Saat dari hari ke hari Keanu nampak semakin akrab dengan Mas Galih, aku masih tetap sama. Pria itu seperti menganggapku tak ada. Bahkan saat aku harus menungguinya makan setiap kali dia makan minta ditemani Keanu hari-hari berikutnya, menawariku pun tidak.Namun ada satu hal yang membuatku sedikit bangga dengan kemajuan tugasku. Dan itu karena beberapa hari ini Mas Galih sudah mulai banyak beraktifitas di luar kamarnya.Terkadang dia berada di halaman bermain bersama Keanu, atau mengajaknya mandi bersama di kolam renang pekarangan belakang. Terkadang juga hanya menonton acara kartun di ruang santai.Seperti hari ini, dia tiba tiba muncul di dapur dan menyuruhku membawa Keanu ke depan."Kemana, Mas?" tanyaku sambil mengikuti langkah panjangnya menuju keluar rumah. Lalu kemudian dia berbelok ke garasi menuju sebuah mobil warna hitam yang terparkir di salah
"Apa sudah Kamu pikirkan matang-matang, Lih?" tanya Pak Farhan pada Mas Galih.Sore itu Mas Galih memintaku pulang sedikit terlambat karena katanya dia ingin membicarakan sesuatu yang penting denganku dan keluarganya.Di ruang keluarga saat ini telah duduk Pak Farhan dan Mas Tirta berhadapan denganku dan Mas Galih. Beberapa saat yang lalu Mas Galih sudah mengutarakan maksudnya untuk menikahiku karena hari ini tadi aku sudah memberikan jawaban padanya bahwa aku bersedia menikah dengannya."Sudah, dan dia juga sudah memikirkannya selama beberapa hari kemarin." Mas Galih menunjukku dengan dagunya.Dia? Kenapa masih saja dia dingin seperti itu padahal sebentar lagi dia akan menikahiku? Bahkan dia menyebutku 'Dia' bukannya namaku saja 'Raya'. Benar-benar lelaki yang aneh."Papa senang Kamu mengatakan ini, Lih. Tapi Papa akan lebih
"Bersiaplah, Kamu akan ikut aku ke kantor hari ini."Mas Galih tiba-tiba sudah ada di belakangku saat aku sedang membuatkannya kopi di dapur. Aku kaget dan seketika menoleh ke arahnya."Ada acara apa, Mas?" tanyaku keheranan."Nanti Kamu juga akan tau," katanya. Kemudian dia pun segera berlalu pergi meninggalkanku. Mbok Yem yang mendengar obrolan singkat kami di dapur itu menatapku dengan mata tuanya yang lembut. Orang tua ini memang yang paling mengerti aku di rumah ini. Dialah yang sering menasehatiku tentang hidup berumah tangga sejak seminggu terakhir, membuatku sangat nyaman seperti berada di rumah orang tuaku."Biar Mbok yang siapkan kopinya. Mbak Raya segera siap-siap saja," ucap orang tua itu. Dan aku pun menurut.Hari ini tepat seminggu aku resmi menjadi Nyonya Galih Rengga Atmaja. Dan sayangnya, di hari ke tujuh ini pun ternyata
Wajah pucat dua manusia itu nampak saling berpandangan di depan toilet lantai 5 gedung kantornya."Apa tadi itu benar Raya?" Arman bertanya seperti bergumam pada diri sendiri."Iya, memang itu mantan istri Kamu. Aku kan sudah pernah bilang waktu itu. Aku pernah bertemu dengannya di mall bersama Pak Galih. Tapi Kamu nggak percaya, Man," kata Anggi mengingatkan."Ya nggak mungkin percaya lah, Raya nggak mungkin kenal sama Pak Galih. Pak Galih itu kan anaknya pemilik perusahaan ini, Gi.""Tapi gimana kenyataannya? Dia disini kan sekarang? Kalau bukan karena Pak Galih yang bawa dia kesini, siapa lagi?""Raya simpanannya Pak Galih. Pasti itu," kata Arman bersungut."Simpanan? Simpanan apa, Man? Pak Galih itu sudah cerai lama. Dia nggak punya istri. Mantan istrimu itu calon istrinya dia? Ngerti nggak sih
