"Sa-saya itu baik kalau menantu saya juga baik. Kalian bisa menilai sendiri kan, gimana saya bersikap? Berarti memang menantu saya yang tidak baik."
"Mbak Wiranti Itu baik kok orangnya sama tetangga. Masak iya sama Ibu mertua tidak baik?" tanya salah satu warga.
Ibu mertuaku terlihat mencebik. Lalu menatap ke arahku dengan tatapan tidak suka.
"Kamu mau mempermalukan Ibu?" tanya Ibu dengan nada berbisik.
****
Mas Bambang berpamitan pergi mencari kerja. Merapalkan doa-doa untuk keselamatannya dan juga semoga pekerjaan itu segera di dapatkannya. Aku segera menyapu seluruh lantai kontrakan. Tidak lupa mengepel sekalian. Meskipun perutku sudah besar namun tidak membuatku bermalas-malasan.
Kring-kring
Suara dering ponsel milikku terdengar cukup keras. Aku meletakan alat pel dan juga ember ditempatnya. Tidak lupa mengusap tangan pada belakang daster yang aku kenakan.
"Halo, Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam. Ti, kamu kemana saja kok lama?"
"Eh, Emak. Ini lagi ngepel. Jadi beresin dulu alat pel ya. Ada apa, Mak? Emak sehat kan?"
"Alhamdulilah, Emak sehat. Cuma mau memastikan kalau kamu baik-baik saja. Gimana, Nduk. Sehatkan semuanya?"
"Alhamdulilah, Mak. Semuanya sehat."
"Suamimu kemana?"
"Cari kerja, Mak," jawabku apa adanya karena memang Mas Bambang tengah pergi mencari pekerjaan.
"Kalau begitu, nanti kalau dia sudah pulang. Minta suamimu datang ke rumah Emak. Emak sudah panen. Kamu ambil beras ya? Kan lumayan tidak perlu membeli beras. Uangnya bisa digunakan untuk keperluan lain."
"Alhamdulilah. Iya, Mak. Nanti Ranti sampaikan pada Mas Bambang."
"Perasaan Emak nggak enak. Kamu nggak papa kan, Ti?"
Aku menghela napas panjang lalu membuangnya perlahan. Karena bagaimanapun juga Emak adalah Ibuku. Dia akan tahu juga pada akhirnya. Semakin lama aku menutupi mungkin rasa sakitnya akan semakin dalam. Akankah aku menceritakan semua kepadanya. Atau menyimpan untukku sendiri? Namun aku khawatir akan menambah beban hidupnya.
Ah, hidup memang sulit. Tidak seperti yang aku bayangkan selama ini.
"Ranti, kamu masih disana, Nduk?"
"Masih, Mak."
"Kenapa? Cerita sama Emak!"
"Nanti saja, Mak. Kalau Ranti pulang."
"Ya sudah kalau begitu. Jangan lupa makan dan juga tetap beribadah."
"Iya, Mak." Setelah mengucap salam aku akhirnya menutup teleponnya. Lalu aku kembali meletakan benda pipih itu diatas meja. Bokong kujatuhkan pada kursi. Aku menatap langit-langit kontrakan. Dadaku sesak seperti dihimpit batu besar.
Jika saja aku belum hamil, aku akan mencari pekerjaan untuk membantu Mas Bambang. Namun apalah daya. Harapanku yang ingin segera menimang bayi dikabulkan oleh Allah SWT. Tidak butuh waktu lama. Allah langsung mempercayakan kepada kami seorang anak yang kini aku jaga dalam rahimku.
Aku mengusap perutku yang bergerak kekanan dan ke kiri. Janin yang ada di dalam kandunganku sangat sehat, terbukti dia bergerak aktif setiap saat.
"Ranti …." Suara melengking yang terdengar di halaman rumah begitu memekakan telinga. Aku pun tergopoh-gopoh berjalan menemuinya. Benar saja, wanita tua itu tidak lain tidak bukan adalah Ibu mertuaku. Seorang janda yang ditinggal mati suaminya tujuh tahun lalu. Romlah namanya.
"Ada apa, Bu?"
"Ada apa, ada apa. Kamu ini gimana sih, ditelepon Toni kenapa nggak diangkat?" Aku mengerutkan alis, sedari tadi baru Panggilan dari Emak yang aku terima. Perasaanku Toni tidak menelpon. Apakah aku yang tidak mendengarnya?
