“Lin!” Baru saja mendekati teras, Rere sudah menyambutku keheranan. Kedua matanya menatap penuh selidik pada ransel yang kugendong, juga raut sedih di wajahku. Setelah serangkai kejadian tadi, aku memang ke rumah Rere. Sebenarnya ingin pulang ke tempat orang tua, tapi karena sudah sore, aku memilih ke sini saja. “Kamu kenapa?” imbuhnya. “Aku...” “Masuk dulu, yuk! Cerita di dalam saja,” Belum sempat aku menyelesaikan ucapan, Rere langsung memotong. Dia menggandeng tanganku lalu mengajakku ke dalam kamarnya. Setibanya di dalam, kuletekkan ransel sembarangan lalu menghempaskan tubuh di atas ranjang. Kedua mataku memejam erat sekedar untuk melepaskan beban pikiran. Bayang-bayang pergumulan mereka masih saja menari di kepala. Segudang penyesalan mulai menyelinap pada hati yang kini terluka. Kenapa dulu aku memilih Mas Bayu?Gegas aku membuka mata lalu
“Assalamu alaikum,” ucapku sembari mengetuk pintu rumah tiga kali.Pagi ini memang aku pulang ke rumah. Rasanya tak sabar meluapkan keluh kesah pada bapak dan ibu. Mau bagaimanapun, aku tetaplah seorang anak yang masih butuh kasih sayang mereka.“Elin!” teriak ibu kaget setelah membuka pintu.Ibu mengedarkan pandangan seperti mencari-cari sesuatu. Sesaat kemudian ibu mengalihkan pandangannya padaku, lalu memindai wajahku cukup lama. “Bayu enggak ikut lagi?” tanya ibu penuh selidik.“Anu, Bu... Mas Bayu...” Entah kenapa dadaku terasa sesak ketika menyebut nama mantan suamiku. Lidahku terasa kelu untuk berucap. Terselip kekhawatiran ibu akan menangis jika tahu yang sebenarnya. “Masuk dulu, ceritanya nanti saja,” ajak ibu kemudian.Aku berjalan mengekori langkah ibu yang lebih dulu masuk ke dalam. Segera kujatuhkan bobotku pada sofa setelah sampai di ruang tengah. Ibu beranjak ke belakang, lalu segera
Tanpa terasa sudah hampir empat bulan toko ini buka. Semakin hari pelanggannya juga semakin banyak. Itu karena aku hanya mengambil sedikit keuntungan. Jadi, bisa dibilang harganya lebih murah dari tempat lain.Baik Mbak Nilam ataupun ibu tak pernah datang ke sini. Mungkin karena malu atas kejadian waktu itu. Bilangnya mau membeli ruko ini, tapi uangnya tidak ada. Mas Angga-mantan suami Nilam memang sering datang kesini untuk membicarakan masalah perceraian atau hanya sekedar ngobrol saja. Seperti hari ini, dia mengajakku bertemu di kafe. Mas Angga mengabarkan bahwa aku telah resmi menyandang gelar janda.“Selamat ya, Lin. Sekarang kamu sudah menjadi janda,” canda Rere saat aku, dia dan Mas Angga tengah kongkow di Kafe. “Apaan sih, Re. Masa ngucapin selamat. Harusnya kan turut prihatin,” kelakarku. “Kamu kan bahagia bisa lepas dari para benalu itu,” ucap Rere. “iya... iya,” balasku kemudian. “Aku
Waktu berputar tiada hentiSeirama siang dan malam datang silih bergantiNamun, aku masih berdiri di titik yang samaMendekap sunyi merambat sepi. “Lin.” Dinding kesunyian yang tengah aku bangun, seketika roboh dihantam teriakan nyaring memanggilku. Kualihkan sejenak pandangan pada Rere yang tadi menyebut namaku, lalu kembali menatap lurus ke depan.“Kamu kenapa sih, akhir-akhir ini kok sukanya melamun kek gitu?” tanya Rere sembari meletakkan bokongnya di sampingku. Aku beringsut minggir, memberikan sedikit ruang pada Rere agar tak terlalu berdempet. Namun, pandanganku masih tetap lurus ke depan. Menatap hampa dalam pekatnya malam. “Ayolah, Lin! Kalau ada masalah cerita,” bujuk Rere kemudian. Aku menatap lekat pada sosok cantik di sebelahku. Dari binarnya, aku tahu dia tulus dengan ucapannya. “Kamu menyesal bercerai?” tanya Rere lagi.
