"Nggak papa, kenapa turun?"
Lelaki itu terlihat menghela napas panjang lalu membuangnya perlahan. Tidak pernah aku pungkiri lelaki itu masih sama. Dia mengusap keringat yang hendak menetes pada kening.
"Dek, kamu jual dulu ya cincin kamu?" pinta Mas Bambang.
****
"Tapi, Mas. Ini kan cincin terakhir yang aku punya."
"Iya, aku ngerti. Besok aku ganti, Mas janji."
"Bukan masalah ganti atau tidaknya. Tapi ini kan cincin pernikahan kita. Masak iya harus dijual?"
"Lantas bagaimana kita makan, Dek? Aku sudah tidak punya uang lagi."
"Makanya, kerja dong Mas!"
"Kan kamu tahu sendiri aku juga lagi berusaha, jadi untuk saat ini kita jual cincin ini dulu ya!"
"Ya sudah kalau begitu, Ini!" Aku melepas cincin itu dengan terpaksa. Memberikannya pada Mas Bambang yang sedari tadi menatapku.
Aku terus saja setia mengikuti kemana laki-laki itu membawaku.
Tidak butuh waktu lama, Mas Bambang melajukan kendaraannya hingga tiba di salah satu toko emas tempat dimana aku dan juga Mas Bambang dulu membelinya.
"Surat-suratnya mana, Dek?"
"Surat apaan?" Aku berlagak tidak tahu. Meskipun pada kenyataannya surat yang di maksud Mas Bambang adalah surat cincin itu. Bagaimana bisa kita menjual emas tanpa surat-suratnya bisa-bisa harganya tidak seperti yang diperkirakan. Kan sayang.
"Surat cincin ini?" Lelaki itu kembali bertanya. Aku mengusap perutku yang sudah besar sembari membuang wajah ke sembarang arah.
"Nggak tahu."
"Kok nggak tahu sih?" tanya lelaki itu. Rahangnya mulai mengeras saat melihatku yang enggan memberi surat cincin tersebut. Lelaki itu tahu bahwa aku sebenarnya tidak rela melepas cincin pemberiannya.
Dibawanya aku pada kursi tunggu yang terlihat ada beberapa orang tengah duduk. Lelaki itu menggenggam tanganku lalu menatapku lekat.
"Mas janji akan mengganti semuanya. Tapi untuk saat ini kita butuh uang. Satu-satunya jalan keluar kita harus menjual cincin ini."
Entah mengapa bulir-bulir air mata itu tumpah juga pada akhirnya. Aku tidak bisa menahan tangis. Meskipun dengan sekuat tenaga aku menahannya.
Dibawanya kepalaku ke dalam dadanya. Aku bisa mendengar detak jantungnya yang berdetak lebih cepat dari biasanya. Mungkin lelaki itu saat ini juga marah dengan kondisi dan juga keadaan.
Kami tidak peduli dengan tatapan banyak orang ke arah kami. Memang kenyataannya kami tengah kesulitan.
Aku mengurai pelukan Mas Bambang. Lalu mengusap jejak air mataku dengan ujung jilbab persegi berwarna ungu.
Tanganku merogoh dompet berwarna merah muda. Warnanya yang sudah mulai pudar itu terlihat usang. Aku mengambil selembar kertas berwarna kuning yang aku lipat hingga kecil.
"Ini, Mas."
"Terima kasih, Dek. Aku janji nanti kalau sudah dapet kerjaan aku ganti semua."
Aku hanya bisa mengangguk. Karena memang begini kondisiku saat ini, miris.
Aku masih setia menunggu lelaki itu yang tengah menjual cincin satu-satunya yang aku miliki. Kupandangi jari jemari yang masih jelas terlihat bekas cincin melingkar.
Tidak berapa lama lelaki itu sudah datang. Dia memasukan uang kedalam saku celananya lalu mengajakku pergi.
"Kamu mau makan apa?" tanya Mas Bambang selama di perjalanan.
"Kita pulang saja, Mas. Sayang uangnya. Kita lagi nggak punya uang."
"Nggak papa, sekali-kali boleh. Coba tanya sama anak kita. Dia mau makan apa hari ini?"
