"Halah, jadi babu saja sombong. Mending kerja sama Ibu. Bisa berangkat kapan saja. Bisa makan gratis!" Bibir Ibu mencebik. Tangannya dilipat di depan dada.
"Alhamdulilah, babu juga kerjaan halal kok Bu."
"Halah, pokoknya nanti kalau Bambang pulang suruh ke rumah Ibu! Biar Ibu yang bicara!" Tanpa menunggu jawaban dariku. Wanita tua itu lantas pergi tanpa pamit.
****
Jam menunjukan angka lima lebih lima belas menit, matahari sudah mulai turun ke peraduannya. Aku segera menutup semua jendela dan juga groden. Dimana hari semakin gelap. Disaat aku tengah menutup pintu. Suara kendaraan milik Mas Bambang terdengar berhenti di halaman rumah.
Belum juga aku melihat ke luar. Suara pintu terbuka membuat aku segera menoleh ke arahnya. Disana laki-laki dengan lesung pipi di kedua sisi sudah masuk kedalam rumah.
Aku pun tersenyum.
"Dek, kamu ngapain disitu?" tanya Mas Bambang kepadaku. Aku yang tengah berada di dekat jendela lantas memutar badan berjalan ke arah Mas Bambang.
"Lagi nutup jendela, Mas. Kamu sudah pulang?" tanyaku pada laki-laki itu. Lantas meraih tangannya mencium dengan takzim. Tangan lelaki itu mengusap lembut pucuk kepalaku. Lalu tersenyum.
"Mau diambilin minum?"
"Boleh."
"Tunggu ya."
Aku segera bergegas menuju dapur membuatkan secangkir kopi lalu sebelah tangan membawa piring berisi makanan ringan. Kuletakkan minuman beserta teman-temannya itu diatas meja.
Lelaki itu tengah menggulung lengan kemeja panjangnya hingga ke siku. Terlihat bibirnya tersenyum kearahku.
"Terima kasih, Dek." Aku menjatuhkan bokongku di kursi tidak jauh dari Mas Bambang. Tanganku terus mengusap perut yang sedari tadi bergerak lincah.
"Ibu meminta kamu buat nyari rumput!" Aku memulai pembicaraan. Menyampaikan pesan Ibu kepada Mas Bambang.
"Kamu nggak bilang aku sudah bekerja?"
"Sudah, Mas kan tahu gimana sikap Ibu. Dia pengennya kamu ngurus sapi, dapat makan lalu di gaji sama beliau. Kalau sampai kamu bersedia, Mas. Aku yakin Ibu semakin semena-mena sama aku." Lelaki itu terdengar menghela napas panjang lalu membuangnya perlahan. Ia sandarkan tubuhnya pada sofa. Lalu menatap langit-langit kontrakan.
"Nanti Mas yang bicara sama Ibu. Kamu tenang saja. Kamu sudah periksa belum?"
"Belum, tadi aku dikabarin sama bidan kalau dia nggak ada hari ini."
"Ya sudah kalau begitu." Mas Bambang terlihat menyeruput kopinya. Aku pun membuka benda pipih itu lantas berselancar di dunia maya. Menulis sudah menjadi kegiatanku saat ini. Entah di siang hari maupun di malam hari. Mas Bambang pun tidak tahu aku sekarang memiliki kegiatan baru. Kegiatan yang insyaallah menghasilkan banyak uang.
Aku duduk sembari mata tetap fokus menatap layar. Pikiranku membayangkan jika aku menjadi tokoh utamanya. Agar cerita bisa mendapatkan feel yang nyata.
"Kamu ngapain sih, Dek?" tanya Mas Bambang di sela-sela mencomot makanan.
"Lagi nulis."
"Nulis? Nulis apa?"
"Nulis cerita lah, Mas. Masak nulis diary?"
"Memangnya kamu bisa?"
"Bisa dong, kan belajar."
