Akhirnya rumah tersebut berhasil kami beli dengan harga yang menurut aku termasuk murah. Bahagia rasanya karena keinginan untuk memiliki hunian di desa tercapai sudah.Lihat di sekeliling dan sejauh mata memandang, kita akan dimanjakan dengan pemandangan yang sangat menyejukkan mata. Padi yang menguning tersinari oleh mentari pagi menjadikannya bak permadani yang terhampar."Dari dulu Mas sangat suka bertani. Waktu di Sekolah Dasar sudah mulai menanam sayur di pekarangan rumah. Entah mengapa kecintaan Mas terhadap.pertanian melebihi apapun," ucapku di sela membersihkan rumput di halaman rumah yang akan kami tempati."Adek suka juga bertani, Mas. Rumah dengan halaman seluas ini, bagaimana jika kita buat kolam dan juga pelihara bebek. Berternak ayam juga. Adek sangat suka berternak. Membayangkan setiap hari panen telur bebek dan jika kita kehabisan uang belanja tinggal mancing di kolam atau potong ayam atau bebek. Ya kan, Mas." Ada-ada saja istriku, seorang Bayu pemilik pabrik kayu tid
Hari ini semua pekerja sudah mulai mengerjakan tugasnya masing-masing. Beberapa orang tukang dan juga kuli bangunan sedang mengerjakan pembuatan kandang untuk ternak seperti bebek dan ayam. Beberapa pekerja yang lain mengolah tanah untuk di tanami sayur. Dan juga untuk menanam padi walau masih banyak yang perlu di benahi. Beberapa dari mereka membersihkan pematang sawah. Dan menebar racun tikus. Segala persiapan begitu matang aku persiapkan. Aku tidak mau bekerja setengah-setengah.Kuperhatikan Naya, istriku sangat antusias, raut bahagia terukir di wajahnya. Sekarang dia sedang sibuk di dapur menyiapkan cemilan buat para pekerja dengan di bantu oleh bik Romlah. "Bik, sudah siap membuat kue? Kalau sudah tolong bawain semua keluar, ya. Pekerjanya sedang istirahat tuh." tanyaku dan perintahku pada wanita paruh baya yang sedang membantu membuat gorengan bersama Naya di dapur.Hari ini Bik Romlah membuat kue bakwan dan juga pisang goreng untuk cemilan pekerja dan juga beberapa gelas k
"Mas, kayaknya Adek mau melahirkan," ucap Naya saat keluar dari kamar mandi. Wajahnya sangat pucat sedangkan tangan kanan memegang perut dan tangan kiri menopang pinggangnya. Nampaknya istriku menahan sakit sehingga terlihat wajahnya meringis kesakitan sehingga keluar urat-urat dari keningnya."Kita ke rumah sakit sekarang, ya?" tanyaku seraya mengambil tas berisi perlengkapan calon bayi kami dan juga perlengkapan Naya juga."Waduh, Mas. Sakit banget ya!" keluh Naya dengan mata seakan menahan cairan yang akan keluar dari sarangnya."Yang sabar ya, sayang?" Aku berusaha menenangkan Naya, sementara aku sendiri tidak tahu mau berbuat apa. Hati ini sungguh sangat sedih. Sebenarnya antara sedih dan juga bahagia. Sedih karena aku khawatir akan terjadi hal-hal yang tidak aku inginkan menimpa calon anak dan istriku. Bahagia karena sebentar lagi akan suara tangisan bayi di rumahku. Kami tidak akn sepi lagi."Bik Romlah. Tolong pegang istri saya dan tuntun dia ke depan, ya. Saya mau keluarkan
Semangatku untuk mencari nafkah semakin membara sejak kehadiran putra kami. Aku memberikan nama pada bayi kami dengan nama Daffa Arham yang artinya seorang pria yang penyayang, baik hati, suka memberikan semangat, dukungan dan membela sesama.Aku ingin mengumpulkan harta yang banyak sehingga buah hatiku bersama Naya kelak tidak pernah merasakan kekurangan. Karena cita-cita kami berdua sangat tinggi untuk permata hati kami itu.Hari ini Naya sudah bisa pulang ke rumah. Jahitan bekas operasi pun sudah mengering. Setelah mengantar Naya ke rumah, aku keluar sebentar meninjau para pekerja yang sedang mengerjakan pembibitan padi.Saat sedang dalam perjalanan tiba-tiba ponsel berdering. Segera aku angkat dan ternyata dari pak Herman."Assalamualaikum, Bay? Kamu dimana?" Aku tidak tahu apa maksud pak Herman menanyakan aku dimana. Padahal sudah jelas, sekarang aku bekerja sebagai pimpinan pabrik kayu sesuai perintahnya. Kenapa pak Herman jadi pelupa begitu ya?"Masih di desa Sumber Sari, Pak,"