Aku tersenyum, memang selama hamil aku selalu menahan keinginan karena memang tidak punya uang. Daripada membeli makanan keinginanku sendiri lebih baik aku membelanjakan kebutuhan rumah. Meskipun aku dan Mas Bambang masih mengontrak tentunya.
****
Jam menunjukan angka empat tepat. Aku menggeliat, mengusap perutku yang sudah besar. Lalu tersenyum ke arahnya.
"Alhamdulilah, kita masih diberi nafas untuk hari ingin ya sayang ya. Terima kasih ya, kamu sudah bersabar menemani Ibu sampai saat ini. Ibu udah nggak sabar lagi ketemu kamu. Kamu sehat-sehat ya di sini. Kita ketemu dua bulan lagi." Aku berbicara sendiri. Tidak berapa lama suara adzan berkumandang. Aku segera membangunkan Mas Bambang lalu menuruni ranjang menuju kamar mandi.
Dua rakaat sudah ditunaikan. Aku mencium tangan Mas Bambang dengan takzim. Lalu lelaki itu mencium puncak kepalaku.
"Kamu mau masak apa hari ini?"
"Mas Bambang mau dimasakin apa?"
"Hem, kita goreng ikan aja ya? Sama sayur buat kamu gimana?"
"Ikan? Bukannya mahal ya?"
"Nggak papa sekali-sekali."
Aku tersenyum lalu mengangguk.
Mas Bambang selalu menemaniku jalan pagi. Karena nantinya kami akan mampir sekalian di warung tempat jualan sayur.
Disaat aku tengah memilih ikan segar. Tiba-tiba suara yang aku kenal terdengar nyaring di telinga.
"Lho … katanya nggak punya duit. Kok belanja ikan?"
Aku menoleh ke sumber suara. Benar saja wanita tua yang begitu aku kenal itu terlihat mencebik. Lalu memutar bola matanya dengan malas tanpa menatap ke arahku.
Beberapa pembeli lainnya terdengar berbisik. Sedangkan Mas Bambang terlihat menggelengkan kepala.
"Ibu pelankan suaramu itu, malu dilihat orang," bisik Mas Bambang melihat tingkah ibunya itu.
"Malu kamu bilang, Bambang? Yang malu itu seharusnya kamu dan istri kamu ini. Kemarin bilang mau pinjam uang. Sekarang malah beli ikan. Kamu mau nipu Ibu? Ha?" Suara wanita itu semakin lantang tidak bisa di kontrol. Sedangkan Mas Bambang yang mendengarnya hanya bisa memejamkan mata lalu membukanya kembali.
Aku masih diam. Meskipun dalam hati, gemuruh hebat ingin sekali menjawab ucapan menohok mertuaku itu. Namun sayang, ada janin yang harus aku jaga
Berkali-kali aku istighfar dalam hati agar janin yang tengah aku kandung tidak terjadi apa-apa. Sesekali aku menghela napas panjang lalu membuangnya perlahan.
"Bu …."
"Apa? Kamu mau bilang kalau istrimu itu baik hati dan juga tidak sombong?!"
"Astagfirullahaladzim, ini banyak orang lho Bu. Ibu nggak malu?" Bambang menenangkan Ibunya. Namun entah setan apa yang sudah merasuki wanita tua itu. Pagi-pagi seperti ini dia sudah berada di warung tempat aku berbelanja. Meskipun jarak antara rumah ibu mertua dengan kontrakanku tidak terlalu jauh. Namun jika Ibu pergi ke warung yang sama denganku. Rasanya terlalu jauh jika hanya sekedar ingin membeli sayur.
"Ibu bicara seperti itu justru memperlihatkan sikap Ibu yang sebenarnya. Iya kan Ibu-ibu?" Akhirnya pertahananku jebol juga pada akhirnya.
"Iya, Ibu ini kalau baik tidak akan berbicara seperti itu."
"Sa-saya itu baik kalau menantu saya juga baik. Kalian bisa menilai sendiri kan, gimana saya bersikap? Berarti memang menantu saya yang tidak baik."
"Mbak Wiranti Itu baik kok orangnya sama tetangga. Masak iya sama Ibu mertua tidak baik?" tanya salah satu warga.
Ibu mertuaku terlihat mencebik. Lalu menatap ke arahku dengan tatapan tidak suka.
"Kamu mau mempermalukan Ibu?" tanya Ibu dengan nada berbisik.