"Ya sudah kalau begitu. Mas mandi dulu!"
Aku hanya menjawab dengan anggukan kepala. Lantas kembali fokus ke layar ponsel.
Kring
Benda pipih milik Mas Bambang terdengar berbunyi. Aku pun hanya menatapnya sekilas. Tanpa berniat mengangkat nya.
Namun lagi-lagi ponsel lelaki itu berdering. Membuatku penasaran siapa yang tengah menghubungi suamiku itu. Lantas aku menatap layar ponsel milik Mas Bambang. Nama Ibu mertua tertera jelas di sana.
Tidak lama panggilan telepon itu mati dengan sendirinya.
Aku berniat kembali meletakan ponsel itu di atas meja. Namun aku urungkan karena mendengar pesan masuk di sana.
[Bambang, kamu ke rumah Ibu sekarang. Ada yang ingin Ibu sampaikan kepadamu!]
Aku mengernyitkan dahi. Kedua alisku bertautan, entah apa yang akan disampaikan Ibu mertuaku. Sepertinya penting jika dibaca dari pesan yang dikirim.
[Kamu keluar saja dari pekerjaan itu, hanya buang-buang waktu. Jika bekerja hanya menjadi seorang babu!]
Deg
Pesan dari Ibu mertuaku membuatku terkejut. Kenapa bisa Ibu kandung bisa berbicara demikian kepada anaknya. Bukankah menjadi seorang cleaning service bukanlah suatu dosa? Ya Tuhan, entah bagaimana pemikiran wanita itu.
Tanganku sengaja aku letakan di depan dada. Menahan detak jantung yang tidak beraturan.
Dalam hati aku terus beristighfar, berharap dada yang terasa sesak ini bisa bernafas lega. Tidak berapa lama Mas Bambang keluar dari kamar.
"Kamu kenapa, Dek? Kok seperti itu?" tanya Mas Bambang yang melihatku melamun.
"Ibu mengirim pesan, Mas."
"Pesan? Apa?"
"Kamu baca sendiri!"Mas Bambang lantas meraih ponsel yang aku sodorkan. Dia lantas mencari pesan yang dikirim Ibunya. Terlihat disana wajah lelaki itu terlihat membuang napas panjang. Lalu entah apa yang dia ketik. Jari jemarinya seolah menari pada layarnya."Sudah nggak usah dipikirin. Ibu memang seperti itu! Kamu tahu itu!""Tapi, Mas. Kamu ini anaknya lho. Dia itu kok kesannya meremehkan. Bukannya seorang Ibu itu seharusnya mendoakan yang baik-baik untuk anak-anaknya. Lantas ini apa? Dia malah merendahkan pekerjaan kamu! Dan kamu cuma diam saja!""Nggak baik, Dek. Melawan orang tua.""Mas ini bukan melawan tapi ….""Tapi apa? Sudahlah, biarkan Mas besok datang ke rumah Ibu. Untuk membicarakan ini. Kamu tenang saja." Bibirku mencebik setelah mendengarkan penuturan Mas Bambang. Entah terbuat dari apa hati lelaki itu. Dia bisa bersikap tenang, jika aku menjadi posisinya mungkin sudah aku tegur wanita itu. Meskipun dia ibu kandungku. Namun sikapnya memang keterlaluan bukan?*****Mas
"Jangan Mbak pikirkan soal Ibu. Ibu nggak akan pernah tahu jika Mbak Ranti tidak mengatakannya kepada beliau." Aku diam. Benar juga. Jika aku tidak mengatakan apa-apa pasti Ibu mertuaku itu tidak akan pernah tahu. Memang selama ini Mas Bambang baik pada Bagas maupun Toni. Jika sikap Bagas yang juga baik kepadaku karena balas budi. Tidak halnya Toni, dia bersikap acuh mungkin tidak peduli denganku. Memang berbeda anak berbeda karakter meskipun satu Ibu yang sama.Huh hahAku membuang napas dalam-dalam. Lalu menatap Bagas dengan lekat. Lelaki itu mengangguk memberi tanda bahwa aku harus menerima.****"Bismilah," ucapku untuk memulai mengirim naskah pertamaku. Berharap diterima di salah satu platform kepenulisan. Jantungku berdebar tidak beraturan, pasalnya ini kali pertama karyaku di kirim. Semoga bisa membuahkan hasil.[Semangat, Ranti. Tulisan kamu bagus, pasti diterima kok!] Pesan dari sahabat, dia tahu soal keputusanku untuk menulis.[Doakan ya, semoga aku bisa nulis eksklusif disa
