Akhirnya kami tiba juga di sebuah kota terpencil, jauh dari keramaian. Dari dulu aku sangat mengimpikan tinggal di pedesaan jauh dari hiruk pikuk perkotaan yang membuat pikiran jadi stress."Mas, aku lapar!" ujar Naya dengan wajah meringis menahan lapar. Jam sudah menunjukkan diangka dua siang. Pantas saja perut sudah keroncongan."Iya. Bentar lagi kita cari rumah makan, ya?" tanyaku seraya mengelus pucuk kepala sang bidadari hati ini.Keluar dari bandara, kami sudah di jemput mobil travel. Butuh waktu setengah jam dari bandara untuk sampai ke pusat kota.Sampai dipusat kota kami berdua beristirahat, mencari rumah makan Padang. Istriku sangat menyukai semua masakan yang tersedia di rumah makan padang. Selama hamil ini, nafsu makannya semakin hari semakin bertambah.Aku sangat senang melihat Naya makan begitu lahapnya. Sehingga nafsu makanku juga jadi naik. Tidak heran berat badannya juga semakin bertambah. Bagiku tidak mengapa yang penting istri dan calon anakku sehat selalu.Setelah
Hari ini kami berdua memulai hidup baru di desa. Diri ini jarang masuk kantor, hanya di waktu-waktu tertentu saja.Pagi ini setelah salat subuh aku berdua dengan Naya jalan-jalan mengelilingi desa dengan berjalan kaki. Sekalian olahraga dan juga sebagai perkenalan dengan warga sekitar."Mas, lihat rumah diujung sana!" ujar Naya seraya menunjukkan ke arah rumah minimalis bernuansa biru."Satu unit rumah itu dijual beserta sawahnya. Pasti sangat nyaman tinggal dipinggir sawah begini. Jauh dari keramaian, udaranya juga bersih. Gimana. Adek, berminat?" tanyaku saat kami sudah mendekati rumah itu."Menurut Mas?" Dia balik bertanya."Pengin, sih. Jika berkebun, tidak terlalu jauh dari rumah. Kalau udah lelah tinggal pulang, tiduran di rumah dan juga untuk salat pun tidak akan ketinggalan karena sawahnya bersebelahan dengan tempat tinggal kita." jawabku. Kami berdua berdiri di pintu gerbang rumah itu. Melihat-lihat kondisi dan lingkungan sekitar.Rumah berukuran minimalis terletak di antara
Akhirnya rumah tersebut berhasil kami beli dengan harga yang menurut aku termasuk murah. Bahagia rasanya karena keinginan untuk memiliki hunian di desa tercapai sudah.Lihat di sekeliling dan sejauh mata memandang, kita akan dimanjakan dengan pemandangan yang sangat menyejukkan mata. Padi yang menguning tersinari oleh mentari pagi menjadikannya bak permadani yang terhampar."Dari dulu Mas sangat suka bertani. Waktu di Sekolah Dasar sudah mulai menanam sayur di pekarangan rumah. Entah mengapa kecintaan Mas terhadap.pertanian melebihi apapun," ucapku di sela membersihkan rumput di halaman rumah yang akan kami tempati."Adek suka juga bertani, Mas. Rumah dengan halaman seluas ini, bagaimana jika kita buat kolam dan juga pelihara bebek. Berternak ayam juga. Adek sangat suka berternak. Membayangkan setiap hari panen telur bebek dan jika kita kehabisan uang belanja tinggal mancing di kolam atau potong ayam atau bebek. Ya kan, Mas." Ada-ada saja istriku, seorang Bayu pemilik pabrik kayu tid