Bersambung
"Sa-saya itu baik kalau menantu saya juga baik. Kalian bisa menilai sendiri kan, gimana saya bersikap? Berarti memang menantu saya yang tidak baik.""Mbak Wiranti Itu baik kok orangnya sama tetangga. Masak iya sama Ibu mertua tidak baik?" tanya salah satu warga.Ibu mertuaku terlihat mencebik. Lalu menatap ke arahku dengan tatapan tidak suka."Kamu mau mempermalukan Ibu?" tanya Ibu dengan nada berbisik.****Mas Bambang berpamitan pergi mencari kerja. Merapalkan doa-doa untuk keselamatannya dan juga semoga pekerjaan itu segera di dapatkannya. Aku segera menyapu seluruh lantai kontrakan. Tidak lupa mengepel sekalian. Meskipun perutku sudah besar namun tidak membuatku bermalas-malasan.Kring-kringSuara dering ponsel milikku terdengar cukup keras. Aku meletakan alat pel dan juga ember ditempatnya. Tidak lupa mengusap tangan pada belakang daster yang aku kenakan."Halo, Assalamualaikum.""Waalaikumsalam. Ti, kamu kemana saja kok lama?" "Eh, Emak. Ini lagi ngepel. Jadi beresin dulu alat
Salah satu penulis favoritku membuka kelas menulis. Tanpa dipungut biaya alias gratis. Aku yang saat ini suka dengan membaca akhirnya memutuskan untuk mengikuti kelasnya. Mendaftarkan diri dengan modal nekat mengubah nasib. Karena dari kabar yang beredar jika seseorang berhasil dalam menulis sebuah novel. Dia bisa membeli apapun yang diinginkan. Termasuk membeli tanah para mantan. Ah, membayangkannya saja begitu menggiurkan. Harapannya aku bisa seperti mereka. Jika tidak bisa membeli tanah paling tidak bisa membeli hinaan mertua yang kadang meresahkan.Huh hah "Mbak …." Suara Toni membuyarkan lamunanku. Entah kapan adik iparku itu sudah tiba. Dia masih duduk manis di atas motornya. Aku pun berjalan tergopoh-gopoh menghampirinya. "Lama.""Sabar, namanya juga Ibu hamil. Jalannya pelan.""Memangnya Ibu mau masak apa? Banyak ya?" Aku kembali bertanya sembari menjatuhkan bobot tubuhku di atas motor."Mana kutahu, Mbak. Aku kan cowok mana tahu urusan dapur.""Kan Mbak cuma tanya. Nggak u
BAB 5"Ya Allah … Ranti. Jam berapa ini? Kok makanannya belum ada? Nanti keburu tamu Ibu datang." Suara Ibu mertua melengking membuat aku spontan memejamkan mata. Menghirup oksigen sebanyak-banyaknya lalu membuangnya perlahan.Wanita yang keluar kamar telah berganti pakaian itu terlihat gusar. Tangannya terus saja bergerak mencari makanan yang sudah matang. Namun sayang, belum satu menu pun terhidang di meja. "Bu, Ranti ini hamil besar. Mana bisa masak cepat!" jawabku santai. Semua bahan baru aku siapkan. Tiba-tiba suara Ibu-ibu dari luar sudah terdengar riuh."Tu … kan teman ibu sudah pada datang! Gimana ini?""Ya disuruh masuk lah, Bu!" jawabku santai."Ah, kamu ini bikin malu saja!" Ibu terlihat menahan amarah lantas melewatiku berjalan menuju temannya yang baru saja datang."Assalamualaikum …." Terdengar salam dari luar. Aku pun turut menjawab salam dengan suara pelan. Riuh dan juga tawa yang cukup keras membuatku menggelang kepala. Lantas aku segera menyelesaikan membuat bumbu.
