Tepat pukul 16.00 mobil Farhan memasuki halaman rumah. Herin sudah menunggunya, sejak tadi. Tentu saja ia harus memastikan kalau anak tirinya itu tidak datang dengan ibunya. Lama-lama bisa mual juga dia melihat wajahnya yang teduh, tapi mematikan. Cara marahnya bahkan sangat kalem dan berkelas. Berbeda dengan dirinya yang harus menggunakan urat besar saat memperlihatkan kemarahan untuk ditakuti."Ayo, sayang." Farhan membawa satu koper besar barang-barang Fatin dari bagasi mobil. Ia mengajak putrinya masuk. Gadis itu masih terlihat gugup, entah apa yang ada dalam pikirannya, sekarang. Usianya saat itu masih 12 tahun. Ia duduk di kelas 6 SD saat terpaksa harus ikut dengan ibunya keluar dari rumah nyaman mereka. Kejadiannya terlalu cepat atau ia yang memang masih sangat kecil hingga tidak bisa mencium biduk perceraian orangtuanya sebelum itu."Fatin! Ayo!" panggil Farhan lagi. Dia sudah hampir sampai di depan pintu, tapi anaknya masih mematung di samping mobil.Farhan melihat Herin bers
Herin tidak mendengar adanya keributan dari kamar anak-anaknya. Ia sedikit lega karena Damar dan Hayfa bisa tidur satu ranjang tanpa ribut. Benar-benar sunyi dan tidak terdengar sedikit pun gesekan. Wanita itu merasa bangga karena itu artinya ia berhasil membuat mereka saling menyayangi."Aku penasaran." Herin berniat mengintip kedua anaknya. Ia membuka perlahan pintu agar keduanya tidak terganggu. Herin melihat tubuh Hayfa yang tidur menyerong menghabiskan ranjang. Ia merasa aneh karena tidak menemukan Damar di sana. Di lantai atau kolong meja pun tidak ada."Hayfa di mana adikmu?" tanyanya mengombang-ambing tubuh Hayfa untuk bangun. Gadis itu kelelahan hingga sulit dibangunkan, ia malah meracau tidak jelas saat Herin memaksa bertanya."Hayfa! Di mana adikmu!" teriaknya sedikit meninggi, padahal ia tidak ingin ada masalah lagi, apalagi berurusan dengan Hayfa."Mana aku tahu, Ma. Mungkin minggat! Siapa juga yang ingin tidur di ranjang sempit ini berdua!" jawab Hayfa dengan mata seteng
Fatin baru saja keluar dari halaman rumah papanya. Ia mengendarai mobil dan melihat dua orang pria tampak tengah mencari alamat rumah. Gadis itu hanya meliriknya dari kaca spion. Ia merasa ada yang aneh, tapi karena harus segera pergi. Fatin tidak terlalu memikirkannya. Hampir 40 menit perjalanan untuk bisa sampai ke cafe tempatnya bekerja. Posisi cafe berada di tengah-tengah antara rumah papa dan mamanya. Di tempat ini Fatin mencari pengalaman bekerja dan mengumpulkan sedikit uang untuk biaya kuliah. Usaha ibunya yang hanya penjual buah di kios sekedar cukup untuk biaya hidup mereka sehari-hari."Langsung berganti pakaian! Siang ini cafe dibooking full. Kita akan kedatangan tamu 200 mahasiswa," ucap bosnya sesaat setelah Fatin tiba."Siap, Pak." Gadis itu bergegas. Ia berganti pakaian karyawan dan mengenakan standar kebersihan. Fatin adalah seorang pelayan, tapi ia juga merangkap sebagai asisten dapur untuk menyiapkan bahan dan alat sebelum cafe buka.Pukul 11.00 rombongan mahasiswa