Hari ini semua pekerja sudah mulai mengerjakan tugasnya masing-masing. Beberapa orang tukang dan juga kuli bangunan sedang mengerjakan pembuatan kandang untuk ternak seperti bebek dan ayam. Beberapa pekerja yang lain mengolah tanah untuk di tanami sayur. Dan juga untuk menanam padi walau masih banyak yang perlu di benahi. Beberapa dari mereka membersihkan pematang sawah. Dan menebar racun tikus. Segala persiapan begitu matang aku persiapkan. Aku tidak mau bekerja setengah-setengah.Kuperhatikan Naya, istriku sangat antusias, raut bahagia terukir di wajahnya. Sekarang dia sedang sibuk di dapur menyiapkan cemilan buat para pekerja dengan di bantu oleh bik Romlah. "Bik, sudah siap membuat kue? Kalau sudah tolong bawain semua keluar, ya. Pekerjanya sedang istirahat tuh." tanyaku dan perintahku pada wanita paruh baya yang sedang membantu membuat gorengan bersama Naya di dapur.Hari ini Bik Romlah membuat kue bakwan dan juga pisang goreng untuk cemilan pekerja dan juga beberapa gelas k
"Mas, kayaknya Adek mau melahirkan," ucap Naya saat keluar dari kamar mandi. Wajahnya sangat pucat sedangkan tangan kanan memegang perut dan tangan kiri menopang pinggangnya. Nampaknya istriku menahan sakit sehingga terlihat wajahnya meringis kesakitan sehingga keluar urat-urat dari keningnya."Kita ke rumah sakit sekarang, ya?" tanyaku seraya mengambil tas berisi perlengkapan calon bayi kami dan juga perlengkapan Naya juga."Waduh, Mas. Sakit banget ya!" keluh Naya dengan mata seakan menahan cairan yang akan keluar dari sarangnya."Yang sabar ya, sayang?" Aku berusaha menenangkan Naya, sementara aku sendiri tidak tahu mau berbuat apa. Hati ini sungguh sangat sedih. Sebenarnya antara sedih dan juga bahagia. Sedih karena aku khawatir akan terjadi hal-hal yang tidak aku inginkan menimpa calon anak dan istriku. Bahagia karena sebentar lagi akan suara tangisan bayi di rumahku. Kami tidak akn sepi lagi."Bik Romlah. Tolong pegang istri saya dan tuntun dia ke depan, ya. Saya mau keluarkan
Semangatku untuk mencari nafkah semakin membara sejak kehadiran putra kami. Aku memberikan nama pada bayi kami dengan nama Daffa Arham yang artinya seorang pria yang penyayang, baik hati, suka memberikan semangat, dukungan dan membela sesama.Aku ingin mengumpulkan harta yang banyak sehingga buah hatiku bersama Naya kelak tidak pernah merasakan kekurangan. Karena cita-cita kami berdua sangat tinggi untuk permata hati kami itu.Hari ini Naya sudah bisa pulang ke rumah. Jahitan bekas operasi pun sudah mengering. Setelah mengantar Naya ke rumah, aku keluar sebentar meninjau para pekerja yang sedang mengerjakan pembibitan padi.Saat sedang dalam perjalanan tiba-tiba ponsel berdering. Segera aku angkat dan ternyata dari pak Herman."Assalamualaikum, Bay? Kamu dimana?" Aku tidak tahu apa maksud pak Herman menanyakan aku dimana. Padahal sudah jelas, sekarang aku bekerja sebagai pimpinan pabrik kayu sesuai perintahnya. Kenapa pak Herman jadi pelupa begitu ya?"Masih di desa Sumber Sari, Pak,"
"Kak Naya. Apa kabar?" tanya Clara dengan semangat membara dia berhambur ke pelukanku. Kami berdua berpelukan melepaskan rindu yang sudah sangat lama terpendam. Hampir enam bulan setelah sampai di desa sumber sari, baru ini kami berjumpa, biasanya hanya video call saja."Kabar baik, Cla. Kabar kamu sendiri bagaimana?" tanyaku seraya mengurai pelukan kami, aku memegang erat kedua bahunya dan menatap intens kedua bola matanya."Kabar baik dong kak. Kalau gak baik mana sampe Clara kemari," kelakar Clara. Bisa-bisanya dia bercanda padahal air mataku sudah menggenang dipelupuk mata siap keluar karena terharu melihat kedatangan anak-anak pak Herman. Mendengar celoteh Clara, air mata ini tidak jadi keluar mereka masuk lagi ke asalnya. "Ayo ... ayo masuk." Aku menarik lembut tangan gadis dua puluh tahun itu. Pak Arman dan istrinya ikut datang juga menjenguk kami yang sekarang sudah menetap di desa."Ibu ..." Clara berhambur ke dalam pelukan ibunya. Bu Widya sama pak Herman sampai geleng-gele