Sepanjang perjalanan pulang, aku terus saja bertanya-tanya dalam hati, bagaimana mungkin Mas Galih seperti bisa tahu segala hal tentang masa laluku? Sampai dengan detail dia bisa melakukan apapun pada siapa yang telah menyakitiku. Apakah Mas Gilang yang memberitahukan semua padanya?"Mas." Aku mencoba untuk mengajaknya bicara saat kami sudah sampai di rumah. Aku sengaja mengikutinya masuk ke kamar tanpa peduli apakah dia suka atau tidak. Karena biasanya dia akan selalu menghindari untuk berada di dalam kamar berdua denganku kecuali saat malam tiba. Mendengar panggilanku dia nampak menghentikan langkah, dan berbalik badan. Dari raut mukanya, sepertinya dia kaget aku sudah berada di belakangnya."Ada apa?" katanya memicingkan mata ke arahku."Boleh aku tanya sesuatu?" pintaku dengan hati-hati."Tentang apa?""Mas Galih tau
Seperti biasa, lelaki gagah dengan garis wajah tegas dan berwibawa yang mewarisi rupa sang ayah itu sibuk di ruang kerjanya malam ini. Tak beda dengan malam-malam sebelumnya, sejak menyandang lagi status sebagai seorang suami, Galih Rengga Atmaja lebih banyak menghabiskan waktunya di ruang kerja saat malam tiba. Dia akan memperkirakan saat istrinya sudah terlelap tidur, baru kemudian dia akan membaringkan diri di ranjang mereka yang besar dan nyaman itu.Hanya itu saja yang dia lakukan selama semingguan lebih ini. Memandangi sejenak wajah istrinya yang sudah terlelap dari sisi tempat tidur sebelum akhirnya dia pun terbang ke alam mimpi.Sebagai lelaki, tentu saja Galih sangat ingin menyentuhnya. Naluri kelelakiannya tak bisa memungkiri bahwa lelaki itu begitu menginginkan kehangatan bersama seorang wanita saat malam tiba. Namun, sifat egonya yang tinggi dan trauma mendalam mengalahkan itu semua. Galih adalah lel
"Mau kemana, Raya?"Kudengar suara Papa Farhan dari arah serambi saat aku sedang melangkah tergesa melewati ruang tengah. Saat aku menoleh, kulihat papa mertuaku itu sedang berbincang dengan Mas Gilang di kursi serambi. Lalu kusempatkan diri untuk menghampiri mereka sebentar."Kok buru-buru mau kemana?" tanya orang tua itu lagi saat aku sampai di tempat mereka."Ini Pa, mau ke kantor," ucapku sambil menunjukkan lunch bag yang sedang kutenteng."Apa itu?" Lelaki tua itu membulatkan mata ke arahku."Makan siang buat Mas Galih, Pa," kataku malu-malu. Terdengar Papa Farhan terkekeh, sementara Mas Gilang menutupi mulut menyembunyikan senyumannya."Kenapa? Apa tidak boleh mengantarkan makanan ke kantor ya, Pa?" tanyaku keheranan. Melihatku kebingungan papa pun menghentikan tawanya. 
"Kenapa Kamu? Bosan?" Mas Galih menatapku jengah dari kursi kerjanya. Mungkin dia risih melihatku dari tadi menggeser-geser dudukku di sofa dengan tak beraturan.Saat aku balik menatapnya dan menggeleng, dia pun segera kembali ke pekerjaannya menekuri laptop di depannya. Aku yang bingung harus melakukan apa dari tadi memang hanya duduk bersandar men-scroll layar ponselku naik turun nggak jelas dari tadi. Mungkin raut kebosanan terlihat sangat jelas di wajahku hingga membuatnya terganggu."Tidur saja kalau ngantuk. Nanti aku bangunkan kalau aku sudah selesai," katanya.Kenapa orang ini tiba-tiba jadi ribet begini? Harusnya tadi dia biarkan saja aku pulang bersama Mas Gilang. Jadi dia bisa fokus bekerja dan aku bisa tenang menunggunya di rumah. Kalau seperti ini kan justru jadi tidak nyaman buat kami berdua?"Tidur?" Keningku berkerut memandang sekeliling.