Cerita ini akan di tulis dari sudut pandang berbeda, di mana Rere akan menjadi pemeran utama. Bayi tetangga mirip suamiku sesi 2“Mau pergi lagi, Mas?” Aku mendesah kecewa melihat suamiku menyambar kunci mobil. Belum genap satu jam ada di rumah, Mas Reyhan sudah mau pergi lagi. Akhir-akhir ini dia selalu begitu, pulang kerja, mandi, makan lalu pergi lagi. “Iya, kasihan Elin enggak ada yang menemani. Dia lagi butuh support,” sahutnya sambil terus berjalan. Aku mengikuti di belakang menahan kesal, merasa tak lagi diperhatikan. “Aku juga butuh teman, Mas! Enggak cuma Elin!” Aku mengelus perut buncit ini, berusaha menguatkan hati. Mas Reyhan menghentikan langkahnya saat sampai di teras. Dia membalikkan tubuh berhadapan denganku. “Aku tahu, tapi Elin lebih butuh teman. Kamu tahu sendiri keadaannya kan!” Kuhela nafas dalam-dalam untuk menghilangkan sesak yang mulai menyeruak.
Lamat-lamat kudengar bunyi pintu yang digedor berkali-kali seiring suara Mas Reyhan memanggil namaku. Aku membuka mata mencoba mengumpulkan kesadaran yang sempat bubar di alam mimpi. Kulirik jam beker di meja sebelahku, waktu telah menunjuk pukul 12 lewat sedikit.“Ah! Selalu saja pulang larut,” gerutuku. Setengah terpaksa aku bangkit menuju sumber gaduh di depan. Mas Reyhan berdiri dengan wajah kesal setelah aku membuka pintu. “Nyenyak banget tidurnya,” Sindir Mas Reyhan. “Maaf, Mas! Mungkin bawaan si jabang bayi, “ jawabku.Dia tak menyahut lalu melangkah ke dalam tanpa peduli denganku. Aku mengunci pintu kembali kemudian menyusulnya ke kamar. Kulihat suamiku langsung menghempaskan tubuhnya di atas ranjang. Aku pun turut berbaring di sebelahnya. “Mas!” Aku memiringkan tubuh menghadap suamiku, tapi agak kesusahan. Perut yang sudah besarlah penyebabnya
Aku masih berada di teras saat sang mentari hampir tenggelam di ufuk barat. Duduk, mondar-mandir lalu duduk kembali. Sudah puluhan kali aku menghubungi Mas Reyhan, tapi tetap juga tak diangkat. Elin juga kuhubungi, tapi nomornya tidak aktif. Sejak siang tadi perutku rasanya sangat mules. Bayi dalam rahimku seperti meronta mengajak kontraksi. Aku cemas karena sampai saat ini Mas Reyhan belum juga mengangkat teleponnya. Bagaimana kalau nanti aku melahirkan? Siapa yang akan menemani? “Sudah hampir magrib, Re! Enggak baik perempuan masih ada di luar rumah apalagi sedang hamil kayak kamu.” Aku terkejut saat sebuah suara yang sangat kukenal tiba-tiba menyapaku. Refleks aku menoleh pada sumber suara tersebut. Benar saja. Bu Erna-tetangga sebelah rumah yang menyapaku. “Iya, Bu. Ini lagi menunggu Mas Reyhan pulang,” jawabku tergagap.Tadi pagi Mas Reyhan sudah pamit mau menemani Elin ke dokter, jadi aku cuma berharap semoga rencana mereka batal.“Di dalam saja menunggunya,” saran tetanggaku
Tak berselang lama, bapak dan ibu datang. Mereka langsung mendekat padaku yang masih terbaring lemah. “Maafkan kami datang terlambat ya, Nak!” ujar ibu merasa bersalah. “Enggak apa-apa kok, Bu!” aku membesarkan hati ibu. “Apa sudah ada yang adan untuk bayimu?” timpal bapak. “Sudah, Pak. Tadi anaknya Bu Erna yang adan,” jawabku jujur. Bapak menganggukkan kepala lalu keluar ruangan. Mungkin dia mau berterima kasih sama Bu Erna.“Selamat ya, Re! Bayinya cantik kayak kamu,” ucap Bu Erna yang baru saja masuk.“Iya, Bu.” Aku melempar senyum pada perempuan paruh baya yang sudah mengorbankan waktunya untukku, “ Terima kasih ya ibu sudah menolongku,” “Kamu itu sudah ibu anggap sebagai anak sendiri, jadi sudah seharusnya aku ada di sini,” jawabnya. Ya. Bu Erna memang sangat baik padaku. Dia sudah seperti orang tua kedua bagiku. Saking sayangnya aku sering dikasih sesuatu sama mereka.“Alhamdulillah, saya senang dengarnya, Saya juga berterima kasih karena ibu sudah sangat baik sama Rere,
