"Mas?" Lanita tercengang saat melihat mantan suaminya sudah berdiri di sana. Ia seperti mimpi saat melihatnya. Matanya tiba-tiba mengerjap dan ia melihat sosok pria berdiri di depan pintu. Lanita me ra ba ponsel dan melihat masih pukul 04.00 pagi. Fatin bahkan masih tidur meringkuk di sofa."Aku tidak bisa tidur," ucap Farhan. "Apa?" Lanita menyelidik. "Apa yang membuatmu tidak bisa tidur?" Rasanya tidak mungkin kalau mantan suaminya mengkhawatirkan kondisinya, ia terlihat sehat saat pria itu pulang."Aku pikir Arya menemanimu, di sini." Farhan menggeleng dan setengah berbalik membuang wajah. Lanita terdiam. Bengong. Lalu, bayangan 8 tahun lalu berkelebat.Lanita menatap nanar rumahnya dari luar. Berdiri di sepanjang malam di bawah bulan. Di terpa angin yang berhembus sangat dingin, tapi anehnya ia tetap kepanasan. Malam itu, pertama kalinya Lanita meninggalkan suaminya bersama wanita lain di rumah mereka."Maaf, aku mengganggumu." Farhan kembali melihat Lanita di sana. "Tidurlah l
Farhan menatap wajah putrinya yang bingung. Ia kesulitan menjelaskan karena mungkin papanya dan orang-orang tidak akan percaya."Pa ... aku ...."Farhan langsung meninggalkan gadis itu tanpa mendengarkan penjelasannya. Fatin termenung lagi. Sebuah panah terasa menusuk hati. Papanya bahkan tidak mau mendengarkan sedikit pun penjelasannya dan percaya begitu saja. Kaki Fatin bergetar, melanjutkan langkah menuju kamar. Awalnya ia hanya berencana untuk mengambil beberapa buku jadwal kuliah untuk beberapa hari. Tapi, setelah kejadian ini, ibu tirinya terang-terangan mengusir, dan sayangnya papanya bahkan tidak mencegah.Air mata Fatin berjatuhan saat ia mengepak kembali pakaian dan barang-barangnya ke dalam koper. Ia memang tidak berencana untuk tinggal selamanya di sana, tapi tidak pergi dengan cara seperti ini juga.Mata gadis itu menyapu seluruh ruangan kamarnya. Baru saja ia merasakan rasa yang telah lama hilang dan sangat dirindukannya. Kini, tiba-tiba harus kembali."Maafkan, aku." F
"Mas!" Lanita merasa heran karena mantan suaminya begitu sering datang. Arya yang selalu ada di samping wanita itu bergeser, sedikit menjauh dan memberi ruang. "Di mana Fatin, Mas?" tanya Lanita."Fatin?" Farhan malah terlihat bingung dan kelimpungan. Matanya lalu terpejam, saking paniknya ia malah lupa pada putrinya sendiri."Aku kira dia sudah pulang duluan.""Pulang duluan?" Alis Lanita berkerut. "Biar aku hubungi." Ia mencari-cari ponselnya."Tidak! Tidak perlu menghubungi. Biar aku saja." Farhan lansung mencegahnya. "Fatin baik-baik saja. Tadi, dia baru mengambil barang-barangnya dan akan ke sini. Aku kira dia sudah datang duluan. Kami pisah mobil." Farhan mencoba menjelaskan senormal mungkin. "Eum ... sebaiknya kamu jangan dulu pegang-pegang ponsel. Kamu harus banyak istirahat dan radiasi dari benda pipih itu tidak baik untuk kesehatamu."Lanita merasa heran dengan sikap Farhan yang terkesan memaksakan aturan seperti pada anak kecil."Aku baik-baik saja, Mas!" Lanita tertawa gel