"Ranti nggak denger, Bu. Maklum, Ranti bares-beres rumah."
"Ya sudah kalau begitu, kamu ke rumah sekarang mau ada tamu. Besan Ibu mau datang jadi kamu bantu masak di rumah."
"Iya, tunggu sebentar ya, Bu. Saya kunci rumah dulu!"
"Eh, maksud kamu apa? Mau nebeng?"
"Lha iya, kan Ibu bawa motor. Masak saya jalan kaki. Kan lumayan jauh Bu."
"Nggak bisa, ibu mau ke warung sekalian. Mau belanja, Ibu nggak bisa bawa kamu, berat." Wanita tua itu menatapku dari ujung kaki ke ujung kepala. Karena selama hamil berat badanku naik drastis.
"Lha terus aku gimana?"
"Terserah kamu! Mau terbang kek, mau lari kek. Ibu nggak peduli! Yang pasti kamu harus sudah ada di rumah saat Ibu udah pulang."
"Kenapa nggak sekalian sih, Bu?"
"Kamu bud*g ya? Kan Ibu sudah bilang kalau Ibu mau ke warung ditambah badanmu itu yang kek gajah. Mana kuat Ibu boncengan kamu!"
"Astagfirullahaladzim, sabar Bu."
"Sabar … sabar. Nggak usah ngajarin Ibu. Sudah pergi sana! Ibu mau ke warung yang ada di ujung jalan dulu. Mau beli kebutuhan lainnya."
Aku beristighfar berkali-kali dalam hati. Kemudian menghela napas panjang lalu membuangnya perlahan.
Aku menatap Ibu mertua yang pergi membawa motor matic serupa vespa berwarna crem itu.
"Ya sudah kalau begitu." Aku kembali masuk kedalam rumah. Mengambil handuk berniat membersihkan badan dengan mandi.
Aku membasahi seluruh tubuh ini dengan air. Begitu menyegarkan, membuat janin yang ada di dalam rahimku menggeliat. Membuatku menghirup oksigen sebanyak-banyaknya. Karena memang terasa sedikit nyeri di bagian perut di mana dia kerap kali menendang.
Setelah selesai aku segera membuka tudung saja. Tadi pagi aku sudah menggoreng ikan dan juga membuat sambal bawang. Rasanya aku ingin makan lagi, meskipun ini adalah sarapan yang kedua kali. Entah mengapa semanjak hamil nafsu makanku berlipat-lipat. Mungkin karena ada janin yang kini ikut menikmatinya. Ah, rasanya hamil ini begitu luar biasa nikmatnya bagiku.
Aku menikmati makanan yang ada dihadapanku. Setelah selesai aku membawa piring kotor pada wastafel. Mencuci tangan lalu mengeringkan tangan dengan kain lap.
Ketika aku hendak ke belakang, terdengar ponselku yang terus menjerit ingin segara diangkat. Aku pun dengan tergopoh-gopoh menghampiri benda pipih itu yang tergeletak diatas meja makan.
Nama Toni tertera di sana. Lingkaran hijau yang terus melompat-lompat segera aku geser ke atas.
"Mbak, disuruh Ibu ke sini sekarang!"
Aku menghirup oksigen sebanyak-banyaknya. Lalu membuangnya perlahan.
Aku harus bisa melawan. Kalau tidak, sampai kapanpun aku akan ditindas dan juga dihina karena uang tidak aku punya. Apalagi berharap Mas Bambang tiba-tiba memiliki pekerjaan dengan gaji besar, mustahil.
"Nanti kalau Mas Bambang pulang!"
"Lho … mau kesini jam berapa? Ibu kan sudah bilang kalau kamu harus sudah ada dirumah saat ibu pulang. Malah sekarang masih ada di rumah!" Tiba-tiba suara Toni berubah menjadi Ibu mertuaku. Membuatku memutar bola malas dengan ponsel yang menempel pada telinga.
"Tadi Ranti mau bareng nggak boleh!"
"Kamu berat, Ran. ibu nggak kuat."
"Ya sudah kalau begitu, suruh Tini jemput Ranti sekarang, Bu!"
"Halah, manja banget. Minta dijemput!"
"Ya sudah kalau begitu. Nanti Ranti kesana kalau Mas Bambang sudah pulang."