Apa operasi?" Ibu mertua kembali bertanya. Memastikan apa yang dikatakan Bambang benar adanya. Panjang lebar laki-laki itu menjelaskan. Hingga tanpa kusadari bulir-bulir bening itu meluncur begitu saja."Kamu tenang, Ranti. Mas akan selalu ada disampingmu. Kamu jangan pernah khawatir!""Bukan masalah Ranti. Akan tetapi masalah uangnya. Gimana sih kamu, Bang. Main setuju-setuju saja. Kalau operasi siapa yang mau bayar dengan biaya sebanyak itu?!" ****Aku membuka mata. Menatap langit-langit kamar yang bercat putih dengan lampu yang menyala terang. Aku mengerjapkan kedua mata, lalu menoleh ke samping ranjang. Benar saja, disana ada Mas Bambang yang tengah setia menemaniku. Dan satu lagi sosok wanita paruh baya yang tidak asing lagi di mataku. "Emak …." Aku bergumam, entah mengapa air mata itu tumpah dengan sendirinya.Wanita yang tengah tertidur pulas itu membuka matanya. Menatapku lekat lalu bergegas menghampiri."Kenapa kamu, Ranti? Ada yang sakit?" tanya wanita itu. Tangannya mengu
Tut … Tut.Aku langsung menghubungi Tami, sahabatku. Menanyakan perihal foto yang ia kirim kepadaku. "Assalamualaikum," salam aku ucapkan setelah orang yang ada di seberang telepon mengangkat telepon. "Waalaikumsalam, Ranti. Ada apa? Pasti nanyain soal foto yang tadi aku kirim?" Wanita itu langsung menebak isi kepalaku. Aku tersenyum meski Tami tidak bisa melihat. "Iya, apa benar karya-karyaku bisa diterima pembaca?" tanyaku antusias. Jantung ini bekerja lebih cepat dari biasanya. Meskipun terdengar sepele, akan tetapi bagiku ini begitu luar biasa. Ini kali pertama aku mengirim naskah dan itu langsung diterima oleh pembaca dengan baik. Alangkah bahagianya aku, ini adalah suatu awal yang baik untuk kedepannya. Harapanku satu, aku bisa membungkam mulut sang mertua dengan kesuksesanku."Iya, alhamdulilah. Bagus itu, ayu buruan nulis. Eh, ngomong-ngomong kamu habis lahiran ya? Maaf, aku belum sempat main. Nanti ya kalau ada waktu pasti main ke rumah kamu. Author yang baik hati dan jug
"Maafkan Ranti, Mas. Uang itu diberikan Bagas sebagai ucapan terima kasih kepada kamu, Mas. Sudah bantu dia buat biayain kuliah hingga bisa seperti sekarang. Dia ngasih uang itu buat biaya persalinan. Terbukti uang itu juga kita gunakan. Akan tetapi, belum juga aku bilang sama kamu soal Itu aku keburu lahiran, Mas. Maafin aku ya?" Tatapanku sendu. Ada rasa menyesal terlihat jelas pada wajah dan juga sikapku. Ya aku menyesal.Huh hahMas Bambang terdengar membuang napas panjang. Aku yakin ada beban berat yang kini tengah ia rasakan. Bukan bermaksud menjadikan beban soal operasi caesar yang aku jalani ini. Akan tetapi, dokter memiliki alasan demi menyelamatkan buah hati. Air ketuban yang terus keluar tanpa diikuti pembukaan membuat janin yang ada di dalam rahim terancam keselamatannya."Semua bisa dibicarakan baik-baik, Bang. Jangan sampai amarahmu membuat kamu gelap mata. Ingat, dia itu ibumu yang harusnya sama kamu hormati. Ya?!" Wanita itu berbicara panjang lebar, membuatku merasa b