Kusambut pagi yang cerah ini dengan sebuah harapan baru. Setelah tadi malam merenung, aku menyadari bahwa Mas Angga telah berhasil memiliki hatiku. Ya! Aku mencintainya. Meski nanti cinta ini tak terbalas, aku akan tetap mengukir namanya dalam hati. Menjadi sebuah kenangan yang tak terlupakan.Seperti biasa, pagi ini aku bersiap berangkat ke ruko. Menatap masa depan meski belum jelas siapa yang akan menemaniku nanti. Baru saja mengeluarkan motor, aku dibuat terkejut oleh kedatangan bapak dan ibu yang tak mengabari lebih dulu. Gegas aku menyambut mereka dengan mencium takdim tangan keduanya. “Bapak sama Ibu kok datang enggak kasih kabar dulu, untung saja Elin belum berangkat,” ujarku sembari mengajak mereka masuk.“Dari semalam ponsel kamu enggak aktif. Bagaimana mau kasih kabar,” sahut Ibu. “Iya. Bapak telepon berkali-kali tetap enggak tersambung,” timpal bapak. Astaga!
Aku tersenyum getir saat sekelebat bayang Mas Angga menyapa dalam angan. Merindu saja sudah tak berani, apalagi berharap. Terkadang kita harus belajar legawa ketika mimpi tak lagi menyemangati. Sebab cinta tak mesti memiliki.Genap lima hari sejak kejadian di rumah Mas Angga, aku masih asyik menyendiri. Di sudut kamar yang sepi, aku belajar menghapus segala rasa untuk Mas Angga. Mencoba membunuh cinta yang tak bertakhta. Rere-sahabat yang selalu ada untukku, cukup kaget tatkala kuceritakan tentang perasaan Mas Angga. Dia tak menduga jika Mas Angga tak membalas cintaku. “Kenapa Angga bisa bilang seperti itu ya, Lin. Padahal selama ini dia sangat perhatian sama kamu. Aku sering melihatnya mencuri pandang saat kamu sedang beraktivitas,” ujar Rere sepulang dari rumah Angga.“Entahlah, Re. Mungkin aku yang salah mengartikan kebaikannya,” sahutku kala itu.Ya. Bukan hanya Rere saja yang beranggapan bahwa Mas Angga menyuk
Setelah cukup lama berpikir, aku memutuskan untuk kembali menemui Mas Angga. Dengan menggunakan sepeda motor Rere, aku pulang ke rumah, berharap laki-laki itu masih menungguku di sana.Aku kecewa saat sampai rumah. Suasana hari ini lumayan sepi. Para tetangga yang biasanya rutin ghibah di rumah sebelah juga tak kelihatan batang hidungnya. Motor Mas Angga pun sudah tak ada di tempat semula. Terbesit sesal karena tadi sudah mengabaikannya. Ah! Kenapa aku sebodoh ini. Jika tadi aku mengiyakan saat Mas Angga mengajakku menikah, mungkin saat ini kami tengah duduk berdua berbagi canda tawa dalam cinta. Namun, lagi-lagi keegoisan meruntuhkan semua harapan. Nasi telah menjadi bubur. Semua yang terjadi tak kan terulang lagi. Dengan langkah gontai aku masuk ke dalam, berniat kembali mengurung diri. Baru saja masuk ke kamar, aku terkejut saat seseorang membekap mulutku dari arah belakang, lalu mendorong tubuhku ke ranjang.