DINak Intan Ini selain pintar juga bijaksana. Beruntung kamu, Gas. Dapat istri cantik dan juga pintar kek intan."'Itu kan belum semuanya terlihat. Kita lihat saja nanti bagaimana sikap Intan yang sebenarnya. Semoga saja baik seperti sekarang. Bukan hanya sekedar topeng sebelum sah menjadi menantu' ucapku dalam hati.****Aku selesai memasak nasi goreng. Menyiapkan sarapan di meja lalu menarik kursi untuk menjatuhkan bokongku. Tidak berapa lama Mas Bambang keluar dari kamar sudah mengenakan pakaian putih dan celana hitam. Persis pakaian yang ia gunakan kemarin."Masak apa, Dek?" tanya laki-laki itu seperti biasa."Nasi goreng. Kamu mau cari pekerjaan lagi, Mas?" tanyaku."Ow, iya. Kemarin Mas belum cerita ya. Mas pulang kamu sudah tidur. Keknya capek banget habis bantuin Ibu masak-masak.""Iya, capek hati dan juga capek badan!" sahutku sembari memasukan sendok pada mulut.Mas Bambang terlihat menghela napas panjang lalu membuangnya perlahan. Aku tahu dalam lubuk hatinya pasti sangatla
"Halah, jadi babu saja sombong. Mending kerja sama Ibu. Bisa berangkat kapan saja. Bisa makan gratis!" Bibir Ibu mencebik. Tangannya dilipat di depan dada."Alhamdulilah, babu juga kerjaan halal kok Bu.""Halah, pokoknya nanti kalau Bambang pulang suruh ke rumah Ibu! Biar Ibu yang bicara!" Tanpa menunggu jawaban dariku. Wanita tua itu lantas pergi tanpa pamit. ****Jam menunjukan angka lima lebih lima belas menit, matahari sudah mulai turun ke peraduannya. Aku segera menutup semua jendela dan juga groden. Dimana hari semakin gelap. Disaat aku tengah menutup pintu. Suara kendaraan milik Mas Bambang terdengar berhenti di halaman rumah. Belum juga aku melihat ke luar. Suara pintu terbuka membuat aku segera menoleh ke arahnya. Disana laki-laki dengan lesung pipi di kedua sisi sudah masuk kedalam rumah. Aku pun tersenyum."Dek, kamu ngapain disitu?" tanya Mas Bambang kepadaku. Aku yang tengah berada di dekat jendela lantas memutar badan berjalan ke arah Mas Bambang."Lagi nutup jendela,
"Kamu baca sendiri!"Mas Bambang lantas meraih ponsel yang aku sodorkan. Dia lantas mencari pesan yang dikirim Ibunya. Terlihat disana wajah lelaki itu terlihat membuang napas panjang. Lalu entah apa yang dia ketik. Jari jemarinya seolah menari pada layarnya."Sudah nggak usah dipikirin. Ibu memang seperti itu! Kamu tahu itu!""Tapi, Mas. Kamu ini anaknya lho. Dia itu kok kesannya meremehkan. Bukannya seorang Ibu itu seharusnya mendoakan yang baik-baik untuk anak-anaknya. Lantas ini apa? Dia malah merendahkan pekerjaan kamu! Dan kamu cuma diam saja!""Nggak baik, Dek. Melawan orang tua.""Mas ini bukan melawan tapi ….""Tapi apa? Sudahlah, biarkan Mas besok datang ke rumah Ibu. Untuk membicarakan ini. Kamu tenang saja." Bibirku mencebik setelah mendengarkan penuturan Mas Bambang. Entah terbuat dari apa hati lelaki itu. Dia bisa bersikap tenang, jika aku menjadi posisinya mungkin sudah aku tegur wanita itu. Meskipun dia ibu kandungku. Namun sikapnya memang keterlaluan bukan?*****Mas
"Jangan Mbak pikirkan soal Ibu. Ibu nggak akan pernah tahu jika Mbak Ranti tidak mengatakannya kepada beliau." Aku diam. Benar juga. Jika aku tidak mengatakan apa-apa pasti Ibu mertuaku itu tidak akan pernah tahu. Memang selama ini Mas Bambang baik pada Bagas maupun Toni. Jika sikap Bagas yang juga baik kepadaku karena balas budi. Tidak halnya Toni, dia bersikap acuh mungkin tidak peduli denganku. Memang berbeda anak berbeda karakter meskipun satu Ibu yang sama.Huh hahAku membuang napas dalam-dalam. Lalu menatap Bagas dengan lekat. Lelaki itu mengangguk memberi tanda bahwa aku harus menerima.****"Bismilah," ucapku untuk memulai mengirim naskah pertamaku. Berharap diterima di salah satu platform kepenulisan. Jantungku berdebar tidak beraturan, pasalnya ini kali pertama karyaku di kirim. Semoga bisa membuahkan hasil.[Semangat, Ranti. Tulisan kamu bagus, pasti diterima kok!] Pesan dari sahabat, dia tahu soal keputusanku untuk menulis.[Doakan ya, semoga aku bisa nulis eksklusif disa