Romlah diam, netranya terus bergerak kesana-kemari. Bambang yang mendengar penuturan Bagas baru saja terlihat menatap adik kandungnya itu dengan seksama. Sorot matanya menggambarkan bahwa ia kini tengah menanti suatu penjelasan."Maksud kamu apa, Gas?" pertanyaan Bambang membuat Romlah semakin gelisah. Wanita itu terus membenarkan rambut kemudian menyelipkannya di antara telinga. "Bu, jelaskan kepada Mas Bambang sebenarnya apa yang sudah terjadi. Agar semuanya jelas dan juga tidak salah paham begini!" Kini giliran Bagas yang meminta wanita itu untuk berterus terang. Bambang yang semula memperhatikan ibunya kini beralih pada Bagas yang duduk tidak jauh dengan Romlah."Tidak ada yang perlu dijelaskan. Sapi-sapi itu dibeli dengan menggunakan uang Ibu. Titik!" ucap Romlah dengan nada ketus. Wajahnya melengos setelah selesai berucap. Tidak ingin menatap Bambang lebih lama."Bu …." Bagas memohon. Akan tetapi, Romlah seakan tidak peduli. Dia tetap dengan pendiriannya. Berdiri dari tempat di
Setelah terungkapnya kebenaran itu. Bambang tidak lagi datang ke rumah orang tuanya. Dia juga tidak lagi mengungkit-ungkit masalah uang. Yang ada kini justru sibuk menyiapkan sebuah kandang hewan di belakang rumah kontrakan. Wiranti yang semula hanya memperhatikan kini membernaikan diri bertanya."Mas, itu buat apa?""Kandang sapi, Dek.""Kandang sapi?" Wiranti membeo. Bersamaan dengan itu Suminah datang menghampiri. Ikut berdiri di samping sang putri menatap Bambang penuh arti."Kamu dapat uang dari mana buat beli sapi?" tanya Wiranti dengan polosnya. Karena yang dia tahu. Tidak mungkin dia meminta sapi pada mertuanya itu, meskipun gelar ibu kandung di sandangnya tidak mungkin wanita itu rela membagi sapi itu pada anaknya. Bambang yang tengah memukul paku menghentikan kegiatannya. Lantas dia mengusap keningnya yang berkeringat. Menatap kedua wanita yang saat ini memperhatikan itu dengan seksama."Mas mau ngambil sapi yang seharusnya milik kita, Ti.""Maksud Mas Bambang apa? Ranti ng
"Bambang nekat mengambil sapi milik ibunya. Sekarang ibunya marah-marah!""Astaghfirullah hal adzim," celetuk Ranti spontan begitu juga dengan Suminah. Mereka saling berpandangan. Apa yang ditakutkan terjadi, Bambang nekat dengan keyakinannya."Bagaimana ini, Mak. Ranti tidak mungkin meninggalkan Filzah di rumah.""Emak juga tidak mungkin datang ke sana, Ranti. Emak takut dikira ikut campur.""Kalau begitu kita tunggu saja Bambang di rumah.""Tapi, Mak. Nanti kalau Ibu marah-marah bagaimana? Mas Bambang ngadepin Ibu sendirian, kasihan dia!" Baru saja kedua wanita itu selesai bicara terdengar suara riuh dari luar sana yang terdengar semakin lama semakin mendekat. Ranti dan juga Suminah terus menunggu sebenarnya apa yang terjadi. Tidak butuh waktu lama, segerombolan orang sudah datang membawa sapi dengan berjalan cepat. Begitu juga dengan Mas Bambang dia terlihat menarik sapi betina itu dengan tali yang dikalungkan di leher."Pegang yang kuat, Pak. Kita masukan sapinya ke kandang sekaran