"Heeh. Ton, jemput Mbakmu Ranti di kontrakannya sekarang! Keburu besan datang belum siap makanannya." Terdengar Ibu mertuaku meminta Toni untuk menjemputku. Meskipun terdengar nada bicaranya tak enak. Namun tidak masalah, toh aku juga tidak bisa melihat wajahnya secara langsung.
Setelah telepon itu dimatikan secara sepihak. Aku segera mengambil jilbab instan dan juga tas untuk menyimpan ponsel dan juga dompet. Mengunci pintu rumah lalu menunggu di kursi teras.
Disela-sela aku menunggu. Aku habiskan untuk membaca novel kesukaanku.
Namun mataku membelalak ketika melihat satu status dari seseorang.
Salah satu penulis favoritku membuka kelas menulis. Tanpa dipungut biaya alias gratis. Aku yang saat ini suka dengan membaca akhirnya memutuskan untuk mengikuti kelasnya. Mendaftarkan diri dengan modal nekat mengubah nasib. Karena dari kabar yang beredar jika seseorang berhasil dalam menulis sebuah novel. Dia bisa membeli apapun yang diinginkan. Termasuk membeli tanah para mantan. Ah, membayangkannya saja begitu menggiurkan. Harapannya aku bisa seperti mereka. Jika tidak bisa membeli tanah paling tidak bisa membeli hinaan mertua yang kadang meresahkan.Huh hah "Mbak …." Suara Toni membuyarkan lamunanku. Entah kapan adik iparku itu sudah tiba. Dia masih duduk manis di atas motornya. Aku pun berjalan tergopoh-gopoh menghampirinya. "Lama.""Sabar, namanya juga Ibu hamil. Jalannya pelan.""Memangnya Ibu mau masak apa? Banyak ya?" Aku kembali bertanya sembari menjatuhkan bobot tubuhku di atas motor."Mana kutahu, Mbak. Aku kan cowok mana tahu urusan dapur.""Kan Mbak cuma tanya. Nggak u
BAB 5"Ya Allah … Ranti. Jam berapa ini? Kok makanannya belum ada? Nanti keburu tamu Ibu datang." Suara Ibu mertua melengking membuat aku spontan memejamkan mata. Menghirup oksigen sebanyak-banyaknya lalu membuangnya perlahan.Wanita yang keluar kamar telah berganti pakaian itu terlihat gusar. Tangannya terus saja bergerak mencari makanan yang sudah matang. Namun sayang, belum satu menu pun terhidang di meja. "Bu, Ranti ini hamil besar. Mana bisa masak cepat!" jawabku santai. Semua bahan baru aku siapkan. Tiba-tiba suara Ibu-ibu dari luar sudah terdengar riuh."Tu … kan teman ibu sudah pada datang! Gimana ini?""Ya disuruh masuk lah, Bu!" jawabku santai."Ah, kamu ini bikin malu saja!" Ibu terlihat menahan amarah lantas melewatiku berjalan menuju temannya yang baru saja datang."Assalamualaikum …." Terdengar salam dari luar. Aku pun turut menjawab salam dengan suara pelan. Riuh dan juga tawa yang cukup keras membuatku menggelang kepala. Lantas aku segera menyelesaikan membuat bumbu.