Apa operasi?" Ibu mertua kembali bertanya. Memastikan apa yang dikatakan Bambang benar adanya. Panjang lebar laki-laki itu menjelaskan. Hingga tanpa kusadari bulir-bulir bening itu meluncur begitu saja."Kamu tenang, Ranti. Mas akan selalu ada disampingmu. Kamu jangan pernah khawatir!""Bukan masalah Ranti. Akan tetapi masalah uangnya. Gimana sih kamu, Bang. Main setuju-setuju saja. Kalau operasi siapa yang mau bayar dengan biaya sebanyak itu?!" ****Aku membuka mata. Menatap langit-langit kamar yang bercat putih dengan lampu yang menyala terang. Aku mengerjapkan kedua mata, lalu menoleh ke samping ranjang. Benar saja, disana ada Mas Bambang yang tengah setia menemaniku. Dan satu lagi sosok wanita paruh baya yang tidak asing lagi di mataku. "Emak …." Aku bergumam, entah mengapa air mata itu tumpah dengan sendirinya.Wanita yang tengah tertidur pulas itu membuka matanya. Menatapku lekat lalu bergegas menghampiri."Kenapa kamu, Ranti? Ada yang sakit?" tanya wanita itu. Tangannya mengu
"Maksud kamu apa, Mbak?" Toni mengalihkan pandangannya pada Ranti. "Iya, kata Ibu. Beliau menggunakan sapi-sapi meninggalkan bapak untuk membiayai kuliahmu. Jadi sekarang buktikan kalau sekolahmu bukan dari keringat Mas Bambang." Dengan santai Ranti berbicara. Entah keberanian dari mana wanita itu dapatkan. Kini Ranti lebih tegas pada Toni."Haduh, baru ambil sapi saja sudah sombong kamu, Mbak. Apalagi kalau sudah punya banyak sapi," sungut Toni tidak terima mendengar pernyataan Ranti."Amin, makasih ya doanya.""Haist …." Toni mendesah pelan. Dia keluar dari aplikasi game online. Dimana dia kalah ketika berbicara dengan Ranti. Bertambah kesal ketika Ranti bukannya marah justru berterima kasih pada Toni. Ya semudah itu adik ipar Ranti tersinggung. Tanpa mengucap salam maupun permisi Toni meninggalkan Ranti. Dia mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi. Jarak antara kontrakan Ranti dengan rumah sang mertua tidak terlalu jauh. Kisaran lima belas menit saja jika mengunakan motor.
Semenjak Bambang mengambil sapi paksa dari kandang Romlah selama itu wanita tua itu tidak lagi bertandang ke rumah kontrakan Bambang. Bertanya Kabar melalui sambungan telepon pun tidak. Begitu juga dengan laki-laki itu, dia justru sibuk merawat sapinya. Mencarikan rumput dan membersihkan kandang. Ketika Bambang sibuk di kandang. Ranti tengah makan siang dengan lauk sayur bayam di meja makan. Begitu juga dengan Suminah. Mereka duduk berhadapan menyantap makanan sederhana itu. Sedangkan sang putri dia biarkan tidur di kamar dengan ditutupi kerodong bayi."Nduk, kamu sudah sehat kan? Emak mau pulang dulu, emak kan juga harus ngurus ayam di rumah yang sudah dua Minggu di urus sama tetangga. Masa iya, Emak minta tolong terus. Kan sungkan!" ucap Suminah di sela-sela dia mengunyah makanan. Ranti yang mendengarnya pun mengangguk. Dia sudah merasakan jahitan sudah tidak nyeri lagi. Kontrol ke rumah sakit pun sudah tidak perlu, kata dokter jahitan Ranti sudah mengering dengan sempurna. Apa ya
