Aku mondar-mandir di dalam kamar, gelisah menunggu Mas Angga datang. Rasanya sudah tak sabar memergoki langsung kelakuan suami dan sahabatku. Hanin sudah kudandani, aku juga sudah berganti pakaian. Setidaknya pakaian yang luwes untuk bepergian.Waktu menunjukkan pukul delapan malam saat terdengar deru mesin berhenti di depan rumah. Gegas aku keluar karena yakin itu pasti Mas Angga yang datang. Benar saja. Saat sampai di depan, Mas Angga tampak terburu-buru keluar dari mobil lalu mendekat pada ibu yang lebih dulu ada di teras. “Assalamu alaikum,” ucap Mas Angga. “Waalaikum salam, Nak Angga kok sendirian. Elin mana?” Ibu menatap heran pada Mas Angga. “Iya, Bu... Habis dari kerjaan langsung mampir sini mau jemput Rere,” jawab Mas Angga. “Jemput ke mana?” cecar ibu penuh selidik. Mas Angga tampak kebingungan dengan pertanyaan ibu.“Anu, Bu... bapaknya Elin sakit. Jadi aku mau jenguk dia,” sambarku cepat. Mau tak mau aku berbohong pada ibu. Ah! Tidak. Yang bilang bapaknya Elin sakit
“Kamu dengar sendiri kan, Re? Aku tak mungkin menikam kamu. Dikhianati itu sangat sakit. Makanya aku enggak mau selingkuh apalagi dengan suami sahabatku sendiri.” Ucap Elin kemudian. Aku tertunduk tak menyahut. Rasanya sangat malu dengan kebodohanku.Sejenak hening menyelimuti kami. Pikiranku hanya dipenuhi oleh sesal karena sudah menuduh sahabat sendiri. “Maafkan aku, Lin.” Setelah memupuk keberanian, aku mendekat pada Elin lalu memeluk tubuhnya. “Iya, aku tahu posisimu. Jika aku jadi kamu, aku juga akan berbuat hal yang sama.” Elin mengelus punggungku menenangkan. Aku semakin merutuki kebodohanku yang gegabah. “Nanti kalau Reyhan datang, kita paksa dia buat berbicara. Biar semuanya jelas,” usul Mas Angga. Aku dan Elin mengangguk setuju. Mas Reyhan harus menjelaskan kenapa dia berkhianat dan mengkambing-hitamkan Elin. Suasana terasa sunyi. Sesekali Elin dan suaminya mengajakku mengobrol, tapi aku hanya menanggapi sekedar saja. Pikiranku lebih didominasi oleh kemarahan pada Mas
“Bagaimana keadaan bapaknya Elin, Re?” tanya ibu saat kami sampai rumah. Aku melirik sekilas pada Mas Reyhan yang terlihat gusar. “Enggak apa-apa, Bu! Sekarang sudah membaik,” jawabku kemudian. Mas Reyhan mengembuskan nafas lega saat aku menutupi kebohongannya. Bukan! Aku bukan perempuan bodoh yang takut kehilangan suami. Hanya saja aku tak ingin ibu tahu apa yang sedang terjadi padaku. Aku ingin menyelesaikan permasalahan ini sendiri. “Syukurlah... ya sudah sana kalian istirahat dulu, kasihan Hanin,” perintah ibu. Aku mengangguk setuju lalu segera masuk beriringan dengan Mas Reyhan. Sesampainya di kamar, gegas kubaringkan Hanin pada bok bayi. Aku tersenyum menatap anakku yang terlelap. Dialah yang mampu membuat tegar saat badai tengah menerpaku.“Terima kasih ya, Dek, kamu sudah menyembunyikan semua dari ibu,” ucap Mas Reyhan yang tengah duduk di dekat meja rias. “Iya, namanya juga suami, sudah kewajibanku harus menutupi aibnya,” jawabku berusaha tersenyum. Aku beranjak mendek
Aku mondar-mandir keluar masuk rumah dengan perasaan gelisah. Sesekali melirik jam di dinding yang sudah menunjukkan pukul delapan lebih. Belum sehari kembali ke rumah, Mas Reyhan sudah pulang telat. Apa jangan-jangan dia sedang berdua dengan perempuan yang diceritakan Bu Erna?Hati ini semakin gundah membayangkan semua itu. Antara marah dan sabar berebut menguasai perasaan, tapi pada akhirnya kemarahan yang muncul sebagai pemenang. Tak berselang lama akhirnya terdengar deru mesin mobil berhenti di halaman rumah. Setengah berlari aku menuju sumber suara tersebut. “Kok baru pulang, Mas! Dari mana saja?” cecarku setelah Mas Reyhan turun dari mobil. Mas Reyhan menatap sekilas padaku kemudian membuang pandangan. “Tadi mobilnya mogok di jalan,” jawabnya. “Kenapa enggak kasih kabar? Aku beberapa kali menghubungi juga ponselmu enggak aktif.” Aku memindai wajah suamiku. Sepertinya dia sedang tak jujur. “Ponselnya ngedrop,” jawab suamiku lalu beranjak masuk tanpa memedulikan aku yang masi
