"Qiraniiiiiii!!!" teriak mama mertua. Mas Fadli tak berkutik melihatku.
"Aaaah, kepalaku pusing, Mas," lirihku.Aku langsung pura-pura oleng. Kupegang kepalaku selayaknya orang yang lagi pusing dan akan pingsan. Aku berakting berusaha berdiri tegak dan seakan-akan mau jatuh. Kubiarkan tanganku menjalar kemana-mana mencari keseimbangan, menabrak piring dan mangkok yang berjejer di kabinet, dekat sink (wadah tempat mencuci piring).Criiiing!Krink!Mangkok-mangkok itu berjatuhan."Berhenti Qirani!!!" teriak Mama mertua.Aku langsung mematung dan luruh, berjongkok sembari menopang kepalaku. Aku menunduk, sebenarnya sedang menyembunyikan mulutku yang tersenyum senang. 'Mampus' jerit hatiku senang. Dalam hatiku terkekeh jahat. Entah setan mana yang sedang menggerogoti hatiku sekarang."Dek! Ya ampun! Diam di situ! Jangan bergerak!" seru Mas Fadli terdengar panik.Suamiku itu berlari keluar. Rupanya dia memakai sandal dan mengambilkan aku aku sandal juga agar kakiku tidak tertusuk beling. Masih peduli juga kamu ya, Mas? Aku menyeringai dalam wajahku yang kemasukan dalam lututku yang berjongkok."Kok bisa kamu begini, Qi?! Bisa habis mangkok, Mama nanti! Ayo! Bangun! Kita ke kamar!" serunya.Ya elah, dia takut mangkuk itu pecah semua rupanya. Kukira dia peduli. Aah, suami buaya."Ooh ya Allah! Qirani! Habis mangkokku kamu pecahkan! Apa tidak bisa kamu bikin aku senang sedikit saja?!"Aku merasakan tangan Mama mertua mendorong bahuku dengan keras hingga aku tersungkur. Mas Fadli tetap menopangku dengan tegap. Aku pura-pura memejamkan mata di pundak Mas Fadli."Udah, Ma. Qiran lagi sakit. Biarin dia rehat dulu," ucap Mas Fadli membelaku."Terus ini gimana?!" pekik Mama mertua.Tidak ada jawaban dari suamiku dan aku merasa lega karena terus dibawa menjauh dari pecahan beling itu."Ya Allah! Bagaimana ini?! Ya Allah! Mangkokku! Yang ini?! Ini! Yang bunga ini! Aaaaakkkh! Qiraniiii! Awas kamu nanti, menantu tidak ada guna!"Mama Mertuaku berteriak bahkan terdengar seperti menangis. Wajar sih dia sesedih itu karena memang tiga mangkok utamanya cantik dan mewah. Hatiku makin puas mendengar omelannya. Toh setelah dua tahun, selama dua tahun aku saja yang memendam perasaan. Sekarang, bolehlah gantian Mama mertua yang kubuat stress."Menantu sialan! Sudah tidak bisa membantu malah merusak! Lihat saja, akan kucarikan kamu adik madu!"Aku hanya mengerucutkan mulutku. Biarkan dia mengomel apa saja, karena hatiku ini sudah kebas. Adik madu katanya? Dikira aku akan takut. Ingin sekali kutimpali dia bahwa menikah dengan anaknya justru membawa kesengsaraan fisik dan batinku. Jelas aku makin kurus dan tak terawat. Dilarang pakai kosmetik karena katanya boros, apalagi mau beli skincare mahal. Mau pakai uang sendiri takut diintrogasi dapat uang darimana. Nanti kalau dia tahu aku