"Beli untuk siapa?" Farhan bertanya heran pada istrinya yang tengah membeli bubur dan membawanya ke lantai 2."Hayfa pulang tadi malam, Pa. Sakit," jawab Herin tanpa menjeda langkah kakinya. Ia sangat khawatir sama kondisi putrinya, tadi malam. Farhan sedikit tidak percaya hingga ia melanjutkan sarapa bersama putranya, Damar.Bebera saat kemudian, suara kaki terdengar cepat berlari. "Pa, Hayfa nggak ada di kamarnya!" Herin turun dengan wajah panik. "Ayo, cari Hayfa, Pa. Dia sedang sakit!""Dia paling keluar, Ma. Lagian, kamu mimpi kali dia datang ke sini malam-malam." Farhan tidak percaya karena saat ia pulang malam tadi, Hayfa masih belum ada, jam berapa dia datang? Itu yang menjadi pertanyaan dalam pikiran Farhan hingga kurang percaya, apalagi anaknya sekarang tidak ada."Papa ini kenapa sih?! Bagaimana kalau hal buruk terjadi padanya." Herin kesal hingga hendak mencarinya sendiri.Tiba-tiba Hayfa masuk, ia baru saja dari luar. Tubuhnya sudah tidak menggigil seperti tadi malam. Her
Fatin menengok hampir semua tempat yang ia rasa pernah melihat Hans sebelumnya. Namun, laki-laki itu tidak juga terlihat batang hidungnya. "Biasanya dia muncul kaya tuyul, kenapa sekarang sulit amat dicari?" gumam Fatin sembari memijit kakinya yang kesemutan."Taulah! Biarin aja!" Gadis itu merasa sudah memutari seluruh tongkrongan kampus, tapi orang yang dicarinya tidak ada di mana pun. "Tumben sekali kalau dia pulang jam segini. Bukannya anak kaya gitu, baliknya subuh?" Fatin masih menggerutu sendiri sembari menselenjorkan kaki. Ngilu sekali kakinya. Kesemutan."Awwwww!" Fatin menjerit dengan lengkingan yang sangat kencang. "Hanssss!" teriaknya. Laki-laki itu hanya tertawa sembari ngeloyor pergi. Tergesa."Bukankah sudah aku katakan dia seperti tuyul! Aw!" Fatin masih mengaduh. Kakinya yang kesemutan dipukul begitu saja. "Eh! Eh! Hans!" Fatin baru saja ingat kalau dia ingin bicara pada lelaki itu. Tapi, Hans malah melambaikan tangannya sembari menjauh pergi."Aku tak puya waktu un
"Kenapa dia kembali, Mas?" Kaki Herin terjatuh dari atas meja, ia berdiri dengan mata melotot."Ini rumahnya juga. Apa yang membuatmu begitu kaget?" Farhan sudah mulai terbiasa menyikapi sikap istrinya itu. Seolah ia sudah tahu bagaimana wanita itu akan bereaksi.Farhan memberi kode kepada Fatin untuk langsung naik ke atas tanpa mengindahkan sikap ibu tirinya itu. Fatin mengangguk, menarik kopernya kembali ke kamarnya.Herin jadi merasa begitu geram melihat suami dan anak tirinya yang tak acuh. Ia mendelik dengan kesal pada Fatin yang nyelonong begitu saja. "Aku tidak sudi seorang pencuri tinggal di rumahku, Mas!""Herin!" Farhan langsung menoleh dengan mata melotot. Fatin pun menghentikkan langkah ketika mendengarnya."Memang benar, Mas. Siapa lagi yang berani mengambil uang dari dompetku? Sebelum dia datang, aku bahkan tidak pernah kehilangan uang meski sepeser!""Kamu bahkan tidak punya bukti, Herin!""Aku tidak perlu bukti lebih untuk tahu pelakunya, Mas!" Herin melipat tangan di
"Cerai? Hah!" Herin membuang tawa," yang benar saja?" Wanita itu kembali setelah melihat suami dan pria yang ditemuinya beriringan pergi meninggalkan cafe."Apa mungkin aku akan jadi gelandangan seperti dulu setelah 8 tahun menikmati ini semua? Lucu! Kamu terlalu meremehkanku, Farhan!" Ia sedikit tersenyum dan mengangkat sebelah bibirnya.Herin menghentikkan taksi dan tidak memperdulikan kemana suaminya pergi. Ada satu hal yang harus ia lakukan sebelum benar-benar ditendang jadi gelandangan seperti dulu, saat belum bertemu Farhan. Sedikit pun, wanita itu tidak bisa memikirkannya. Lontang lantung mirip gembel. Numpang di rumah ayahnya yang sama-sama miskin. Apalagi dia punya banyak adik tiri."Delapan tahun aku menikahinya dan tidak mendapat apa-apa? Benar-benar konyol!" Mata Herin berubah merah. Ia marah pada nasib buruknya akhir-akhir ini, terutama saat Tuhan mengembalikan anak tirinya pada kehidupan mereka. "Kita lihat siapa yang akan jadi gelandangan!" Sepanjang perjalanan. Herin t