Waktu terasa lambat berjalan. Aku sudah tak sabar ingin segera bertemu Elin untuk mencecarnya. Semoga tak ada yang dia sembunyikan dariku. “Re...” Aku bersemangat saat mendengar suara Bu Erna memanggilku. “Iya, Bu,” sahutku lalu bergegas keluar menemuinya. “Kamu sudah siap kan?” tanya Bu Erna yang berdiri berjajar dengan anaknya. “Iya.” Aku menatap Daffa yang tampak sudah rapi. Berusaha mencari tahu apakah dia keberatan atau tidak. Dari senyum yang tergambar, dia sama sekali tak keberatan. “Hanin mana?” tanya Bu Erna kemudian. “Lagi tidur, Bu,” jawabku. “Ya sudah, sana kalian berangkat. Biar ibu yang jaga Hanin,” perintah Bu Erna. “Yuk, Mbak!” ajak Daffa lalu berjalan menuju mobil yang terparkir di halaman rumahnya. “Terima kasih banyak ya, Bu.” Aku beranjak mengekori Daffa. Sebenarnya aku tak enak hati pergi dengan laki-laki yang bukan suami atau saudara. Namun, semua terpaksa. “ Hati-hati di jalan,” teriak Bu Erna. “Iya,” jawabku semakin mempercepat langkah karena mendeng
Di perjalanan, Daffa memelankan laju mobil, mengambil beberapa lembar tisu dari dashboard lalu memberikan padaku tanpa mengucap sepatah kata pun.Aku sedikit kaget saat menyadari ternyata duduk di jok depan. Kepalang tanggung, kuambil tisu dari tangan Daffa lalu menyeka air mata. Sebisa mungkin menahan perih di hati. Rasanya canggung menangis di sebelah laki-laki yang bukan siapa-siapaku. “Kenapa mbak menangis?” Daffa memindai wajahku sejenak lalu kembali menatap pada jalanan. Aku diam. Ingin bercerita tapi segan. Pada akhirnya hanya mampu membuang pandangan ke samping, berusaha menyembunyikan perih. “Maaf,” ujarnya kemudian. Hening. Baik aku ataupun Daffa tak membuka suara. Jauh berbeda saat dengan suasana saat berangkat tadi. “Bagaimana perasaanmu saat orang yang kamu cintai ternyata tak pernah mencintaimu?” Setelah hati sedikit tenang, aku membuka obrolan. “Biasa saja. Selama ini perempuan yang kucintai juga tak mencintaiku,” jawabnya tanpa menoleh.“Tapi bagaimana jika keka
“Maksud kamu....” aku menggantungkan kalimat berharap Daffa langsung mengerti. “Kalau Mbak mau selingkuh mending sama aku saja. Di jamin enggak akan kecewa,” ulangnya. Aku terkesiap juga ingin tertawa. Kok ada ya orang sekonyol Daffa. “Memangnya kamu enggak takut kehilangan keperjakaanmu? Atau malah sudah?” ejekku. “Hush... Aku 100% masih perjaka!” protesnya, “ Selingkuh itu enggak melulu hubungan badan. Sering jalan berdua atau sering berbalas perhatian juga bisa di kategorikan selingkuh,”Sejenak, aku memikirkan kalimat Daffa. Dia benar. Namun, apa harus selingkuh dengannya? “Jadi bagaimana?” tanyanya kemudian. “Bagaimana apanya?” sahutku pura-pura bodoh. “Ya itu tadi, katanya Mbak mau selingkuh,” kejarnya. Aku memejamkan mata erat, mencoba menimbang tawaran Daffa. Sebenarnya ini ide yang cukup menarik karena tak perlu memberikan tubuh pada lelaki yang bukan suamiku. Akan tetapi aku takut salah satu di antara kami akan terbawa suasana. “Baiklah, tapi dengan dua syarat.” Pa