Hampir setahun kami menjadi warga kelurahan Suka Damai. Usaha toko pertanian kami termasuk lumayan maju karena belum ada yang membuka toko pertanian di desa ini. Bahkan banyak warga dari desa yang lain membeli bahan pertanian di toko kami.Begitu juga dengan hasil padi dan berternak bebek. Dari tiga ratus ekor sekarang sudah aku naikkan jumlahnya menjadi tiga ribu ekor. Ikan juga kami pelihara dikolam yanag dulunya hanya lima ratus ekor sekarang sudah kami naikkan menjadi tiga ribu. Dari ikan lele, gurame dan patin sudah tersedia di kolam kami. Dan juga kami salah satu pemasok ikan segar dan sayur segar ke super market-super market yang berada di kota ini."Mas sudah setahun Adek gak berjumpa dengan ibu. Tadi malam Adek bermimpi seakan ibu menangis. Ada apa ya, Mas? Adek kok khawatir ibu kenapa-kenapa. Khawatir juga bagaimana keadaannya sekarang," ucap Naya sendu. Selama pindah ke Sumatera, Naya tidak pernah berhubungan dengan keluarganya. Apalagi sekarang, kak Melly sudah menikah de
Tiga bulan telah berlalu. "Kak, tadi malam pak Bayu melamar kakak untuk menjadi istrinya. Beliau sangat menginginkan kakak menjadi ibu sambung bagi putra semata wayangnya," ujarku pada kakak ipar yang sedang membuat sarapan untuk sekeluarga. "Kamu jawab apa?" tanyanya seraya terus mengaduk nasi diatas penggorengan. "Bayu belum berani membuat keputusan. Semua keputusan Bayu serahkan kepada Kakak. Kan yang menjalani rumah tangga bersama pak Abdi, Kakak. Bukan Bayu," ujarku seraya duduk diatas kursi meja makan Pagi-pagi aku telah bertandang ke rumah mertua untuk menyampaikan berita gembira ini. Menurut aku sih kabar gembira. Karena akhirnya kak Melly dilamar oleh pak Bayu yang merupakan seorang perwira polisi. Setelah rumah kami selesai dibangun, kami bertiga pindah ke rumah baru. Sementara kak Melly dan ibu mertua tetap bertahan di rumah sewa, begitu juga pak Abdi. Jadi mereka tetap bertentangga sampai sekarang. "Kakak tidak mau, Bay. Kakak masih betah menjanda," jawab kak Melly.
Melly"Tante, kenapa tidak mau menikah dengan ayahku. Apa ayahku terlalu jelek sehingga tante tidak mau menjadi istrinya?" tanya Aldo memelas.Bukan aku tidak mau menjadi istri dari pak Abdi. Tapi bagaimana ya? Pak Abdi sendiri tidak pernah membahas masalah itu. Masak aku duluan yang harus nyosor beliau? Dimana harga diri aku sebagai wanita. Walaupun seorang janda aku juga punya harga diri. Tidak mudah obral sana sini."Tante tidak bisa menikah dengan polisi. Tante takut melihat lelaki berseragam coklat. Bisa-bisa Tante pipis di celana karena ketakutan," ujarku berbohong. Pak Abdi hanya melihat sekilas saja, kemudian melempar pandangannya keluar kamar hotel. "Ayah Aldo tidak jahat, Tante. Ayolah Tante menikah dengan ayah Aldo. Kalau tidak mau, Aldo bunuh diri!" Ancam bocah lima tahun itu. Kemudian dia berlari ke luar penginapan. Baru saja sampai penginapan dia sudah banyak drama, padahal capeknya saja belum hilang."Aldo!" Teriak pak Abdi seraya mengejar jagoannya yang hendak menyebe