“Buka pintunya, Dek! Kita bicara baik-baik!” Mas Reyhan berteriak sambil terus menggedor-gedor pintu. Namun, aku abai. Apanya yang mau dibicarakan?“Ayolah, Dek! Jangan seperti anak kecil. Buka pintunya. Aku juga ingin bertemu anak kita.” Lagi. Suamiku kembali berteriak memohon. Ah! Masa bodoh! Hati ini sudah terlanjur kecewa. “Oek... oek... oek...” Rupanya teriakan Mas Reyhan telah mengganggu tidur Hanin. Gegas aku menyeka air mata lalu bangkit dan menyusui anakku. “Tidur yang lelap ya, Nak! Jangan pedulikan suara ayahmu,” bisikku. Meski telah kususui, tapi Hanin tetap saja menangis. Akhirnya aku menimangnya berharap meredakan tangisnya. Akan tetapi tangisnya tak kunjung mereda. Huh! Teriakan Mas Reyhan mengganggu saja!“Buka pintunya, Re! Biar ibu yang menimang. Siapa tahu mau diam.” Teriak ibu dari balik pintu. Entah sejak kapan dia datang. Jika ibu yang meminta rasanya aku sulit menolak. Toh, suara Mas Reyhan sudah tak terdengar lagi. Gegas aku memutar anak kunci lalu membuk
Aku duduk melangut di teras rumah. Merutuki hidup yang mulai terasa berat. Kemarin Mas Reyhan benar-benar pergi menemani Elin padahal yang aku inginkan dia tetap tinggal. Apa dia tak peka dengan perasaanku?Ah! Aku tak boleh secengeng ini. Untuk apa memikirkan orang yang tak peduli denganku. Lebih baik aku mulai menyelidiki semuanya. Aku beranjak ke dalam lalu segera kembali setelah mengambil ponsel. Membukanya, mencari kontak dengan nama ‘Angga’ kemudian menghubungi suami Elin. “Halo, Re! Tumben menelepon, ada apa?” tanya suara dari seberang sana. “Em... enggak, Mas. Ingin tanya kabar saja,” sahutku kaku. Selama ini kami tak cukup dekat. Bicara juga hanya seperlunya saja. Itu kulakukan demi menjaga perasaan Elin. Namun, Elin justru tak menjaga perasaan ini. “Oh... aku baik, Re. Kamu sendiri bagaimana? Apa sudah lahiran?” tanyanya kemudian. “Alhamdulillah, Mas. Baru hari kemarin,” jawabku. “Selamat ya, Re. Maaf belum sempat ke situ. Besok kalau enggak sibuk aku bakal jenguk kep
Seminggu setelah bersalin aku masih tetap tinggal di rumah ibu. Pun dengan Mas Reyhan. Sejak tinggal di sini suamiku tak pernah lagi keluar malam. Meskipun dia jarang membantuku mengurus Hanin, tapi setidaknya dia tak menemui Elin.Seperti biasa setiap pagi aku berjibaku di dapur. Membantu ibu memasak juga mencuci pakaian. Tak enak rasanya jika aku berpangku tangan sedangkan ibu kelelahan mengurus rumah. Saat sedang menyapu kamar aku mendengar suara motor berhenti di halaman rumah. Kutinggalkan pekerjaan ini karena penasaran siapa gerangan yang datang. Setelah membuka pintu, aku tersentak kaget saat mengetahui bahwa Elin yang datang. “Berani juga dia datang ke sini,” batinku. “Selamat ya, Re. Kamu sudah menjadi ibu,” ucap Elin berusaha memelukku, tapi aku menghindar. “Maaf! Reyhan enggak ada di rumah. Nanti malam saja datangnya,” sindirku. Elin memicingkan mata seperti bingung dengan ucapanku. “Aku ke sini mau ketemu kamu dan anakmu, Re. Bukan Reyhan,” jawab Elin.“Jangan bohong
