Hari ini toko cukup ramai pembeli. Aku, Rere dan satu orang karyawan sampai dibuat kewalahan. Mungkin sudah saatnya menambah satu karyawan lagi. Apalagi sekarang aku dan Rere sering sibuk dengan urusan pribadi. Jika terlalu sering tutup, bukan tak mungkin pelanggan akan kabur lalu toko yang belum lama berdiri ini akan bangkrut. Aku menghela nafas lega saat para pelanggan mulai sepi. Hanya tinggal satu dua yang cukup di layani oleh karyawan saja. Bukannya aku tak suka toko ini ramai, tapi kami juga manusia yang butuh istirahat. “Alhamdulillah... akhirnya bisa istirahat juga ya, Lin.” Rere bergumam syukur memuji nama tuhan. “Iya,” sahutku sambil mengibas-ngibaskan tangan di depan wajah. “Eh... gimana, apa kamu jadi ke rumah Angga hari ini?” Rere mengambil botol minuman, membuka penutupnya lalu meneguk sebagian isinya. “Nanti, nunggu bapak dan ibu datang. Kalau enggak ada halangan, satu jam lagi mereka datang
Aku bisa sedikit bernafas lega karena pada akhirnya bapak merestui hubunganku dan Mas Angga. Kami akan segera menikah setelah surat-suratnya lengkap. Urusan restu calon mertua, itu pikirkan nanti saja. Pagi ini aku telah sampai di ruko. Tadi meminjam motor bapak untuk berangkat. Rasanya sudah tak sabar ingin berbagi kebahagiaan dengan Rere sahabatku. Semalam dia sudah menelepon menanyakan kelanjutan cerita cintaku, tapi aku tak menjawab. Aku memilih bercerita saat bertemu saja. Aku langsung menyambut saat Rere turun dari motor. Perempuan yang sudah seperti saudara bagiku itu menatap heran karena jarang sekali aku berangkat sepagi ini, apalagi semalam aku menginap di rumah orang tuaku. “Tumben kamu berangkat pagi banget, Lin?” tanya Rere. “Iya dong! Kalau kesiangan entar Rezekinya dipatok ayam!” kelakarku. “Ah! Bisa saja kamu.” Rere melepas helmnya lalu meletakkan di atas jok motor. Setelahnya, dia menjaja
Hari-hari yang kulewati terasa indah sejak bapak dan ibu merestui hubunganku dan Mas Angga. Rasanya sudah tak sabar menanti Mas Angga menghalalkanku sebagai istrinya. Duduk bersanding mengikat janji suci di depan penghulu. Meskipun nanti tanpa kehadiran ibu mertua, tapi tetap saja membuatku bahagia.Seperti biasa, aku melakukan rutinitas pekerjaan dengan hati senang. Bekerja dengan ikhlas demi masa depan. Jika sudah besar nanti, aku dan Rere tak perlu lagi ikut bekerja langsung di toko ini. Hanya tinggal mengawasi saja. Saat menjelang tengah hari aku dan Rere bergantian istirahat dengan karyawanku. Ini kulakukan agar tetap ada yang berjaga meski jam-jam seperti ini biasanya sepi pembeli. “Cari makan dulu yuk, Re!” ajakku. “Yuk! aku juga sudah lapar,” sahut Rere. Kami berdua langsung beranjak keluar dari toko. Baru saja sampai di emperan, aku dikejutkan dengan kehadiran sosok Bu Yuli. Di sampingnya, seorang peremp
Seperti janjinya, sore ini Mas Angga datang menemuiku di toko. Aku menyambut kedatangannya dengan hati girang. Bagaimana tidak, sudah lebih dari satu minggu kami hanya saling menyapa lewat suara. Pastinya, rindu di hati semakin menjadi. “Apa kabar, Lin?” Mas Angga menyapa sesaat setelah kami saling berjabat tangan. Sebenarnya, aku ingin memeluknya, tapi karena di tempat umum, kuurungkan niatku. Toh, tak lama lagi kami akan lebih ketimbang sekedar berpelukan. “Baik, Mas! Kamu sendiri?” balasku. “Aku baik juga. Alhamdulillah, surat-surat juga sudah beres semuanya.” Laki-laki itu melempar senyum lalu menunjukkan beberapa lembar kertas yang kami butuhkan sebagai persyaratan menikah. Aku melihatnya sejenak lalu mengembalikan padanya. Dia pun kembali menyimpan kertas-kertas itu ke tas yang dia bawa. “Ke rumahmu yuk! Aku mau bertemu orang tuamu,” ajak Mas Angga. Aku mengangguk penuh semangat lalu segera ber