Setelah mobil yang membawa Mas Bayu pergi, para tetangga juga ikut bubar. Telingaku masih sempat menangkap selentingan miring dari mereka, tapi aku abai. Mereka belum tahu yang sebenarnya, jadi wajar jika berpikir yang enggak-enggak tentang diriku.Mas Angga-lelaki yang menjadi pahlawan bagiku mulai berjalan mendekati motornya. Dia terus melangkah tanpa menoleh padaku. “Mas!” Aku berteriak memanggil laki-laki itu sambil berlari mendekat padanya. Mas Angga menoleh sejenak sambil melempar senyum lalu kembali melanjutkan langkahnya. Gegas kudekap dia dari belakang saking takutnya dia pergi.“Jangan pergi, Mas!” harapku. Mas Angga melepas dekapan lalu berbalik menghadapku. Ditatapnya lekat mata ini sampai aku salah tingkah. Debaran hatiku kian terasa saat dia meraih jemariku lalu menggenggamnya erat. “Aku mencintaimu, Lin!” ujar Mas Angga sembari menarikku dalam pelukannya. Tak ingi
5 bulan kemudian.Pada akhirnya aku bisa bernafas lega karena pengadilan menyetujui perceraian kami meskipun harus melewati drama yang cukup melelahkan.Mas Reyhan bersikukuh tak mau berpisah. Itulah kenapa kasus perceraian ini tak kunjung selesai. Bahkan di pengadilan dia terus meminta perceraian ini dibatalkan. Selama proses persidangan, aku tinggal di rumah orang tuaku. Ini kulakukan agar ada yang menjaga Hanin saat pergi ke toko ataupun urusan yang berhubungan dengan perceraian. Di hari minggu sore ini aku memilih duduk di teras menikmati kesendirian ketimbang melakukan aktivitas lain. Sengaja aku tidak ke toko karena ingin melepas lelah setelah semua yang kulewati. Deru mesin mobil yang memasuki halaman berhasil memecah kesunyian yang tengah kubangun. Sesosok laki-laki yang selama ini mengganggu tidurku turun bersama Bu Erna, perempuan yang sudah seperti ibu bagiku. Benar. Dia memang Daffa. Sejak hari itu kami tak pernah lagi bertemu. Bahkan sekedar say hello melalui jejaring
POV Reyhan. Aku menatap nanar pada kertas di tanganku. Sedikit pun tak pernah terlintas dalam pikiran bahwa semua terbongkar dan akhirnya Rere akan menggugat cerai. Sebenarnya aku sudah berencana mengakhiri hubungan dengan Dera karena mulai merasakan cemburu melihat kedekatan Rere dan Daffa. Sayangnya semua harus terbongkar sebelum sempat aku mengakhiri. “Aku enggak nyangka kamu berubah menjadi monster yang kejam, Rey,” tutur Elin seusai perginya Rere dan Daffa. Aku mengalihkan pandangan pada sosok yang pernah mengisi hati ini. Entah sejak kapan getaran indah yang dulu kurasakan kini tak ada lagi. “Maafkan aku, Lin.” Aku membuang muka ke sembarang arah. “Bilang maaf itu gampang, Mas! Apa kamu menyadari secara tidak langsung kamu telah menjadikan aku seorang pelakor?” sela Dera yang berdiri tak jauh di samping Elin. Laksana pecundang, aku tertunduk tak berani menatap wajah mereka apalagi menyahut. “Kenapa diam! Ayo bicara, Mas!” bentak Dera. Hening. Hanya sesekali terdengar n
Butuh waktu lebih dari satu jam untuk sampai ke rumah ibu. Tadi aku sempat meminta Daffa memelankan laju motornya agar Hanin tak terlalu kena angin. Kedua orang tuaku menyambut di depan teras. Mereka menatapku dengan tatapan penuh selidik. Wajar. Aku belum menceritakan apa pun pada mereka. “Ada apa ini, Re. Kenapa kamu membawa barang-barangmu ke sini?” Baru saja turun dari motor, ibu langsung memberondongku dengan wajah cemas. Aku meraih tangan ibu dan mencium punggung tangannya lalu berganti pada bapak. Pun dengan Daffa. Dia melakukan hal yang sama. “Mas Reyhan selingkuh, Bu. Dia mau menikah lagi,” jawabku kemudian. Kontan saja bapak dan ibu kaget dengan ucapanku. “Astaghfirulloh...” Ibu menutup mulutnya dengan tangan. Raut kesedihan jelas terlihat di wajahnya, bahkan bulir bening mulai menggenang di sudut mata itu. Lain halnya dengan bapak. Dia tidak menangis. Wajahnya yang memerah, juga suara gemeletuk giginya terdengar jelas menandakan amarah tengah menguasai pikirannya.