"Dibagi dua sebelum diangkat ke dalam, Ma." Fatin mengambil ujung keranjang buah yang tengah di angkat ibunya. "Ini berat banget!" Keluh Fatin menahan beban."Duduk aja. Kamu pasti lelah seharian bekerja. Mama cuma duduk-duduk aja nungguin pelanggan.""Tapi, tidak harus mengangkat beban berat seperti ini tiap pagi dan sore." Gadis itu tidak mau tertipu. Ibunya memang seperti itu, menyembunyikan kesulitan di belakangnya. Dulu, mungkin ia percaya. Sekarang, ia sudah tahu sulitnya mengumpulkan pundi-pundi rupiah."Papa memberiku uang 3 juta, Ma.""Oh, ya. Besar sekali?" Lanita menuangkan air minum kemasan ke dalam gelas untuk mereka berdua."Aku mendengar papa dan istrinya bertengkar selepas itu.""Heum." Lanita meneguk air yang sudah memenuhi rongga mulut."Papa memaksa aku untuk menerimanya."Lanita ikut duduk bersama putrinya dan bersandar pada dinding kios. "Gaji papamu cukup besar. Sepertinya tembus 10 juta. Ada uang tips dan lembur juga. Apalagi kalau proyeknya berhasil. Dia akan m
Farhan melamun di teras depan sembari menemani putranya yang tengah bermain mobil-mobilan. Bayangan Lanita yang berkali-kali mengelap keringat di dahinya kemarin terus menghantui pria itu. Matanya memang tertuju pada Damar, anak lelaki itu cukup ditemani, hatinya sudah merasa bahagia. Berkali-kali ia memastikan papanya masih di sana dan tersenyum saat mendapatinya. Dia tidak tahu kalau sebenarnya hati dan pikiran papanya tengah tertarik pada kenangan masa lalu beberapa puluh tahun ke belakang."Mas harus memikirkannya lagi. Aku hanya gadis biasa, cinta mas akan semu dengan sendirinya. Status sosial kita jauh berbeda. Mas pilihlah gadis-gadis cantik di kampus ini. Mereka setara, pandai membawa diri dan akan selalu menyenangkan." Lanita yang tengah sibuk melayani pembeli di kantin kampus dengan ibunya menyempatkan waktu untuk berbicara pada pria yang terus mengejarnya itu."Tidak! Cinta ini tidak akan berubah. Aku yakin. Kamu akan menjadi wanita yang terus menyenangkan saat aku pandang.
Farhan masih gugup, perasaannya campur aduk. Lanita sudah menunggu pria itu untuk berbicara, namun sepertinya begitu berat."Ada apa, Mas? Apa Fatin membuat masalah di rumahmu?" tanya Lanita khawatir.Farhan menggeleng."Jangan khawatirkan dia, Nit. Kamu sudah merawatnya dengan sangat baik. Anak kita tumbuh menjadi pribadi yang bisa menempatkan diri di mana pun ia tinggal.""Syukurlah." Wanita itu menghela napas panjang. "Apa punggungmu masih sakit?""Ya?" Lanita menoleh. Bahwasanya dia menyembunyikan rasa sakitnya dari orang lain, tapi kenapa mantan suaminta tahu. "Aku hanya sedikit kurang enak badan, Mas, makanya ke dokter. Itupun dipaksa Arya." "Kata penjual di dekat kios, kamu jatuh saat mengangkat boks buah, Lanita. Kenapa kamu masih menyembunyikannya?""Oh! Kamu sudah tahu rupanya, Mas." Wanita itu sedikit tertawa, kebohongannya jelas-jelas ketahuan. "Tidak apa-apa, kok, Mas. Hanya keseleo.""Sebaiknya kamu hati-hati, Nit. Lagian, Fatin sekarang sudah bersamaku. Aku akan membi
"Apa kak Fatin juga akan pergi dari rumah?" Damar yang sebelumnya fokus pada layar ponsel menoleh pada Fatin yang tengah duduk di dekatnya. "Siapa yang mengatakan itu?" tanya Fatin. Anak lelaki itu datang begitu saja tidak lama setelah ia mendengar pertengkaran Farhan dan Herin dari lantai 1."Mama bilang, Kak Fatin hanya orang asing yang harus segera pergi dari rumah ini." Wajah Damar menekuk, ia terlihat lesu dan tidak bersemangat."Apa kamu sedih?" Fatin beringsut mendekat."Kak Fatin baik. Tidak seperti Kak Hayfa. Dia galak dan pelit! Hanya soal bubuk permen saja dia begitu marah sampai mendorongku." "Bubuk permen?""Heum. Aku tidak apa-apa dia pergi, tapi jangan denganmu juga." Damar benar-benar terlihat sedih. Fatin mendekapnya. Ia bisa lihat anak itu kurang perhatian dan kesepian."Tergantung kamu. Kalau kamu menjadi anak baik dan menurut pada papa dan ibumu, aku bisa lebih lama tinggal di sini. Tapi, jika kamu nakal dan tidak menurut, aku bisa lebih cepat pergi.""Aku akan j