punya uang, makin tidak tahu diri pasti dia."Pusing banget, ya? Tadi kelihatan baik-baik aja kamu," cecar Mas Fadli memberikan minyak kayu putih padaku. Bukannya aku dibantu mengoleskan minyak kayu putih itu, tapi dia kembali memegang hpnya sembari mengintimidasiku dengan tatapannya."Ya gak tahu, Mas. Karena aku lapar juga," timpalku dengan suara rendah."Kamu harusnya lebih hati-hati. Kasihan itu Mama kehilangan mangkok-mangkoknya. Nanti kalau dia minta ganti, jatah belanjamu aku hapus sampai waktu yang tidak ditentukan," ucap suamiku itu tanpa ragu.Melongo aku mendengar ucapannya. Sempat-sempatnya dia berpikir begitu. Benar-benar perhitungan luar biasa. Uang hanya dua ribu lima ratus yang dia mau hitung tiap hari untuk aku bayar ganti rugi. Hahaha, lucu. Andai dia tahu isi rekeningku, sekarang sudah mencapai dua belas juta, pastilah dia akan merampoknya."Fadli! Keluar kamu! Bantu bereskan bekas kerusakan yang dibuat istrimu!" teriak Mama mertua."Lanjut lah, Ma! Aku ada kerjaan ini!"Mas Fadli menjawab teriakan ibunya sembari memainkan hp. Kerjaan main game adalah faktanya. Aku makin menenggelamkan diriku dalam selimut. Cintanya suamiku sebatas dia mengeluarkanku dari tumpukan beling agar aku tidak terus menambah tumpukan beling yang lain."Punya anak dan menantu tidak ada yang becus! Bikin susah saja!" omel Mama mertua kembali menyambung.Terdengar suara motor berhenti di depan. Jelas itu suara motor bapak mertua dan Nita. Entah darimana mereka sampai bisa bersamaan begitu. Mama mertuaku kembali berteriak lebih kencang. Aku tahu, pastilah mencari perhatian suaminya."Menantumu itu, Pak! Dia yang memecahkan mangkok-mangkokku! Memang tidak becus dia! Semua wanita bersuami pernah hamil, tapi tidak sesial dia!""Ya Allah, Ma. Jaga omonganmu. Tidak baik berkata buruk begitu pada menantu kita. Kasihan, namanya hamil muda. Syukur-syukur dia gak dirawat di rumah sakit. Itu kan contohnya, Bu Bidan Indri, hamil muda sampai-sampai rumah sakit jadi rumah keduanya kan itu. Padahal dia seorang bidan."Aku yang curi dengar ucapan Bapak mertua jadi terharu sampai malu sendiri. Heran, justru mertua laki-laki lebih punya empati, padahal harusnya sesama perempuan saling memahami. Harusnya begitu, sih teori woman suport woman. Tapi fakta di lapangan, kebanyakan perempuan yang menghancurkan sesama kaumnya sendiri."Alah! Bela terus anak orang, kamu Pak! Bidan Indri itu orang kaya, masuk rumah sakit seperti lagi nginap di hotel. Laah modelan mantumu mau sakit? Bayar pakai daun. Cih!""Jangan begitu, Ma. Repetanmu itu sama sekali tidak enak didengar telinga. Sudah. Jangan bicara lagi atau aku akan tidur di sekolah saja. Pusing dengar perempuan kalau sudah ngomel."Terdengar pintu ditutup kencang oleh bapak mertuaku. Huuft. Bagaimana bisa modelan seperti Mama mertuaku