“Tara.... ini dia kejutannya, Mas!” teriakku sedikit keras. “De... Dera...” ucap Mas Reyhan tergagap. Wajahnya memucat seolah darah tak lagi mengalir di sana.Aku tersenyum melihat Mas Reyhan yang tampak seperti ketakutan. “Iya, Mas! Ini aku Dera. Kok kamu kaget sih?” sahut Dera yang belum tahu kenyataan sebenarnya. Mas Reyhan kebingungan. Dia menatap aku dan Dera bergantian. “Kok malah bengong, Mas! Masa ketemu calon istri kok begitu. Enggak romantis!” Aku tersenyum mengejek melihat suamiku yang tengah panik. “Maksud kamu apa ya, Re? Kok bilang dia calon istrinya Reyhan?” tanya Elin. “Tanya saja sama Mas Reyhan.” Aku beranjak keluar lalu segera kembali setelah menitipkan Hanin pada Daffa. Tadi Daffa juga sudah mengambil motornya dan diparkir di halaman rumah. “Bagaimana Mas? Apa kamu sudah menjawab pertanyaan Elin?” tanyaku setelah duduk di sebelah Elin. Mas Reyhan tak menyahut. Dia hanya diam masih dalam posisi semula. “Sebenarnya kamu kenapa sih, Mas? Kok aneh begitu?” sel
Dua minggu sudah Daffa menjadi sopir pribadiku. Selama itu juga setiap hari kami bersama. Demi membuat Mas Reyhan cemburu, terkadang aku pulang sampai jam sembilan malam. Namun, kami tak melakukan apa-apa, hanya sekedar healing atau duduk-duduk di rumah kontrakkan sambil berbagi cerita. Benar! Mas Reyhan terpancing amarah. Dia sering mengajak ribut, tapi aku memilih bermain ponsel ketimbang menanggapinya. Wajar saja dia marah, selama dua minggu belakangan aku tak pernah mengurus keperluannya. Masak, mencuci atau membersihkan rumah tak pernah lagi kulakukan. Salah sendiri dia menganggapku telah mati. Hari ini aku berniat mengakhiri permainan ini. Rasanya sudah tak sabar ingin memberi kejutan untuk Mas Reyhan. Selain itu, terlalu sering bersama Daffa membuat hati merasa nyaman. Aku takut ini tak baik untuk kami. Makanya harus segera diakhiri. “Kayaknya ini hari terakhir kamu menjadi sopirku,” ujarku pada Daffa saat kami sedang santai di teras kontrakkan.“Loh, kenapa, Mbak?” tanya
Seperti biasa, pagi ini aku bangun jam setengah lima. Namun, kali ini tak beraktivitas di dapur melainkan langsung mandi dan berganti pakaian yang luwes. Rencananya hari ini aku akan ke toko lagi. Sejak hamil lima bulan aku memang memilih tinggal di rumah. Tadi malam saat Mas Reyhan terlelap aku sempat menghubungi Daffa. Dia bersedia menemaniku pagi ini. “Kok pagi-pagi sudah rapi, Dek?” Mas Reyhan yang baru bangun tidur menatap heran. “Iya, aku mau menengok toko,” jawabku sambil menyiapkan pakaian Hanin. Kok pagi banget?” tanyanya lagi. “Ya enggak apa-apa, Mas! Aku pergi dulu ya,” pamitku setelah membopong Hanin. Tanpa menunggu lama, aku beranjak keluar kamar. “Dek, apa pakaian kerjaku sudah disetrika?” tanyanya sebelum aku melangkah jauh. “Maaf, aku enggak sempat. Nanti setrika sendiri saja,” jawabku sambil terus melangkah. Baru saja sampai teras, Mas Reyhan mendahului lalu mencegatku. “Kamu apa-apaan sih. Bukannya menyiapkan pakaian suami malah main pergi saja!” teriak Mas