DINak Intan Ini selain pintar juga bijaksana. Beruntung kamu, Gas. Dapat istri cantik dan juga pintar kek intan."'Itu kan belum semuanya terlihat. Kita lihat saja nanti bagaimana sikap Intan yang sebenarnya. Semoga saja baik seperti sekarang. Bukan hanya sekedar topeng sebelum sah menjadi menantu' ucapku dalam hati.****Aku selesai memasak nasi goreng. Menyiapkan sarapan di meja lalu menarik kursi untuk menjatuhkan bokongku. Tidak berapa lama Mas Bambang keluar dari kamar sudah mengenakan pakaian putih dan celana hitam. Persis pakaian yang ia gunakan kemarin."Masak apa, Dek?" tanya laki-laki itu seperti biasa."Nasi goreng. Kamu mau cari pekerjaan lagi, Mas?" tanyaku."Ow, iya. Kemarin Mas belum cerita ya. Mas pulang kamu sudah tidur. Keknya capek banget habis bantuin Ibu masak-masak.""Iya, capek hati dan juga capek badan!" sahutku sembari memasukan sendok pada mulut.Mas Bambang terlihat menghela napas panjang lalu membuangnya perlahan. Aku tahu dalam lubuk hatinya pasti sangatla
"Halah, jadi babu saja sombong. Mending kerja sama Ibu. Bisa berangkat kapan saja. Bisa makan gratis!" Bibir Ibu mencebik. Tangannya dilipat di depan dada."Alhamdulilah, babu juga kerjaan halal kok Bu.""Halah, pokoknya nanti kalau Bambang pulang suruh ke rumah Ibu! Biar Ibu yang bicara!" Tanpa menunggu jawaban dariku. Wanita tua itu lantas pergi tanpa pamit. ****Jam menunjukan angka lima lebih lima belas menit, matahari sudah mulai turun ke peraduannya. Aku segera menutup semua jendela dan juga groden. Dimana hari semakin gelap. Disaat aku tengah menutup pintu. Suara kendaraan milik Mas Bambang terdengar berhenti di halaman rumah. Belum juga aku melihat ke luar. Suara pintu terbuka membuat aku segera menoleh ke arahnya. Disana laki-laki dengan lesung pipi di kedua sisi sudah masuk kedalam rumah. Aku pun tersenyum."Dek, kamu ngapain disitu?" tanya Mas Bambang kepadaku. Aku yang tengah berada di dekat jendela lantas memutar badan berjalan ke arah Mas Bambang."Lagi nutup jendela,
"Kamu baca sendiri!"Mas Bambang lantas meraih ponsel yang aku sodorkan. Dia lantas mencari pesan yang dikirim Ibunya. Terlihat disana wajah lelaki itu terlihat membuang napas panjang. Lalu entah apa yang dia ketik. Jari jemarinya seolah menari pada layarnya."Sudah nggak usah dipikirin. Ibu memang seperti itu! Kamu tahu itu!""Tapi, Mas. Kamu ini anaknya lho. Dia itu kok kesannya meremehkan. Bukannya seorang Ibu itu seharusnya mendoakan yang baik-baik untuk anak-anaknya. Lantas ini apa? Dia malah merendahkan pekerjaan kamu! Dan kamu cuma diam saja!""Nggak baik, Dek. Melawan orang tua.""Mas ini bukan melawan tapi ….""Tapi apa? Sudahlah, biarkan Mas besok datang ke rumah Ibu. Untuk membicarakan ini. Kamu tenang saja." Bibirku mencebik setelah mendengarkan penuturan Mas Bambang. Entah terbuat dari apa hati lelaki itu. Dia bisa bersikap tenang, jika aku menjadi posisinya mungkin sudah aku tegur wanita itu. Meskipun dia ibu kandungku. Namun sikapnya memang keterlaluan bukan?*****Mas
"Jangan Mbak pikirkan soal Ibu. Ibu nggak akan pernah tahu jika Mbak Ranti tidak mengatakannya kepada beliau." Aku diam. Benar juga. Jika aku tidak mengatakan apa-apa pasti Ibu mertuaku itu tidak akan pernah tahu. Memang selama ini Mas Bambang baik pada Bagas maupun Toni. Jika sikap Bagas yang juga baik kepadaku karena balas budi. Tidak halnya Toni, dia bersikap acuh mungkin tidak peduli denganku. Memang berbeda anak berbeda karakter meskipun satu Ibu yang sama.Huh hahAku membuang napas dalam-dalam. Lalu menatap Bagas dengan lekat. Lelaki itu mengangguk memberi tanda bahwa aku harus menerima.****"Bismilah," ucapku untuk memulai mengirim naskah pertamaku. Berharap diterima di salah satu platform kepenulisan. Jantungku berdebar tidak beraturan, pasalnya ini kali pertama karyaku di kirim. Semoga bisa membuahkan hasil.[Semangat, Ranti. Tulisan kamu bagus, pasti diterima kok!] Pesan dari sahabat, dia tahu soal keputusanku untuk menulis.[Doakan ya, semoga aku bisa nulis eksklusif disa
