BAB 5
"Ya Allah … Ranti. Jam berapa ini? Kok makanannya belum ada? Nanti keburu tamu Ibu datang." Suara Ibu mertua melengking membuat aku spontan memejamkan mata. Menghirup oksigen sebanyak-banyaknya lalu membuangnya perlahan.
Wanita yang keluar kamar telah berganti pakaian itu terlihat gusar. Tangannya terus saja bergerak mencari makanan yang sudah matang. Namun sayang, belum satu menu pun terhidang di meja.
"Bu, Ranti ini hamil besar. Mana bisa masak cepat!" jawabku santai. Semua bahan baru aku siapkan. Tiba-tiba suara Ibu-ibu dari luar sudah terdengar riuh.
"Tu … kan teman ibu sudah pada datang! Gimana ini?"
"Ya disuruh masuk lah, Bu!" jawabku santai.
"Ah, kamu ini bikin malu saja!" Ibu terlihat menahan amarah lantas melewatiku berjalan menuju temannya yang baru saja datang.
"Assalamualaikum …." Terdengar salam dari luar. Aku pun turut menjawab salam dengan suara pelan. Riuh dan juga tawa yang cukup keras membuatku menggelang kepala. Lantas aku segera menyelesaikan membuat bumbu. Jika bumbu sudah selesai baru aku akan memulai memasaknya. Karena hamil besar jadi aku memutuskan untuk meracik semuanya tinggal eksekusi saja. Meskipun membutuhkan banyak waktu tapi aku tidak peduli. Toh, semua aku kerjakan sendiri. Jadi jangan salahkan aku jika aku sesuka hati mengerjakannya.
"Ya Allah, Ranti. Kenapa kamu masak? Kamu lagi hamil besar lho! Bu Romlah ini kok kebangetan. Menantu lagi hamil besar kok ya di suruh masak. Banyak lagi! Dasar!" ucap salah satu teman Ibu mertua. Membuatku mengulum senyum. Aku tahu apa yang harus aku lakukan. Aku bergumam dalam hati.
"Saya nggak nyuruh kok, Bu suwer. Ranti sendiri yang minta. Ini semua sebenarnya mau saya masak sendiri. Tapi dia kekeh mau membantu." Ibu menyahut lalu bersikap seolah dia mau memasak.
"Ya sudah kalau begitu. Ibu-Ibu … kita bantuin Ranti masak dulu ya. Baru nanti arisan dimulai!" pinta salah satu Ibu-ibu yang berdandan sedikit menor.
"Okay," sahut yang lainnya.
"Sudah Mbak Ranti kamu istirahat dulu sana! Biar semuanya kami yang masak. Iya kan Ibu Romlah?!"
"I-iya, Bu. Istirahat saja kamu Ranti. Biar kami yang meneruskan." Aku bersyukur dalam hati. Lalu membalasnya dengan senyuman. Setelah itu aku sengaja mencuci tangan. Lantas berjalan tergopoh-gopoh menuju ruang tamu yang sudah di gelar tikar. Kemudian aku bercengkrama dengan Ibu-ibu lainnya. Satu persatu Ibu-ibu yang tadi berniat membantu di dapur akhirnya ikut duduk di ruang tamu.
Dan pada akhirnya Ibu mertuaku lah yang sedari tadi masak seluruh menu. Begitu juga membuatkan minuman. Aku hanya bisa tersenyum sembari menatap ke arah wanita tua itu.
Pasti di dalam lubuk hatinya terus memaki aku, hahaha. Aku hanya bisa menahan tawa di dalam hati. Meskipun rasanya ingin tertawa terbahak-bahak.
Aku yang semula diminta datang kemari untuk membantu memasak malah kini aku duduk dengan santai sembari menikmati makanan. Tidak berapa lama suara motor milik adik iparku terdengar berhenti.
"Assalamualaikum." Seorang wanita mengenakan hijab berwarna hitam masuk dengan senyuman mengembang. Siapa lagi kalau bukan calon adik ipar.
"Eh, Nak Intan. Masuk-masuk … ibu-ibu perkenalkan Ini Intan. Calon istri Bagas. Dia ini seorang guru."