"Maksud kamu apa, Mbak?" Toni mengalihkan pandangannya pada Ranti. "Iya, kata Ibu. Beliau menggunakan sapi-sapi meninggalkan bapak untuk membiayai kuliahmu. Jadi sekarang buktikan kalau sekolahmu bukan dari keringat Mas Bambang." Dengan santai Ranti berbicara. Entah keberanian dari mana wanita itu dapatkan. Kini Ranti lebih tegas pada Toni."Haduh, baru ambil sapi saja sudah sombong kamu, Mbak. Apalagi kalau sudah punya banyak sapi," sungut Toni tidak terima mendengar pernyataan Ranti."Amin, makasih ya doanya.""Haist …." Toni mendesah pelan. Dia keluar dari aplikasi game online. Dimana dia kalah ketika berbicara dengan Ranti. Bertambah kesal ketika Ranti bukannya marah justru berterima kasih pada Toni. Ya semudah itu adik ipar Ranti tersinggung. Tanpa mengucap salam maupun permisi Toni meninggalkan Ranti. Dia mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi. Jarak antara kontrakan Ranti dengan rumah sang mertua tidak terlalu jauh. Kisaran lima belas menit saja jika mengunakan motor.
Semenjak Bambang mengambil sapi paksa dari kandang Romlah selama itu wanita tua itu tidak lagi bertandang ke rumah kontrakan Bambang. Bertanya Kabar melalui sambungan telepon pun tidak. Begitu juga dengan laki-laki itu, dia justru sibuk merawat sapinya. Mencarikan rumput dan membersihkan kandang. Ketika Bambang sibuk di kandang. Ranti tengah makan siang dengan lauk sayur bayam di meja makan. Begitu juga dengan Suminah. Mereka duduk berhadapan menyantap makanan sederhana itu. Sedangkan sang putri dia biarkan tidur di kamar dengan ditutupi kerodong bayi."Nduk, kamu sudah sehat kan? Emak mau pulang dulu, emak kan juga harus ngurus ayam di rumah yang sudah dua Minggu di urus sama tetangga. Masa iya, Emak minta tolong terus. Kan sungkan!" ucap Suminah di sela-sela dia mengunyah makanan. Ranti yang mendengarnya pun mengangguk. Dia sudah merasakan jahitan sudah tidak nyeri lagi. Kontrol ke rumah sakit pun sudah tidak perlu, kata dokter jahitan Ranti sudah mengering dengan sempurna. Apa ya
"Bambang nekat mengambil sapi milik ibunya. Sekarang ibunya marah-marah!""Astaghfirullah hal adzim," celetuk Ranti spontan begitu juga dengan Suminah. Mereka saling berpandangan. Apa yang ditakutkan terjadi, Bambang nekat dengan keyakinannya."Bagaimana ini, Mak. Ranti tidak mungkin meninggalkan Filzah di rumah.""Emak juga tidak mungkin datang ke sana, Ranti. Emak takut dikira ikut campur.""Kalau begitu kita tunggu saja Bambang di rumah.""Tapi, Mak. Nanti kalau Ibu marah-marah bagaimana? Mas Bambang ngadepin Ibu sendirian, kasihan dia!" Baru saja kedua wanita itu selesai bicara terdengar suara riuh dari luar sana yang terdengar semakin lama semakin mendekat. Ranti dan juga Suminah terus menunggu sebenarnya apa yang terjadi. Tidak butuh waktu lama, segerombolan orang sudah datang membawa sapi dengan berjalan cepat. Begitu juga dengan Mas Bambang dia terlihat menarik sapi betina itu dengan tali yang dikalungkan di leher."Pegang yang kuat, Pak. Kita masukan sapinya ke kandang sekaran
