Lima tahun yang laluLangit sore mewarnai jendela kaca patri perpustakaan Keluarga Wisteria dengan semburat keemasan. Cahaya senja membias lembut di antara rak-rak buku tinggi, menemani aroma kayu mahoni dan kertas tua. Lady Viscaria menuangkan teh chamomile ke dalam cangkir porselen halus, gerakannya anggun dan penuh kebiasaan.Di seberangnya, Alphonse muda duduk dengan satu kaki terlipat di kursi malas, dagunya bertumpu di telapak tangan. Kebiasaan yang kerap membuat ibunya menghela napas. Usianya baru tujuh belas, tapi matanya tajam, sarat rasa ingin tahu. Sore itu, pikirannya terusik oleh satu pertanyaan.“Mère,” ujarnya pelan, “dari semua kasus yang pernah mère tangani, mana yang paling sulit?”Lady Viscaria mengangkat cangkirnya dengan anggun, meniup pelan sebelum menyeruput teh. Senyum samar menghiasi wajahnya. “Sulit?” ulangnya, seolah mengecap kata itu di lidahnya. “Ada cukup banyak kasus yang menuntut ketelitian dan fokus tinggi… tapi jika harus memilih, ada satu yang cukup
Jumat, 22 Maret 2024/04:47 PagiAlphonse terbangun dengan napas tertahan. Matanya masih terbuka setengah, dibiarkan menyesuaikan diri dengan cahaya temaram yang menyelinap melalui celah tirai kamar hotel eksklusif ini. Sisa-sisa mimpi masih menggantung di benaknya—suara Lady Viscaria yang berbisik dalam kesadarannya, kata-katanya yang tajam namun mengandung pelajaran."Kebenaran tidak selalu seperti yang tampak di permukaan."Alphonse menghela napas pelan, menekan jari-jari ke pelipisnya sebelum merenggangkan tubuh yang sempat tenggelam dalam empuknya sofa. Pandangannya menyapu ruangan, memastikan di mana dia berada.Kamar itu luas, dengan perabotan mewah yang tersusun rapi. Dindingnya dihiasi panel kayu gelap yang berkilau di bawah pencahayaan lampu gantung kristal yang temaram. Sebuah meja kaca dengan kaki ukiran perak berdiri di tengah ruangan, di atasnya terdapat nampan dengan sisa minuman dari semalam. Beberapa kursi kulit ditempatkan mengelilinginya, dan di sudut ruangan, ada le
Detektif Otero menghela napas perlahan. Di ruangan yang diterangi cahaya lampu temaram, suara detik jam di dinding terdengar lebih jelas dari sebelumnya. "Hasil tes tambahan dari Dr. Donovan sudah keluar," katanya pada akhirnya, suaranya sedikit lebih berat dari sebelumnya.Alphonse, yang sejak tadi terlihat santai, mengangkat kepalanya dengan ekspresi yang lebih tajam. Bayangan lampu menggambar garis tegas di wajahnya. Detektif Otero tidak membuang waktu—dia mengeluarkan buku catatannya dan mulai membacakan temuan tersebut dengan nada hati-hati.“Serangkaian tes tambahan pada sampel darah korban menunjukkan adanya tetradotoksin di dalam tubuhnya.”Mata Alphonse sedikit berkedut, refleksi dari keterkejutan yang segera berubah menjadi sesuatu yang lebih dingin. Bibirnya melengkung tipis, tapi tidak ada tanda-tanda humor di dalamnya."Ini bukan sekadar pembunuhan." Dia memiringkan kepalanya sedikit, menatap Detektif Otero dengan tatapan yang sulit diartikan. "Ini penghinaan," komentarny
