Semangatku untuk mencari nafkah semakin membara sejak kehadiran putra kami. Aku memberikan nama pada bayi kami dengan nama Daffa Arham yang artinya seorang pria yang penyayang, baik hati, suka memberikan semangat, dukungan dan membela sesama.Aku ingin mengumpulkan harta yang banyak sehingga buah hatiku bersama Naya kelak tidak pernah merasakan kekurangan. Karena cita-cita kami berdua sangat tinggi untuk permata hati kami itu.Hari ini Naya sudah bisa pulang ke rumah. Jahitan bekas operasi pun sudah mengering. Setelah mengantar Naya ke rumah, aku keluar sebentar meninjau para pekerja yang sedang mengerjakan pembibitan padi.Saat sedang dalam perjalanan tiba-tiba ponsel berdering. Segera aku angkat dan ternyata dari pak Herman."Assalamualaikum, Bay? Kamu dimana?" Aku tidak tahu apa maksud pak Herman menanyakan aku dimana. Padahal sudah jelas, sekarang aku bekerja sebagai pimpinan pabrik kayu sesuai perintahnya. Kenapa pak Herman jadi pelupa begitu ya?"Masih di desa Sumber Sari, Pak,"
"Kak Naya. Apa kabar?" tanya Clara dengan semangat membara dia berhambur ke pelukanku. Kami berdua berpelukan melepaskan rindu yang sudah sangat lama terpendam. Hampir enam bulan setelah sampai di desa sumber sari, baru ini kami berjumpa, biasanya hanya video call saja."Kabar baik, Cla. Kabar kamu sendiri bagaimana?" tanyaku seraya mengurai pelukan kami, aku memegang erat kedua bahunya dan menatap intens kedua bola matanya."Kabar baik dong kak. Kalau gak baik mana sampe Clara kemari," kelakar Clara. Bisa-bisanya dia bercanda padahal air mataku sudah menggenang dipelupuk mata siap keluar karena terharu melihat kedatangan anak-anak pak Herman. Mendengar celoteh Clara, air mata ini tidak jadi keluar mereka masuk lagi ke asalnya. "Ayo ... ayo masuk." Aku menarik lembut tangan gadis dua puluh tahun itu. Pak Arman dan istrinya ikut datang juga menjenguk kami yang sekarang sudah menetap di desa."Ibu ..." Clara berhambur ke dalam pelukan ibunya. Bu Widya sama pak Herman sampai geleng-gele
Hampir setahun kami menjadi warga kelurahan Suka Damai. Usaha toko pertanian kami termasuk lumayan maju karena belum ada yang membuka toko pertanian di desa ini. Bahkan banyak warga dari desa yang lain membeli bahan pertanian di toko kami.Begitu juga dengan hasil padi dan berternak bebek. Dari tiga ratus ekor sekarang sudah aku naikkan jumlahnya menjadi tiga ribu ekor. Ikan juga kami pelihara dikolam yanag dulunya hanya lima ratus ekor sekarang sudah kami naikkan menjadi tiga ribu. Dari ikan lele, gurame dan patin sudah tersedia di kolam kami. Dan juga kami salah satu pemasok ikan segar dan sayur segar ke super market-super market yang berada di kota ini."Mas sudah setahun Adek gak berjumpa dengan ibu. Tadi malam Adek bermimpi seakan ibu menangis. Ada apa ya, Mas? Adek kok khawatir ibu kenapa-kenapa. Khawatir juga bagaimana keadaannya sekarang," ucap Naya sendu. Selama pindah ke Sumatera, Naya tidak pernah berhubungan dengan keluarganya. Apalagi sekarang, kak Melly sudah menikah de
"Bu, kami pulang dulu ya! Ibu baik-baik di rumah. Nanti kalau ada kesempatan ibu kesana, Mengunjungi gubuk kami di desa," pamit Naya dengan berderai air mata."Iya, Nak. Kapan - kapan jika ada waktu, pasti ibu akan ke rumahmu. Kalian baik-baik di sana ya, Nak! Jangan berantem. Ibu disini selalu mendoakan kalian berdua," jawab ibu dengan berpelukan dan mengusap-usap punggung Naya. Setelah pelukan mereka terurai, aku juga mohon pamit kepada ibu mertua."Ibu, Bayu juga minta izin. Jika ibu ada waktu kesana, nanti beritahu kami, biar di jemput. Kalau gak sempat nanti Bayu suruh Jaenal. Pokoknya Ibu kasih tau aja kapan bisa datang," ucapku seraya meraih tangan ibu mertua, menyalaminya dan menciumnya dengan takzim."Iya, Nak. Tolong jaga Naya baik-baik ya, Bay?" pesan ibu. Ada rasa sedikit pedih di relung hati ini melihat mertua ku sekarang. Timbul rasa kasihan dan sayang secara bersamaan melihat beliau yang sangat jauh berbeda dengan ibu mertua dahulu."Iya, Bu. Ibu tenang aja. Kami di des