Aku mematut diri di depan cermin, memindai wajah yang baru selesai dipoles sedemikian rupa hingga aku nyaris tak mengenali wajahku. Kebaya putih yang melilit tubuh, membuatku semakin terlihat langsing.Aku tersenyum puas melihat dandananku, hingga menampakkan barisan gigi putih bersih, kontras dengan warna lipstik merah menyala yang memoles bibir. Dari pantulan kaca cermin, kulihat Rere mendekat padaku sembari tersenyum lalu menepuk bahuku.“Kamu cantik sekali, Lin!” puji sahabatku. Aku tersenyum bangga tanpa menoleh. Kembali memindai wajah yang sedikit merona merah karena sanjungan.Hari ini adalah hari pernikahanku dengan Mas Angga-lelaki yang menjadi pilihan hatiku. Meski tanpa restu ibunya, kami tetap melangsungkan pernikahan. Reyhan-lelaki yang sempat mengganggu pikiran, bayangannya kutepikan dari hati. Tak sepatutnya jika aku berpaling di saat menjelang pernikahan. Biar saja kisah yang tak s
Tiga hari setelah resepsi pernikahan, aku dan Mas Angga berencana menempati rumahku. Itu kami lakukan agar lebih dekat saat nanti pergi ke ruko. Meski masih terhitung bulan madu, tapi toko tak boleh diabaikan. Jangan pikirkan apa yang kami lakukan beberapa hari ini. Selain memadu kasih, kami juga berandai-andai tentang masa depan. Menimbang baik buruk setiap rencana. Matahari belum terlalu tinggi saat kami berpamitan pada bapak dan ibu. Sebenarnya mereka meminta tinggal lebih lama, tapi karena urusan pekerjaan, kami tak menyanggupi. “Nak Angga, Ibu titip Elin ya. Dia itu masih kekanak-kanakan. Jadi kamu mesti sabar,” pesan ibu saat kami berpamitan. “Iya, Bu!” Suamiku mengangguk sembari tersenyum tenang. “Kalau sedang ada masalah, selesaikan dengan kepala dingin. Jika Elin sedang marah, kamu harus menenangkannya. Begitu juga sebaliknya.” Bapak ikut memberi wejangan pada kami. Meski dia berbicara sambil tersenyum, tapi
POV. REYHANAku tersentak kaget saat tiba-tiba Pak Agus-orang tua dari Elin memintaku menjadi menantunya. Jujur, aku memang masih menyimpan rasa untuk Elin. Hati ini berbunga-bunga karena pada akhirnya mimpiku selama ini akan terwujud. Meski saat ini Elin menyandang status janda cerai, itu tak masalah bagiku. Sebab cintaku tulus padanya. Beberapa kali aku datang menemui Elin, tapi perempuan itu tetap tak mau menemuiku. Usut punya usut, ternyata dia menolak perjodohan ini. Untuk kedua kalinya harapan membina rumah tangga dengan Elin harus pupus. Sebagai pencinta sejati, Aku tetap berusaha membantu Elin mengejar cintanya. Meski hatiku perih, kucoba untuk abai. Aku sempat merasa ada harapan saat mengetahui Elin tak mendapat restu calon mertuanya. Sayangnya harapan itu tak bertahan lama karena Angga bertekad menikahinya meski tanpa restu orang tua.Pada akhirnya Elin akan menikah dengan Angga-lelaki yang mampu mendapa
Aku tersenyum bahagia saat melihat dua buah garis merah tertera pada benda pipih yang baru saja kugunakan. Setengah berlari aku menghampiri suamiku yang sedang asyik menikmati kopi di teras. “Ada apa, Dek! Kok lari-lari begitu?” Mas Angga menatap heran ke arahku. “Aku punya kabar gembira buat kamu, Mas!” ucapku dengan tangan di belakang untuk menyembunyikan testpack yang baru saja kugunakan. “Kabar apa?” Mas Angga terlihat bingung, tapi dia tetap tersenyum. “Tara....” Dengan wajah berseri, aku menunjukkan benda pipih di genggamanku. Tanpa menunggu lama, suamiku langsung menyambar lalu mengamati testpack di tangannya. Sebuah senyum merekah sempurna di wajah laki-laki yang dua bulan lalu resmi menjadi suamiku. “Kamu hamil, Dek!” teriak Mas Angga girang. Sebuah binar kebahagiaan terpancar jelas dari mata suamiku. Kami memang sudah menantikan hal ini. Aku hanya mengangguk tanpa berucap.