Apa operasi?" Ibu mertua kembali bertanya. Memastikan apa yang dikatakan Bambang benar adanya. Panjang lebar laki-laki itu menjelaskan. Hingga tanpa kusadari bulir-bulir bening itu meluncur begitu saja."Kamu tenang, Ranti. Mas akan selalu ada disampingmu. Kamu jangan pernah khawatir!""Bukan masalah Ranti. Akan tetapi masalah uangnya. Gimana sih kamu, Bang. Main setuju-setuju saja. Kalau operasi siapa yang mau bayar dengan biaya sebanyak itu?!" ****Aku membuka mata. Menatap langit-langit kamar yang bercat putih dengan lampu yang menyala terang. Aku mengerjapkan kedua mata, lalu menoleh ke samping ranjang. Benar saja, disana ada Mas Bambang yang tengah setia menemaniku. Dan satu lagi sosok wanita paruh baya yang tidak asing lagi di mataku. "Emak …." Aku bergumam, entah mengapa air mata itu tumpah dengan sendirinya.Wanita yang tengah tertidur pulas itu membuka matanya. Menatapku lekat lalu bergegas menghampiri."Kenapa kamu, Ranti? Ada yang sakit?" tanya wanita itu. Tangannya mengu
Tut … Tut.Aku langsung menghubungi Tami, sahabatku. Menanyakan perihal foto yang ia kirim kepadaku. "Assalamualaikum," salam aku ucapkan setelah orang yang ada di seberang telepon mengangkat telepon. "Waalaikumsalam, Ranti. Ada apa? Pasti nanyain soal foto yang tadi aku kirim?" Wanita itu langsung menebak isi kepalaku. Aku tersenyum meski Tami tidak bisa melihat. "Iya, apa benar karya-karyaku bisa diterima pembaca?" tanyaku antusias. Jantung ini bekerja lebih cepat dari biasanya. Meskipun terdengar sepele, akan tetapi bagiku ini begitu luar biasa. Ini kali pertama aku mengirim naskah dan itu langsung diterima oleh pembaca dengan baik. Alangkah bahagianya aku, ini adalah suatu awal yang baik untuk kedepannya. Harapanku satu, aku bisa membungkam mulut sang mertua dengan kesuksesanku."Iya, alhamdulilah. Bagus itu, ayu buruan nulis. Eh, ngomong-ngomong kamu habis lahiran ya? Maaf, aku belum sempat main. Nanti ya kalau ada waktu pasti main ke rumah kamu. Author yang baik hati dan jug
"Maksud kamu apa, Mbak?" Toni mengalihkan pandangannya pada Ranti. "Iya, kata Ibu. Beliau menggunakan sapi-sapi meninggalkan bapak untuk membiayai kuliahmu. Jadi sekarang buktikan kalau sekolahmu bukan dari keringat Mas Bambang." Dengan santai Ranti berbicara. Entah keberanian dari mana wanita itu dapatkan. Kini Ranti lebih tegas pada Toni."Haduh, baru ambil sapi saja sudah sombong kamu, Mbak. Apalagi kalau sudah punya banyak sapi," sungut Toni tidak terima mendengar pernyataan Ranti."Amin, makasih ya doanya.""Haist …." Toni mendesah pelan. Dia keluar dari aplikasi game online. Dimana dia kalah ketika berbicara dengan Ranti. Bertambah kesal ketika Ranti bukannya marah justru berterima kasih pada Toni. Ya semudah itu adik ipar Ranti tersinggung. Tanpa mengucap salam maupun permisi Toni meninggalkan Ranti. Dia mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi. Jarak antara kontrakan Ranti dengan rumah sang mertua tidak terlalu jauh. Kisaran lima belas menit saja jika mengunakan motor.