Sudah hampir setengah bulan aku dan Mas Reyhan tinggal di rumah orang tuaku. Sebenarnya suamiku beberapa kali mengajakku pulang ke rumah, tapi aku selalu menolak dengan alasan biar ada yang menemani kalau di tinggal kerja. Meski sekarang Mas Reyhan tak pernah keluyuran, tapi hubungan kami tak kunjung menghangat. Dia lebih sering menghabiskan malam dengan bermain ponsel di teras ketimbang menemaniku atau Hanin. Jika dipikir-pikir hubungan ini sudah tak sehat. Pernikahan bukan hanya soal nafkah lahir ataupun batin, tapi juga ada hati yang harus dijaga. “Dek, nanti malam aku mau ke rumah Elin ya. Bapaknya lagi sakit. Tak enak kalau tak jenguk. Boleh kan?” ungkap Mas Reyhan sepulang kerja. Aku terkejut mendengar ucapan suamiku. Selama ini orang tua Elin sangat baik terhadapku. Tentu saja aku khawatir dengan keadaannya.“Sakit apa, Mas?” tanyaku balik.“Enggak tahu. Tadi Elin yang kabari, katanya sudah ada seminggu bapaknya tinggal di rumah Elin” jawab Mas Reyhan.“Kalau begitu aku iku
5 bulan kemudian.Pada akhirnya aku bisa bernafas lega karena pengadilan menyetujui perceraian kami meskipun harus melewati drama yang cukup melelahkan.Mas Reyhan bersikukuh tak mau berpisah. Itulah kenapa kasus perceraian ini tak kunjung selesai. Bahkan di pengadilan dia terus meminta perceraian ini dibatalkan. Selama proses persidangan, aku tinggal di rumah orang tuaku. Ini kulakukan agar ada yang menjaga Hanin saat pergi ke toko ataupun urusan yang berhubungan dengan perceraian. Di hari minggu sore ini aku memilih duduk di teras menikmati kesendirian ketimbang melakukan aktivitas lain. Sengaja aku tidak ke toko karena ingin melepas lelah setelah semua yang kulewati. Deru mesin mobil yang memasuki halaman berhasil memecah kesunyian yang tengah kubangun. Sesosok laki-laki yang selama ini mengganggu tidurku turun bersama Bu Erna, perempuan yang sudah seperti ibu bagiku. Benar. Dia memang Daffa. Sejak hari itu kami tak pernah lagi bertemu. Bahkan sekedar say hello melalui jejaring
POV Reyhan. Aku menatap nanar pada kertas di tanganku. Sedikit pun tak pernah terlintas dalam pikiran bahwa semua terbongkar dan akhirnya Rere akan menggugat cerai. Sebenarnya aku sudah berencana mengakhiri hubungan dengan Dera karena mulai merasakan cemburu melihat kedekatan Rere dan Daffa. Sayangnya semua harus terbongkar sebelum sempat aku mengakhiri. “Aku enggak nyangka kamu berubah menjadi monster yang kejam, Rey,” tutur Elin seusai perginya Rere dan Daffa. Aku mengalihkan pandangan pada sosok yang pernah mengisi hati ini. Entah sejak kapan getaran indah yang dulu kurasakan kini tak ada lagi. “Maafkan aku, Lin.” Aku membuang muka ke sembarang arah. “Bilang maaf itu gampang, Mas! Apa kamu menyadari secara tidak langsung kamu telah menjadikan aku seorang pelakor?” sela Dera yang berdiri tak jauh di samping Elin. Laksana pecundang, aku tertunduk tak berani menatap wajah mereka apalagi menyahut. “Kenapa diam! Ayo bicara, Mas!” bentak Dera. Hening. Hanya sesekali terdengar n
Butuh waktu lebih dari satu jam untuk sampai ke rumah ibu. Tadi aku sempat meminta Daffa memelankan laju motornya agar Hanin tak terlalu kena angin. Kedua orang tuaku menyambut di depan teras. Mereka menatapku dengan tatapan penuh selidik. Wajar. Aku belum menceritakan apa pun pada mereka. “Ada apa ini, Re. Kenapa kamu membawa barang-barangmu ke sini?” Baru saja turun dari motor, ibu langsung memberondongku dengan wajah cemas. Aku meraih tangan ibu dan mencium punggung tangannya lalu berganti pada bapak. Pun dengan Daffa. Dia melakukan hal yang sama. “Mas Reyhan selingkuh, Bu. Dia mau menikah lagi,” jawabku kemudian. Kontan saja bapak dan ibu kaget dengan ucapanku. “Astaghfirulloh...” Ibu menutup mulutnya dengan tangan. Raut kesedihan jelas terlihat di wajahnya, bahkan bulir bening mulai menggenang di sudut mata itu. Lain halnya dengan bapak. Dia tidak menangis. Wajahnya yang memerah, juga suara gemeletuk giginya terdengar jelas menandakan amarah tengah menguasai pikirannya.