5 bulan kemudian.Pada akhirnya aku bisa bernafas lega karena pengadilan menyetujui perceraian kami meskipun harus melewati drama yang cukup melelahkan.Mas Reyhan bersikukuh tak mau berpisah. Itulah kenapa kasus perceraian ini tak kunjung selesai. Bahkan di pengadilan dia terus meminta perceraian ini dibatalkan. Selama proses persidangan, aku tinggal di rumah orang tuaku. Ini kulakukan agar ada yang menjaga Hanin saat pergi ke toko ataupun urusan yang berhubungan dengan perceraian. Di hari minggu sore ini aku memilih duduk di teras menikmati kesendirian ketimbang melakukan aktivitas lain. Sengaja aku tidak ke toko karena ingin melepas lelah setelah semua yang kulewati. Deru mesin mobil yang memasuki halaman berhasil memecah kesunyian yang tengah kubangun. Sesosok laki-laki yang selama ini mengganggu tidurku turun bersama Bu Erna, perempuan yang sudah seperti ibu bagiku. Benar. Dia memang Daffa. Sejak hari itu kami tak pernah lagi bertemu. Bahkan sekedar say hello melalui jejaring
POV Reyhan. Aku menatap nanar pada kertas di tanganku. Sedikit pun tak pernah terlintas dalam pikiran bahwa semua terbongkar dan akhirnya Rere akan menggugat cerai. Sebenarnya aku sudah berencana mengakhiri hubungan dengan Dera karena mulai merasakan cemburu melihat kedekatan Rere dan Daffa. Sayangnya semua harus terbongkar sebelum sempat aku mengakhiri. “Aku enggak nyangka kamu berubah menjadi monster yang kejam, Rey,” tutur Elin seusai perginya Rere dan Daffa. Aku mengalihkan pandangan pada sosok yang pernah mengisi hati ini. Entah sejak kapan getaran indah yang dulu kurasakan kini tak ada lagi. “Maafkan aku, Lin.” Aku membuang muka ke sembarang arah. “Bilang maaf itu gampang, Mas! Apa kamu menyadari secara tidak langsung kamu telah menjadikan aku seorang pelakor?” sela Dera yang berdiri tak jauh di samping Elin. Laksana pecundang, aku tertunduk tak berani menatap wajah mereka apalagi menyahut. “Kenapa diam! Ayo bicara, Mas!” bentak Dera. Hening. Hanya sesekali terdengar n
Butuh waktu lebih dari satu jam untuk sampai ke rumah ibu. Tadi aku sempat meminta Daffa memelankan laju motornya agar Hanin tak terlalu kena angin. Kedua orang tuaku menyambut di depan teras. Mereka menatapku dengan tatapan penuh selidik. Wajar. Aku belum menceritakan apa pun pada mereka. “Ada apa ini, Re. Kenapa kamu membawa barang-barangmu ke sini?” Baru saja turun dari motor, ibu langsung memberondongku dengan wajah cemas. Aku meraih tangan ibu dan mencium punggung tangannya lalu berganti pada bapak. Pun dengan Daffa. Dia melakukan hal yang sama. “Mas Reyhan selingkuh, Bu. Dia mau menikah lagi,” jawabku kemudian. Kontan saja bapak dan ibu kaget dengan ucapanku. “Astaghfirulloh...” Ibu menutup mulutnya dengan tangan. Raut kesedihan jelas terlihat di wajahnya, bahkan bulir bening mulai menggenang di sudut mata itu. Lain halnya dengan bapak. Dia tidak menangis. Wajahnya yang memerah, juga suara gemeletuk giginya terdengar jelas menandakan amarah tengah menguasai pikirannya.