"Wah, cantiknya." Suara riuh kembali terdengar membuatku hanya bisa menunduk. Karena aku tahu Ibu memang sengaja memperkenalkan calon menantu barunya. Dan sengaja menekankan kata guru agar sadar bahwa aku ini menantu yang tidak memiliki penghasilan alias pengangguran.
"Alamak, Ibu Romlah ini beruntung. Bisa memiliki calon menantu seorang pegawai negeri!" ucap salah satu ibu-ibu arisan. Apakah jika menantu tidak memiliki pekerjaan maupun penghasilan sangatlah rendah? Ya Tuhan. Beri aku kekuatan untuk membuktikan bahwa aku bisa membungkam semua penghinaan ini dengan kesuksesanku sebagai ibu rumah tangga yang berpenghasilan besar. Amin.
"Iya, Bu. Alhamdulilah. Paling tidak dia bisa mengangkat derajat mertua dan juga suami. Bagas, calon suaminya juga alhamdulilah sekarang sudah menjadi pegawai tetap di kantornya. Alhamdulilah banget."
"Alhamdulilah, dong Bu. Lha si Bambang itu bagaimana? Bukannya baru saja di PHK ya?"
"Iya, Bu. Sekarang jadi pengangguran!" Suara Ibu mulai tidak enak didengar. Beberapa teman Ibu justru malah mengelus punggungku. Menguatkanku agar tidak memasukan ke dalam hati kata-kata Ibu mertuaku baru saja.
"Yang sabar, Mbak Ranti. Jangan berkecil hati. Rejeki sudah ada yang ngatur," bisik salah satu Ibu-ibu arisan.
Aku hanya menjawab dengan anggukan kepala.
Setelah arisan selesai. Semua Ibu-ibu akhirnya pergi meninggalkan rumah. Sedangkan Intan dan aku duduk di kursi teras. Sedangkan Ibu mertua duduk di dekat Intan bersama Bagas.
"Ranti, contoh itu si Intan. Sekolah tinggi jadi guru. Nggak bisanya ngabisin duit suami!" Suara Ibu kembali membuatku tersudut.
"Ibu ini bicara apa?" Bagas mencoba membuat Ibunya diam. Mungkin tidak enak jika di dengar Intan.
"Menjadi Ibu rumah tangga bukanlah suatu hinaan kok, Bu. Justru sangat banyak pekerjaan yang dilakukan di rumah. Ya menjaga anak, ngurus suami, masak dan juga bersih-bersih. Ya kan Mbak?" ucapan Intan dijawab dengan anggukan kepala oleh Ibu sembari bibir mengulum senyum.
"Nak Intan Ini selain pintar juga bijaksana. Beruntung kamu, Gas. Dapat istri cantik dan juga pintar kek intan."
'Itu kan belum semuanya terlihat. Kita lihat saja nanti bagaimana sikap Intan yang sebenarnya. Semoga saja baik seperti sekarang. Bukan hanya sekedar topeng sebelum sah menjadi menantu' ucapku dalam hati.