Setelah terungkapnya kebenaran itu. Bambang tidak lagi datang ke rumah orang tuanya. Dia juga tidak lagi mengungkit-ungkit masalah uang. Yang ada kini justru sibuk menyiapkan sebuah kandang hewan di belakang rumah kontrakan. Wiranti yang semula hanya memperhatikan kini membernaikan diri bertanya."Mas, itu buat apa?""Kandang sapi, Dek.""Kandang sapi?" Wiranti membeo. Bersamaan dengan itu Suminah datang menghampiri. Ikut berdiri di samping sang putri menatap Bambang penuh arti."Kamu dapat uang dari mana buat beli sapi?" tanya Wiranti dengan polosnya. Karena yang dia tahu. Tidak mungkin dia meminta sapi pada mertuanya itu, meskipun gelar ibu kandung di sandangnya tidak mungkin wanita itu rela membagi sapi itu pada anaknya. Bambang yang tengah memukul paku menghentikan kegiatannya. Lantas dia mengusap keningnya yang berkeringat. Menatap kedua wanita yang saat ini memperhatikan itu dengan seksama."Mas mau ngambil sapi yang seharusnya milik kita, Ti.""Maksud Mas Bambang apa? Ranti ng
Romlah diam, netranya terus bergerak kesana-kemari. Bambang yang mendengar penuturan Bagas baru saja terlihat menatap adik kandungnya itu dengan seksama. Sorot matanya menggambarkan bahwa ia kini tengah menanti suatu penjelasan."Maksud kamu apa, Gas?" pertanyaan Bambang membuat Romlah semakin gelisah. Wanita itu terus membenarkan rambut kemudian menyelipkannya di antara telinga. "Bu, jelaskan kepada Mas Bambang sebenarnya apa yang sudah terjadi. Agar semuanya jelas dan juga tidak salah paham begini!" Kini giliran Bagas yang meminta wanita itu untuk berterus terang. Bambang yang semula memperhatikan ibunya kini beralih pada Bagas yang duduk tidak jauh dengan Romlah."Tidak ada yang perlu dijelaskan. Sapi-sapi itu dibeli dengan menggunakan uang Ibu. Titik!" ucap Romlah dengan nada ketus. Wajahnya melengos setelah selesai berucap. Tidak ingin menatap Bambang lebih lama."Bu …." Bagas memohon. Akan tetapi, Romlah seakan tidak peduli. Dia tetap dengan pendiriannya. Berdiri dari tempat di
"Maafkan Ranti, Mas. Uang itu diberikan Bagas sebagai ucapan terima kasih kepada kamu, Mas. Sudah bantu dia buat biayain kuliah hingga bisa seperti sekarang. Dia ngasih uang itu buat biaya persalinan. Terbukti uang itu juga kita gunakan. Akan tetapi, belum juga aku bilang sama kamu soal Itu aku keburu lahiran, Mas. Maafin aku ya?" Tatapanku sendu. Ada rasa menyesal terlihat jelas pada wajah dan juga sikapku. Ya aku menyesal.Huh hahMas Bambang terdengar membuang napas panjang. Aku yakin ada beban berat yang kini tengah ia rasakan. Bukan bermaksud menjadikan beban soal operasi caesar yang aku jalani ini. Akan tetapi, dokter memiliki alasan demi menyelamatkan buah hati. Air ketuban yang terus keluar tanpa diikuti pembukaan membuat janin yang ada di dalam rahim terancam keselamatannya."Semua bisa dibicarakan baik-baik, Bang. Jangan sampai amarahmu membuat kamu gelap mata. Ingat, dia itu ibumu yang harusnya sama kamu hormati. Ya?!" Wanita itu berbicara panjang lebar, membuatku merasa b