itu dapat laki-laki sebaik Bapak mertua, ya? Aku menggigit selimutku sendiri karena hati sedang tak karuan. Kudengar Nita membantu ibunya membereskan dapur."Coba Dewi jadi mantu Mama, Nit, gak akan punya mantu payah seperti sekarang," lanjut Mama mertua tidak selesai-selesai."Ya, Mama memang apes," timpal Nita terdengar santai."Ya, apes betul. Dipelet pakai apa Abangmu, ya?"Entah apa tanggapan dari mulutnya Nita karena suara mereka beradu dengan gemerincing beling yang sedang dikumpulkan dan piring yang sedang digeletakkan setelah dibasuh. Suara air yang sedang mengucur deras mendominasi. Aku menghela napasku dengan sangat berat. Apa mereka tidak tahu, aku juga apes bisa jadi bagian dari keluarga ini. Aku menoleh ke arah Mas Fadli yang tengah asik dengan ponselnya. Apa dia tidak dengar bagaimana sumpah serapah dan gunjingan ibu dan adiknya itu? Sampai begitu santai dan tenang mimik wajahnya."Mas, kamu dengar tidak semua ucapan Mama dan Nita?"Mas Fadli hanya mendehem. Aku bertanya lagi, sekarang dia mendecak. Sepertinya mulai kesal. Kembali kuulangi pertanyaan yang sama."Apa sih kamu, Qi! Ganggu saja. Memang benar kata ibuku, kamu memang bawa apes! Kalah kan aku ini?! Haiish!"Mas Fadli meletakkan begitu saja hpnya di atas lantai hingga bergeser keras bahkan sekarang berada tak jauh dari mataku. Jelas aku membaca kata OVER di layar ponselnya. Ternyata dia dengar semua ucapan ibunya tapi dia memilih abai.Kukuatkan genggaman tanganku menahan agar mulutku dan kakiku tidak menendang pria yang kusebut suami ini. Aku tidak ingin sandiwaraku diketahui.Tiba-tiba ponsel yang tak jauh dariku itu berdering dan muncul foto wanita yang sedang memanggilnya. Aku kenal betul foto itu. Foto dengan penampilan yang sama dengan yang baru-baru kulihat. Dia adalah Nilam, istri Zulkifli.Mas Fadli meraih ponselnya dan jelas dia salah tingkah melihatku. "Kenapa, Mas? Kok panik gitu wajahnya? Selingkuhanmu?" tanyaku to the point. "Saring kalau bicara. Ini teman kantorku. Tau apa kamu?!" ketusnya. Aku mengangkat sedikit ujung bibirku, sinis. Jelas sekali wajah bertopeng suamiku itu. Sekarang dia keluar membawa hpnya. Jelaslah pasti dia akan berhubungan dengan pacarnya. Tak apa, aku tahan-tahan saja. Sekarang kamu bisa leluasa bersikap, Mas. Tapi lihat saja nanti, aku masih beri kamu waktu. "Aku mau pulang, Mas," ucapku ketika Mas Fadli kembali. Dia langsung mengangguk. Sepertinya karena dia tak ingin aku bertanya tentang wanita yang menelponnya itu. Aku sengaja tidak mau membahasnya, buang-buang tenaga. Kalau cinta sudah terkuras begini, perasaan illfill bergelayut. Dia saja tidak mencintaiku, kenapa aku harus terpuruk? Malam itu juga, aku kembali ke kontrakan, meninggalkan wajah cemberut Mama mertua dan adik ipar yang kelelahan. Pastilah mereka semakin membenciku.
