"Cerai? Hah!" Herin membuang tawa," yang benar saja?" Wanita itu kembali setelah melihat suami dan pria yang ditemuinya beriringan pergi meninggalkan cafe."Apa mungkin aku akan jadi gelandangan seperti dulu setelah 8 tahun menikmati ini semua? Lucu! Kamu terlalu meremehkanku, Farhan!" Ia sedikit tersenyum dan mengangkat sebelah bibirnya.Herin menghentikkan taksi dan tidak memperdulikan kemana suaminya pergi. Ada satu hal yang harus ia lakukan sebelum benar-benar ditendang jadi gelandangan seperti dulu, saat belum bertemu Farhan. Sedikit pun, wanita itu tidak bisa memikirkannya. Lontang lantung mirip gembel. Numpang di rumah ayahnya yang sama-sama miskin. Apalagi dia punya banyak adik tiri."Delapan tahun aku menikahinya dan tidak mendapat apa-apa? Benar-benar konyol!" Mata Herin berubah merah. Ia marah pada nasib buruknya akhir-akhir ini, terutama saat Tuhan mengembalikan anak tirinya pada kehidupan mereka. "Kita lihat siapa yang akan jadi gelandangan!" Sepanjang perjalanan. Herin t
"Kita mau pergi kemana, Ma?" Ini sudah malam. Herin dan Hayfa yang baru saja keluar dari istana tempat mereka bernyaman ria selama ini melaju tanpa tujuan."Kamu punya uang?" tanya Herin.Hayfa menggeleng."Kamu mencuri uangku, tadi pagi. Digunakan untuk apa?" sentak Herin sembari menoleh sinis."Aku menyalahkan Fatin untuk itu. Tahunya Damar melihatmu mengambil uang dari dompetku! Bagaimana mungkin kamu hanya datang untuk mencuri, Hayfa!" "Kenapa mama bilang aku pencuri?""Ya, apalagi namanya kalau mengambil uang tanpa bilang?""Bukannya orangtua seharusnya mencukupi keperluan anaknya?""Aku sudah memberimu uang banyak, Hayfa!""Seharusnya lebih banyak!" Hayfa melipat tangan di dada yang ia busungkan. Membuang wajahnya ke samping luar. Herin semakin pusing. Farhan bahkan tidak memberi uang setelah mengusirnya pergi. Ia hanya membawa sisa uang bulanan yang sudah semakin menipis padahal baru saja seminggu.Malam semakin larut. Herin tidak punya tempat lagi selain pulang ke rumah aya
"Hayfa?" Herin mengerjapkan mata, ia mendengar sesuatu hingga terbangun. Matanya me ra ba ponsel dan melihat jam masih menunjukkan pukul 05.00 pagi."Kamu kedinginan?" Wanita itu mengucek matanya dan menurunkan kaki dari ranjang. "Di sini memang sedikit dingin. Tapi, kenapa kamu malah diam di bawah? Ayo naik lagi!"Hayfa hanya diam, tubuhnya menggigil kedinginan. Herin menarik putrinya untuk kembali naik ke atas ranjang. "Kasurnya memang keras, punggungku saja terasa sakit," gumamnya.Herin dan Hayfa naik lagi ke atas kasur. Wanita itu menyelimuti putrinya dan ia mengalah, selimutnya cukup kecil dan tipis. Herin sedikit meringkuk saat kembali memejamkan mata. Ia masih mengantuk berat, hingga begitu cepat kembali tertidur meski masih mendengar gemeretak gigi dari putrinya. "Dingin sekali." Sesekali ia bergumam menarik selimut di sampingnya. "Hayfa?" panggilnya. Suara Hayfa sudah tidak terdengar lagi, mungkin ia sudah tidur nyenyak, pikirnya. "Hayfa?" Herin kembali memanggil. Tidak ad