Bersambung
DINak Intan Ini selain pintar juga bijaksana. Beruntung kamu, Gas. Dapat istri cantik dan juga pintar kek intan."'Itu kan belum semuanya terlihat. Kita lihat saja nanti bagaimana sikap Intan yang sebenarnya. Semoga saja baik seperti sekarang. Bukan hanya sekedar topeng sebelum sah menjadi menantu' ucapku dalam hati.****Aku selesai memasak nasi goreng. Menyiapkan sarapan di meja lalu menarik kursi untuk menjatuhkan bokongku. Tidak berapa lama Mas Bambang keluar dari kamar sudah mengenakan pakaian putih dan celana hitam. Persis pakaian yang ia gunakan kemarin."Masak apa, Dek?" tanya laki-laki itu seperti biasa."Nasi goreng. Kamu mau cari pekerjaan lagi, Mas?" tanyaku."Ow, iya. Kemarin Mas belum cerita ya. Mas pulang kamu sudah tidur. Keknya capek banget habis bantuin Ibu masak-masak.""Iya, capek hati dan juga capek badan!" sahutku sembari memasukan sendok pada mulut.Mas Bambang terlihat menghela napas panjang lalu membuangnya perlahan. Aku tahu dalam lubuk hatinya pasti sangatla
"Halah, jadi babu saja sombong. Mending kerja sama Ibu. Bisa berangkat kapan saja. Bisa makan gratis!" Bibir Ibu mencebik. Tangannya dilipat di depan dada."Alhamdulilah, babu juga kerjaan halal kok Bu.""Halah, pokoknya nanti kalau Bambang pulang suruh ke rumah Ibu! Biar Ibu yang bicara!" Tanpa menunggu jawaban dariku. Wanita tua itu lantas pergi tanpa pamit. ****Jam menunjukan angka lima lebih lima belas menit, matahari sudah mulai turun ke peraduannya. Aku segera menutup semua jendela dan juga groden. Dimana hari semakin gelap. Disaat aku tengah menutup pintu. Suara kendaraan milik Mas Bambang terdengar berhenti di halaman rumah. Belum juga aku melihat ke luar. Suara pintu terbuka membuat aku segera menoleh ke arahnya. Disana laki-laki dengan lesung pipi di kedua sisi sudah masuk kedalam rumah. Aku pun tersenyum."Dek, kamu ngapain disitu?" tanya Mas Bambang kepadaku. Aku yang tengah berada di dekat jendela lantas memutar badan berjalan ke arah Mas Bambang."Lagi nutup jendela,
"Kamu baca sendiri!"Mas Bambang lantas meraih ponsel yang aku sodorkan. Dia lantas mencari pesan yang dikirim Ibunya. Terlihat disana wajah lelaki itu terlihat membuang napas panjang. Lalu entah apa yang dia ketik. Jari jemarinya seolah menari pada layarnya."Sudah nggak usah dipikirin. Ibu memang seperti itu! Kamu tahu itu!""Tapi, Mas. Kamu ini anaknya lho. Dia itu kok kesannya meremehkan. Bukannya seorang Ibu itu seharusnya mendoakan yang baik-baik untuk anak-anaknya. Lantas ini apa? Dia malah merendahkan pekerjaan kamu! Dan kamu cuma diam saja!""Nggak baik, Dek. Melawan orang tua.""Mas ini bukan melawan tapi ….""Tapi apa? Sudahlah, biarkan Mas besok datang ke rumah Ibu. Untuk membicarakan ini. Kamu tenang saja." Bibirku mencebik setelah mendengarkan penuturan Mas Bambang. Entah terbuat dari apa hati lelaki itu. Dia bisa bersikap tenang, jika aku menjadi posisinya mungkin sudah aku tegur wanita itu. Meskipun dia ibu kandungku. Namun sikapnya memang keterlaluan bukan?*****Mas