Samar-samar suara orang berbincang tertangkap indra pendengaran. Aku membuka mata perlahan, menoleh ke kanan kiri mencari sumber suara tersebut. Aku membuka pintu mobil, menatap pada Bu Erna dan anaknya sambil berusaha mengumpulkan kesadaran. “Kamu sudah bangun, Re.” Bu Erna tersenyum menatapku. Sebelum aku beranjak, dia lebih dulu menghampiriku. “Kita di mana, Bu?” tanyaku saat merasa di tempat asing dan langit terlihat mulai gelap. “Di parkiran. Tadi kan kamu minta dibelikan pampers untuk Hanin. Jadi sekalian Ibu beli baju buat dia. Ini Daffa yang milih tadi.” Bu Erna menunjukkan bungkusan belanjaan di tangannya. Aku menggeser tubuhku saat Bu Erna masuk dan memberikan bungkusan itu padaku. Entahlah. Aku tak tahu harus berkata apa. “Kita pulang sekarang, Daf!” perintah Bu Erna pada anaknya yang entah sejak kapan ada di depan kemudi. Tanpa menyahut, Daffa langsung melajukan mobilnya membelah jalanan yang mulai ramai gemerlap cahaya lampu. “Apa sakit kepalamu sudah mendingan?
“Maksud kamu....” aku menggantungkan kalimat berharap Daffa langsung mengerti. “Kalau Mbak mau selingkuh mending sama aku saja. Di jamin enggak akan kecewa,” ulangnya. Aku terkesiap juga ingin tertawa. Kok ada ya orang sekonyol Daffa. “Memangnya kamu enggak takut kehilangan keperjakaanmu? Atau malah sudah?” ejekku. “Hush... Aku 100% masih perjaka!” protesnya, “ Selingkuh itu enggak melulu hubungan badan. Sering jalan berdua atau sering berbalas perhatian juga bisa di kategorikan selingkuh,”Sejenak, aku memikirkan kalimat Daffa. Dia benar. Namun, apa harus selingkuh dengannya? “Jadi bagaimana?” tanyanya kemudian. “Bagaimana apanya?” sahutku pura-pura bodoh. “Ya itu tadi, katanya Mbak mau selingkuh,” kejarnya. Aku memejamkan mata erat, mencoba menimbang tawaran Daffa. Sebenarnya ini ide yang cukup menarik karena tak perlu memberikan tubuh pada lelaki yang bukan suamiku. Akan tetapi aku takut salah satu di antara kami akan terbawa suasana. “Baiklah, tapi dengan dua syarat.” Pa
Di perjalanan, Daffa memelankan laju mobil, mengambil beberapa lembar tisu dari dashboard lalu memberikan padaku tanpa mengucap sepatah kata pun.Aku sedikit kaget saat menyadari ternyata duduk di jok depan. Kepalang tanggung, kuambil tisu dari tangan Daffa lalu menyeka air mata. Sebisa mungkin menahan perih di hati. Rasanya canggung menangis di sebelah laki-laki yang bukan siapa-siapaku. “Kenapa mbak menangis?” Daffa memindai wajahku sejenak lalu kembali menatap pada jalanan. Aku diam. Ingin bercerita tapi segan. Pada akhirnya hanya mampu membuang pandangan ke samping, berusaha menyembunyikan perih. “Maaf,” ujarnya kemudian. Hening. Baik aku ataupun Daffa tak membuka suara. Jauh berbeda saat dengan suasana saat berangkat tadi. “Bagaimana perasaanmu saat orang yang kamu cintai ternyata tak pernah mencintaimu?” Setelah hati sedikit tenang, aku membuka obrolan. “Biasa saja. Selama ini perempuan yang kucintai juga tak mencintaiku,” jawabnya tanpa menoleh.“Tapi bagaimana jika keka