk angin dan juga asam lambung. Tetap saja perempuan itu diserang enek.Hani membuka koper. Dia mengambil kotak make up yang kini tinggal bedak dan lipstik. Bagaimana pun juga wanita itu ingin tetap terlihat menarik di hadapan Panji.Usai memoles wajah, Hani meraih salah satu koleksi busana terbaik yang dipunyai. Sebuah dress lengan panjang Korea. Koleksi baju panjang perempuan itu tidaklah banyak. Dulu dia begitu menyukai baju-baju mini dan sed
Sopir Ibu Lia mengangguk patuh. Pria paruh baya itu mulai melajukan mobilnya.“Pelan-pelan saja, Pak! Jangan sampai wanita itu tahu kalo kita lagi ngikutin,” suruh Ibu Lia dengan fokus tetap tertuju pada Hani.“Baik.” Pak sopir kembali mengiyakan.Sementara di luar sana, Hani terus melangkah. Pikirannya kosong. Sungguh pemutusan hubungan kerja ini membuatnya bingung.Hani bukanfreshgraduateyang gampang mencari pekerjaan. Dia hanya seorang ibu-ibu yang tidak punya keterampilan khusus. Apalagi berkas-berkas ijazah tertinggal di rumah ibunya.