"Jangan Mbak pikirkan soal Ibu. Ibu nggak akan pernah tahu jika Mbak Ranti tidak mengatakannya kepada beliau." Aku diam. Benar juga. Jika aku tidak mengatakan apa-apa pasti Ibu mertuaku itu tidak akan pernah tahu. Memang selama ini Mas Bambang baik pada Bagas maupun Toni. Jika sikap Bagas yang juga baik kepadaku karena balas budi. Tidak halnya Toni, dia bersikap acuh mungkin tidak peduli denganku. Memang berbeda anak berbeda karakter meskipun satu Ibu yang sama.Huh hahAku membuang napas dalam-dalam. Lalu menatap Bagas dengan lekat. Lelaki itu mengangguk memberi tanda bahwa aku harus menerima.****"Bismilah," ucapku untuk memulai mengirim naskah pertamaku. Berharap diterima di salah satu platform kepenulisan. Jantungku berdebar tidak beraturan, pasalnya ini kali pertama karyaku di kirim. Semoga bisa membuahkan hasil.[Semangat, Ranti. Tulisan kamu bagus, pasti diterima kok!] Pesan dari sahabat, dia tahu soal keputusanku untuk menulis.[Doakan ya, semoga aku bisa nulis eksklusif disa
Apa operasi?" Ibu mertua kembali bertanya. Memastikan apa yang dikatakan Bambang benar adanya. Panjang lebar laki-laki itu menjelaskan. Hingga tanpa kusadari bulir-bulir bening itu meluncur begitu saja."Kamu tenang, Ranti. Mas akan selalu ada disampingmu. Kamu jangan pernah khawatir!""Bukan masalah Ranti. Akan tetapi masalah uangnya. Gimana sih kamu, Bang. Main setuju-setuju saja. Kalau operasi siapa yang mau bayar dengan biaya sebanyak itu?!" ****Aku membuka mata. Menatap langit-langit kamar yang bercat putih dengan lampu yang menyala terang. Aku mengerjapkan kedua mata, lalu menoleh ke samping ranjang. Benar saja, disana ada Mas Bambang yang tengah setia menemaniku. Dan satu lagi sosok wanita paruh baya yang tidak asing lagi di mataku. "Emak …." Aku bergumam, entah mengapa air mata itu tumpah dengan sendirinya.Wanita yang tengah tertidur pulas itu membuka matanya. Menatapku lekat lalu bergegas menghampiri."Kenapa kamu, Ranti? Ada yang sakit?" tanya wanita itu. Tangannya mengu
Tut … Tut.Aku langsung menghubungi Tami, sahabatku. Menanyakan perihal foto yang ia kirim kepadaku. "Assalamualaikum," salam aku ucapkan setelah orang yang ada di seberang telepon mengangkat telepon. "Waalaikumsalam, Ranti. Ada apa? Pasti nanyain soal foto yang tadi aku kirim?" Wanita itu langsung menebak isi kepalaku. Aku tersenyum meski Tami tidak bisa melihat. "Iya, apa benar karya-karyaku bisa diterima pembaca?" tanyaku antusias. Jantung ini bekerja lebih cepat dari biasanya. Meskipun terdengar sepele, akan tetapi bagiku ini begitu luar biasa. Ini kali pertama aku mengirim naskah dan itu langsung diterima oleh pembaca dengan baik. Alangkah bahagianya aku, ini adalah suatu awal yang baik untuk kedepannya. Harapanku satu, aku bisa membungkam mulut sang mertua dengan kesuksesanku."Iya, alhamdulilah. Bagus itu, ayu buruan nulis. Eh, ngomong-ngomong kamu habis lahiran ya? Maaf, aku belum sempat main. Nanti ya kalau ada waktu pasti main ke rumah kamu. Author yang baik hati dan jug
"Maafkan Ranti, Mas. Uang itu diberikan Bagas sebagai ucapan terima kasih kepada kamu, Mas. Sudah bantu dia buat biayain kuliah hingga bisa seperti sekarang. Dia ngasih uang itu buat biaya persalinan. Terbukti uang itu juga kita gunakan. Akan tetapi, belum juga aku bilang sama kamu soal Itu aku keburu lahiran, Mas. Maafin aku ya?" Tatapanku sendu. Ada rasa menyesal terlihat jelas pada wajah dan juga sikapku. Ya aku menyesal.Huh hahMas Bambang terdengar membuang napas panjang. Aku yakin ada beban berat yang kini tengah ia rasakan. Bukan bermaksud menjadikan beban soal operasi caesar yang aku jalani ini. Akan tetapi, dokter memiliki alasan demi menyelamatkan buah hati. Air ketuban yang terus keluar tanpa diikuti pembukaan membuat janin yang ada di dalam rahim terancam keselamatannya."Semua bisa dibicarakan baik-baik, Bang. Jangan sampai amarahmu membuat kamu gelap mata. Ingat, dia itu ibumu yang harusnya sama kamu hormati. Ya?!" Wanita itu berbicara panjang lebar, membuatku merasa b