Malam itu aku gelisah sekali. Aku pura-pura keluar kamar, untuk minum. Sekilas kupandangi bingkai foto habib. Tiba-tiba saja hatiku berdebar-debar. Bagaimana kalau gagal? Bukan aku peduli dengan uangnya, tapi kalau para warga datang, dan gebukin Si Kipli, sohibku. Aduuuh! "Sayang, main 'jungkat jungkit', dong," ucap Mas Fadli mendekatiku yang baru merebahkan tubuh. Barusan, aku sudah membuka kunci pintu agar Kipli dengan mudah masuk. "Maaf Mas, perutku sedang kram. Besok aja, ya!""Dosa loh, ajakan suami ditolak," ujarnya. "Nanti kalau anak kita kenapa-kenapa gimana, dong," ujarku manja. Jangan sampai, nanti saat ngeong-ngeong, Si Kipli muncul. Batinku tiba-tiba merinding. "Malas akh sama kamu," ancam Mas Fadli langsung membelakangiku. Aku menggigit bibirku. Baru pertama kali ini aku menolak. Lagi pula, jika kuingat dia memiliki wanita simpanan, rasa bersalahku seketika hilang. Sebab, bisa jadi mereka telah main jungkat-jungkit juga. Suara ngorok Mas Fadli terdengar bersamaan den
Mas Fadli langsung berbinar karena merasa ada bantuan datang. Ia bersemangat melihat perampok tadi diinjak-injak oleh Zulkifli. Aku sangat yakin, itu Zulkifli karena postur tinggi besarnya itu. Bisa-bisanya tadi aku ceroboh tidak mengenalinya. Padahal pria perampok itu setinggiku dan gempal. "Ampun, Bang! Ampun, Bang!" mohon Si Perampok bersimpuh. Bahkan pisau yang dibawanya sekarang sudah di tangan Zulkifli. Aku terkesima melihat ketangkasan sohibku itu. Pandai sekali dia melumpuhkan perampok dengan kaki dan tangannya. Wajar juga sih, hidupnya kan memang keras dan panas. Penjaga pasar juga debt collector. "Yes! Hajar, Bang! Hajar!" seru Mas Fadli berbinar. Aku hanya menelan salivaku membayangkan yang akan terjadi di menit berikutnya. Suamiku yang kikir ini begitu yakin, laki-laki bertopeng sarung itu adalah kawan. "Enak saja datang merampok!" seru Mas Fadli mendekati kedua pria asing itu. "Pergi," ucap Zulkifli terdengar jelas. Meski terdengar melirih, tapi aku mengenal suaranya.
Kleek! Aku langsung mematikan lampu. Kukira Mas Fadli akan keluar, rupanya tidak. Aku merasa lega. Kupandangi langit-langit rumah kontrakan ini. Orang bilang, waktu terasa sangat cepat. Tapi bagiku, dua tahun terasa lama sekali menjalani hidup. Mungkin karena diperlakukan seperti tidak terlalu berharga oleh suami jadi hidup terasa membosankan. [Gimana? Aman? Besok jam 10 pagi aku cari ke pasar ya] Aku mengirim pesan ke Zulkifli. [Ok!] jawabnya cepat. Aku tersenyum membayangkannya. Esok hari, Mas Fadli tidak ke kantor karena masih shock. Aku jadi sangsi untuk izin tapi dipikir-pikir, aku lebih baik keluar rumah saja. Ikut suntuk aku melihat wajah kusut suamiku. Nanti kucari cara agar bisa keluar dengan izinnya. "Perampok setan. Kita lapor polisi aja, yuk, Dek!""Gak usah! Jangan, Mas!" tegasku berulang. Aku langsung tegang. Mas Fadli mengernyitkan alisnya padaku. "Apa kamu gak ingat ancamannya? Dia bisa suruh anak buahnya buat balas dendam! Berani kamu?!"Mas Fadli tampak memiki