"Tolong dibungkusin ya, Mbak. Ibu kado buat mama saya," ucap Fatin setelah membayar hadiah yang dipilihnya. Ia merasa resah karena jam sudah menunjukkan pukul 18.00 malam. Papanya bahkan sudah mengirim pesan agar ia segera pulang karena mereka sudah hampir sampai. Kebetulan sekali jadwal kuliah Fatin hari ini hingga begitu padat. Ada tugas penelitian yang menyita waktu hingga sore hari."Sudah selesai, Mbak.""Oh, ya. Terimakasih." Fatin melihat kotak hadiah itu sebelum membawanya pulang. Ada rasa bahagia yang tersirat saat ia bisa memberi hadiah yang dibelinya dari hasil keringat sendiri. "Mama, pasti senang," gumamnya dengan sebaris senyum.Fatin bergegas ke jalan utama untuk mencari taksi. Ia tidak bisa menunda waktu lagi karena tidak ingin kehilangan moment seindah ini. Brugh!"Maaf!" ucap Fatin spontan. Padahal orang tersebutlah yang berlari datang menabraknya.Orang itu berdiri. Menatap Fatin dengan lekat. Ia baru saja menyebrang dan sepertinya turun dari taksi dengan terburu-b
"Pakailah ini!" Farhan membuka jas miliknya untuk di kenakan Lanita. Semalam, setelah mendengar kabar kalau putri mereka di kantor polisi keduanya langsung datang. Namun, tidak ada satu pun yang diperbolehkan untuk berkunjung dan harus menunggu pagi. Terpaksa keduanya kembali, karena cuaca sangat dingin. Lelaki itu bisa melihat Lanita bahkan menolak untuk turun dari kursi rodanya alih-alih tidur di kamar."Pergilah ke kantor. Jangan sampai masalah ini menghambat banyak hal." Lanita menolak jas yang diberikan mantan suaminya. Farhan memang harus bekerja dan tidak mungkin terus mengambil libur. Dilema yang benar-benar menguras pikiran dan tenaga."Aku masih bisa melakukannya sendiri, Mas.""Baiklah. Aku antar sampai naik taksi." Farhan menghentikkan taksi untuk mengantar Lanita pulang. Wanita itu bersikukuh pulang ke rumahnya sendiri, meski Fatin memintanya untuk tinggal bersama papanya."Terimakasih, Mas." Lanita menutup pintu dan melihat Farhan masih berdiri di sana saat taksi yang di
"Kenapa kamu masih tidak pulang?" Seorang wanita menghampiri Hayfa yang tengah mengisap sepuntung rokok dengan kaki terangkat ke atas meja. Ia tampak santai menikmati hidangan sinar matahari yang terik beberapa jengkal dari tempat tubuhnya berteduh."Sudah tidak ada tempat untukku pulang," jawabnya dengan kepulan asap yang membulat sempurna. "Bukankah ibumu masih ada?" Wanita itu mengambil tempat duduknya di samping Hayfa. Meraih bungkus rokok dan mengambil sebatang darinya. Keduanya tengah asyik menikmati setiap tarikan berasap yang mereka mainkan saat menghembuskannya. "Tidak ada yang dipedulikannya selain uang dan hura-hura. Di saat sulit seperti ini dia mungkin lebih senang aku tidak ada. Saat aku bahkan memakai mobilnya pun, ia tidak berhenti menghubungiku dan memaki, meminta mobil itu kembali. Ia bahkan memanggilku sebagai seorang pencuri karena uang didompetnya raib. Heum! Ibu mana yang bahkan mencap putrinya sendiri seorang pencuri?"Gebi, wanita yang terpilih menjadi salah
Lanita dan Arya sampai di deretan kontrakan yang sedikit kumuh. Terlihat dari tembok bangunan yang sudah kotor dan tidak terurus. Jarang ada orang berkeliaran, meski ada satu atau dua perempuan yang terlihat keluar dengan penampilan yang masih acak-acakan, tampak baru bangun tidur, padahal matahari hampir berada di puncaknya."Kotor sekali!" ucap Lanita saat teras-teras yang ia lewati hampir penuh debu. Entah kemana penghuni-penghuninya hingga kontrakan itu tidak terawat.Lanita kembali menutup hidung, saat sebuah aroma tidak sedap menusuk penciuman. Bau rokok dan alkohol yang menyengat. Wanita itu sedikit menengok ke dalam dengan ekor matanya. Puntung rokok dan beberapa botol minum berserakan di atas meja. "Pantas saja sebau ini!" Lanita segera menjauh. "Apa mungkin Hayfa tinggal di tempat seperti ini?" tanya Lanita yang mulai tidak nyaman. Ia mengangkat wajah dan mendongak pada Arya. "Jika dia seorang pemakai obat-obatan terlarang, maka ini adalah komunitas yang cocok," bisik Ary