"Bambang nekat mengambil sapi milik ibunya. Sekarang ibunya marah-marah!""Astaghfirullah hal adzim," celetuk Ranti spontan begitu juga dengan Suminah. Mereka saling berpandangan. Apa yang ditakutkan terjadi, Bambang nekat dengan keyakinannya."Bagaimana ini, Mak. Ranti tidak mungkin meninggalkan Filzah di rumah.""Emak juga tidak mungkin datang ke sana, Ranti. Emak takut dikira ikut campur.""Kalau begitu kita tunggu saja Bambang di rumah.""Tapi, Mak. Nanti kalau Ibu marah-marah bagaimana? Mas Bambang ngadepin Ibu sendirian, kasihan dia!" Baru saja kedua wanita itu selesai bicara terdengar suara riuh dari luar sana yang terdengar semakin lama semakin mendekat. Ranti dan juga Suminah terus menunggu sebenarnya apa yang terjadi. Tidak butuh waktu lama, segerombolan orang sudah datang membawa sapi dengan berjalan cepat. Begitu juga dengan Mas Bambang dia terlihat menarik sapi betina itu dengan tali yang dikalungkan di leher."Pegang yang kuat, Pak. Kita masukan sapinya ke kandang sekaran
Setelah terungkapnya kebenaran itu. Bambang tidak lagi datang ke rumah orang tuanya. Dia juga tidak lagi mengungkit-ungkit masalah uang. Yang ada kini justru sibuk menyiapkan sebuah kandang hewan di belakang rumah kontrakan. Wiranti yang semula hanya memperhatikan kini membernaikan diri bertanya."Mas, itu buat apa?""Kandang sapi, Dek.""Kandang sapi?" Wiranti membeo. Bersamaan dengan itu Suminah datang menghampiri. Ikut berdiri di samping sang putri menatap Bambang penuh arti."Kamu dapat uang dari mana buat beli sapi?" tanya Wiranti dengan polosnya. Karena yang dia tahu. Tidak mungkin dia meminta sapi pada mertuanya itu, meskipun gelar ibu kandung di sandangnya tidak mungkin wanita itu rela membagi sapi itu pada anaknya. Bambang yang tengah memukul paku menghentikan kegiatannya. Lantas dia mengusap keningnya yang berkeringat. Menatap kedua wanita yang saat ini memperhatikan itu dengan seksama."Mas mau ngambil sapi yang seharusnya milik kita, Ti.""Maksud Mas Bambang apa? Ranti ng
Romlah diam, netranya terus bergerak kesana-kemari. Bambang yang mendengar penuturan Bagas baru saja terlihat menatap adik kandungnya itu dengan seksama. Sorot matanya menggambarkan bahwa ia kini tengah menanti suatu penjelasan."Maksud kamu apa, Gas?" pertanyaan Bambang membuat Romlah semakin gelisah. Wanita itu terus membenarkan rambut kemudian menyelipkannya di antara telinga. "Bu, jelaskan kepada Mas Bambang sebenarnya apa yang sudah terjadi. Agar semuanya jelas dan juga tidak salah paham begini!" Kini giliran Bagas yang meminta wanita itu untuk berterus terang. Bambang yang semula memperhatikan ibunya kini beralih pada Bagas yang duduk tidak jauh dengan Romlah."Tidak ada yang perlu dijelaskan. Sapi-sapi itu dibeli dengan menggunakan uang Ibu. Titik!" ucap Romlah dengan nada ketus. Wajahnya melengos setelah selesai berucap. Tidak ingin menatap Bambang lebih lama."Bu …." Bagas memohon. Akan tetapi, Romlah seakan tidak peduli. Dia tetap dengan pendiriannya. Berdiri dari tempat di