Aku menunggu Zulkifli mandi di masjid dekat pasar. Pria itu keluar dengan kondisi nampak jauh lebih segar dan sedikit basah di pakaiannya. Bentuk rahanya semakin keras, tatapannya tajam dan bulu-bulu di lengannya membuatnya sebenarnya gagah. Tapi karena panas matahari dan hidup lebih banyak di pasar, yang membuat rambutnya merah dan kulitnya menghitam tak terawat. "Kita ke danau, yuk!" ucapnya. Aku mengangguk. Selama perjalanan, pikiranku menimbang-nimbang. Untuk pertama kalinya aku keluar bersama pria lain, meskipun Zulkifli sahabat kentalku tetap saja jauh di lubuknhatiku ini, ada rasa bersalah pada Mas Fadli. Aku menghela napasku kuat-kuat karena sepertinya setiap sisi aku berat. Sekitar perjalanan 30 menit, kami sampai. Nampak agak sepi pariwisata danau ini. Sepertinya karena siang hari dan juga bukan hari libur. Aku duduk di warung lesehan yang menghadap pemandangan danau. Warung itu memiliki tempat yang berkotak-kotak memanjang, dipisah oleh pagar bambu. Jadi setiap tamu tida
"Anu ... telapak kaki istri saya lagi sakit, keseleo, Buk. Mau ganti tempat duduk, suasana baru. Kami makan di sana aja ya, nanti saya ambil makanannya," ujar Zulkifli yang membuat aku seperti kena serangan jantung mendengar ucapannya. Zulkifli sudah berdiri sedangkan aku masih gemetaran tak berani mengangkat tubuhku, bisa langsung kelihatan oleh penghuni kotak di sebelah. Kuharap Mas Fadli tidak keluar menyaksikan perbincangan ini. "Ooh gitu. Suami istri rupanya. Oke. Itu digendong aja istrinya daripada merayap macam tokek gitu.""Ii-iiya," jawab Zulkifli berjongkok dan langsung menyambar tubuhku. Diangkatnya tubuhku dengan cepat, seperti tubuhku ini hanya kapas di tubuh besarnya. Zulkifli terus berjalan memapahku. Sudah ... sudah habis napasku sekarang! "Tu-turunin," bisikku menekan suaraku sedemikian rupanya. Ya Allah, aku malu sekali. Zulkifli justru meremas pinggangku dan aku langsung membeliak marah. Tepat saat tanganku akan memukul apapun dari anggota tubuhnya, terdengar sua
"Kamu jangan menuduh suamimu begitu. Sudah rugi puluhan juta gitu, masih saja kamu berulah!""Kok aku terus sih yang disalahin, Ma?!Intinya aku katakan kebenaran bahwa uang yang hilang itu gak sebanyak itu," cerocosku. Mama mertua hanya mendelik. Ia memilih duduk di kursi yang tersandar di tembok."Aku gak percaya kamu. Bisa-bisanya uang puluhan juta kerampokan. Memang agak lain kalian ini," omel mama mertua dengan bibirnya yang melenceng kiri kanan. Aku hanya angguk-angguk saja. Habis-habiskan tenaga jika terus menimpali nenek ini. Biar saja dia ngomel sampai peot, yang penting uang itu sudah masuk kantongku. Hatiku menyeringai jahat. "Kamu gak suguhin mertuamu apa gitu?""Gak ada apa pun, Ma. Mas Fadli tidak ada stok teh atau kopi. Kalau mama mau minum air putih atau air gula, aku bisa buatkan sekarang." Yang kukatakan ini adalah kebenaran. Sebelumnya aku ikhlas hidup melarat selama dua tahun jarang minum enak sekedar teh, yang penting segera punya uang untuk beli rumah. Tapi se