Samar-samar suara orang berbincang tertangkap indra pendengaran. Aku membuka mata perlahan, menoleh ke kanan kiri mencari sumber suara tersebut. Aku membuka pintu mobil, menatap pada Bu Erna dan anaknya sambil berusaha mengumpulkan kesadaran. “Kamu sudah bangun, Re.” Bu Erna tersenyum menatapku. Sebelum aku beranjak, dia lebih dulu menghampiriku. “Kita di mana, Bu?” tanyaku saat merasa di tempat asing dan langit terlihat mulai gelap. “Di parkiran. Tadi kan kamu minta dibelikan pampers untuk Hanin. Jadi sekalian Ibu beli baju buat dia. Ini Daffa yang milih tadi.” Bu Erna menunjukkan bungkusan belanjaan di tangannya. Aku menggeser tubuhku saat Bu Erna masuk dan memberikan bungkusan itu padaku. Entahlah. Aku tak tahu harus berkata apa. “Kita pulang sekarang, Daf!” perintah Bu Erna pada anaknya yang entah sejak kapan ada di depan kemudi. Tanpa menyahut, Daffa langsung melajukan mobilnya membelah jalanan yang mulai ramai gemerlap cahaya lampu. “Apa sakit kepalamu sudah mendingan?
5 bulan kemudian.Pada akhirnya aku bisa bernafas lega karena pengadilan menyetujui perceraian kami meskipun harus melewati drama yang cukup melelahkan.Mas Reyhan bersikukuh tak mau berpisah. Itulah kenapa kasus perceraian ini tak kunjung selesai. Bahkan di pengadilan dia terus meminta perceraian ini dibatalkan. Selama proses persidangan, aku tinggal di rumah orang tuaku. Ini kulakukan agar ada yang menjaga Hanin saat pergi ke toko ataupun urusan yang berhubungan dengan perceraian. Di hari minggu sore ini aku memilih duduk di teras menikmati kesendirian ketimbang melakukan aktivitas lain. Sengaja aku tidak ke toko karena ingin melepas lelah setelah semua yang kulewati. Deru mesin mobil yang memasuki halaman berhasil memecah kesunyian yang tengah kubangun. Sesosok laki-laki yang selama ini mengganggu tidurku turun bersama Bu Erna, perempuan yang sudah seperti ibu bagiku. Benar. Dia memang Daffa. Sejak hari itu kami tak pernah lagi bertemu. Bahkan sekedar say hello melalui jejaring
POV Reyhan. Aku menatap nanar pada kertas di tanganku. Sedikit pun tak pernah terlintas dalam pikiran bahwa semua terbongkar dan akhirnya Rere akan menggugat cerai. Sebenarnya aku sudah berencana mengakhiri hubungan dengan Dera karena mulai merasakan cemburu melihat kedekatan Rere dan Daffa. Sayangnya semua harus terbongkar sebelum sempat aku mengakhiri. “Aku enggak nyangka kamu berubah menjadi monster yang kejam, Rey,” tutur Elin seusai perginya Rere dan Daffa. Aku mengalihkan pandangan pada sosok yang pernah mengisi hati ini. Entah sejak kapan getaran indah yang dulu kurasakan kini tak ada lagi. “Maafkan aku, Lin.” Aku membuang muka ke sembarang arah. “Bilang maaf itu gampang, Mas! Apa kamu menyadari secara tidak langsung kamu telah menjadikan aku seorang pelakor?” sela Dera yang berdiri tak jauh di samping Elin. Laksana pecundang, aku tertunduk tak berani menatap wajah mereka apalagi menyahut. “Kenapa diam! Ayo bicara, Mas!” bentak Dera. Hening. Hanya sesekali terdengar n
Butuh waktu lebih dari satu jam untuk sampai ke rumah ibu. Tadi aku sempat meminta Daffa memelankan laju motornya agar Hanin tak terlalu kena angin. Kedua orang tuaku menyambut di depan teras. Mereka menatapku dengan tatapan penuh selidik. Wajar. Aku belum menceritakan apa pun pada mereka. “Ada apa ini, Re. Kenapa kamu membawa barang-barangmu ke sini?” Baru saja turun dari motor, ibu langsung memberondongku dengan wajah cemas. Aku meraih tangan ibu dan mencium punggung tangannya lalu berganti pada bapak. Pun dengan Daffa. Dia melakukan hal yang sama. “Mas Reyhan selingkuh, Bu. Dia mau menikah lagi,” jawabku kemudian. Kontan saja bapak dan ibu kaget dengan ucapanku. “Astaghfirulloh...” Ibu menutup mulutnya dengan tangan. Raut kesedihan jelas terlihat di wajahnya, bahkan bulir bening mulai menggenang di sudut mata itu. Lain halnya dengan bapak. Dia tidak menangis. Wajahnya yang memerah, juga suara gemeletuk giginya terdengar jelas menandakan amarah tengah menguasai pikirannya.