“Martinez,” kata Detektif Otero, suaranya tegas tapi tanpa nada mendesak. Dia menyerahkan kembali berkas dan amplop coklat pada Officer Martinez. “Untuk saat ini, prioritaskan Eleanor Voss. Lihat apakah ada pergerakan mencurigakan dalam jaringan profesionalnya—siapa yang masih terhubung dengannya, siapa yang mungkin bisa kita manfaatkan.”Petugas polisi itu mengangguk cepat. “Dimengerti.”Tanpa banyak kata, dia bergegas keluar, membiarkan keheningan kembali menguasai ruangan.Detektif Otero membiarkan kepalanya bersandar, menghembuskan napas panjang. “Aku tidak suka ini.”Alphonse akhirnya mengalihkan tatapannya dari langit-langit. “Bagian mana?”“Semua.” Otero meluruskan duduknya. “Terlebih soal Eleanor Voss. Bagaimana kita bisa memastikan dia memang bagian dari ini?”Sebuah senyum samar terulas di wajah Alphonse. “Kita nggak perlu memastikan sekarang. Kita hanya perlu melihat bagaimana dia bergerak ketika dia tahu kita sedang mengawasinya.”“Semua orang punya kebiasaan, kawan,” tamb
Jumat, 22 Maret 2024/05:18 PagiAlphonse bangkit dari duduknya dan berjalan menuju jendela. Tangannya terselip di saku celana, matanya menatap lurus ke jalanan di bawah, tapi pikirannya bergerak liar, merangkai kemungkinan demi kemungkinan.“Apakah nama Rhaetozia mengingatkanmu pada sesuatu?” tanya Alphonse dengan suara rendah namun tajam.Detektif Otero mengerutkan kening. Sekilas keterkejutan melintas di wajahnya sebelum dia bersandar ke kursinya. "Media terus memberitakan apa yang terjadi di sana," ujarnya, nadanya setengah hati. Lalu, setelah jeda singkat, dia menambahkan dengan curiga. "Jangan bilang kau menghubungkan kasus ini dengan keadaan politik di sana?"Alphonse tidak langsung menjawab. Matanya tetap kosong, pikirannya berada di tempat lain. "Tentu tidak," katanya akhirnya.Tapi Detektif Otero tidak melewatkan bayangan halus yang melintas di wajah rekannya. Sebuah kilasan singkat yang cukup untuk menyalakan kecurigaannya. Dia tahu Alphonse terlalu cerdas untuk mengajukan p
Ketukan tiga kali, tegas namun tidak terburu-buru.Alphonse menghela napas sebelum membuka pintu. Daniel Richards berdiri di ambang, ekspresinya netral, tapi matanya memindai ruangan sekilas sebelum kembali menatapnya."Bagaimana kondisi kalian?" tanyanya, suaranya terdengar terlalu ringan untuk pertanyaan yang begitu spesifik.Alphonse mengangkat dagu sedikit, menyisakan jeda sejenak sebelum menjawab. "Masuk dulu."Daniel melangkah masuk, melewati Alphonse yang menutup pintu dengan tenang, tapi memastikan kunci berputar sepenuhnya sebelum melepaskannya. Detektif Otero masih duduk di sofanya, satu kaki disilangkan di atas yang lain. Tatapannya naik sedikit saat Daniel mendekat."Kalian baik-baik saja?" ulang Daniel, lebih pelan, seakan benar-benar ingin mendengar jawabannya kali ini."Kami masih di sini. Tidak semua orang seberuntung itu." Alphonse berbalik, nada suaranya datar tapi mengandung sesuatu yang sulit dijelaskan.Daniel tersenyum kecil, seperti menghargai jawaban itu. "Saya
Fajar merekah di langit Jumat, 22 Maret, melukis Royal Mirage Palace dengan semburat emas yang memantul di jendela-jendela tinggi dan pilar-pilar megahnya. Cahaya pagi menari di permukaan air mancur taman, menciptakan kilauan seperti permata. Namun, di dalam hotel, kedamaian itu telah terkoyak. Desas-desus panik berputar cepat, menyusup ke lorong-lorong seperti bisikan badai yang tidak terhindarkan.Berita buruk menyebar cepat, merembes ke setiap sudut hotel. Para tamu yang terbangun lebih awal berbisik di lorong-lorong, masih mengenakan night robe mewah, ponsel menempel di telinga. Biasanya sunyi, koridor kini dipenuhi gumaman gelisah dan langkah tergesa-gesa."Kau sudah dengar?" suara serak seorang pria terdengar lirih di antara percakapan yang bergemuruh."Katanya polisi ada di salah satu suite," jawab seorang wanita dengan nada berbisik, matanya sesekali melirik ke arah koridor yang semakin ramai.Di lantai bawah, lobi hotel yang biasanya memancarkan keanggunan kini terasa sesak o
