Setelah cukup lama berpikir, aku memutuskan untuk kembali menemui Mas Angga. Dengan menggunakan sepeda motor Rere, aku pulang ke rumah, berharap laki-laki itu masih menungguku di sana.Aku kecewa saat sampai rumah. Suasana hari ini lumayan sepi. Para tetangga yang biasanya rutin ghibah di rumah sebelah juga tak kelihatan batang hidungnya. Motor Mas Angga pun sudah tak ada di tempat semula. Terbesit sesal karena tadi sudah mengabaikannya. Ah! Kenapa aku sebodoh ini. Jika tadi aku mengiyakan saat Mas Angga mengajakku menikah, mungkin saat ini kami tengah duduk berdua berbagi canda tawa dalam cinta. Namun, lagi-lagi keegoisan meruntuhkan semua harapan. Nasi telah menjadi bubur. Semua yang terjadi tak kan terulang lagi. Dengan langkah gontai aku masuk ke dalam, berniat kembali mengurung diri. Baru saja masuk ke kamar, aku terkejut saat seseorang membekap mulutku dari arah belakang, lalu mendorong tubuhku ke ranjang.
Setelah mobil yang membawa Mas Bayu pergi, para tetangga juga ikut bubar. Telingaku masih sempat menangkap selentingan miring dari mereka, tapi aku abai. Mereka belum tahu yang sebenarnya, jadi wajar jika berpikir yang enggak-enggak tentang diriku.Mas Angga-lelaki yang menjadi pahlawan bagiku mulai berjalan mendekati motornya. Dia terus melangkah tanpa menoleh padaku. “Mas!” Aku berteriak memanggil laki-laki itu sambil berlari mendekat padanya. Mas Angga menoleh sejenak sambil melempar senyum lalu kembali melanjutkan langkahnya. Gegas kudekap dia dari belakang saking takutnya dia pergi.“Jangan pergi, Mas!” harapku. Mas Angga melepas dekapan lalu berbalik menghadapku. Ditatapnya lekat mata ini sampai aku salah tingkah. Debaran hatiku kian terasa saat dia meraih jemariku lalu menggenggamnya erat. “Aku mencintaimu, Lin!” ujar Mas Angga sembari menarikku dalam pelukannya. Tak ingi
Sekitar sepuluh menit setelah pergi, Rere sudah kembali dengan tangan kanan menenteng kantong plastik lalu mengeluarkan isinya dan menunjukkan padaku. “Yang ini kan?” tanya Rere sembari menunjukkan satu dus susu formula merek terkenal. “Iya enggak apa-apa. Kan memang itu yang paling banyak di beli,” sahutku.Rere langsung beranjak ke dapur membawa benda itu, sementara aku sibuk menimang bayi di ruang tengah. Sesekali aku menatap iba pada bayi malang ini. Dosa apa yang dia lakukan sampai dibuang oleh ibunya! Sebentar kemudian, Rere sudah kembali dengan sebotol susu dan memberikan padaku. Bayi yang sudah kehausan ini langsung berhenti menangis saat kuberi susu formula.Tak lama kemudian, susu telah habis tak bersisa. Aku terus menimangnya sampai dia terlelap, lalu segera kubaringkan di kamar tidurku. “Kamu sudah pantas jadi ibu, Lin,” ujar Rere yang sejak tadi memperhatikanku. “Namanya juga p
