Pangeran Avdar menarik Tirza masuk ke sebuah lorong yang menyerupai terowongan entah di bagian istana yang mana. Tirza melakukan gerakan menepis yang cepat, dan sesaat kemudian dialah yang menggenggam pergelangan sang pangeran, menyatakan gerakan dimana dia bisa membanting Pangeran Avdar saat itu juga." Aku tidak abermaksud jahat." ucap Pangeran Negeri Gag itu dengan suara rendah. Di matanya yang biasa muncul tatapan main-main kini terlihat serius. "Kau mau bawa aku kemana?""Sebuah tempat. Kau bisa terus memegang tanganku kalau kau mau." Kini kedipan nakalnya muncul lagi, membuat gadis bermata nilakandi itu melepaskan tangannya dengan cepat. "Aku akan ikut di belakangmu."Pangeranr Avdar tersenyum dan kemudian melanjutkan langkahnya. Tirza Antara berjalan waspada di belakangnya. Terowongan itu berakhir, bersamaan dengan cercah matahari yang menerpa pupil mata mereka."Ini untukmu." ungkap Pangeran Avdar pula.Tirza tidak melihat apapun di tangan sang pangeran, dia hanya melihat ke
Tirza Antara merasa ada sentakan dalam dirinya yang membuat dia terhenti di pendopo gedung keratuan, wajahnya yang jelita tampak sedikit pucat. "Apa ini?" batinnya dengan perasaan tidak enak. Dia memeriksa simbol mandaranya dan menghela nafas lega mendapati simbol perlindungan miliknya tidak bereaksi. Pangeran Sofraz baik-baik saja, dan itu membuatnya sedikit lega. "Kau dimana?" suara Pangeran Sofraz mengiang di telinganya. Pemuda itu mengirimkan acazana kepadanya. Entah mengapa Tirza merasa sedikit jengkel. Pangeran itu, dengan seenaknya meninggalkan dirinya pada Pangeran Avdar dan sekarang menanyakan keberadaannya? Rasa-rasanya gadis itu hendak berteriak,"Bukan urusanmu!" Namun kesadaran akan tugasnya dan siapa adanya dia membuat Tirza mengubur segala bentuk perasaannya rapat-rapat. Telunjuk kirinya diletakkan di tengah keningnya "Aku di pendopo gedung Keratuan. Hendak menuju gedung Patvan (gedung tamu kehormatan). Ada masalah?" Acazana si gadis.Namun tak ada lagi balasan setelah
"Bagaimana kau bisa melakukan ini pada kami Mandara Sofraz?!" seru Frazia Farza dengan raut frustasii"Fandita, aku tidak melakukan pengkhianatan apapun, lebih baik bagiku untuk mati daripada berkhianat." berkata Antara Dafruz dengan tandas. "Kau bisa membunuhku, tapi lepaskan Ratu Sofraz.""Sepertinya kau sudah berubah pikiran, Mandara Kerajaan. Atau ini hanya trikmu semata agar ratu percaya bahwa kau bersih dari pengkhianatan? Dimana Raja Sofraz?" Lelaki itu memandang berkeliling. "Jika Raja Sofraz tidak muncul juga dalam hitungan yang ke lima, maka maafkan jika aku menyatukan ratumu dengan alam ini!" Lelaki nephila itu menekan pisaunya, membuat leher halus sang ratu tergores dan mengucurkan darah. Perempuan itu menahan ringisannya."Satu!" teriakan berat sang penyandera menggema, "Dua!""Tiga!"Terdengar bunyi hembusan angin dan sesaat kemudian sesosok tubuh muncul dari udara, berdiri memunggungi Antara Dafruz, memandang tajam lelaki yang menyandera sang ratu. Raja Satra Aldara te