Kamis, 21 Maret 2024/09:37 MalamNARASI MARILYNAku tahu seseorang mengawasiku.Aku nggak bisa menjelaskan gimana, tapi perasaan itu ada sejak beberapa minggu terakhir. Seperti bayangan yang selalu mengikuti, atau sepasang mata yang nggak terlihat, mengintai dari sudut-sudut gelap. Aku mencoba mengabaikannya, meyakinkan diri bahwa itu hanya paranoia yang muncul akibat situasi yang semakin nggak terkendali.Tapi malam ini... malam ini berbeda. Kegelisahan itu mencekik, memenuhi setiap inci udara di dalam kamar hotelku yang seharusnya menjadi tempat perlindungan. Dinding-dinding yang biasanya memberi rasa aman kini terasa menekan dari segala arah. Setiap bayangan yang tercipta dari cahaya lampu terlihat membentuk siluet yang nggak seharusnya ada.Tanganku mengepal tanpa kusadari. Jemariku terasa dingin. Aku ingin meyakinkan diriku bahwa ini semua hanya ada di kepalaku. Bahwa aku hanya kelelahan. Tapi suara samar dari luar pintu, desir langkah dan ketukan di pintu yang nyaris nggak terde
Jumat, 22 Maret 2024/07:11 MalamLangit malam menggulung pelan seperti menyimpan sesuatu yang belum sempat jatuh. Udara di dermaga berbau asin, bercampur kabut tipis yang menyelimuti laut gelap sejauh mata memandang. Suara ombak menghantam lambung kapal kayu tua yang bergoyang perlahan. Lampu-lampu pelabuhan berkedip lemah, menciptakan bayangan panjang di antara peti-peti kayu dan tali tambat yang berserakan.Mereka berdiri diam dalam lingkaran kecil, masing-masing dibalut perban dan luka yang belum sempat sembuh benar. Uehara bersandar pada tongkat jalannya, sementara Jesse menahan napas setiap kali bergerak. Valerie memeluk dirinya sendiri, sesekali menatap langit seolah berharap bintang-bintang bisa memberi petunjuk. Alphonse menjadi satu-satunya sosok yang berdiri tegak meski bajunya masih ternoda darah kering. “Aku sudah mengatur semuanya,” katanya, suaranya tenang namun tegas. “Akan ada seseorang yang kupercaya menjemput kalian nanti. Bersembunyilah di sana untuk sementara wakt
Dengan gigi terkatup dan tatapan membara, Alphonse berbalik menghadap pria bersenjata itu. Tangan kirinya sudah menahan darah yang mengalir dari bahu kanannya. Valerie menatap dengan napas tercekat. Tubuhnya setengah berdiri dari balik perlindungan mobil, mata membelalak melihat Alphonse yang tetap berdiri meski darah terus menetes.Alphonse tahu satu hal—jika dia diam, semuanya akan berakhir di sini.Dengan tangan kiri yang masih bisa digerakkan, dia meraih kembali tongkat setrum dari tanah. Darah dari bahu kanannya mengalir makin deras, tapi sorot matanya tidak goyah. Langkahnya pelan, mantap, seolah rasa sakit itu tidak berarti apa-apa.Ardent Blades yang bersenjata itu memasang kembali bidikannya, tapi Alphonse tidak memberinya waktu. Begitu senapan itu sedikit bergeser, Alphonse menerjang. Bahu kanannya seketika terasa seperti disayat bara api, tapi dia paksa tubuhnya bergerak.Dengan hentakan cepat, dia mengayunkan tongkat setrum ke arah pistol—zzt!Sentakan listrik meledak di u