"Kita mau pergi kemana, Ma?" Ini sudah malam. Herin dan Hayfa yang baru saja keluar dari istana tempat mereka bernyaman ria selama ini melaju tanpa tujuan."Kamu punya uang?" tanya Herin.Hayfa menggeleng."Kamu mencuri uangku, tadi pagi. Digunakan untuk apa?" sentak Herin sembari menoleh sinis."Aku menyalahkan Fatin untuk itu. Tahunya Damar melihatmu mengambil uang dari dompetku! Bagaimana mungkin kamu hanya datang untuk mencuri, Hayfa!" "Kenapa mama bilang aku pencuri?""Ya, apalagi namanya kalau mengambil uang tanpa bilang?""Bukannya orangtua seharusnya mencukupi keperluan anaknya?""Aku sudah memberimu uang banyak, Hayfa!""Seharusnya lebih banyak!" Hayfa melipat tangan di dada yang ia busungkan. Membuang wajahnya ke samping luar. Herin semakin pusing. Farhan bahkan tidak memberi uang setelah mengusirnya pergi. Ia hanya membawa sisa uang bulanan yang sudah semakin menipis padahal baru saja seminggu.Malam semakin larut. Herin tidak punya tempat lagi selain pulang ke rumah aya
"Mau aku antar lagi?" Fatin mengacuhkan suara itu dan bergegas mengambil langkah. Langkah Hans tak kalah cepat menyeimbangi."Mungkin cukup. Berandalan itu sudah bisa mengenali wajahmu. Tidak akan ada lagi yang berani mengganggu.""Baguslah!""Terus, untuk apa kamu masih terus membuntutiku?" Fatin berhenti dan menoleh."Kamu lupa sudah menggunakan uangku untuk ongkos taksi. Eum---kurang lebih 50 ribu dikali 5. Berapa ya?""Apa?!" Fatin membuang wajah keki sembari meronggoh tas. 'Asem!' umpatnya berkali-kali dalam hati."Aku hanya bercanda." Hans tergelak. "Mana ada pria kaya sepertiku meminta uang pada perempuan."Mata Fatin melotot kesal! Ia segera kembali menyimpan uangnya ke dalam tas. "Sebenarnya ada sesuatu yang ingin aku katakan padamu," ucap Hans lagi.Fatin tidak lagi ingin mendengar. Mempercepat langkahnya sebisa mungkin, malas berbicara dan enggan menanggapi. Apapun yang dikatakan dan dilakukan oleh Hans hanya untuk menggodanya saja. Pria menyebalkan yang mirip permen kare
"Maafkan aku, Ma.""Jangan pikirkan itu. Tugasmu adalah sembuh!"Hayfa masih menoleh ke belakang saat petugas membawanya masuk ke dalam mobil petugas. Ia akan dipindahkan ke tempat rehabilitasi. Cukup jauh jaraknya, butuh beberapa jam untuk bisa ke sana. Tempatnya berada di pinggiran kota. Herin bahkan tidak bisa ikut karena harus menaiki angkutan umum dengan ongkos lumayan, sedangkan uangnya tinggal beberapa lembaran hijau saja.Air mata Herin menetes, tapi ia segera menepisnya. Mobil yang ditumpangi putrinya perlahan menjauh. Hayfa masih melirik ke belakang, memandang ibunya yang tengah mematung melambaikan tangan.Herin menyeka pelipis, terik panas matahari membuat keningnya berkeringat. Tapi, bukan masalah itu yang menghimpit hatinya saat ini. Terik matahari itu seolah bukan lagi masalah besar. "Ibu harus menyiapkan uang sekitar 5 juta rupiah setiap bulannya untuk biaya Hayfa selama berada di tempat rehabilitasi," ujar pengacara sebelum gadis itu dipindahkan.Herin hanya bisa men