“Tara.... ini dia kejutannya, Mas!” teriakku sedikit keras. “De... Dera...” ucap Mas Reyhan tergagap. Wajahnya memucat seolah darah tak lagi mengalir di sana.Aku tersenyum melihat Mas Reyhan yang tampak seperti ketakutan. “Iya, Mas! Ini aku Dera. Kok kamu kaget sih?” sahut Dera yang belum tahu kenyataan sebenarnya. Mas Reyhan kebingungan. Dia menatap aku dan Dera bergantian. “Kok malah bengong, Mas! Masa ketemu calon istri kok begitu. Enggak romantis!” Aku tersenyum mengejek melihat suamiku yang tengah panik. “Maksud kamu apa ya, Re? Kok bilang dia calon istrinya Reyhan?” tanya Elin. “Tanya saja sama Mas Reyhan.” Aku beranjak keluar lalu segera kembali setelah menitipkan Hanin pada Daffa. Tadi Daffa juga sudah mengambil motornya dan diparkir di halaman rumah. “Bagaimana Mas? Apa kamu sudah menjawab pertanyaan Elin?” tanyaku setelah duduk di sebelah Elin. Mas Reyhan tak menyahut. Dia hanya diam masih dalam posisi semula. “Sebenarnya kamu kenapa sih, Mas? Kok aneh begitu?” sel
Dua minggu sudah Daffa menjadi sopir pribadiku. Selama itu juga setiap hari kami bersama. Demi membuat Mas Reyhan cemburu, terkadang aku pulang sampai jam sembilan malam. Namun, kami tak melakukan apa-apa, hanya sekedar healing atau duduk-duduk di rumah kontrakkan sambil berbagi cerita. Benar! Mas Reyhan terpancing amarah. Dia sering mengajak ribut, tapi aku memilih bermain ponsel ketimbang menanggapinya. Wajar saja dia marah, selama dua minggu belakangan aku tak pernah mengurus keperluannya. Masak, mencuci atau membersihkan rumah tak pernah lagi kulakukan. Salah sendiri dia menganggapku telah mati. Hari ini aku berniat mengakhiri permainan ini. Rasanya sudah tak sabar ingin memberi kejutan untuk Mas Reyhan. Selain itu, terlalu sering bersama Daffa membuat hati merasa nyaman. Aku takut ini tak baik untuk kami. Makanya harus segera diakhiri. “Kayaknya ini hari terakhir kamu menjadi sopirku,” ujarku pada Daffa saat kami sedang santai di teras kontrakkan.“Loh, kenapa, Mbak?” tanya
Seperti biasa, pagi ini aku bangun jam setengah lima. Namun, kali ini tak beraktivitas di dapur melainkan langsung mandi dan berganti pakaian yang luwes. Rencananya hari ini aku akan ke toko lagi. Sejak hamil lima bulan aku memang memilih tinggal di rumah. Tadi malam saat Mas Reyhan terlelap aku sempat menghubungi Daffa. Dia bersedia menemaniku pagi ini. “Kok pagi-pagi sudah rapi, Dek?” Mas Reyhan yang baru bangun tidur menatap heran. “Iya, aku mau menengok toko,” jawabku sambil menyiapkan pakaian Hanin. Kok pagi banget?” tanyanya lagi. “Ya enggak apa-apa, Mas! Aku pergi dulu ya,” pamitku setelah membopong Hanin. Tanpa menunggu lama, aku beranjak keluar kamar. “Dek, apa pakaian kerjaku sudah disetrika?” tanyanya sebelum aku melangkah jauh. “Maaf, aku enggak sempat. Nanti setrika sendiri saja,” jawabku sambil terus melangkah. Baru saja sampai teras, Mas Reyhan mendahului lalu mencegatku. “Kamu apa-apaan sih. Bukannya menyiapkan pakaian suami malah main pergi saja!” teriak Mas