"Hei, bangun! Kenapa kau terus tidur?" Seorang wanita teman satu sel Fatin menendang kaki gadis itu. "Walau tidak ada yang kau kerjakan. Jangan hanya tidur! Itu akan membuat otakmu mati! Kamu bisa bangun dan mengkhayal!" ucapnya lagi sembari merentangkan tangan dan menggerakan otot kepala. "Tubuhmu bisa lumpuh juga kalau hanya meringkuk seperti itu!""Hei! Gadis muda, bangun! Apa kau tuli!" Wanita itu menatap heran pada teman selnya yang hanya meringkuk sejak pagi. Sarapannya pun bahkan tidak disentuh. "Kau bahkan tak makan!" ucapnya lagi. "Penjara bukan akhir dari hidup, setidaknya kau masih harus bersyukur dikasih hidup!" "Hei! Bangun!" Wanita itu akhirnya berjongkok untuk membangunkan fatin. "Ya, ampun kenapa kau seperti mayat! Dingin sekali!" Wanita itu menjauh ketakutan. "Apa dia mati?" gumamnya. Wanita itu mencoba mendekat setelah mengumpulkan keberanian. Dia mendorong pelan tubuh Fatin yang meringkuk. "Ya, ampun dia beneran mati!" Wanita itu sampai melonjak mundur sendiri keti
"Mau aku antar lagi?" Fatin mengacuhkan suara itu dan bergegas mengambil langkah. Langkah Hans tak kalah cepat menyeimbangi."Mungkin cukup. Berandalan itu sudah bisa mengenali wajahmu. Tidak akan ada lagi yang berani mengganggu.""Baguslah!""Terus, untuk apa kamu masih terus membuntutiku?" Fatin berhenti dan menoleh."Kamu lupa sudah menggunakan uangku untuk ongkos taksi. Eum---kurang lebih 50 ribu dikali 5. Berapa ya?""Apa?!" Fatin membuang wajah keki sembari meronggoh tas. 'Asem!' umpatnya berkali-kali dalam hati."Aku hanya bercanda." Hans tergelak. "Mana ada pria kaya sepertiku meminta uang pada perempuan."Mata Fatin melotot kesal! Ia segera kembali menyimpan uangnya ke dalam tas. "Sebenarnya ada sesuatu yang ingin aku katakan padamu," ucap Hans lagi.Fatin tidak lagi ingin mendengar. Mempercepat langkahnya sebisa mungkin, malas berbicara dan enggan menanggapi. Apapun yang dikatakan dan dilakukan oleh Hans hanya untuk menggodanya saja. Pria menyebalkan yang mirip permen kare
"Maafkan aku, Ma.""Jangan pikirkan itu. Tugasmu adalah sembuh!"Hayfa masih menoleh ke belakang saat petugas membawanya masuk ke dalam mobil petugas. Ia akan dipindahkan ke tempat rehabilitasi. Cukup jauh jaraknya, butuh beberapa jam untuk bisa ke sana. Tempatnya berada di pinggiran kota. Herin bahkan tidak bisa ikut karena harus menaiki angkutan umum dengan ongkos lumayan, sedangkan uangnya tinggal beberapa lembaran hijau saja.Air mata Herin menetes, tapi ia segera menepisnya. Mobil yang ditumpangi putrinya perlahan menjauh. Hayfa masih melirik ke belakang, memandang ibunya yang tengah mematung melambaikan tangan.Herin menyeka pelipis, terik panas matahari membuat keningnya berkeringat. Tapi, bukan masalah itu yang menghimpit hatinya saat ini. Terik matahari itu seolah bukan lagi masalah besar. "Ibu harus menyiapkan uang sekitar 5 juta rupiah setiap bulannya untuk biaya Hayfa selama berada di tempat rehabilitasi," ujar pengacara sebelum gadis itu dipindahkan.Herin hanya bisa men