"Makanlah!" Herin meraih tangan Hayfa untuk menyentuh makanan yang ia bawa. Tangan gadis itu terasa begitu dingin seperti tidak bernyawa. Tatapannya kosong dan tidak banyak bicara, ia bahkan tidak berani menatap wajah ibunya."Di dalam sel, kamu tidak bisa makan makanan seperti ini. Jadi, makanlah dengan cepat sekarang!" pinta Herin lagi. Namun, tangan Hayfa terlalu lemas untuk meraihnya. Sorot mata itu? Seolah tidak ada kehidupan lagi di dalamnya."Belikan aku sedikit saja obat itu, Ma." Bibir Hayfa yang kering dan pias bergerak pelan. "Aku sangat tersiksa dan merasa akan mati saat ini."Herin menatap lekat putrinya saat kata-kata meluncur dari sana. Ia menyeka tetesan air mata yang lolos dengan sendirinya. Tangannya gamang menyentuh jemari Hayfa yang bergetar. "Kamu akan sembuh, Nak," ucap Herin pelan. Lalu, berusaha menyuapi putrinya. Ia membeli makanan kesukaan Hayfa. Gadis itu mengunyah pelan dengan tatapan kosong."Kamu sudah bertemu dengan pengacaranya bukan? Dia akan mengelua
"Bagaimana hasilnya, dokter?" Seorang dokter tersenyum melihat dua pasang bola mata yang tidak berkedip menatapnya. "Saya harap dokter tidak menyembunyikan apapun dari saya," timpal Lanita. Ia bersikap seolah begitu tegar dan siap mendengar apapun hasil dari pemeriksaan yang telah dilakukannya. Setelah beberapa hari berada di Rumah Sakit untuk mendapatkan beberapa pemeriksaan, Lanita belajar untuk bisa menerima semuanya."Baik, Pak Arya dan Bu Lanita. Saya sudah mendapatkan hasil dari serangkaian pemeriksaan yang telah kita lakukan sebelumnya. Dan juga sudah berdiskusi dengan beberapa dokter spesial serupa untuk melihat hasilnya."Tangan Lanita sudah begitu dingin, mengepal pakaian yang dikenakannya untuk menguatkan hati. Arya melirik dan mengangguk pelan meyakinkan kalau semuanya akan baik-baik saja."Bapak dan Ibu bisa lihat sendiri." Dokter itu berbalik dan menunjukkan sebuah layar di sampingnya. Terlihat sebuah gambar jaringan otak yang sengaja diperbesar. "Kekebalan tubuh Ibu L
"Aku takut, Mas." Lanita terlihat gelisah saat tubuhnya terbaring di sebuah ranjang mirip tabung. Arya membawanya bertemu dengan dokter spesialis saraf. Salah satu dokter terbaik di negeri ini."Tidak ada yang perlu ditakutkan. Kamu akan melihatku lagi setelah diperiksa." Mata Arya meyakinkan. Lanita terlihat resah, pertama kalinya ia melakukan pemeriksaan MRI seperti ini. Selain karena begitu takut dengan hasilnya, Lanita sangat mengkhawatirkan putrinya, ia sangat takut matanya terpejam saat pemeriksaan dan tidak bisa membuka mata untuk melihat putrinya lagi. Fatin sengaja tidak diberitahu dan dilakukan saat ia tengah kuliah. Lanita bersedia diobati, tanpa harus merepotkan putrinya itu. Ia tidak ingin Fatin terganggu dalam belajar.Lanita mencoba untuk tenang. Tanganya yang bersidekap di atas perut, tampak dingin dan lemas. Rupanya ia benar-benar ketakutan, padahal dokter sudah mengatakan kalau pemeriksaan ini tidak akan menimbulkan sakit, ia hanya diminta untuk tenang, berbaring dan
"Bagaimana keadaan Hayfa?" Bu Fatma yang sejak pagi menunggu kabar langsung memburu Herin saat datang. Pak Ramzi ayahnya hanya diam sembari mengisap sebatang rokok yang hampir habis."Dia harus ditahan dan tinggal di penjara.""Astagfirullahal'adzim." Bu Fatma memekik kaget mendengar jawaban itu. Cucu dari anak sambungnya itu memang tidak lagi terlihat batang hidungnya selain pada malam kedatangannya. Mobil yang ia antarkan tiba-tiba saja ada di halaman rumah. Sejak itu, Hayfa menghilang dan Herin terus mencari-carinya. Sekalinya dapat info malah panggilan dari kantor polisi."Kenapa Hayfa harus di penjara?" tanya Bu Fatma lagi. Hatinya masih bergetar karena syok.Herin melihat pada ayahnya yang masih diam sembari menyembulkan asap dari hisapan rokok yang hanya tinggal beberapa inci dari jarinya. "Dia terjerat nar koba.""Astagfirullah!" Bu Fatma memekik untuk kedua kalinya. Berkali-kali ia bahkan mengelus dada. Jantungnya sudah tidak sekuat dulu saat mendengar kabar-kabar mengejutka