“Tara.... ini dia kejutannya, Mas!” teriakku sedikit keras. “De... Dera...” ucap Mas Reyhan tergagap. Wajahnya memucat seolah darah tak lagi mengalir di sana.Aku tersenyum melihat Mas Reyhan yang tampak seperti ketakutan. “Iya, Mas! Ini aku Dera. Kok kamu kaget sih?” sahut Dera yang belum tahu kenyataan sebenarnya. Mas Reyhan kebingungan. Dia menatap aku dan Dera bergantian. “Kok malah bengong, Mas! Masa ketemu calon istri kok begitu. Enggak romantis!” Aku tersenyum mengejek melihat suamiku yang tengah panik. “Maksud kamu apa ya, Re? Kok bilang dia calon istrinya Reyhan?” tanya Elin. “Tanya saja sama Mas Reyhan.” Aku beranjak keluar lalu segera kembali setelah menitipkan Hanin pada Daffa. Tadi Daffa juga sudah mengambil motornya dan diparkir di halaman rumah. “Bagaimana Mas? Apa kamu sudah menjawab pertanyaan Elin?” tanyaku setelah duduk di sebelah Elin. Mas Reyhan tak menyahut. Dia hanya diam masih dalam posisi semula. “Sebenarnya kamu kenapa sih, Mas? Kok aneh begitu?” sel
Dua minggu sudah Daffa menjadi sopir pribadiku. Selama itu juga setiap hari kami bersama. Demi membuat Mas Reyhan cemburu, terkadang aku pulang sampai jam sembilan malam. Namun, kami tak melakukan apa-apa, hanya sekedar healing atau duduk-duduk di rumah kontrakkan sambil berbagi cerita. Benar! Mas Reyhan terpancing amarah. Dia sering mengajak ribut, tapi aku memilih bermain ponsel ketimbang menanggapinya. Wajar saja dia marah, selama dua minggu belakangan aku tak pernah mengurus keperluannya. Masak, mencuci atau membersihkan rumah tak pernah lagi kulakukan. Salah sendiri dia menganggapku telah mati. Hari ini aku berniat mengakhiri permainan ini. Rasanya sudah tak sabar ingin memberi kejutan untuk Mas Reyhan. Selain itu, terlalu sering bersama Daffa membuat hati merasa nyaman. Aku takut ini tak baik untuk kami. Makanya harus segera diakhiri. “Kayaknya ini hari terakhir kamu menjadi sopirku,” ujarku pada Daffa saat kami sedang santai di teras kontrakkan.“Loh, kenapa, Mbak?” tanya
Seperti biasa, pagi ini aku bangun jam setengah lima. Namun, kali ini tak beraktivitas di dapur melainkan langsung mandi dan berganti pakaian yang luwes. Rencananya hari ini aku akan ke toko lagi. Sejak hamil lima bulan aku memang memilih tinggal di rumah. Tadi malam saat Mas Reyhan terlelap aku sempat menghubungi Daffa. Dia bersedia menemaniku pagi ini. “Kok pagi-pagi sudah rapi, Dek?” Mas Reyhan yang baru bangun tidur menatap heran. “Iya, aku mau menengok toko,” jawabku sambil menyiapkan pakaian Hanin. Kok pagi banget?” tanyanya lagi. “Ya enggak apa-apa, Mas! Aku pergi dulu ya,” pamitku setelah membopong Hanin. Tanpa menunggu lama, aku beranjak keluar kamar. “Dek, apa pakaian kerjaku sudah disetrika?” tanyanya sebelum aku melangkah jauh. “Maaf, aku enggak sempat. Nanti setrika sendiri saja,” jawabku sambil terus melangkah. Baru saja sampai teras, Mas Reyhan mendahului lalu mencegatku. “Kamu apa-apaan sih. Bukannya menyiapkan pakaian suami malah main pergi saja!” teriak Mas