Tirza Antara menghilang. Gadis itu tidak terlihat dimana pun. Semua orang yang tengah berduka tentu tidak akan memusingkan itu, kecuali tentu saja sang Ibu. Andan Pandara merasa khawatir sang putri akan melukai dirinya sendiri. Dia memberitahu Davar untuk mencari sang adik. Awalnya Davar mengatakan bahwa Tirza pasti akan kembali, namun permohonan ibunya membuatnya tak tega. Kakak kandung Tirza Antara itu pun memacu kudanya keluar dari istana ketika tidak menemukan sang adik dimanapun. Sebenarnya cukup sulit bagi Davar Antara untuk mengetahui keberadaan Tirza karna satu-satunya orang yang dapat mendeteksi dan mencium aroma mandaranya hanyalah Pangeran Sofraz. Namun tentu saja pemuda itu tidak mau mengecewakan sang ibu. Davar Antara mengikuti nalurinya yang membawanya ke hutan pemburu. Putra sulung Antara Dafruz itu turun dari kudanya dan memasuki hutan itu sepembawa kakinya. Dia mengaktifkan indra pemburunya untuk mengantisipasi serangan binatang buas, berusaha mencium aroma manusia
Tirza sudah tidak ada minat berdekatan dengan kakaknya lagi. Gadis cantik tinggi semampai iti berlalu dari sana dengan langkah lebar, dia menyusul Putri Nilam Rencana sebelum gadis itu menuju gedung fandita. Dia berhasil mencegat langkah anggun Nilam Rencana saat gadis itu sedang berjalan diikuti dua orabg faidaranya.Mematuhi protokol, Tirza membungkuk pada perempuan itu."Hm, ini adalah hal yang langka." Gumam Nilam Rencana. Sikap lembut dan rapuhnya lenyap saat dia berhadapan dengan perempuan bermata seterang langit siang itu."Ada apa kau menemui diriku, Tirza?"Mandara Angin Nava Satra memandang lekat-lekat wajah sang putri. "Hamba ingin Anda membatalkan permintaan Putri pada kakak Hamba."Nilam melebarkan matanya dengan raut mengejek. "Siapa kau sehingga berani memerintah diriku seperti itu? Davar sendiri bahkan tidak keberatan sama sekali.""Apa Anda tahu seberapa berbahaya permintaan Anda, Putri? Permata Nilakandi berada di puncak pegunungan Fordaz, di jaga oleh roh alam yang
Pegunungan Fordaz adalah salah satu pegunungan yang membatasi Sofraz dengan negeri luar. Puncak-puncaknya berselimut kabut, namun udara anehnya terasa hangat. Putra Sulung Mendiang Mandara Kerajaan Davar Antara mendaratkan tunggangannya di puncak tertinggi pegunungan Fordaz, Puncak Nilakandi. Puncak Nilakandi adalah puncak tertinggi pegunugan Fordaz. Ketika Davar berdiri di sana, dia merasakan aroma bebatuan bercampur dengan udara hangat. Adalah aneh, seharusnya itu terasa dingin. Pemuda bermata emas itu memandang berkeliling, sejauh mata memandang dia hanya melihat batuan aneka warna dalam berbagai bentuk dan ukuran. Terlihat cantik, namun entah mengapa Davar Antara merasakan energi kuat yang menekannya dari segala arah. Sunyi. Tak ada suara. Seolah kehidupan tak menancapkan kukunya disana. Dia melangkah terus menerus dan menemukan kawah mati di puncak Nilakandi. Tak seperti kawah mati umumnya yang akan tampak kering dan tandus, Davar justru disuguhi pemandangan memanja mata, batu
Davar Antara tersadarkan, dia melihat sinar matahari senja yang hampir purna. Pemuda itu melihat melihat dahan-dahan pohon diatasnya yang mengindikasikan kalau dirinya terbaring di alam bebas. Pemuda bermata emas itu berusaha bergerak bangkit. Tubuhnya terasa begitu remuk. Dia menoleh ke kiri dan ke kanan namun tidak menemukan siapapun. Kakak Tirza Antara itu menghela nafas lambat, kemudian mencoba untuk mengobati luka luar maupun dalam yang diderita tubuhnya. Memorinya berusaha mengingat kejadian itu. Dia yakin melihat Tirza Antara muncul disana. Lalu, mengapa dia ada disini? Davar akhirnya menyadari kalau ini adalah hutan di kaki pegunungan paling timur, menoleh ke kanan dia melihat difra miliknya yang sedang meringkuk memandangnya."Tirza yang membawaku kesini? Dimana dia sekarang?" batin Davar Antara. Dia mencoba bangkit, namun tubuhnya terasa begitu lemah. Setelah mengumpulkan segenap kekuatannya, Davar menaiki difra miliknya. Pemuda itu menarik nafas sebentar menyadari kegagala