"Misi belum bisa segera dijalankan, sebab partner belum balik dari Jakarta. Dia sedang jadi ajudan bos tambang. Seminggu lagi lah," ucap Zulkifli menyeruput kuah baksonya. "Ya sudah, tidak apa-apa. Yang penting motor itu bisa direbut," ucapku menggenggam erat-erat sendok garpu. Sedari tadi, tak ada satu pentolan bakso yang masuk dalam mulutku. "Tenang saja. Temanku itu perampok handal. Motong kepala orang juga sudah biasa."Astagfirullah. Aku langsung pegang dada. Ngeri kali. Biar aku marah sampai ke tulang sum-sum pada Mas Fadli, aku tak ingin sampai dia sampai celaka. Secepat kilat kutusuk tangan Si Kipli ini pakai garpu."Aaaakhhhh! Qiraaaani!" teriaknya kesakitan. Aku langsung pura-pura kembali mengaduk baksoku dengan garpu itu. Aku yakin banyak orang yang menoleh kami, biar saja. "Sinting, ya! Kalau sudah beneran tak waras oleh kelakuan suamimu, kubawa kamu ke RSJ sekarang! Haaaish dalam tusukannya ini. Wanita gila," omel Zulkifli dengan wajah merah padam. "Awas kalau sampai s
"Mas?! Kamu kenapa?!""Ni ... Nilam, Qiran. Dia pergi membawa bayi kami." "Maksudmu?!!" tanya Qiran langsung tegang. "Nilam kabur, Qiran!""Ooh ya, Allah...."Qiran menggigit bibirnya. Ia tahu, tidak mudah di posisi Nilam. Dia sudah merasakan di posisi wanita itu dan Nilam merasakan imbas yang terparah. Ternyata yang diucapkan Nilam waktu itu serius. ***"Aku ingin bercerai," ujar Nilam saat baru seminggu dia disecar. "Cerai?" tanya Qiran. "Iya. Kamu hebat bisa tahan 2 tahun, aku tak sampai setahun sudah habis jiwaku, Qiran.""Kamu yakin? Bayimu butuh ayahnya.""Bayiku lebih butuh ibu yang bahagia. Bukankah begitu?"Qiran diam. Sejak itu Nilam tak pernah bicara soal itu lagi. Dia mengira, Nilam tidak melanjutkan niat itu karena ia melihat Fadli sepertinya mulai lebih luwes pada istrinya. Setiap kali dia ke sana menjenguk Nilam, dia sudah menemukan aneka roti dan buah di dekat meja. Qiran mengira itu semua bisa meluluhkan perasaan Nilam. Tapi rupanya, dua bulan terlewati, wanita i
Fadli terkejut tak mengerti. Alisnya yang mengkerut dengan kening berlipat-lipat itu menandakan dia heran. Nilam pun yang sedang menggendong bayinya juga ikut bingung. "Uangmu yang hilang di rekening sejumlah 63 juta itu, aku yang ambil. Jadi yang 2 jutanya anggap aku sedekah saja," ucap Qiran tanpa keraguan sedikit pun. "Bicara yang jelas, Qirani," ujar Fadli tegang. "Perlu aku ulang, Mas?" tanya Qirani dengan wajah biasa saja. Dddrrrrtt... Ponsel Qirani bergetar. Qiran mengangkat tangannya seolah mengisyaratkan agar Fadli diam dulu. Pembawaan Qiran santai saja seolah-olah tidak ada beban. Sedangkan Fadli masih terbengong-bengong. "Ya, Yank. Ooh, oke deh. Tunggu dah sebentar lagi ... Gak, Yank. Nanti lah di Star Five aja, belum kucoba menu yang itu. Oke. Siap."Panggilan selesai. Nilam hanya tersenyum kecil. Itu pasti dari mantan suaminya. Luar biasa beruntung Qirani, hidup mewah, makan siang di hotel. Tapi sekarang Nilam tak mau iri lagi pada Qiran meski sakit itu jelas masih
SCENE FLASH BACKNita dan Pak Hasan secara tidak sengaja mendengar percakapan dokter yang sedang merayu Fadli dan Bu Sita agar setuju Nilam dioperasi. Mendapati keduanya masih kekeh, Nita langsung menyeret tangan ayahnya menjauh. "Pak, yakin gak kalau kita rayu Mama dan Mas Fadli, mereka akan luluh?""Bapak sudah ngomong, kok tadi subuh sama Mamamu. Jika memang harus kakak iparmu dioperasi, ya bismillah aja. Tapi Mama mu malah menggerutu tak jelas.""Mas Fadli juga kok gitu banget sih, Pak. Aku merasa kasihan sama Mbak Nilam meskipun aku gak akur sama dia.""Fadli sama Mamamu sama-sama punya bibit kikir. Sudah berulang kali Bapak kasih tahu kalian bahwa kikir itu sulur rambatnya sudah ada di neraka. Siapa yang kikir atas hartanya, tinggal ditarik ke neraka oleh rambatannya. Macam sulur labu. Menjalar."Nita menggigit bibirnya. Ia punya ide tapi ia sendiri masih ragu. Namun daripada tidak dicoba sama sekali, lebih baik gagal. "Aku akan menghubungi Mbak Qiran, Pak. Mungkin Mbak Qiran