"Mama ...." Fatin meraksuk pada pelukan mamanya. Ia bahkan menangis."Hei!" Herin mengeluarkan wajah gadis itu yang terbenam dalam pelukannya. "Mama tidak apa-apa, Fatin, hanya kelelahan." "Mama tidak boleh jualan lagi!" ucap Fatin serak. "Fatin akan mencari pekerjaan paruh waktu lebih banyak." Tambahnya masih sesegukan dan berlomba dengan tangisnya."Kamu sudah memberi banyak, Nak." Lanita membiarkan putrinya sebentar untuk meluapkan kesedihan. Ia menatap dua pria di ujung ranjangnya. "Bagaimana dokter?" tanya Arya. Lanita langsung menggeleng. Memberi isyarat agar tidak mengatakannya sekarang. Ia menunjuk Fatin dan sekali lagi menggeleng. "Saya akan ke ruangan dokter," ucap Arya lagi, mengerti.Lanita merasa tenang saat dokter dan Arya keluar ruangan."Sayang, lihat mama!" Lanita berusaha mengangkat wajah putrinya. Pipi basah dan mata sembab itu terangkat. "Lihat, wajah mama! Segar bukan?" Fatin menelaahnya dengan seksama. "Tadi pagi, mama lupa sarapan. Terus, siangan dikit keley
"Mau aku antar lagi?" Fatin mengacuhkan suara itu dan bergegas mengambil langkah. Langkah Hans tak kalah cepat menyeimbangi."Mungkin cukup. Berandalan itu sudah bisa mengenali wajahmu. Tidak akan ada lagi yang berani mengganggu.""Baguslah!""Terus, untuk apa kamu masih terus membuntutiku?" Fatin berhenti dan menoleh."Kamu lupa sudah menggunakan uangku untuk ongkos taksi. Eum---kurang lebih 50 ribu dikali 5. Berapa ya?""Apa?!" Fatin membuang wajah keki sembari meronggoh tas. 'Asem!' umpatnya berkali-kali dalam hati."Aku hanya bercanda." Hans tergelak. "Mana ada pria kaya sepertiku meminta uang pada perempuan."Mata Fatin melotot kesal! Ia segera kembali menyimpan uangnya ke dalam tas. "Sebenarnya ada sesuatu yang ingin aku katakan padamu," ucap Hans lagi.Fatin tidak lagi ingin mendengar. Mempercepat langkahnya sebisa mungkin, malas berbicara dan enggan menanggapi. Apapun yang dikatakan dan dilakukan oleh Hans hanya untuk menggodanya saja. Pria menyebalkan yang mirip permen kare
"Maafkan aku, Ma.""Jangan pikirkan itu. Tugasmu adalah sembuh!"Hayfa masih menoleh ke belakang saat petugas membawanya masuk ke dalam mobil petugas. Ia akan dipindahkan ke tempat rehabilitasi. Cukup jauh jaraknya, butuh beberapa jam untuk bisa ke sana. Tempatnya berada di pinggiran kota. Herin bahkan tidak bisa ikut karena harus menaiki angkutan umum dengan ongkos lumayan, sedangkan uangnya tinggal beberapa lembaran hijau saja.Air mata Herin menetes, tapi ia segera menepisnya. Mobil yang ditumpangi putrinya perlahan menjauh. Hayfa masih melirik ke belakang, memandang ibunya yang tengah mematung melambaikan tangan.Herin menyeka pelipis, terik panas matahari membuat keningnya berkeringat. Tapi, bukan masalah itu yang menghimpit hatinya saat ini. Terik matahari itu seolah bukan lagi masalah besar. "Ibu harus menyiapkan uang sekitar 5 juta rupiah setiap bulannya untuk biaya Hayfa selama berada di tempat rehabilitasi," ujar pengacara sebelum gadis itu dipindahkan.Herin hanya bisa men