Satu minggu setelah penolakan bapak, aku memilih mengurung diri di kamar. Hati ini masih tak bisa menerima kenyataan bahwa orang tuaku tak merestui hubungan kami. Mas Angga memang datang lagi keesokan harinya untuk menjemput bayi itu. Dia datang bersama seorang perempuan yang mengaku adiknya.Waktu itu aku sempat mengajak Mas Angga untuk kabur, tapi dia menolak. Dia hanya berpesan untuk tidak melupakannya. Tanpa berusaha untuk kembali memohon pada bapak ataupun ibu. Rere juga sempat meneleponku. Tak banyak yang kami bicarakan. Aku hanya mengabarkan tentang lamaran yang gagal, juga meminta ijin untuk tidak ke toko sampai hatiku sedikit membaik. Bapak dan ibu berulang kali menasihati agar aku tak seperti ini, tapi aku abai. Seperti mereka yang tak peduli dengan perasaan anaknya. Sore ini, seperti biasa aku asyik melamun di kamar. Ibu beberapa kali mengetuk pintu dan memanggil namaku, tapi aku diam
“Elin!” Rere memekik kaget saat aku datang ke toko bersama laki-laki asing. Dia menatapku sebentar, lalu berganti memindai wajah Reyhan sampai yang diperhatikan terlihat kikuk. Setelahnya, dia langsung menarik tanganku lalu berbisik “Siapa, Lin?” Aku sempat bingung dengan perkataan Rere, tapi setelah berpikir sejenak, aku paham maksudnya. “Ini Reyhan, laki-laki yang dijodohkan denganku,” jawabku santai. “Terus kamu mau? Angga bagaimana? Kasihan dia, Lin!” berondong Rere. Aku sedikit kaget dengan intonasinya yang tak biasa. Rere seolah tak suka jika aku menerima perjodohan ini. “Kalau aku mau sama Reyhan kenapa?” Aku sengaja memancing Rere agar kembali bersuara. Apa benar dia kasihan sama Angga atau ada hal lain.“Angga sangat mencintai kamu. Masa iya kamu malah sama yang lain. Lagian, kalau di perhatikan kalian enggak cocok. Kamu cocoknya sama Angga,” jelas Rere. “Terus R
Sekitar jam delapan malam kami baru sampai di rumah ibu. Tadi di jalan sempat istirahat sejenak sekalian magrib. Kata orang tua dulu, tak baik jika waktu terus dalam perjalanan. Makanya tadi kami rehat sebentar. Ibu dan bapak langsung menyambut dengan senyuman tatkala aku dan Reyhan turun, tapi berganti kaget saat Mas Angga dan Rere keluar dari mobil. “Kok sampai malam begini, dari mana saja sih? “ gerutu ibu setelah kucium takdim punggung tangannya. “Jalan-jalan, Bu,” jawabku asal. “Ya sudah ayo masuk dulu!” Ajak bapak kemudian. Akhirnya kami semua masuk, lalu duduk mengitari meja ruang tamu, saling berhadapan satu sama lain. Ibu masuk ke dalam sambil memberi kode padaku. Tak menunggu lama, aku langsung mengekori langkahnya yang telah lebih dulu menuju ke dapur. “Kamu habis dari mana sih, Lin?” tanya ibu saat aku sedang menyedu teh. “Nanti saja ceritanya, Bu! Sekalian a
Kusambut pagi dengan segenggam harapan baru. Setelah semua yang diceritakan ibu, aku tak lagi berburuk sangka pada perempuan yang telah melahirkanku itu. Semula aku berpikir dulu ibu pernah berbuat salah pada ibunya Mas Angga, tapi setelah mendengar semuanya segala prasangka itu hilang terganti haru.Seusai salat subuh, aku dan Rere membantu ibu memasak, hal yang jarang kulakukan selama ini. Ya! Sejak merantau, aku jarang sekali masak karena waktu yang memang tak ada. Pun sejak mengelola toko bareng Rere. “Maafkan ibu ya, Lin. Gara-gara masa lalu ibu, hubunganmu dengan Angga jadi terhalang,” ujar ibu sambil menggoreng pisang.“Enggak apa-apa kok, Bu. Elin sangat yakin kalau jodoh itu benar-benar kuasa Alloh,” sahutku menenangkannya. “Syukurlah kalau kamu berpikir sedewasa itu,” puji ibu sambil melempar senyum. “Masih mending Elin pernah menikah, lah aku sampai umur segini belum ada yang melamar.”