Samar-samar suara orang berbincang tertangkap indra pendengaran. Aku membuka mata perlahan, menoleh ke kanan kiri mencari sumber suara tersebut. Aku membuka pintu mobil, menatap pada Bu Erna dan anaknya sambil berusaha mengumpulkan kesadaran. “Kamu sudah bangun, Re.” Bu Erna tersenyum menatapku. Sebelum aku beranjak, dia lebih dulu menghampiriku. “Kita di mana, Bu?” tanyaku saat merasa di tempat asing dan langit terlihat mulai gelap. “Di parkiran. Tadi kan kamu minta dibelikan pampers untuk Hanin. Jadi sekalian Ibu beli baju buat dia. Ini Daffa yang milih tadi.” Bu Erna menunjukkan bungkusan belanjaan di tangannya. Aku menggeser tubuhku saat Bu Erna masuk dan memberikan bungkusan itu padaku. Entahlah. Aku tak tahu harus berkata apa. “Kita pulang sekarang, Daf!” perintah Bu Erna pada anaknya yang entah sejak kapan ada di depan kemudi. Tanpa menyahut, Daffa langsung melajukan mobilnya membelah jalanan yang mulai ramai gemerlap cahaya lampu. “Apa sakit kepalamu sudah mendingan?
“Maksud kamu....” aku menggantungkan kalimat berharap Daffa langsung mengerti. “Kalau Mbak mau selingkuh mending sama aku saja. Di jamin enggak akan kecewa,” ulangnya. Aku terkesiap juga ingin tertawa. Kok ada ya orang sekonyol Daffa. “Memangnya kamu enggak takut kehilangan keperjakaanmu? Atau malah sudah?” ejekku. “Hush... Aku 100% masih perjaka!” protesnya, “ Selingkuh itu enggak melulu hubungan badan. Sering jalan berdua atau sering berbalas perhatian juga bisa di kategorikan selingkuh,”Sejenak, aku memikirkan kalimat Daffa. Dia benar. Namun, apa harus selingkuh dengannya? “Jadi bagaimana?” tanyanya kemudian. “Bagaimana apanya?” sahutku pura-pura bodoh. “Ya itu tadi, katanya Mbak mau selingkuh,” kejarnya. Aku memejamkan mata erat, mencoba menimbang tawaran Daffa. Sebenarnya ini ide yang cukup menarik karena tak perlu memberikan tubuh pada lelaki yang bukan suamiku. Akan tetapi aku takut salah satu di antara kami akan terbawa suasana. “Baiklah, tapi dengan dua syarat.” Pa
Di perjalanan, Daffa memelankan laju mobil, mengambil beberapa lembar tisu dari dashboard lalu memberikan padaku tanpa mengucap sepatah kata pun.Aku sedikit kaget saat menyadari ternyata duduk di jok depan. Kepalang tanggung, kuambil tisu dari tangan Daffa lalu menyeka air mata. Sebisa mungkin menahan perih di hati. Rasanya canggung menangis di sebelah laki-laki yang bukan siapa-siapaku. “Kenapa mbak menangis?” Daffa memindai wajahku sejenak lalu kembali menatap pada jalanan. Aku diam. Ingin bercerita tapi segan. Pada akhirnya hanya mampu membuang pandangan ke samping, berusaha menyembunyikan perih. “Maaf,” ujarnya kemudian. Hening. Baik aku ataupun Daffa tak membuka suara. Jauh berbeda saat dengan suasana saat berangkat tadi. “Bagaimana perasaanmu saat orang yang kamu cintai ternyata tak pernah mencintaimu?” Setelah hati sedikit tenang, aku membuka obrolan. “Biasa saja. Selama ini perempuan yang kucintai juga tak mencintaiku,” jawabnya tanpa menoleh.“Tapi bagaimana jika keka