"Makanlah!" Herin meraih tangan Hayfa untuk menyentuh makanan yang ia bawa. Tangan gadis itu terasa begitu dingin seperti tidak bernyawa. Tatapannya kosong dan tidak banyak bicara, ia bahkan tidak berani menatap wajah ibunya."Di dalam sel, kamu tidak bisa makan makanan seperti ini. Jadi, makanlah dengan cepat sekarang!" pinta Herin lagi. Namun, tangan Hayfa terlalu lemas untuk meraihnya. Sorot mata itu? Seolah tidak ada kehidupan lagi di dalamnya."Belikan aku sedikit saja obat itu, Ma." Bibir Hayfa yang kering dan pias bergerak pelan. "Aku sangat tersiksa dan merasa akan mati saat ini."Herin menatap lekat putrinya saat kata-kata meluncur dari sana. Ia menyeka tetesan air mata yang lolos dengan sendirinya. Tangannya gamang menyentuh jemari Hayfa yang bergetar. "Kamu akan sembuh, Nak," ucap Herin pelan. Lalu, berusaha menyuapi putrinya. Ia membeli makanan kesukaan Hayfa. Gadis itu mengunyah pelan dengan tatapan kosong."Kamu sudah bertemu dengan pengacaranya bukan? Dia akan mengelua
"Bagaimana hasilnya, dokter?" Seorang dokter tersenyum melihat dua pasang bola mata yang tidak berkedip menatapnya. "Saya harap dokter tidak menyembunyikan apapun dari saya," timpal Lanita. Ia bersikap seolah begitu tegar dan siap mendengar apapun hasil dari pemeriksaan yang telah dilakukannya. Setelah beberapa hari berada di Rumah Sakit untuk mendapatkan beberapa pemeriksaan, Lanita belajar untuk bisa menerima semuanya."Baik, Pak Arya dan Bu Lanita. Saya sudah mendapatkan hasil dari serangkaian pemeriksaan yang telah kita lakukan sebelumnya. Dan juga sudah berdiskusi dengan beberapa dokter spesial serupa untuk melihat hasilnya."Tangan Lanita sudah begitu dingin, mengepal pakaian yang dikenakannya untuk menguatkan hati. Arya melirik dan mengangguk pelan meyakinkan kalau semuanya akan baik-baik saja."Bapak dan Ibu bisa lihat sendiri." Dokter itu berbalik dan menunjukkan sebuah layar di sampingnya. Terlihat sebuah gambar jaringan otak yang sengaja diperbesar. "Kekebalan tubuh Ibu L
"Aku takut, Mas." Lanita terlihat gelisah saat tubuhnya terbaring di sebuah ranjang mirip tabung. Arya membawanya bertemu dengan dokter spesialis saraf. Salah satu dokter terbaik di negeri ini."Tidak ada yang perlu ditakutkan. Kamu akan melihatku lagi setelah diperiksa." Mata Arya meyakinkan. Lanita terlihat resah, pertama kalinya ia melakukan pemeriksaan MRI seperti ini. Selain karena begitu takut dengan hasilnya, Lanita sangat mengkhawatirkan putrinya, ia sangat takut matanya terpejam saat pemeriksaan dan tidak bisa membuka mata untuk melihat putrinya lagi. Fatin sengaja tidak diberitahu dan dilakukan saat ia tengah kuliah. Lanita bersedia diobati, tanpa harus merepotkan putrinya itu. Ia tidak ingin Fatin terganggu dalam belajar.Lanita mencoba untuk tenang. Tanganya yang bersidekap di atas perut, tampak dingin dan lemas. Rupanya ia benar-benar ketakutan, padahal dokter sudah mengatakan kalau pemeriksaan ini tidak akan menimbulkan sakit, ia hanya diminta untuk tenang, berbaring dan
"Bagaimana keadaan Hayfa?" Bu Fatma yang sejak pagi menunggu kabar langsung memburu Herin saat datang. Pak Ramzi ayahnya hanya diam sembari mengisap sebatang rokok yang hampir habis."Dia harus ditahan dan tinggal di penjara.""Astagfirullahal'adzim." Bu Fatma memekik kaget mendengar jawaban itu. Cucu dari anak sambungnya itu memang tidak lagi terlihat batang hidungnya selain pada malam kedatangannya. Mobil yang ia antarkan tiba-tiba saja ada di halaman rumah. Sejak itu, Hayfa menghilang dan Herin terus mencari-carinya. Sekalinya dapat info malah panggilan dari kantor polisi."Kenapa Hayfa harus di penjara?" tanya Bu Fatma lagi. Hatinya masih bergetar karena syok.Herin melihat pada ayahnya yang masih diam sembari menyembulkan asap dari hisapan rokok yang hanya tinggal beberapa inci dari jarinya. "Dia terjerat nar koba.""Astagfirullah!" Bu Fatma memekik untuk kedua kalinya. Berkali-kali ia bahkan mengelus dada. Jantungnya sudah tidak sekuat dulu saat mendengar kabar-kabar mengejutka