Hari ini toko cukup ramai pembeli. Aku, Rere dan satu orang karyawan sampai dibuat kewalahan. Mungkin sudah saatnya menambah satu karyawan lagi. Apalagi sekarang aku dan Rere sering sibuk dengan urusan pribadi. Jika terlalu sering tutup, bukan tak mungkin pelanggan akan kabur lalu toko yang belum lama berdiri ini akan bangkrut. Aku menghela nafas lega saat para pelanggan mulai sepi. Hanya tinggal satu dua yang cukup di layani oleh karyawan saja. Bukannya aku tak suka toko ini ramai, tapi kami juga manusia yang butuh istirahat. “Alhamdulillah... akhirnya bisa istirahat juga ya, Lin.” Rere bergumam syukur memuji nama tuhan. “Iya,” sahutku sambil mengibas-ngibaskan tangan di depan wajah. “Eh... gimana, apa kamu jadi ke rumah Angga hari ini?” Rere mengambil botol minuman, membuka penutupnya lalu meneguk sebagian isinya. “Nanti, nunggu bapak dan ibu datang. Kalau enggak ada halangan, satu jam lagi mereka datang
5 bulan kemudian.Pada akhirnya aku bisa bernafas lega karena pengadilan menyetujui perceraian kami meskipun harus melewati drama yang cukup melelahkan.Mas Reyhan bersikukuh tak mau berpisah. Itulah kenapa kasus perceraian ini tak kunjung selesai. Bahkan di pengadilan dia terus meminta perceraian ini dibatalkan. Selama proses persidangan, aku tinggal di rumah orang tuaku. Ini kulakukan agar ada yang menjaga Hanin saat pergi ke toko ataupun urusan yang berhubungan dengan perceraian. Di hari minggu sore ini aku memilih duduk di teras menikmati kesendirian ketimbang melakukan aktivitas lain. Sengaja aku tidak ke toko karena ingin melepas lelah setelah semua yang kulewati. Deru mesin mobil yang memasuki halaman berhasil memecah kesunyian yang tengah kubangun. Sesosok laki-laki yang selama ini mengganggu tidurku turun bersama Bu Erna, perempuan yang sudah seperti ibu bagiku. Benar. Dia memang Daffa. Sejak hari itu kami tak pernah lagi bertemu. Bahkan sekedar say hello melalui jejaring
POV Reyhan. Aku menatap nanar pada kertas di tanganku. Sedikit pun tak pernah terlintas dalam pikiran bahwa semua terbongkar dan akhirnya Rere akan menggugat cerai. Sebenarnya aku sudah berencana mengakhiri hubungan dengan Dera karena mulai merasakan cemburu melihat kedekatan Rere dan Daffa. Sayangnya semua harus terbongkar sebelum sempat aku mengakhiri. “Aku enggak nyangka kamu berubah menjadi monster yang kejam, Rey,” tutur Elin seusai perginya Rere dan Daffa. Aku mengalihkan pandangan pada sosok yang pernah mengisi hati ini. Entah sejak kapan getaran indah yang dulu kurasakan kini tak ada lagi. “Maafkan aku, Lin.” Aku membuang muka ke sembarang arah. “Bilang maaf itu gampang, Mas! Apa kamu menyadari secara tidak langsung kamu telah menjadikan aku seorang pelakor?” sela Dera yang berdiri tak jauh di samping Elin. Laksana pecundang, aku tertunduk tak berani menatap wajah mereka apalagi menyahut. “Kenapa diam! Ayo bicara, Mas!” bentak Dera. Hening. Hanya sesekali terdengar n
Butuh waktu lebih dari satu jam untuk sampai ke rumah ibu. Tadi aku sempat meminta Daffa memelankan laju motornya agar Hanin tak terlalu kena angin. Kedua orang tuaku menyambut di depan teras. Mereka menatapku dengan tatapan penuh selidik. Wajar. Aku belum menceritakan apa pun pada mereka. “Ada apa ini, Re. Kenapa kamu membawa barang-barangmu ke sini?” Baru saja turun dari motor, ibu langsung memberondongku dengan wajah cemas. Aku meraih tangan ibu dan mencium punggung tangannya lalu berganti pada bapak. Pun dengan Daffa. Dia melakukan hal yang sama. “Mas Reyhan selingkuh, Bu. Dia mau menikah lagi,” jawabku kemudian. Kontan saja bapak dan ibu kaget dengan ucapanku. “Astaghfirulloh...” Ibu menutup mulutnya dengan tangan. Raut kesedihan jelas terlihat di wajahnya, bahkan bulir bening mulai menggenang di sudut mata itu. Lain halnya dengan bapak. Dia tidak menangis. Wajahnya yang memerah, juga suara gemeletuk giginya terdengar jelas menandakan amarah tengah menguasai pikirannya.