"Tolong jangan buat keributan di warung saya! Disini tempat orang makan dan beristirahat. Bukan ajang baku hantam! Kalau mau unjuk kehebatan, bukan disini tempatnya. Sana kalian, keluar dari warung saya. Gara-gara kalian pembeli saya pada lari," bentak pemilik warung dengan penuh amarah. Wajarlah beliau marah, gara-gara kami berdua pembeli jadinya tidak ada yang berani masuk. Malah banyak yang sudah masuk dan batal memesan makanan karena keributan antara aku dan Haris."Udah, Mas. Kita keluar saja dari sini. Malu dilihat orang. Kayak preman pasar aja," ujar Naya seraya menarik lenganku seakan dia sedang menyeret anak kecil agar pulang."Woi ... bedebah kau. Gara-gara kau aku dipecat. Dasar penjilat!" teriak Haris dengan penuh amarah. Dia tuduh aku ini penjilat tanpa menyadari apa kesalahan yang sudah dia lakukan dioerusahaan. Dia itu dipecat bukan karena hasutanku, pak Herman pun tidak bodoh. Memecat orang yang mempunyai kinerja baik hanya karena hasutan seorang Bayu? Wow ... hebat
Saat ini yang aku takutkan hanya keselamatan Naya dan Daffa. Haris seorang yang sangat ambisius. Segala keinginannya harus tercapai dan dia tidak pernah mau tahu dengan cara apa dia menggapainya. Apapun dan siapapun yang menghalanginya akan di babat habis."Mas, kita langsung pulang aja. Gak usah singgah makan lagi. Udah kenyang," pinta Naya dengan wajah di tekuk."Kasian Daffa!""Gak apa, Mas. Daffa kan masih minum ASI jadi mau makan atau gak makan dia tetap kenyang," ujar Naya. Aku tahu sebenarnya dia bukan tidak lapar tapi karena kejadian tadi membuat selera makannya hilang dalam sekejab."Kalau adek gak makan, kualitas ASI kamu berkurang. Kasian Daffa jadi kurang gizi." ujarku memberi pengertian kepada Naya."Kekurangan gizi dari mana?" tanya Naya dengan heran."Adek gak makan apa-apa. Kualitas asimu jadi jelek. Bagaimana ada zat gizi, jika tidak ada isinya. Sama saja dia dengan meminum air kosong." ujarku lagi memberi penjelasan."Tapi Adek gak selera makan, Mas." ucap Naya seak
"Tadi Mas jumpa dengan Doni kawan sekolah dulu," ujarku seraya membuka pintu mobil dan menghempaskan bobot tubuhku disamping Naya."Doni mana, Mas. Pengusaha sukses dari kota sebelah?" tanya Naya dengan menautkan kedua alisnya."Loh kok Adek bisa tau. Kenal dimana?" tanyaku pada istriku. Aku heran melihat dia yang serba tahu padahal sangat jarang keluar rumah, kecuali ada hal penting."Siapa gak kenal sama Doni sih, Mas. Apalagi Cintya sering ceritain tentang dia. Katanya Doni lelaki yang baik dan lain sebagainya. Adek malah curiga mereka ada hubungan istimewa. Nampaknya mereka saling menyukai satu sama lain," ujar Naya berspekulasi."Memang iya! Dari zaman sekolah dulu, Doni sudah menyukai Cintya. Dan mereka pasangan yang serasi kok. Sama-sama ganteng dan cantik. Dan satu lagi mereka sama-sama pekerja keras," ujarku. Memang ku akui, diri ini salut pada pasangan itu, tetap bertahan walaupun tidak direstui orang tua kedua belah pihak. Mereka tetap setia dengan status jomlo, padahal usi
Sebulan sudah bisnis dengan Doni aku jalani dan semua berjalan dengan lancar, tanpa kendala yang berarti. Sementara bisnis abon ikan yang dikelola Naya pun, semakin banyak permintaan dari para konsumen. Sekarang Naya semakin sibuk dibuatnya. Awalnya abon ikan belum terkenal. Namun lama kelamaan katanya abon ikan buatan Naya enak dan jadi laris manis.Di tambah promosi dari mulut ke mulut yang dilakukan ibu - ibu pekerja dan tetangga dekat kami. Kadang perhari permintaan mencapai 1500 kadang juga sampai 5000 paket yang ukuran 250 gram. Yang jelas semakin membuat para ibu pekerja menjadi kewalahan dalam memproduksinya. Seperti hari ini kami terpaksa mencari tambahan pekerja karena ada yang memesan sampai 3000 paket untuk di bawa keluar negeri, sebagai oleh-oleh katanya.Saat ini kami mengandalkan pekerja hanya ibu-ibu tetangga sebelah rumah saja. Kata mereka usaha kami sangat membantu perekonomian keluarga mereka.Naya hanya meracik bumbunya saja tetapi dalam hal pembuatan sudah dis