"Tolong cari tahu siapa yang telah membawa Hayfa dan membebaskan Fatin, Mas. Dia telah mengembalikan hidupku. Aku berhutang besar pada anak muda itu," ucap Lanita sebelum Arya pamit pergi."Iya, aku akan mencari tahu tentang anak muda itu."Arya berpamitan pulang. Lanita mengantarnya sampai depan. "Terimakasih, Mas."Pria itu mengangguk dan memberikan senyuman. Ia tidak melepaskan pandangannya dari Lanita sebelum mobilnya benar-benar menjauh. Melihat lambaian tangan wanita itu dari kaca spion. Sungguh, Arya tidak bisa menyembunyikan rasa bahagianya."Lanita!" Lanita kembali menoleh saat ia hendak menggelindingkan kursi rodanya masuk ke rumah. Lalu, memutar kembali kursi roda saat melihat Farhan sudah berdiri di sana. Emosi pria itu masih terlihat tidak stabil. Ia tampak marah dengan wajah memerah."Kamu tidak bisa memutuskan sebelah pihak seperti itu dan mempermainkanku seenaknya! Apa maksudmu dengan menarik ulur seperti ini? Bukankah baru saja kemarin kamu berputus asa dan menyerah
Suara lemah dari derap langkah kaki seorang ibu berjalan terhuyung menuju tempat di mana anak yang selama ini ada dalam buaiannya harus berjarak jeruji besi. Hayfa berdiri dan melangkah kecil menuju dinding besi yang memisahkannya dengan kehingar bingaran dunia luar. Ia melihat ibunya berdiri di sana. Menatap kosong, seperti mimpi. Herin tidak kuasa mengeluarkan sepatah kata pun, meski sekedar sumpah serapah yang biasanya akan refleks ia lontarkan."Ma." Hayfa merasa khawatir. Bukan itu reaksi yang seharusnya ia dapatkan. Gadis itu tahu betul bagaimana ibunya. Suaranya mungkin akan terdengar melengking lebih dulu sebelum dirinya sampai.Herin masih diam, lalu mengerjap dan bulir bening terjatuh dari sana. "Kenapa dengan kepalamu?" tanyanya saat melihat kasa di bagian samping kanan kepala Hayfa."Ya?" Hayfa menyentuhnya. Ia berpikir cepat untuk berbohong. Setidaknya gadis itu tahu, kalau keadaan ibunya berbeda saat ini. "Aku jatuh."Suasana kembali hening. Herin banyak diam dibanding
"Hei, bangun! Kenapa kau terus tidur?" Seorang wanita teman satu sel Fatin menendang kaki gadis itu. "Walau tidak ada yang kau kerjakan. Jangan hanya tidur! Itu akan membuat otakmu mati! Kamu bisa bangun dan mengkhayal!" ucapnya lagi sembari merentangkan tangan dan menggerakan otot kepala. "Tubuhmu bisa lumpuh juga kalau hanya meringkuk seperti itu!""Hei! Gadis muda, bangun! Apa kau tuli!" Wanita itu menatap heran pada teman selnya yang hanya meringkuk sejak pagi. Sarapannya pun bahkan tidak disentuh. "Kau bahkan tak makan!" ucapnya lagi. "Penjara bukan akhir dari hidup, setidaknya kau masih harus bersyukur dikasih hidup!" "Hei! Bangun!" Wanita itu akhirnya berjongkok untuk membangunkan fatin. "Ya, ampun kenapa kau seperti mayat! Dingin sekali!" Wanita itu menjauh ketakutan. "Apa dia mati?" gumamnya. Wanita itu mencoba mendekat setelah mengumpulkan keberanian. Dia mendorong pelan tubuh Fatin yang meringkuk. "Ya, ampun dia beneran mati!" Wanita itu sampai melonjak mundur sendiri keti