“Tara.... ini dia kejutannya, Mas!” teriakku sedikit keras. “De... Dera...” ucap Mas Reyhan tergagap. Wajahnya memucat seolah darah tak lagi mengalir di sana.Aku tersenyum melihat Mas Reyhan yang tampak seperti ketakutan. “Iya, Mas! Ini aku Dera. Kok kamu kaget sih?” sahut Dera yang belum tahu kenyataan sebenarnya. Mas Reyhan kebingungan. Dia menatap aku dan Dera bergantian. “Kok malah bengong, Mas! Masa ketemu calon istri kok begitu. Enggak romantis!” Aku tersenyum mengejek melihat suamiku yang tengah panik. “Maksud kamu apa ya, Re? Kok bilang dia calon istrinya Reyhan?” tanya Elin. “Tanya saja sama Mas Reyhan.” Aku beranjak keluar lalu segera kembali setelah menitipkan Hanin pada Daffa. Tadi Daffa juga sudah mengambil motornya dan diparkir di halaman rumah. “Bagaimana Mas? Apa kamu sudah menjawab pertanyaan Elin?” tanyaku setelah duduk di sebelah Elin. Mas Reyhan tak menyahut. Dia hanya diam masih dalam posisi semula. “Sebenarnya kamu kenapa sih, Mas? Kok aneh begitu?” sel
Dua minggu sudah Daffa menjadi sopir pribadiku. Selama itu juga setiap hari kami bersama. Demi membuat Mas Reyhan cemburu, terkadang aku pulang sampai jam sembilan malam. Namun, kami tak melakukan apa-apa, hanya sekedar healing atau duduk-duduk di rumah kontrakkan sambil berbagi cerita. Benar! Mas Reyhan terpancing amarah. Dia sering mengajak ribut, tapi aku memilih bermain ponsel ketimbang menanggapinya. Wajar saja dia marah, selama dua minggu belakangan aku tak pernah mengurus keperluannya. Masak, mencuci atau membersihkan rumah tak pernah lagi kulakukan. Salah sendiri dia menganggapku telah mati. Hari ini aku berniat mengakhiri permainan ini. Rasanya sudah tak sabar ingin memberi kejutan untuk Mas Reyhan. Selain itu, terlalu sering bersama Daffa membuat hati merasa nyaman. Aku takut ini tak baik untuk kami. Makanya harus segera diakhiri. “Kayaknya ini hari terakhir kamu menjadi sopirku,” ujarku pada Daffa saat kami sedang santai di teras kontrakkan.“Loh, kenapa, Mbak?” tanya
Seperti biasa, pagi ini aku bangun jam setengah lima. Namun, kali ini tak beraktivitas di dapur melainkan langsung mandi dan berganti pakaian yang luwes. Rencananya hari ini aku akan ke toko lagi. Sejak hamil lima bulan aku memang memilih tinggal di rumah. Tadi malam saat Mas Reyhan terlelap aku sempat menghubungi Daffa. Dia bersedia menemaniku pagi ini. “Kok pagi-pagi sudah rapi, Dek?” Mas Reyhan yang baru bangun tidur menatap heran. “Iya, aku mau menengok toko,” jawabku sambil menyiapkan pakaian Hanin. Kok pagi banget?” tanyanya lagi. “Ya enggak apa-apa, Mas! Aku pergi dulu ya,” pamitku setelah membopong Hanin. Tanpa menunggu lama, aku beranjak keluar kamar. “Dek, apa pakaian kerjaku sudah disetrika?” tanyanya sebelum aku melangkah jauh. “Maaf, aku enggak sempat. Nanti setrika sendiri saja,” jawabku sambil terus melangkah. Baru saja sampai teras, Mas Reyhan mendahului lalu mencegatku. “Kamu apa-apaan sih. Bukannya menyiapkan pakaian suami malah main pergi saja!” teriak Mas