"Ini bayinya kalau lahir, akan prematur. Usianya baru 24 minggu. Beratnya kurang sekali ini, Bu. Seperti berat janin usia 4 bulan. Janinnya kurang nutrisi ini. Ibunya malas makan, ya?!" cecar Bu Dokter yang langsung membuat jantung Nilam seperti dihantam batu besar. "Makan kok, Dok. Cuman sering muntah," sambung Fadli tak mau dikira istrinya tak makan. "Makan, Dok tapi nasi dan kepala ayam atau ceker ayam, bukan dagingnya," tambah Nilam penuh dendam. Dalam hatinya, kalau sampai ada apa-apa dengan bayinya, ia akan membuat perhitungan yang besar dengan suaminya itu. "Ibu hamil itu harus makan yang bernutrisi tinggi. Malah perlu juga disokong dengan susu dan vitamin. Karena apa yang dimakan ibunya, itu yang dimakan janin."Bu Dokter langsung memberi intruksi. "Sus, siapkan suntik pematangan paru. Jaga-jaga kalau bayinya lahir," ujar Bu Dokter pada asistennya. "Baik, Dok."Suasana menjadi tegang. Bu Dokter kembali melihat layar. "Denyut jantung janin masih bagus. Saya akan bantu su
"Apa?!" Suara Fadli agak ketus. Sebab, dia sedang merasa diganggu saat menatap mantan istrinya yang begitu sangat cantik jelita. "Perutku sakit sekali, Mas. Sakit sekali.""Sakit gimana maksudmu?""Ya sakit. Cekat cekit. Ta-taapi sekarang sudah hilang," lirih Nilam. "Kamu pasti shock melihat mantan suami kamu yang sekarang jadi anak konglomerat, kan? Perempuan matre kayak kamu pasti nyesel banget."Mendengar ucapan suaminya, Nilam hanya memandang sinis. Ia ingin menimpali tapi kembali lagi rasa sakit di perutnya menyerang. Sejenak dia bergeming. Ada apa ini? Apakah sudah waktunya dia melahirkan? Usia kandungannya baru lima bulan jalan enam. Dia tidak mau memiliki bayi yang tidak normal. Usaha dan perjuangannya sudah sangat jauh untuk janinnya. Nilam berusaha bernapas dengan teratur. "Ayo! Kita ucapkan selamat atas kemenangan mereka dan kekalahan pada kita, Nilam," lirih Fadli dari hatinya paling dalam. Nilam bergeming. "Ayo kita naik! Biar cepat makan!" seru Bu Sita. "Ayo, Nila
"Jadi gimana, Fadli, kamu mau datang tidak ke acara resepsi mantan istrimu?"Fadli hanya diam. Benar-benar diam. "Biar kita berangkat bareng pake mobil. Mama akan sewa mobil khusus biar kelihatan mewah, sesuai dengan pesta yang akan kita datangi. Nanti kamu yang bayar tapi ya."Wuuushhh! Undangan tebal dan berbingkai ukiran timbul berwarna emas itu melayang dan jatuh. "Cukup ya, Ma! Cukup! Aku muak mendengar Mama yang mau terlihat hidup hedon padahal modal pun tak ada. Mama itu seperti sedang memerasku! Mama belum sadar-sadar juga? Seberapa besar dan banyak akibat yang ditimbulkan oleh Mama! Mama yang jadi ibuku yang menyebabkan aku sampai cerai dari Qirani!""Loh, kok kamu jadi ngegas, Fadli? Mama cuman kasih tawaran aja. Masa sekedar sewa mobil kamu gak mampu?! Kan uang dari Pak Wahyu sampai 75 juta. Janganlah kikir banget!""Kikir?! Ya! Aku kikir dan pelit memang! Ini semua karena ajaran dari Mama! Mama yang suruh aku pelit kikir pada Qirani sehingga dia sampai gak betah jadi is