Semenjak Bambang mengambil sapi paksa dari kandang Romlah selama itu wanita tua itu tidak lagi bertandang ke rumah kontrakan Bambang. Bertanya Kabar melalui sambungan telepon pun tidak. Begitu juga dengan laki-laki itu, dia justru sibuk merawat sapinya. Mencarikan rumput dan membersihkan kandang. Ketika Bambang sibuk di kandang. Ranti tengah makan siang dengan lauk sayur bayam di meja makan. Begitu juga dengan Suminah. Mereka duduk berhadapan menyantap makanan sederhana itu. Sedangkan sang putri dia biarkan tidur di kamar dengan ditutupi kerodong bayi."Nduk, kamu sudah sehat kan? Emak mau pulang dulu, emak kan juga harus ngurus ayam di rumah yang sudah dua Minggu di urus sama tetangga. Masa iya, Emak minta tolong terus. Kan sungkan!" ucap Suminah di sela-sela dia mengunyah makanan. Ranti yang mendengarnya pun mengangguk. Dia sudah merasakan jahitan sudah tidak nyeri lagi. Kontrol ke rumah sakit pun sudah tidak perlu, kata dokter jahitan Ranti sudah mengering dengan sempurna. Apa ya
"Bambang nekat mengambil sapi milik ibunya. Sekarang ibunya marah-marah!""Astaghfirullah hal adzim," celetuk Ranti spontan begitu juga dengan Suminah. Mereka saling berpandangan. Apa yang ditakutkan terjadi, Bambang nekat dengan keyakinannya."Bagaimana ini, Mak. Ranti tidak mungkin meninggalkan Filzah di rumah.""Emak juga tidak mungkin datang ke sana, Ranti. Emak takut dikira ikut campur.""Kalau begitu kita tunggu saja Bambang di rumah.""Tapi, Mak. Nanti kalau Ibu marah-marah bagaimana? Mas Bambang ngadepin Ibu sendirian, kasihan dia!" Baru saja kedua wanita itu selesai bicara terdengar suara riuh dari luar sana yang terdengar semakin lama semakin mendekat. Ranti dan juga Suminah terus menunggu sebenarnya apa yang terjadi. Tidak butuh waktu lama, segerombolan orang sudah datang membawa sapi dengan berjalan cepat. Begitu juga dengan Mas Bambang dia terlihat menarik sapi betina itu dengan tali yang dikalungkan di leher."Pegang yang kuat, Pak. Kita masukan sapinya ke kandang sekaran
Setelah terungkapnya kebenaran itu. Bambang tidak lagi datang ke rumah orang tuanya. Dia juga tidak lagi mengungkit-ungkit masalah uang. Yang ada kini justru sibuk menyiapkan sebuah kandang hewan di belakang rumah kontrakan. Wiranti yang semula hanya memperhatikan kini membernaikan diri bertanya."Mas, itu buat apa?""Kandang sapi, Dek.""Kandang sapi?" Wiranti membeo. Bersamaan dengan itu Suminah datang menghampiri. Ikut berdiri di samping sang putri menatap Bambang penuh arti."Kamu dapat uang dari mana buat beli sapi?" tanya Wiranti dengan polosnya. Karena yang dia tahu. Tidak mungkin dia meminta sapi pada mertuanya itu, meskipun gelar ibu kandung di sandangnya tidak mungkin wanita itu rela membagi sapi itu pada anaknya. Bambang yang tengah memukul paku menghentikan kegiatannya. Lantas dia mengusap keningnya yang berkeringat. Menatap kedua wanita yang saat ini memperhatikan itu dengan seksama."Mas mau ngambil sapi yang seharusnya milik kita, Ti.""Maksud Mas Bambang apa? Ranti ng
Romlah diam, netranya terus bergerak kesana-kemari. Bambang yang mendengar penuturan Bagas baru saja terlihat menatap adik kandungnya itu dengan seksama. Sorot matanya menggambarkan bahwa ia kini tengah menanti suatu penjelasan."Maksud kamu apa, Gas?" pertanyaan Bambang membuat Romlah semakin gelisah. Wanita itu terus membenarkan rambut kemudian menyelipkannya di antara telinga. "Bu, jelaskan kepada Mas Bambang sebenarnya apa yang sudah terjadi. Agar semuanya jelas dan juga tidak salah paham begini!" Kini giliran Bagas yang meminta wanita itu untuk berterus terang. Bambang yang semula memperhatikan ibunya kini beralih pada Bagas yang duduk tidak jauh dengan Romlah."Tidak ada yang perlu dijelaskan. Sapi-sapi itu dibeli dengan menggunakan uang Ibu. Titik!" ucap Romlah dengan nada ketus. Wajahnya melengos setelah selesai berucap. Tidak ingin menatap Bambang lebih lama."Bu …." Bagas memohon. Akan tetapi, Romlah seakan tidak peduli. Dia tetap dengan pendiriannya. Berdiri dari tempat di