Samar-samar suara orang berbincang tertangkap indra pendengaran. Aku membuka mata perlahan, menoleh ke kanan kiri mencari sumber suara tersebut. Aku membuka pintu mobil, menatap pada Bu Erna dan anaknya sambil berusaha mengumpulkan kesadaran. “Kamu sudah bangun, Re.” Bu Erna tersenyum menatapku. Sebelum aku beranjak, dia lebih dulu menghampiriku. “Kita di mana, Bu?” tanyaku saat merasa di tempat asing dan langit terlihat mulai gelap. “Di parkiran. Tadi kan kamu minta dibelikan pampers untuk Hanin. Jadi sekalian Ibu beli baju buat dia. Ini Daffa yang milih tadi.” Bu Erna menunjukkan bungkusan belanjaan di tangannya. Aku menggeser tubuhku saat Bu Erna masuk dan memberikan bungkusan itu padaku. Entahlah. Aku tak tahu harus berkata apa. “Kita pulang sekarang, Daf!” perintah Bu Erna pada anaknya yang entah sejak kapan ada di depan kemudi. Tanpa menyahut, Daffa langsung melajukan mobilnya membelah jalanan yang mulai ramai gemerlap cahaya lampu. “Apa sakit kepalamu sudah mendingan?
“Maksud kamu....” aku menggantungkan kalimat berharap Daffa langsung mengerti. “Kalau Mbak mau selingkuh mending sama aku saja. Di jamin enggak akan kecewa,” ulangnya. Aku terkesiap juga ingin tertawa. Kok ada ya orang sekonyol Daffa. “Memangnya kamu enggak takut kehilangan keperjakaanmu? Atau malah sudah?” ejekku. “Hush... Aku 100% masih perjaka!” protesnya, “ Selingkuh itu enggak melulu hubungan badan. Sering jalan berdua atau sering berbalas perhatian juga bisa di kategorikan selingkuh,”Sejenak, aku memikirkan kalimat Daffa. Dia benar. Namun, apa harus selingkuh dengannya? “Jadi bagaimana?” tanyanya kemudian. “Bagaimana apanya?” sahutku pura-pura bodoh. “Ya itu tadi, katanya Mbak mau selingkuh,” kejarnya. Aku memejamkan mata erat, mencoba menimbang tawaran Daffa. Sebenarnya ini ide yang cukup menarik karena tak perlu memberikan tubuh pada lelaki yang bukan suamiku. Akan tetapi aku takut salah satu di antara kami akan terbawa suasana. “Baiklah, tapi dengan dua syarat.” Pa
Di perjalanan, Daffa memelankan laju mobil, mengambil beberapa lembar tisu dari dashboard lalu memberikan padaku tanpa mengucap sepatah kata pun.Aku sedikit kaget saat menyadari ternyata duduk di jok depan. Kepalang tanggung, kuambil tisu dari tangan Daffa lalu menyeka air mata. Sebisa mungkin menahan perih di hati. Rasanya canggung menangis di sebelah laki-laki yang bukan siapa-siapaku. “Kenapa mbak menangis?” Daffa memindai wajahku sejenak lalu kembali menatap pada jalanan. Aku diam. Ingin bercerita tapi segan. Pada akhirnya hanya mampu membuang pandangan ke samping, berusaha menyembunyikan perih. “Maaf,” ujarnya kemudian. Hening. Baik aku ataupun Daffa tak membuka suara. Jauh berbeda saat dengan suasana saat berangkat tadi. “Bagaimana perasaanmu saat orang yang kamu cintai ternyata tak pernah mencintaimu?” Setelah hati sedikit tenang, aku membuka obrolan. “Biasa saja. Selama ini perempuan yang kucintai juga tak mencintaiku,” jawabnya tanpa menoleh.“Tapi bagaimana jika keka