Romlah diam, netranya terus bergerak kesana-kemari. Bambang yang mendengar penuturan Bagas baru saja terlihat menatap adik kandungnya itu dengan seksama. Sorot matanya menggambarkan bahwa ia kini tengah menanti suatu penjelasan."Maksud kamu apa, Gas?" pertanyaan Bambang membuat Romlah semakin gelisah. Wanita itu terus membenarkan rambut kemudian menyelipkannya di antara telinga. "Bu, jelaskan kepada Mas Bambang sebenarnya apa yang sudah terjadi. Agar semuanya jelas dan juga tidak salah paham begini!" Kini giliran Bagas yang meminta wanita itu untuk berterus terang. Bambang yang semula memperhatikan ibunya kini beralih pada Bagas yang duduk tidak jauh dengan Romlah."Tidak ada yang perlu dijelaskan. Sapi-sapi itu dibeli dengan menggunakan uang Ibu. Titik!" ucap Romlah dengan nada ketus. Wajahnya melengos setelah selesai berucap. Tidak ingin menatap Bambang lebih lama."Bu …." Bagas memohon. Akan tetapi, Romlah seakan tidak peduli. Dia tetap dengan pendiriannya. Berdiri dari tempat di
"Maksud kamu apa, Mbak?" Toni mengalihkan pandangannya pada Ranti. "Iya, kata Ibu. Beliau menggunakan sapi-sapi meninggalkan bapak untuk membiayai kuliahmu. Jadi sekarang buktikan kalau sekolahmu bukan dari keringat Mas Bambang." Dengan santai Ranti berbicara. Entah keberanian dari mana wanita itu dapatkan. Kini Ranti lebih tegas pada Toni."Haduh, baru ambil sapi saja sudah sombong kamu, Mbak. Apalagi kalau sudah punya banyak sapi," sungut Toni tidak terima mendengar pernyataan Ranti."Amin, makasih ya doanya.""Haist …." Toni mendesah pelan. Dia keluar dari aplikasi game online. Dimana dia kalah ketika berbicara dengan Ranti. Bertambah kesal ketika Ranti bukannya marah justru berterima kasih pada Toni. Ya semudah itu adik ipar Ranti tersinggung. Tanpa mengucap salam maupun permisi Toni meninggalkan Ranti. Dia mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi. Jarak antara kontrakan Ranti dengan rumah sang mertua tidak terlalu jauh. Kisaran lima belas menit saja jika mengunakan motor.
Semenjak Bambang mengambil sapi paksa dari kandang Romlah selama itu wanita tua itu tidak lagi bertandang ke rumah kontrakan Bambang. Bertanya Kabar melalui sambungan telepon pun tidak. Begitu juga dengan laki-laki itu, dia justru sibuk merawat sapinya. Mencarikan rumput dan membersihkan kandang. Ketika Bambang sibuk di kandang. Ranti tengah makan siang dengan lauk sayur bayam di meja makan. Begitu juga dengan Suminah. Mereka duduk berhadapan menyantap makanan sederhana itu. Sedangkan sang putri dia biarkan tidur di kamar dengan ditutupi kerodong bayi."Nduk, kamu sudah sehat kan? Emak mau pulang dulu, emak kan juga harus ngurus ayam di rumah yang sudah dua Minggu di urus sama tetangga. Masa iya, Emak minta tolong terus. Kan sungkan!" ucap Suminah di sela-sela dia mengunyah makanan. Ranti yang mendengarnya pun mengangguk. Dia sudah merasakan jahitan sudah tidak nyeri lagi. Kontrol ke rumah sakit pun sudah tidak perlu, kata dokter jahitan Ranti sudah mengering dengan sempurna. Apa ya