“Tara.... ini dia kejutannya, Mas!” teriakku sedikit keras. “De... Dera...” ucap Mas Reyhan tergagap. Wajahnya memucat seolah darah tak lagi mengalir di sana.Aku tersenyum melihat Mas Reyhan yang tampak seperti ketakutan. “Iya, Mas! Ini aku Dera. Kok kamu kaget sih?” sahut Dera yang belum tahu kenyataan sebenarnya. Mas Reyhan kebingungan. Dia menatap aku dan Dera bergantian. “Kok malah bengong, Mas! Masa ketemu calon istri kok begitu. Enggak romantis!” Aku tersenyum mengejek melihat suamiku yang tengah panik. “Maksud kamu apa ya, Re? Kok bilang dia calon istrinya Reyhan?” tanya Elin. “Tanya saja sama Mas Reyhan.” Aku beranjak keluar lalu segera kembali setelah menitipkan Hanin pada Daffa. Tadi Daffa juga sudah mengambil motornya dan diparkir di halaman rumah. “Bagaimana Mas? Apa kamu sudah menjawab pertanyaan Elin?” tanyaku setelah duduk di sebelah Elin. Mas Reyhan tak menyahut. Dia hanya diam masih dalam posisi semula. “Sebenarnya kamu kenapa sih, Mas? Kok aneh begitu?” sel
Dua minggu sudah Daffa menjadi sopir pribadiku. Selama itu juga setiap hari kami bersama. Demi membuat Mas Reyhan cemburu, terkadang aku pulang sampai jam sembilan malam. Namun, kami tak melakukan apa-apa, hanya sekedar healing atau duduk-duduk di rumah kontrakkan sambil berbagi cerita. Benar! Mas Reyhan terpancing amarah. Dia sering mengajak ribut, tapi aku memilih bermain ponsel ketimbang menanggapinya. Wajar saja dia marah, selama dua minggu belakangan aku tak pernah mengurus keperluannya. Masak, mencuci atau membersihkan rumah tak pernah lagi kulakukan. Salah sendiri dia menganggapku telah mati. Hari ini aku berniat mengakhiri permainan ini. Rasanya sudah tak sabar ingin memberi kejutan untuk Mas Reyhan. Selain itu, terlalu sering bersama Daffa membuat hati merasa nyaman. Aku takut ini tak baik untuk kami. Makanya harus segera diakhiri. “Kayaknya ini hari terakhir kamu menjadi sopirku,” ujarku pada Daffa saat kami sedang santai di teras kontrakkan.“Loh, kenapa, Mbak?” tanya
Seperti biasa, pagi ini aku bangun jam setengah lima. Namun, kali ini tak beraktivitas di dapur melainkan langsung mandi dan berganti pakaian yang luwes. Rencananya hari ini aku akan ke toko lagi. Sejak hamil lima bulan aku memang memilih tinggal di rumah. Tadi malam saat Mas Reyhan terlelap aku sempat menghubungi Daffa. Dia bersedia menemaniku pagi ini. “Kok pagi-pagi sudah rapi, Dek?” Mas Reyhan yang baru bangun tidur menatap heran. “Iya, aku mau menengok toko,” jawabku sambil menyiapkan pakaian Hanin. Kok pagi banget?” tanyanya lagi. “Ya enggak apa-apa, Mas! Aku pergi dulu ya,” pamitku setelah membopong Hanin. Tanpa menunggu lama, aku beranjak keluar kamar. “Dek, apa pakaian kerjaku sudah disetrika?” tanyanya sebelum aku melangkah jauh. “Maaf, aku enggak sempat. Nanti setrika sendiri saja,” jawabku sambil terus melangkah. Baru saja sampai teras, Mas Reyhan mendahului lalu mencegatku. “Kamu apa-apaan sih. Bukannya menyiapkan pakaian suami malah main pergi saja!” teriak Mas