"Bajingan kamu," teriak Andre. Tangannya memegang sebilah belati dan melempar ke arahku. Bersyukur tidak mengenai tubuh ini karena sempat mengelaknya. "Jangan kau harap akan keluar hidup-hidup dari sini." Ancam mas Andre dengan melancarkan tendangan demi tendangan ke arahku sehingga mengenai perut ini. Bugh Sebuah tendangan mengenai dada membuat tubuh ini limbung dan hampir saja terjatuh jika saja tidak segera aku pegangan ke dinding. Sebelum dia melancarkan kembali aksinya, para aparat keamanan sudah mengepung sehingga membuat dia tidak bisa berkutik lagi. Aku segera mundur dan polisi pun melaksanakan tugasnya. "Bedebah kau, pengkhianat. Kau menjebakku dengan pura-pura menjadi kurir. Dasar bajingan!" Segala sumpah serapah keluar dari mulut busuk mas Andre. Dia sangat sakit hati karena telah dijebak tetapi dia tidak sadar jika perbuatannya dengan menjebak aku dengan Risma lebih sakit lagi. "Kamu tidak kenapa-kenapa kan, Bay?" tanya pak Abdi. Dia bertanya dengan nafas tersengal-s
"Tadi malam wanita yang bernama Sofia menelpon aku. Dia mengancam akan menyebarkan foto bugil kita berdua jika kita tidak jadi menikahi!" ucapan Risma membuat emosiku naik keubun-ubun."Jadi, dalangnya Sofi?" tanyaku dan dijawab dengan anggukan oleh wanita yang telah dijebak denganku dikamar hotel itu."Kamu kenal wanita itu?" tanya Risma takut-takut."Aku gak terlalu kenal sama dia tapi setauku, Sofi sahabat dekat dengan Andre, mantan kakak ipar," beberku. Kurasa ini ada hubungannya dengan Andre. Mungkin juga dia sudah keluar dari tahanan dan pasti sedang merencanakan kehancuran aku dan Naya. Aku tidak akan tinggal diam atas perlakuan mereka itu. Akan kutuntut siapapun dia, walaupun sampai ke lobang semut. Tidak akan kubiarkan mereka bebas menikmati udara segar diluar sana."Tapi kenapa aku yang dijadikan korban disini?" tanya Risma dengan suara serak."Kebetulan saja kamu ada disitu," jawabku dengan tangan mengepal kuat, buku-buku jariku memutih sangking kuatnya. Jika ada Andre di
"Kau harus menikah dengan Bayu." titah Sopia."Kau tau sendiri 'kan. Bayu itu sudah punya anak dan istri. Aku tidak sudi berbagi suami. Aku tidak mau menjadi pelakor dalam rumah tangga orang," tandasku."Sekarang pilihan semuanya kuserahkan padamu. Menikah dengan Bayu dan namamu akan bersih. Video syur kamu akan ku hapus tetapi ... " suara Sopia terputus dan aku merasakan ada yang tidak beres dengan perkataannnya."Tetapi apa." Aku semakin penasaran dengan wanita berhati srigala ini. Yang jelas aku sudah dijebak oleh mereka."Jika kamu menolaknya siap - siap aja kamu menerima hinaan dan cacian karena foto syur kamu dengan Bayu akan aku sebarkan.""Kamu manusia paling jahat berhati iblis.""Hahaha ... sekarang kamu pilih mana. Aku tidak akan memaksamu. Semua ku serahkan kepadamu," ujar Sofia seraya memutuskan panggilannya.Aku harus mengikuti perintah Sofia sebelum foto itu disebar. Diri ini menjadi curiga kenapa bisa aku dan Bayu bisa berada sekamar hotel. Berarti Sofia yang telah mem
"AAAAARRRRGGGGHHHH." Aku menyugar kasar rambut ini. Apa yang telah terjadi tadi malam. Kenapa diri ini bisa berada di kamar hotel bersama wanita? Siapa yang telah membawa aku berdua dengan Risma kemari?Dan ...Wanita ini kenapa tidak menolak saat dibawa ke hotel dan tidur dengan orang yang tidak dikenal sama sekali. Atau ini semua hasil perbuatan Risma? Otakku terus bertanya - tanya.Masih teringat terakhir aku minum jus orange dan aku masih sadar, sesudah itu kepala ini terasa sangat pusing dan tiba - tiba saja pandangan ikut gelap. Hmmm ... apakah ada orang yang sengaja menjebakku dengan menaroh sesuatu dalam minuman?"Aku gak mau tau. Kamu harus bertanggung jawab atas perbuatanmu terhadap aku.""Risma ... aku gak kenal kamu. Dan aku juga tidak tahu apa yang telah terjadi tadi malam. Aku yakin kamu telah menjebak aku. Kamu kan yang menaruh obat dalam minumanku?" Tuduhku kepada wanita yang baru kukenal tetapi telah membuat hancur duniaku. Apa yang akan terjadi jika Naya mengetahui