"Ini gaes, kakak sepupu aku ternyata langsung akad nikah gaes. Sekarang nih! Pantengin ya!"Nilam langsung menelan salivanya berdebar. Mantan suaminya akan akad nikah, sungguh luar biasa gejolak batin Nilamsari. "Assalamu'alaikum!"Deegh! Sampai gugup tangan Nilam memegang hp karena terkejut. "Waalaikumsalam, Bang.""Kenapa mukamu tegang begitu?" tanya Fadli yang baru pulang dari kantor. "Ooh iya, Bang. Gak kok. Aku buatin kopi?""Gak usah. Aku mau langsung mandi aja."Nilam diam dan itu membuat Fadli jadi penasaran. "Ada apa di hp itu?""Nonton ... nonton vidio pernikahan Qirani dan mantan suamiku, Bang.""Qiran?! Nikah hari ini?!!!"Fadli terkejut luar biasa. Dia langsung meraih ponsel Nilam. 'Aku tak mau shock sendirian, Bang. Sama-sama mampuslah kita. Kamu kira aku gak tahu, kamu masih sering merindukan mantan istrimu itu' batin Nilam bersamaan dengan detak jantungnya mulai stabil. Terkadang Nilam heran dengan dirinya sendiri, begitu takut Fadli menceraikannya. Demi janinny
Sudah banyak orang berkumpul karena penasaran dengan acara lamaran Qiran. Antara percaya dan tidak percaya jika benar Zulkifli yang akan datang bersama keluarganya. Memangnya siapa keluarga Zulkifli? Siapa keluarga Ningsih? Semua orang tahu, mereka adalah petani. Bahkan puluhan tahun yang lalu, mereka disuruh-suruh menjadi buruh di sawah. "Menurutmu, ucapan Mbak Nurul kemarin benar gak sih?""Ya gak percaya sih, Mbak Nurul bisa saja berkelit untuk menutupi calon yang sebenarnya. Aku tak percaya juga kalau sekarang Kipli sama ibunya jadi orang kaya," jawab Bu Nanik. "Lah iya, ada dua apa tiga minggu yang lalu, Ningsih masih jemur padi," sambut yang lain. "Itu dah. Mungkin Nurul lagi sinting," tambah bu Tatik. "Terus Ningsih di mana sekarang? Sepi aja rumahnya tadi aku lewat. Apalagi ini kan acara gengnya, kok tak nampak dia?""Pergi ke desa sebelah, kerja panen padi kali."Yang lain pun ikut mengangguk seperti mengiyakan. Terlihat Bu Nurul sudah rapi dandanannya dengan gamis coklat
"Mana uangnya?" tanya Joger. "Mana temanmu yang lain?" tanya Zulkifli berbalik, membuang asap rokoknya yang baru dia nyalakan. Joger ditemani seorang laki-laki bertato. "Buat apa? Serahkan saja uangnya. Kami terburu-buru.""Jadi kalian hanya berdua?!"Zulkifli melepaskan rokoknya di dekat telapak kaki lalu dilumatkannya dengan sekali giling. Ia menatap kaki kirinya yang sedang berputar. "Ya. Hanya kami berdua. Apa masalahnya? Dari tadi kamu mengulur waktuku."Buuuuughhhh! Zulkifli langsung melayangkan tinjunya di wajah Joger. Tersungkur jatuh pria itu ke tanah kering berbukit. Teman Joger langsung sigap menendang Zulkifli namun kaki Zulkifli begitu kokoh. Hanya mundur saja tidak sampai jatuh. Justru ia berbalik menyerang dengan memutar tubuhnya lalu menendang bahu pria itu. Pria itu langsung jatuh. Ia kembali bangun dan melayangkan tinjunya. Zulkifli menunduk lalu secepat kilat memukul punggung lawannya hingga tersungkur membungkuk. Zulkifli langsung mengangkat kakinya lalu mengha