Mobil Jesse Fox berguncang lebih keras saat ban depan yang ditembak terus kehilangan tekanan. Setir digerakkan dengan cepat, hampir tidak memberi waktu bagi Jesse untuk bernapas. Mata tajamnya menatap jalanan yang semakin sempit, dan dalam sekejap, dia tahu bahwa hanya sedikit ruang yang tersisa untuk melarikan diri.Di kursi belakang, Alphonse menahan napas. Valerie di pelukannya, matanya terpejam, tubuhnya terhimpit oleh pelukan Alphonse. Meski keadaan semakin gawat, Alphonse tetap menjaga kewaspadaan, matanya mengawasi setiap gerakan yang ada di luar sana. Mereka dikejar oleh dua motor yang semakin dekat, dan suara knalpot yang menggelegar membuat suasana semakin mencekam."Jesse, kita harus segera keluar dari sini!" teriak Alphonse.Jesse tidak menjawab. Dia hanya memusatkan perhatian penuh pada setir. Tapi, dengan setiap detik yang berlalu, jalanan terasa semakin sempit. Dua motor itu semakin dekat. Tembakan terus dilontarkan, mengarah tepat ke mobil mereka. Kaca anti peluru mung
Tiga bulan yang laluLilin-lilin beraroma mur perlahan mencair. Cahayanya memantul lembut di atas meja marmer, menciptakan bayang-bayang yang menggoda. Tirai sutra merah tua berayun pelan di tiupan angin malam. Di tengah ruangan yang temaram, Ratu Merelda dari Kerajaan Eilvareth bersandar santai di ranjang berkanopi.Tubuhnya dibalut gaun tidur tipis berwarna anggur tua yang memeluk setiap lekuk tubuhnya dengan elegan, membentuk siluet yang memikat. Gaun tidurnya yang terlepas sedikit dari bahu memamerkan kulit halusnya yang berkilau di bawah cahaya lilin. Kontur tubuhnya terlihat begitu memikat, seakan mengundang untuk lebih dekat. Dia tahu dirinya cantik—dan lebih dari itu, dia tahu betul bagaimana menggunakan kecantikannya.Di sampingnya, seorang pria bertubuh tinggi dan kekar dengan rambut keperakan berdiri menghadap jendela terbuka. Punggungnya penuh bekas luka perang bertahun-tahun, namun goresan yang baru itu lebih mendalam, lebih intim—sebuah jejak gairah yang tidak terucapkan
Dua mobil hitam diparkir sejajar di gang sempit, membelakangi jalan raya yang langsung terhubung dengan Royal Mirage Palace. Jam menunjukkan pukul 12:17 siang, tapi mendung membuat cahaya enggan menyapa. Lampu mobil dimatikan, tapi ketegangan di dalamnya justru menyala. Senyap, namun berbahaya—seperti kabel listrik yang dibiarkan terkelupas.Di dalam mobil pertama, Valerie duduk di kursi belakang, menatap kosong ke jendela. Wajahnya tenang, nyaris datar. Dia tidak mengatakan apa-apa. Tapi, dari caranya menggenggam ujung jaket dan menarik napas pelan, terlihat jelas itu amarah dan lelah yang sudah lama menumpuk.“Harusnya sebentar lagi,” ujar Jesse Fox yang duduk di balik kemudi.Matanya yang tajam melirik jam tangan, lalu berpindah ke Valerie lewat kaca spion tengah. Saat melihat Valerie hanya mengangguk pelan, dia mengalihkan pandangan ke jalan di belakang mereka. Dia tahu mereka tidak bisa berlama-lama di sini. Tapi dia juga sadar bahwa mereka tidak bisa pergi begitu saja.Hanya sua
Di luar Royal Mirage Palace, di tengah jalanan yang mulai padat, Officer Martinez sedang dalam perjalanan ke kantor polisi. Dia mengemudi dalam diam dengan Leo di kursi belakang mobilnya. Pria itu duduk tenang dengan tangan terborgol. Matanya menatap kosong ke luar jendela seolah semuanya telah menjauh darinya.Sedangkan di dalam hotel itu sendiri, terutama Kamar 708, para petugas forensik menyisir tiap inci kamar untuk menemukan petunjuk yang tertinggal. Lampu kilat kamera, sarung tangan lateks, dan bunyi pena di atas clipboard menyatu dalam simfoni penyelidikan yang sunyi. Aroma alkohol dan bubuk pembersih memenuhi udara, melapisi jejak tragedi dengan bau steril yang dingin.Sementara itu, di kamar eksklusif yang tenang, Alphonse dan Detektif Otero duduk berjauhan dalam hening. Masing-masing dari mereka menatap ke arah yang berbeda. Keduanya tenggelam dalam pikiran mereka sendiri, berusaha menenangkan diri setelah apa yang baru saja terjadi.“Kau tahu,” ucap Detektif Otero, memecah