"Bambang nekat mengambil sapi milik ibunya. Sekarang ibunya marah-marah!""Astaghfirullah hal adzim," celetuk Ranti spontan begitu juga dengan Suminah. Mereka saling berpandangan. Apa yang ditakutkan terjadi, Bambang nekat dengan keyakinannya."Bagaimana ini, Mak. Ranti tidak mungkin meninggalkan Filzah di rumah.""Emak juga tidak mungkin datang ke sana, Ranti. Emak takut dikira ikut campur.""Kalau begitu kita tunggu saja Bambang di rumah.""Tapi, Mak. Nanti kalau Ibu marah-marah bagaimana? Mas Bambang ngadepin Ibu sendirian, kasihan dia!" Baru saja kedua wanita itu selesai bicara terdengar suara riuh dari luar sana yang terdengar semakin lama semakin mendekat. Ranti dan juga Suminah terus menunggu sebenarnya apa yang terjadi. Tidak butuh waktu lama, segerombolan orang sudah datang membawa sapi dengan berjalan cepat. Begitu juga dengan Mas Bambang dia terlihat menarik sapi betina itu dengan tali yang dikalungkan di leher."Pegang yang kuat, Pak. Kita masukan sapinya ke kandang sekaran
Setelah terungkapnya kebenaran itu. Bambang tidak lagi datang ke rumah orang tuanya. Dia juga tidak lagi mengungkit-ungkit masalah uang. Yang ada kini justru sibuk menyiapkan sebuah kandang hewan di belakang rumah kontrakan. Wiranti yang semula hanya memperhatikan kini membernaikan diri bertanya."Mas, itu buat apa?""Kandang sapi, Dek.""Kandang sapi?" Wiranti membeo. Bersamaan dengan itu Suminah datang menghampiri. Ikut berdiri di samping sang putri menatap Bambang penuh arti."Kamu dapat uang dari mana buat beli sapi?" tanya Wiranti dengan polosnya. Karena yang dia tahu. Tidak mungkin dia meminta sapi pada mertuanya itu, meskipun gelar ibu kandung di sandangnya tidak mungkin wanita itu rela membagi sapi itu pada anaknya. Bambang yang tengah memukul paku menghentikan kegiatannya. Lantas dia mengusap keningnya yang berkeringat. Menatap kedua wanita yang saat ini memperhatikan itu dengan seksama."Mas mau ngambil sapi yang seharusnya milik kita, Ti.""Maksud Mas Bambang apa? Ranti ng
Romlah diam, netranya terus bergerak kesana-kemari. Bambang yang mendengar penuturan Bagas baru saja terlihat menatap adik kandungnya itu dengan seksama. Sorot matanya menggambarkan bahwa ia kini tengah menanti suatu penjelasan."Maksud kamu apa, Gas?" pertanyaan Bambang membuat Romlah semakin gelisah. Wanita itu terus membenarkan rambut kemudian menyelipkannya di antara telinga. "Bu, jelaskan kepada Mas Bambang sebenarnya apa yang sudah terjadi. Agar semuanya jelas dan juga tidak salah paham begini!" Kini giliran Bagas yang meminta wanita itu untuk berterus terang. Bambang yang semula memperhatikan ibunya kini beralih pada Bagas yang duduk tidak jauh dengan Romlah."Tidak ada yang perlu dijelaskan. Sapi-sapi itu dibeli dengan menggunakan uang Ibu. Titik!" ucap Romlah dengan nada ketus. Wajahnya melengos setelah selesai berucap. Tidak ingin menatap Bambang lebih lama."Bu …." Bagas memohon. Akan tetapi, Romlah seakan tidak peduli. Dia tetap dengan pendiriannya. Berdiri dari tempat di
"Maafkan Ranti, Mas. Uang itu diberikan Bagas sebagai ucapan terima kasih kepada kamu, Mas. Sudah bantu dia buat biayain kuliah hingga bisa seperti sekarang. Dia ngasih uang itu buat biaya persalinan. Terbukti uang itu juga kita gunakan. Akan tetapi, belum juga aku bilang sama kamu soal Itu aku keburu lahiran, Mas. Maafin aku ya?" Tatapanku sendu. Ada rasa menyesal terlihat jelas pada wajah dan juga sikapku. Ya aku menyesal.Huh hahMas Bambang terdengar membuang napas panjang. Aku yakin ada beban berat yang kini tengah ia rasakan. Bukan bermaksud menjadikan beban soal operasi caesar yang aku jalani ini. Akan tetapi, dokter memiliki alasan demi menyelamatkan buah hati. Air ketuban yang terus keluar tanpa diikuti pembukaan membuat janin yang ada di dalam rahim terancam keselamatannya."Semua bisa dibicarakan baik-baik, Bang. Jangan sampai amarahmu membuat kamu gelap mata. Ingat, dia itu ibumu yang harusnya sama kamu hormati. Ya?!" Wanita itu berbicara panjang lebar, membuatku merasa b