Samar-samar suara orang berbincang tertangkap indra pendengaran. Aku membuka mata perlahan, menoleh ke kanan kiri mencari sumber suara tersebut. Aku membuka pintu mobil, menatap pada Bu Erna dan anaknya sambil berusaha mengumpulkan kesadaran. “Kamu sudah bangun, Re.” Bu Erna tersenyum menatapku. Sebelum aku beranjak, dia lebih dulu menghampiriku. “Kita di mana, Bu?” tanyaku saat merasa di tempat asing dan langit terlihat mulai gelap. “Di parkiran. Tadi kan kamu minta dibelikan pampers untuk Hanin. Jadi sekalian Ibu beli baju buat dia. Ini Daffa yang milih tadi.” Bu Erna menunjukkan bungkusan belanjaan di tangannya. Aku menggeser tubuhku saat Bu Erna masuk dan memberikan bungkusan itu padaku. Entahlah. Aku tak tahu harus berkata apa. “Kita pulang sekarang, Daf!” perintah Bu Erna pada anaknya yang entah sejak kapan ada di depan kemudi. Tanpa menyahut, Daffa langsung melajukan mobilnya membelah jalanan yang mulai ramai gemerlap cahaya lampu. “Apa sakit kepalamu sudah mendingan?
“Maksud kamu....” aku menggantungkan kalimat berharap Daffa langsung mengerti. “Kalau Mbak mau selingkuh mending sama aku saja. Di jamin enggak akan kecewa,” ulangnya. Aku terkesiap juga ingin tertawa. Kok ada ya orang sekonyol Daffa. “Memangnya kamu enggak takut kehilangan keperjakaanmu? Atau malah sudah?” ejekku. “Hush... Aku 100% masih perjaka!” protesnya, “ Selingkuh itu enggak melulu hubungan badan. Sering jalan berdua atau sering berbalas perhatian juga bisa di kategorikan selingkuh,”Sejenak, aku memikirkan kalimat Daffa. Dia benar. Namun, apa harus selingkuh dengannya? “Jadi bagaimana?” tanyanya kemudian. “Bagaimana apanya?” sahutku pura-pura bodoh. “Ya itu tadi, katanya Mbak mau selingkuh,” kejarnya. Aku memejamkan mata erat, mencoba menimbang tawaran Daffa. Sebenarnya ini ide yang cukup menarik karena tak perlu memberikan tubuh pada lelaki yang bukan suamiku. Akan tetapi aku takut salah satu di antara kami akan terbawa suasana. “Baiklah, tapi dengan dua syarat.” Pa
Di perjalanan, Daffa memelankan laju mobil, mengambil beberapa lembar tisu dari dashboard lalu memberikan padaku tanpa mengucap sepatah kata pun.Aku sedikit kaget saat menyadari ternyata duduk di jok depan. Kepalang tanggung, kuambil tisu dari tangan Daffa lalu menyeka air mata. Sebisa mungkin menahan perih di hati. Rasanya canggung menangis di sebelah laki-laki yang bukan siapa-siapaku. “Kenapa mbak menangis?” Daffa memindai wajahku sejenak lalu kembali menatap pada jalanan. Aku diam. Ingin bercerita tapi segan. Pada akhirnya hanya mampu membuang pandangan ke samping, berusaha menyembunyikan perih. “Maaf,” ujarnya kemudian. Hening. Baik aku ataupun Daffa tak membuka suara. Jauh berbeda saat dengan suasana saat berangkat tadi. “Bagaimana perasaanmu saat orang yang kamu cintai ternyata tak pernah mencintaimu?” Setelah hati sedikit tenang, aku membuka obrolan. “Biasa saja. Selama ini perempuan yang kucintai juga tak mencintaiku,” jawabnya tanpa menoleh.“Tapi bagaimana jika keka