"Tolong cari tahu siapa yang telah membawa Hayfa dan membebaskan Fatin, Mas. Dia telah mengembalikan hidupku. Aku berhutang besar pada anak muda itu," ucap Lanita sebelum Arya pamit pergi."Iya, aku akan mencari tahu tentang anak muda itu."Arya berpamitan pulang. Lanita mengantarnya sampai depan. "Terimakasih, Mas."Pria itu mengangguk dan memberikan senyuman. Ia tidak melepaskan pandangannya dari Lanita sebelum mobilnya benar-benar menjauh. Melihat lambaian tangan wanita itu dari kaca spion. Sungguh, Arya tidak bisa menyembunyikan rasa bahagianya."Lanita!" Lanita kembali menoleh saat ia hendak menggelindingkan kursi rodanya masuk ke rumah. Lalu, memutar kembali kursi roda saat melihat Farhan sudah berdiri di sana. Emosi pria itu masih terlihat tidak stabil. Ia tampak marah dengan wajah memerah."Kamu tidak bisa memutuskan sebelah pihak seperti itu dan mempermainkanku seenaknya! Apa maksudmu dengan menarik ulur seperti ini? Bukankah baru saja kemarin kamu berputus asa dan menyerah
Suara lemah dari derap langkah kaki seorang ibu berjalan terhuyung menuju tempat di mana anak yang selama ini ada dalam buaiannya harus berjarak jeruji besi. Hayfa berdiri dan melangkah kecil menuju dinding besi yang memisahkannya dengan kehingar bingaran dunia luar. Ia melihat ibunya berdiri di sana. Menatap kosong, seperti mimpi. Herin tidak kuasa mengeluarkan sepatah kata pun, meski sekedar sumpah serapah yang biasanya akan refleks ia lontarkan."Ma." Hayfa merasa khawatir. Bukan itu reaksi yang seharusnya ia dapatkan. Gadis itu tahu betul bagaimana ibunya. Suaranya mungkin akan terdengar melengking lebih dulu sebelum dirinya sampai.Herin masih diam, lalu mengerjap dan bulir bening terjatuh dari sana. "Kenapa dengan kepalamu?" tanyanya saat melihat kasa di bagian samping kanan kepala Hayfa."Ya?" Hayfa menyentuhnya. Ia berpikir cepat untuk berbohong. Setidaknya gadis itu tahu, kalau keadaan ibunya berbeda saat ini. "Aku jatuh."Suasana kembali hening. Herin banyak diam dibanding
"Hei, bangun! Kenapa kau terus tidur?" Seorang wanita teman satu sel Fatin menendang kaki gadis itu. "Walau tidak ada yang kau kerjakan. Jangan hanya tidur! Itu akan membuat otakmu mati! Kamu bisa bangun dan mengkhayal!" ucapnya lagi sembari merentangkan tangan dan menggerakan otot kepala. "Tubuhmu bisa lumpuh juga kalau hanya meringkuk seperti itu!""Hei! Gadis muda, bangun! Apa kau tuli!" Wanita itu menatap heran pada teman selnya yang hanya meringkuk sejak pagi. Sarapannya pun bahkan tidak disentuh. "Kau bahkan tak makan!" ucapnya lagi. "Penjara bukan akhir dari hidup, setidaknya kau masih harus bersyukur dikasih hidup!" "Hei! Bangun!" Wanita itu akhirnya berjongkok untuk membangunkan fatin. "Ya, ampun kenapa kau seperti mayat! Dingin sekali!" Wanita itu menjauh ketakutan. "Apa dia mati?" gumamnya. Wanita itu mencoba mendekat setelah mengumpulkan keberanian. Dia mendorong pelan tubuh Fatin yang meringkuk. "Ya, ampun dia beneran mati!" Wanita itu sampai melonjak mundur sendiri keti