"Bay, aku ke kamar mandi dulu, ya?" pamit Hendra. "Silahkan, Hen." Setelah kepergian Hendra aku sendirian saja duduk dikursi tamu. Tidak ada yang berkeinginan untuk duduk sekedar basa basi saja. Diri ini seperti tersangka yang siap dikuliti hidup-hidup. Tidak enak rasanya seperti ini. Kalau tahu begini jadinya tidak akan aku menghadiri acara ini. Mereka betul - betul telah memperlakukan aku begitu hina didepan khalayak ramai. Tak berapa lama datang seorang wanita muda dan aku betul-betul tidak ingat siapa namanya. Sepertinya dia bukan kalangan pengusaha. Mungkin salah satu istri dari anggota pengusaha. Entahlah. Aku pusing gara-gara Ratih yang sedang meringkuk di jeruji besi. "Bay, aku tau bagaimana serba salahnya kamu. Aku juga tau kamu tidak bersalah dalam masalah ini. Gak usah terlalu kamu pikirkan mereka itu yang bisanya hanya menuduh dan menghakimi orang aja bisa tanpa mau tau kebenarannya." Aku hanya melihat wanita yang sok akrab tersebut tanpa bereaksi apa-apa. Entah kenap
"Dek, Mas berangkat dulu, ya?" Berat rasanya meninggalkan belahan jiwaku. Kenapa rasanya seperti akan meninggalkan mereka dalam waktu yang lama? Aku sangat menyayangi Naya dan Daffa. Bersama merekalah aku bahagia. Naya pandai menghargai aku sebagai seorang suami. Bersamanya aku bisa merasakan menjadi lelaki seutuhnya, lelaki yang mempunyai martabat dan harga diri. "Iya. Hati-hati ya, Mas. Jangan lama-lama pulang. Nanti kami kangen," titah Naya seraya tersenyum. "Iyalah. Sebenarnya Mas sangat malas menghadiri acara itu. Gak ada manfaatnya bagi kita. Makanya mas ajak Adek biar ada alasan nanti jika mau pulang sebelum jam 12.00." "Kalau Adek sih mau-mau aja. Kasian Daffa kena angin malam, Mas!" "Kan gak setiap malam kita bergadang di jalan. Sekali setahun. Yok lah." Ajakku dan tetap saja Kinan menolaknya. "Bukan masalah begadang. Bahaya bawa anak kecil di jalan malam-malam. Jalannya macet, padat merayap. Biasanya banyak kecelakaan. Nauzubillah. Mas hati-hati ya?" pesan Naya seraya
"Mas, jangan lupa besok lusa ada acara temu ramah dan silaturrahim antara pengurus dan anggota Himpunan pengusaha muda di hotel Leon jalan pahlawan, ya!" ujar Naya mengingatkan karena dia sangat tau jika suaminya pelupa. "Adek ikut juga ya." ajakku. "Kalau Adek ikut, bagaimana dengan Daffa? Dia sudah terlalu sering kita tinggal, Mas. Anak itu jadi kurang kasih sayang dari orang tuanya. Takutnya dia tidak dekat sama kita. Malah lebih nurut kepada orang lain daripada orang tuaya sendiri." Alasan Naya ada benarnya juga. "Bukan gitu, Dek. Mas ingin mengenali istri kepada sesama pengusaha muda, Nay? Mereka gak ada yang kenal Adek katanya." "Adek rasa tidak perlu juga adek terlalu dikenali sama kawan Mas. Nanti mereka kepincut pula," seloroh Naya sambil berlalu dan aku hanya bisa tersenyum - senyum sendiri melihat tingkah istriku. "Dek, besok ikut aja ya?" Aku memohon pada Naya untuk tetap menemaniku pada acara temu ramah yang diadakan dihotel menjelang pergantian tahun. Acara puncak d