Tut … Tut.Aku langsung menghubungi Tami, sahabatku. Menanyakan perihal foto yang ia kirim kepadaku. "Assalamualaikum," salam aku ucapkan setelah orang yang ada di seberang telepon mengangkat telepon. "Waalaikumsalam, Ranti. Ada apa? Pasti nanyain soal foto yang tadi aku kirim?" Wanita itu langsung menebak isi kepalaku. Aku tersenyum meski Tami tidak bisa melihat. "Iya, apa benar karya-karyaku bisa diterima pembaca?" tanyaku antusias. Jantung ini bekerja lebih cepat dari biasanya. Meskipun terdengar sepele, akan tetapi bagiku ini begitu luar biasa. Ini kali pertama aku mengirim naskah dan itu langsung diterima oleh pembaca dengan baik. Alangkah bahagianya aku, ini adalah suatu awal yang baik untuk kedepannya. Harapanku satu, aku bisa membungkam mulut sang mertua dengan kesuksesanku."Iya, alhamdulilah. Bagus itu, ayu buruan nulis. Eh, ngomong-ngomong kamu habis lahiran ya? Maaf, aku belum sempat main. Nanti ya kalau ada waktu pasti main ke rumah kamu. Author yang baik hati dan jug
Apa operasi?" Ibu mertua kembali bertanya. Memastikan apa yang dikatakan Bambang benar adanya. Panjang lebar laki-laki itu menjelaskan. Hingga tanpa kusadari bulir-bulir bening itu meluncur begitu saja."Kamu tenang, Ranti. Mas akan selalu ada disampingmu. Kamu jangan pernah khawatir!""Bukan masalah Ranti. Akan tetapi masalah uangnya. Gimana sih kamu, Bang. Main setuju-setuju saja. Kalau operasi siapa yang mau bayar dengan biaya sebanyak itu?!" ****Aku membuka mata. Menatap langit-langit kamar yang bercat putih dengan lampu yang menyala terang. Aku mengerjapkan kedua mata, lalu menoleh ke samping ranjang. Benar saja, disana ada Mas Bambang yang tengah setia menemaniku. Dan satu lagi sosok wanita paruh baya yang tidak asing lagi di mataku. "Emak …." Aku bergumam, entah mengapa air mata itu tumpah dengan sendirinya.Wanita yang tengah tertidur pulas itu membuka matanya. Menatapku lekat lalu bergegas menghampiri."Kenapa kamu, Ranti? Ada yang sakit?" tanya wanita itu. Tangannya mengu
"Jangan Mbak pikirkan soal Ibu. Ibu nggak akan pernah tahu jika Mbak Ranti tidak mengatakannya kepada beliau." Aku diam. Benar juga. Jika aku tidak mengatakan apa-apa pasti Ibu mertuaku itu tidak akan pernah tahu. Memang selama ini Mas Bambang baik pada Bagas maupun Toni. Jika sikap Bagas yang juga baik kepadaku karena balas budi. Tidak halnya Toni, dia bersikap acuh mungkin tidak peduli denganku. Memang berbeda anak berbeda karakter meskipun satu Ibu yang sama.Huh hahAku membuang napas dalam-dalam. Lalu menatap Bagas dengan lekat. Lelaki itu mengangguk memberi tanda bahwa aku harus menerima.****"Bismilah," ucapku untuk memulai mengirim naskah pertamaku. Berharap diterima di salah satu platform kepenulisan. Jantungku berdebar tidak beraturan, pasalnya ini kali pertama karyaku di kirim. Semoga bisa membuahkan hasil.[Semangat, Ranti. Tulisan kamu bagus, pasti diterima kok!] Pesan dari sahabat, dia tahu soal keputusanku untuk menulis.[Doakan ya, semoga aku bisa nulis eksklusif disa