"Maafkan Ranti, Mas. Uang itu diberikan Bagas sebagai ucapan terima kasih kepada kamu, Mas. Sudah bantu dia buat biayain kuliah hingga bisa seperti sekarang. Dia ngasih uang itu buat biaya persalinan. Terbukti uang itu juga kita gunakan. Akan tetapi, belum juga aku bilang sama kamu soal Itu aku keburu lahiran, Mas. Maafin aku ya?" Tatapanku sendu. Ada rasa menyesal terlihat jelas pada wajah dan juga sikapku. Ya aku menyesal.Huh hahMas Bambang terdengar membuang napas panjang. Aku yakin ada beban berat yang kini tengah ia rasakan. Bukan bermaksud menjadikan beban soal operasi caesar yang aku jalani ini. Akan tetapi, dokter memiliki alasan demi menyelamatkan buah hati. Air ketuban yang terus keluar tanpa diikuti pembukaan membuat janin yang ada di dalam rahim terancam keselamatannya."Semua bisa dibicarakan baik-baik, Bang. Jangan sampai amarahmu membuat kamu gelap mata. Ingat, dia itu ibumu yang harusnya sama kamu hormati. Ya?!" Wanita itu berbicara panjang lebar, membuatku merasa b
Tut … Tut.Aku langsung menghubungi Tami, sahabatku. Menanyakan perihal foto yang ia kirim kepadaku. "Assalamualaikum," salam aku ucapkan setelah orang yang ada di seberang telepon mengangkat telepon. "Waalaikumsalam, Ranti. Ada apa? Pasti nanyain soal foto yang tadi aku kirim?" Wanita itu langsung menebak isi kepalaku. Aku tersenyum meski Tami tidak bisa melihat. "Iya, apa benar karya-karyaku bisa diterima pembaca?" tanyaku antusias. Jantung ini bekerja lebih cepat dari biasanya. Meskipun terdengar sepele, akan tetapi bagiku ini begitu luar biasa. Ini kali pertama aku mengirim naskah dan itu langsung diterima oleh pembaca dengan baik. Alangkah bahagianya aku, ini adalah suatu awal yang baik untuk kedepannya. Harapanku satu, aku bisa membungkam mulut sang mertua dengan kesuksesanku."Iya, alhamdulilah. Bagus itu, ayu buruan nulis. Eh, ngomong-ngomong kamu habis lahiran ya? Maaf, aku belum sempat main. Nanti ya kalau ada waktu pasti main ke rumah kamu. Author yang baik hati dan jug
Apa operasi?" Ibu mertua kembali bertanya. Memastikan apa yang dikatakan Bambang benar adanya. Panjang lebar laki-laki itu menjelaskan. Hingga tanpa kusadari bulir-bulir bening itu meluncur begitu saja."Kamu tenang, Ranti. Mas akan selalu ada disampingmu. Kamu jangan pernah khawatir!""Bukan masalah Ranti. Akan tetapi masalah uangnya. Gimana sih kamu, Bang. Main setuju-setuju saja. Kalau operasi siapa yang mau bayar dengan biaya sebanyak itu?!" ****Aku membuka mata. Menatap langit-langit kamar yang bercat putih dengan lampu yang menyala terang. Aku mengerjapkan kedua mata, lalu menoleh ke samping ranjang. Benar saja, disana ada Mas Bambang yang tengah setia menemaniku. Dan satu lagi sosok wanita paruh baya yang tidak asing lagi di mataku. "Emak …." Aku bergumam, entah mengapa air mata itu tumpah dengan sendirinya.Wanita yang tengah tertidur pulas itu membuka matanya. Menatapku lekat lalu bergegas menghampiri."Kenapa kamu, Ranti? Ada yang sakit?" tanya wanita itu. Tangannya mengu
"Jangan Mbak pikirkan soal Ibu. Ibu nggak akan pernah tahu jika Mbak Ranti tidak mengatakannya kepada beliau." Aku diam. Benar juga. Jika aku tidak mengatakan apa-apa pasti Ibu mertuaku itu tidak akan pernah tahu. Memang selama ini Mas Bambang baik pada Bagas maupun Toni. Jika sikap Bagas yang juga baik kepadaku karena balas budi. Tidak halnya Toni, dia bersikap acuh mungkin tidak peduli denganku. Memang berbeda anak berbeda karakter meskipun satu Ibu yang sama.Huh hahAku membuang napas dalam-dalam. Lalu menatap Bagas dengan lekat. Lelaki itu mengangguk memberi tanda bahwa aku harus menerima.****"Bismilah," ucapku untuk memulai mengirim naskah pertamaku. Berharap diterima di salah satu platform kepenulisan. Jantungku berdebar tidak beraturan, pasalnya ini kali pertama karyaku di kirim. Semoga bisa membuahkan hasil.[Semangat, Ranti. Tulisan kamu bagus, pasti diterima kok!] Pesan dari sahabat, dia tahu soal keputusanku untuk menulis.[Doakan ya, semoga aku bisa nulis eksklusif disa