Samar-samar suara orang berbincang tertangkap indra pendengaran. Aku membuka mata perlahan, menoleh ke kanan kiri mencari sumber suara tersebut. Aku membuka pintu mobil, menatap pada Bu Erna dan anaknya sambil berusaha mengumpulkan kesadaran. “Kamu sudah bangun, Re.” Bu Erna tersenyum menatapku. Sebelum aku beranjak, dia lebih dulu menghampiriku. “Kita di mana, Bu?” tanyaku saat merasa di tempat asing dan langit terlihat mulai gelap. “Di parkiran. Tadi kan kamu minta dibelikan pampers untuk Hanin. Jadi sekalian Ibu beli baju buat dia. Ini Daffa yang milih tadi.” Bu Erna menunjukkan bungkusan belanjaan di tangannya. Aku menggeser tubuhku saat Bu Erna masuk dan memberikan bungkusan itu padaku. Entahlah. Aku tak tahu harus berkata apa. “Kita pulang sekarang, Daf!” perintah Bu Erna pada anaknya yang entah sejak kapan ada di depan kemudi. Tanpa menyahut, Daffa langsung melajukan mobilnya membelah jalanan yang mulai ramai gemerlap cahaya lampu. “Apa sakit kepalamu sudah mendingan?
“Maksud kamu....” aku menggantungkan kalimat berharap Daffa langsung mengerti. “Kalau Mbak mau selingkuh mending sama aku saja. Di jamin enggak akan kecewa,” ulangnya. Aku terkesiap juga ingin tertawa. Kok ada ya orang sekonyol Daffa. “Memangnya kamu enggak takut kehilangan keperjakaanmu? Atau malah sudah?” ejekku. “Hush... Aku 100% masih perjaka!” protesnya, “ Selingkuh itu enggak melulu hubungan badan. Sering jalan berdua atau sering berbalas perhatian juga bisa di kategorikan selingkuh,”Sejenak, aku memikirkan kalimat Daffa. Dia benar. Namun, apa harus selingkuh dengannya? “Jadi bagaimana?” tanyanya kemudian. “Bagaimana apanya?” sahutku pura-pura bodoh. “Ya itu tadi, katanya Mbak mau selingkuh,” kejarnya. Aku memejamkan mata erat, mencoba menimbang tawaran Daffa. Sebenarnya ini ide yang cukup menarik karena tak perlu memberikan tubuh pada lelaki yang bukan suamiku. Akan tetapi aku takut salah satu di antara kami akan terbawa suasana. “Baiklah, tapi dengan dua syarat.” Pa
Di perjalanan, Daffa memelankan laju mobil, mengambil beberapa lembar tisu dari dashboard lalu memberikan padaku tanpa mengucap sepatah kata pun.Aku sedikit kaget saat menyadari ternyata duduk di jok depan. Kepalang tanggung, kuambil tisu dari tangan Daffa lalu menyeka air mata. Sebisa mungkin menahan perih di hati. Rasanya canggung menangis di sebelah laki-laki yang bukan siapa-siapaku. “Kenapa mbak menangis?” Daffa memindai wajahku sejenak lalu kembali menatap pada jalanan. Aku diam. Ingin bercerita tapi segan. Pada akhirnya hanya mampu membuang pandangan ke samping, berusaha menyembunyikan perih. “Maaf,” ujarnya kemudian. Hening. Baik aku ataupun Daffa tak membuka suara. Jauh berbeda saat dengan suasana saat berangkat tadi. “Bagaimana perasaanmu saat orang yang kamu cintai ternyata tak pernah mencintaimu?” Setelah hati sedikit tenang, aku membuka obrolan. “Biasa saja. Selama ini perempuan yang kucintai juga tak mencintaiku,” jawabnya tanpa menoleh.“Tapi bagaimana jika keka