Tut … Tut.Aku langsung menghubungi Tami, sahabatku. Menanyakan perihal foto yang ia kirim kepadaku. "Assalamualaikum," salam aku ucapkan setelah orang yang ada di seberang telepon mengangkat telepon. "Waalaikumsalam, Ranti. Ada apa? Pasti nanyain soal foto yang tadi aku kirim?" Wanita itu langsung menebak isi kepalaku. Aku tersenyum meski Tami tidak bisa melihat. "Iya, apa benar karya-karyaku bisa diterima pembaca?" tanyaku antusias. Jantung ini bekerja lebih cepat dari biasanya. Meskipun terdengar sepele, akan tetapi bagiku ini begitu luar biasa. Ini kali pertama aku mengirim naskah dan itu langsung diterima oleh pembaca dengan baik. Alangkah bahagianya aku, ini adalah suatu awal yang baik untuk kedepannya. Harapanku satu, aku bisa membungkam mulut sang mertua dengan kesuksesanku."Iya, alhamdulilah. Bagus itu, ayu buruan nulis. Eh, ngomong-ngomong kamu habis lahiran ya? Maaf, aku belum sempat main. Nanti ya kalau ada waktu pasti main ke rumah kamu. Author yang baik hati dan jug
Apa operasi?" Ibu mertua kembali bertanya. Memastikan apa yang dikatakan Bambang benar adanya. Panjang lebar laki-laki itu menjelaskan. Hingga tanpa kusadari bulir-bulir bening itu meluncur begitu saja."Kamu tenang, Ranti. Mas akan selalu ada disampingmu. Kamu jangan pernah khawatir!""Bukan masalah Ranti. Akan tetapi masalah uangnya. Gimana sih kamu, Bang. Main setuju-setuju saja. Kalau operasi siapa yang mau bayar dengan biaya sebanyak itu?!" ****Aku membuka mata. Menatap langit-langit kamar yang bercat putih dengan lampu yang menyala terang. Aku mengerjapkan kedua mata, lalu menoleh ke samping ranjang. Benar saja, disana ada Mas Bambang yang tengah setia menemaniku. Dan satu lagi sosok wanita paruh baya yang tidak asing lagi di mataku. "Emak …." Aku bergumam, entah mengapa air mata itu tumpah dengan sendirinya.Wanita yang tengah tertidur pulas itu membuka matanya. Menatapku lekat lalu bergegas menghampiri."Kenapa kamu, Ranti? Ada yang sakit?" tanya wanita itu. Tangannya mengu
"Jangan Mbak pikirkan soal Ibu. Ibu nggak akan pernah tahu jika Mbak Ranti tidak mengatakannya kepada beliau." Aku diam. Benar juga. Jika aku tidak mengatakan apa-apa pasti Ibu mertuaku itu tidak akan pernah tahu. Memang selama ini Mas Bambang baik pada Bagas maupun Toni. Jika sikap Bagas yang juga baik kepadaku karena balas budi. Tidak halnya Toni, dia bersikap acuh mungkin tidak peduli denganku. Memang berbeda anak berbeda karakter meskipun satu Ibu yang sama.Huh hahAku membuang napas dalam-dalam. Lalu menatap Bagas dengan lekat. Lelaki itu mengangguk memberi tanda bahwa aku harus menerima.****"Bismilah," ucapku untuk memulai mengirim naskah pertamaku. Berharap diterima di salah satu platform kepenulisan. Jantungku berdebar tidak beraturan, pasalnya ini kali pertama karyaku di kirim. Semoga bisa membuahkan hasil.[Semangat, Ranti. Tulisan kamu bagus, pasti diterima kok!] Pesan dari sahabat, dia tahu soal keputusanku untuk menulis.[Doakan ya, semoga aku bisa nulis eksklusif disa