Jumat, 22 Maret 2024/11:43 SiangDetektif Otero tiba di depan Kamar 708 bersama Officer Martinez—dan seorang pria lain yang kedua tangannya diborgol. Dia mengetuk dua kali, tegas namun tidak tergesa. Beberapa detik hening berlalu sebelum pintu terbuka. Sosok yang berdiri di ambang pintu itu cukup mengejutkan dirinya. Itu bukan Alphonse yang dikenalnya.Wajah itu, biasanya dingin dan penuh sindiran, terlihat kosong. Pemuda yang ada di hadapannya itu bukan pria penuh ironi dan kontrol diri, melainkan sosok yang hancur. Matanya merah, kulit pucat, rahangnya tegang, dan ada sesuatu di dalam dirinya yang sudah patah. Detektif Otero menegang. Naluri menyala, pikirannya siaga.Da memiringkan kepala, mencoba melihat ke dalam ruangan—dan seketika itu juga matanya membelalak. Tubuh Elina tergeletak di lantai, tidak bergerak. Rambutnya berantakan—menjuntai ke depan seperti tirai yang menutupi wajahnya. Udara seolah mengental dan mengaduk perutnya hingga mual.“Sial,” gumam Detektif Otero. Dia me
Jumat, 22 Maret 2024/11:31 SiangAlphonse berdiri di depan pintu Kamar 708. Tangannya yang terangkat untuk mengetuk membeku di udara saat ponselnya berdering pelan. Jarinya bergerak ringan membuka pesan singkat dari Detektif Otero: "Semuanya sudah siap. Kami sedang dalam perjalanan."Tidak ada perubahan di wajahnya. Dia hanya melirik sejenak, lalu mematikan layar dan menyelipkan kembali ponselnya ke saku mantelnya. Pandangannya kembali jatuh pada pintu kamar Elina Hochberg, seolah menimbang kemungkinan yang sudah terlalu dikenalnya—akhir yang tidak butuh saksi.Alphonse mengetuk dengan tegas.Butuh waktu beberapa detik sebelum engsel pintu bergeser dan suara klik terdengar dari dalam. Ketika pintu terbuka setengah, Elina Hochberg berdiri di sana. Dia mengenakan gaun wol biru tua yang menyentuh lutut, rambutnya tersisir rapi, dan senyum tipis terpampang di wajahnya."Saya sudah menunggu Anda, Detektif" katanya, suara tenangnya hampir terdengar seperti nyanyian murung yang tertahan di u
Jumat, 22 Maret 2024/10:07 PagiHening menyelimuti ruangan seperti tirai tebal yang enggan tersingkap. Udara di Kamar 812 terasa berbeda—lebih berat, seolah waktu ikut melambat di antara ketiga orang yang berdiri di dalamnya. Suara detak jam dinding terdengar terlalu jelas, mengiris kesunyian seperti bisikan tidak kasat mata.Valerie tetap diam. Alphonse tidak bergerak. Sedangkan Miyazaki hanya menatapnya seperti pria yang menunggu pengakuan, bukan perlawanan. Tidak ada lagi suara ketukan, tidak ada langkah lain di luar. Dunia menyusut menjadi kamar ini dan segala rahasia yang terperangkap di dalamnya.“Silakan duduk,” ucap Miyazaki, menunjuk kursi di hadapannya.Dia sendiri menurunkan tubuh perlahan, lalu meletakkan tongkatnya ke sisi kursi dengan gerakan tenang. Jemarinya bertaut di atas pangkuan. Tidak ada meja, tidak ada batas—hanya dua pasang mata yang kini saling menilai. Tatapannya lembut, tapi penuh kalkulasi, seperti bidak yang sudah tahu langkah lawan sebelum permainan dimul