"Maafkan Ranti, Mas. Uang itu diberikan Bagas sebagai ucapan terima kasih kepada kamu, Mas. Sudah bantu dia buat biayain kuliah hingga bisa seperti sekarang. Dia ngasih uang itu buat biaya persalinan. Terbukti uang itu juga kita gunakan. Akan tetapi, belum juga aku bilang sama kamu soal Itu aku keburu lahiran, Mas. Maafin aku ya?" Tatapanku sendu. Ada rasa menyesal terlihat jelas pada wajah dan juga sikapku. Ya aku menyesal.Huh hahMas Bambang terdengar membuang napas panjang. Aku yakin ada beban berat yang kini tengah ia rasakan. Bukan bermaksud menjadikan beban soal operasi caesar yang aku jalani ini. Akan tetapi, dokter memiliki alasan demi menyelamatkan buah hati. Air ketuban yang terus keluar tanpa diikuti pembukaan membuat janin yang ada di dalam rahim terancam keselamatannya."Semua bisa dibicarakan baik-baik, Bang. Jangan sampai amarahmu membuat kamu gelap mata. Ingat, dia itu ibumu yang harusnya sama kamu hormati. Ya?!" Wanita itu berbicara panjang lebar, membuatku merasa b
Tut … Tut.Aku langsung menghubungi Tami, sahabatku. Menanyakan perihal foto yang ia kirim kepadaku. "Assalamualaikum," salam aku ucapkan setelah orang yang ada di seberang telepon mengangkat telepon. "Waalaikumsalam, Ranti. Ada apa? Pasti nanyain soal foto yang tadi aku kirim?" Wanita itu langsung menebak isi kepalaku. Aku tersenyum meski Tami tidak bisa melihat. "Iya, apa benar karya-karyaku bisa diterima pembaca?" tanyaku antusias. Jantung ini bekerja lebih cepat dari biasanya. Meskipun terdengar sepele, akan tetapi bagiku ini begitu luar biasa. Ini kali pertama aku mengirim naskah dan itu langsung diterima oleh pembaca dengan baik. Alangkah bahagianya aku, ini adalah suatu awal yang baik untuk kedepannya. Harapanku satu, aku bisa membungkam mulut sang mertua dengan kesuksesanku."Iya, alhamdulilah. Bagus itu, ayu buruan nulis. Eh, ngomong-ngomong kamu habis lahiran ya? Maaf, aku belum sempat main. Nanti ya kalau ada waktu pasti main ke rumah kamu. Author yang baik hati dan jug
Apa operasi?" Ibu mertua kembali bertanya. Memastikan apa yang dikatakan Bambang benar adanya. Panjang lebar laki-laki itu menjelaskan. Hingga tanpa kusadari bulir-bulir bening itu meluncur begitu saja."Kamu tenang, Ranti. Mas akan selalu ada disampingmu. Kamu jangan pernah khawatir!""Bukan masalah Ranti. Akan tetapi masalah uangnya. Gimana sih kamu, Bang. Main setuju-setuju saja. Kalau operasi siapa yang mau bayar dengan biaya sebanyak itu?!" ****Aku membuka mata. Menatap langit-langit kamar yang bercat putih dengan lampu yang menyala terang. Aku mengerjapkan kedua mata, lalu menoleh ke samping ranjang. Benar saja, disana ada Mas Bambang yang tengah setia menemaniku. Dan satu lagi sosok wanita paruh baya yang tidak asing lagi di mataku. "Emak …." Aku bergumam, entah mengapa air mata itu tumpah dengan sendirinya.Wanita yang tengah tertidur pulas itu membuka matanya. Menatapku lekat lalu bergegas menghampiri."Kenapa kamu, Ranti? Ada yang sakit?" tanya wanita itu. Tangannya mengu
"Jangan Mbak pikirkan soal Ibu. Ibu nggak akan pernah tahu jika Mbak Ranti tidak mengatakannya kepada beliau." Aku diam. Benar juga. Jika aku tidak mengatakan apa-apa pasti Ibu mertuaku itu tidak akan pernah tahu. Memang selama ini Mas Bambang baik pada Bagas maupun Toni. Jika sikap Bagas yang juga baik kepadaku karena balas budi. Tidak halnya Toni, dia bersikap acuh mungkin tidak peduli denganku. Memang berbeda anak berbeda karakter meskipun satu Ibu yang sama.Huh hahAku membuang napas dalam-dalam. Lalu menatap Bagas dengan lekat. Lelaki itu mengangguk memberi tanda bahwa aku harus menerima.****"Bismilah," ucapku untuk memulai mengirim naskah pertamaku. Berharap diterima di salah satu platform kepenulisan. Jantungku berdebar tidak beraturan, pasalnya ini kali pertama karyaku di kirim. Semoga bisa membuahkan hasil.[Semangat, Ranti. Tulisan kamu bagus, pasti diterima kok!] Pesan dari sahabat, dia tahu soal keputusanku untuk menulis.[Doakan ya, semoga aku bisa nulis eksklusif disa