"Kak Naya. Apa kabar?" tanya Clara dengan semangat membara dia berhambur ke pelukanku. Kami berdua berpelukan melepaskan rindu yang sudah sangat lama terpendam. Hampir enam bulan setelah sampai di desa sumber sari, baru ini kami berjumpa, biasanya hanya video call saja."Kabar baik, Cla. Kabar kamu sendiri bagaimana?" tanyaku seraya mengurai pelukan kami, aku memegang erat kedua bahunya dan menatap intens kedua bola matanya."Kabar baik dong kak. Kalau gak baik mana sampe Clara kemari," kelakar Clara. Bisa-bisanya dia bercanda padahal air mataku sudah menggenang dipelupuk mata siap keluar karena terharu melihat kedatangan anak-anak pak Herman. Mendengar celoteh Clara, air mata ini tidak jadi keluar mereka masuk lagi ke asalnya. "Ayo ... ayo masuk." Aku menarik lembut tangan gadis dua puluh tahun itu. Pak Arman dan istrinya ikut datang juga menjenguk kami yang sekarang sudah menetap di desa."Ibu ..." Clara berhambur ke dalam pelukan ibunya. Bu Widya sama pak Herman sampai geleng-gele
Hampir setahun kami menjadi warga kelurahan Suka Damai. Usaha toko pertanian kami termasuk lumayan maju karena belum ada yang membuka toko pertanian di desa ini. Bahkan banyak warga dari desa yang lain membeli bahan pertanian di toko kami.Begitu juga dengan hasil padi dan berternak bebek. Dari tiga ratus ekor sekarang sudah aku naikkan jumlahnya menjadi tiga ribu ekor. Ikan juga kami pelihara dikolam yanag dulunya hanya lima ratus ekor sekarang sudah kami naikkan menjadi tiga ribu. Dari ikan lele, gurame dan patin sudah tersedia di kolam kami. Dan juga kami salah satu pemasok ikan segar dan sayur segar ke super market-super market yang berada di kota ini."Mas sudah setahun Adek gak berjumpa dengan ibu. Tadi malam Adek bermimpi seakan ibu menangis. Ada apa ya, Mas? Adek kok khawatir ibu kenapa-kenapa. Khawatir juga bagaimana keadaannya sekarang," ucap Naya sendu. Selama pindah ke Sumatera, Naya tidak pernah berhubungan dengan keluarganya. Apalagi sekarang, kak Melly sudah menikah de
"Bu, kami pulang dulu ya! Ibu baik-baik di rumah. Nanti kalau ada kesempatan ibu kesana, Mengunjungi gubuk kami di desa," pamit Naya dengan berderai air mata."Iya, Nak. Kapan - kapan jika ada waktu, pasti ibu akan ke rumahmu. Kalian baik-baik di sana ya, Nak! Jangan berantem. Ibu disini selalu mendoakan kalian berdua," jawab ibu dengan berpelukan dan mengusap-usap punggung Naya. Setelah pelukan mereka terurai, aku juga mohon pamit kepada ibu mertua."Ibu, Bayu juga minta izin. Jika ibu ada waktu kesana, nanti beritahu kami, biar di jemput. Kalau gak sempat nanti Bayu suruh Jaenal. Pokoknya Ibu kasih tau aja kapan bisa datang," ucapku seraya meraih tangan ibu mertua, menyalaminya dan menciumnya dengan takzim."Iya, Nak. Tolong jaga Naya baik-baik ya, Bay?" pesan ibu. Ada rasa sedikit pedih di relung hati ini melihat mertua ku sekarang. Timbul rasa kasihan dan sayang secara bersamaan melihat beliau yang sangat jauh berbeda dengan ibu mertua dahulu."Iya, Bu. Ibu tenang aja. Kami di des
"Tolong jangan buat keributan di warung saya! Disini tempat orang makan dan beristirahat. Bukan ajang baku hantam! Kalau mau unjuk kehebatan, bukan disini tempatnya. Sana kalian, keluar dari warung saya. Gara-gara kalian pembeli saya pada lari," bentak pemilik warung dengan penuh amarah. Wajarlah beliau marah, gara-gara kami berdua pembeli jadinya tidak ada yang berani masuk. Malah banyak yang sudah masuk dan batal memesan makanan karena keributan antara aku dan Haris."Udah, Mas. Kita keluar saja dari sini. Malu dilihat orang. Kayak preman pasar aja," ujar Naya seraya menarik lenganku seakan dia sedang menyeret anak kecil agar pulang."Woi ... bedebah kau. Gara-gara kau aku dipecat. Dasar penjilat!" teriak Haris dengan penuh amarah. Dia tuduh aku ini penjilat tanpa menyadari apa kesalahan yang sudah dia lakukan dioerusahaan. Dia itu dipecat bukan karena hasutanku, pak Herman pun tidak bodoh. Memecat orang yang mempunyai kinerja baik hanya karena hasutan seorang Bayu? Wow ... hebat