"Makanlah!" Herin meraih tangan Hayfa untuk menyentuh makanan yang ia bawa. Tangan gadis itu terasa begitu dingin seperti tidak bernyawa. Tatapannya kosong dan tidak banyak bicara, ia bahkan tidak berani menatap wajah ibunya."Di dalam sel, kamu tidak bisa makan makanan seperti ini. Jadi, makanlah dengan cepat sekarang!" pinta Herin lagi. Namun, tangan Hayfa terlalu lemas untuk meraihnya. Sorot mata itu? Seolah tidak ada kehidupan lagi di dalamnya."Belikan aku sedikit saja obat itu, Ma." Bibir Hayfa yang kering dan pias bergerak pelan. "Aku sangat tersiksa dan merasa akan mati saat ini."Herin menatap lekat putrinya saat kata-kata meluncur dari sana. Ia menyeka tetesan air mata yang lolos dengan sendirinya. Tangannya gamang menyentuh jemari Hayfa yang bergetar. "Kamu akan sembuh, Nak," ucap Herin pelan. Lalu, berusaha menyuapi putrinya. Ia membeli makanan kesukaan Hayfa. Gadis itu mengunyah pelan dengan tatapan kosong."Kamu sudah bertemu dengan pengacaranya bukan? Dia akan mengelua
"Bagaimana hasilnya, dokter?" Seorang dokter tersenyum melihat dua pasang bola mata yang tidak berkedip menatapnya. "Saya harap dokter tidak menyembunyikan apapun dari saya," timpal Lanita. Ia bersikap seolah begitu tegar dan siap mendengar apapun hasil dari pemeriksaan yang telah dilakukannya. Setelah beberapa hari berada di Rumah Sakit untuk mendapatkan beberapa pemeriksaan, Lanita belajar untuk bisa menerima semuanya."Baik, Pak Arya dan Bu Lanita. Saya sudah mendapatkan hasil dari serangkaian pemeriksaan yang telah kita lakukan sebelumnya. Dan juga sudah berdiskusi dengan beberapa dokter spesial serupa untuk melihat hasilnya."Tangan Lanita sudah begitu dingin, mengepal pakaian yang dikenakannya untuk menguatkan hati. Arya melirik dan mengangguk pelan meyakinkan kalau semuanya akan baik-baik saja."Bapak dan Ibu bisa lihat sendiri." Dokter itu berbalik dan menunjukkan sebuah layar di sampingnya. Terlihat sebuah gambar jaringan otak yang sengaja diperbesar. "Kekebalan tubuh Ibu L
"Aku takut, Mas." Lanita terlihat gelisah saat tubuhnya terbaring di sebuah ranjang mirip tabung. Arya membawanya bertemu dengan dokter spesialis saraf. Salah satu dokter terbaik di negeri ini."Tidak ada yang perlu ditakutkan. Kamu akan melihatku lagi setelah diperiksa." Mata Arya meyakinkan. Lanita terlihat resah, pertama kalinya ia melakukan pemeriksaan MRI seperti ini. Selain karena begitu takut dengan hasilnya, Lanita sangat mengkhawatirkan putrinya, ia sangat takut matanya terpejam saat pemeriksaan dan tidak bisa membuka mata untuk melihat putrinya lagi. Fatin sengaja tidak diberitahu dan dilakukan saat ia tengah kuliah. Lanita bersedia diobati, tanpa harus merepotkan putrinya itu. Ia tidak ingin Fatin terganggu dalam belajar.Lanita mencoba untuk tenang. Tanganya yang bersidekap di atas perut, tampak dingin dan lemas. Rupanya ia benar-benar ketakutan, padahal dokter sudah mengatakan kalau pemeriksaan ini tidak akan menimbulkan sakit, ia hanya diminta untuk tenang, berbaring dan
"Bagaimana keadaan Hayfa?" Bu Fatma yang sejak pagi menunggu kabar langsung memburu Herin saat datang. Pak Ramzi ayahnya hanya diam sembari mengisap sebatang rokok yang hampir habis."Dia harus ditahan dan tinggal di penjara.""Astagfirullahal'adzim." Bu Fatma memekik kaget mendengar jawaban itu. Cucu dari anak sambungnya itu memang tidak lagi terlihat batang hidungnya selain pada malam kedatangannya. Mobil yang ia antarkan tiba-tiba saja ada di halaman rumah. Sejak itu, Hayfa menghilang dan Herin terus mencari-carinya. Sekalinya dapat info malah panggilan dari kantor polisi."Kenapa Hayfa harus di penjara?" tanya Bu Fatma lagi. Hatinya masih bergetar karena syok.Herin melihat pada ayahnya yang masih diam sembari menyembulkan asap dari hisapan rokok yang hanya tinggal beberapa inci dari jarinya. "Dia terjerat nar koba.""Astagfirullah!" Bu Fatma memekik untuk kedua kalinya. Berkali-kali ia bahkan mengelus dada. Jantungnya sudah tidak sekuat dulu saat mendengar kabar-kabar mengejutka
"Tolong cari tahu siapa yang telah membawa Hayfa dan membebaskan Fatin, Mas. Dia telah mengembalikan hidupku. Aku berhutang besar pada anak muda itu," ucap Lanita sebelum Arya pamit pergi."Iya, aku akan mencari tahu tentang anak muda itu."Arya berpamitan pulang. Lanita mengantarnya sampai depan. "Terimakasih, Mas."Pria itu mengangguk dan memberikan senyuman. Ia tidak melepaskan pandangannya dari Lanita sebelum mobilnya benar-benar menjauh. Melihat lambaian tangan wanita itu dari kaca spion. Sungguh, Arya tidak bisa menyembunyikan rasa bahagianya."Lanita!" Lanita kembali menoleh saat ia hendak menggelindingkan kursi rodanya masuk ke rumah. Lalu, memutar kembali kursi roda saat melihat Farhan sudah berdiri di sana. Emosi pria itu masih terlihat tidak stabil. Ia tampak marah dengan wajah memerah."Kamu tidak bisa memutuskan sebelah pihak seperti itu dan mempermainkanku seenaknya! Apa maksudmu dengan menarik ulur seperti ini? Bukankah baru saja kemarin kamu berputus asa dan menyerah
Suara lemah dari derap langkah kaki seorang ibu berjalan terhuyung menuju tempat di mana anak yang selama ini ada dalam buaiannya harus berjarak jeruji besi. Hayfa berdiri dan melangkah kecil menuju dinding besi yang memisahkannya dengan kehingar bingaran dunia luar. Ia melihat ibunya berdiri di sana. Menatap kosong, seperti mimpi. Herin tidak kuasa mengeluarkan sepatah kata pun, meski sekedar sumpah serapah yang biasanya akan refleks ia lontarkan."Ma." Hayfa merasa khawatir. Bukan itu reaksi yang seharusnya ia dapatkan. Gadis itu tahu betul bagaimana ibunya. Suaranya mungkin akan terdengar melengking lebih dulu sebelum dirinya sampai.Herin masih diam, lalu mengerjap dan bulir bening terjatuh dari sana. "Kenapa dengan kepalamu?" tanyanya saat melihat kasa di bagian samping kanan kepala Hayfa."Ya?" Hayfa menyentuhnya. Ia berpikir cepat untuk berbohong. Setidaknya gadis itu tahu, kalau keadaan ibunya berbeda saat ini. "Aku jatuh."Suasana kembali hening. Herin banyak diam dibanding
"Hei, bangun! Kenapa kau terus tidur?" Seorang wanita teman satu sel Fatin menendang kaki gadis itu. "Walau tidak ada yang kau kerjakan. Jangan hanya tidur! Itu akan membuat otakmu mati! Kamu bisa bangun dan mengkhayal!" ucapnya lagi sembari merentangkan tangan dan menggerakan otot kepala. "Tubuhmu bisa lumpuh juga kalau hanya meringkuk seperti itu!""Hei! Gadis muda, bangun! Apa kau tuli!" Wanita itu menatap heran pada teman selnya yang hanya meringkuk sejak pagi. Sarapannya pun bahkan tidak disentuh. "Kau bahkan tak makan!" ucapnya lagi. "Penjara bukan akhir dari hidup, setidaknya kau masih harus bersyukur dikasih hidup!" "Hei! Bangun!" Wanita itu akhirnya berjongkok untuk membangunkan fatin. "Ya, ampun kenapa kau seperti mayat! Dingin sekali!" Wanita itu menjauh ketakutan. "Apa dia mati?" gumamnya. Wanita itu mencoba mendekat setelah mengumpulkan keberanian. Dia mendorong pelan tubuh Fatin yang meringkuk. "Ya, ampun dia beneran mati!" Wanita itu sampai melonjak mundur sendiri keti