Frazia Farza sedang berada di gedung milik raja, menemui sang ratu yang akhir-akhir ini menghabiskan waktunya disana.Agatara duduk di kursi yang biasa diduduki suaminya, menatap sendu ke arah jendela. Frazia duduk di sampingnya dengan sorot prihatin."Yang Mulia, hamba mengerti bahwa yang mulia masih sangat berduka. Namun kita tidak bisa terlalu lama diam. Keadaan sekarang sedang mengambang. Sofraz mengalami kekosongan pemimpin. Kita harus segera melakukan penobatan terhadap Pangeran Angin."Ratu Sofraz menarik nafas panjang. "Aku tahu Bibi. Namun Angin sudah memberitahuku untuk melakukan penobatan setelah 30 hari kepergian Raja. Dia tidak mau terlalu terburu-buru.""Kalau demikian," Frazia Farza mengangguk-anggukan kepalanya. "Bagaimana jika kita melangsungkan pernikahan resmi Pangeran dan Putri Nilam? Seorang Raja tidak akan sempurna jika pada saat pelantikannya tidak didampingi ratunya."Ratu menatap Frazia Farza dengan pandangan tidak suka. "Bibi, kau tahu bahwa istana sedang dala
Putri Tirza Antara, berjalan dengan wajah tersenyum menemui Pangeran Avdar. Gadis itu terlihat penuh dengan aura bangsawannya yang murni, anggun dalam pakaian putri dengan kerah tunggi dan jubah menjuntai biru di hiasi batu permata halus."Kau sudah kembali," Pangeran bermata hitam itu membalas senyum Tirza, meraih tangan gadis itu dan membimbingnya duduk di pendopo gedung putra mahkota."Semuanya berjalan dengan baik,""Aku sudah mendengarnya, dan aku turut bahagia untukmu, Tirza." Sang Pangeran menghela napas sebentar, lalu menatap Tirza dengan pandangan yang penuh damba sekaligus tak percaya, "Kau kembali padaku, sesuai janjimu." ujarnya.Tirza mengangguk. "Seorang ksatria harus memegang janjinya.""Apakah dengan ini kau bersedia..." Pangeran Avdar menggantung kalimatnya, menatap dengan lekat sepasang mata biru indah gadis di hadapannya lalu melanjutkan dengan hati -hati,"Apa kau bersedia untuk menikah denganku?"Tirza tak langsung menjawab pertanyaan penuh harap itu. Gadis itu ta
Keadaan kerajaan menjadi terkendali. Frazia Farza di jebloskan ke dalam penjara untuk menerima penghukuman besok. Semua bangsawan di perintahkan sang ratu untuk kembali ke kediaman masing-masing. Termasuk keluarga Bazlam yang kini di awasi oleh kesatria ksatria Sofraz, padahal kediaman mereka berada satu lingkungan dalam istana."Bagaimana kau bisa melepaskan diri?" tanya Angin saat di ruang pengadilan itu yang tersisa tinggalah dia, sang ratu, Tirza Antara dan kakaknya Davar Antara."Davar membantu hamba dengan Nilakandi Adavara. Dengan permata itu juga Davar menyembuhkan Ratu bersama dengan guru." jawab Tirza yang sudah mendengar penjelasan singkat kakaknya tadi ketika Pangeran tengah bertarung dengan Jelaba."Dimana guru sekarang?" tanya Angin."Guru Amba telah kembali, Yang Mulia. Dia percaya Yang Mulia dan Tirza dapat menyelesaikan ini.""Aku sudah lama tidak menjenguknya." Angin mengucapkannya dengan penuh sesal. Dia melihat pada sang ibu yang tersenyum lembut padanya, sang pange
Meski tahu, hukuman yang paling berat yang akan dilemparkan adalah hukuman mati, Tirza tetap merasakan sakit yang nyeri didadaya ketika dia mendengar Angin Nava Satra menjatuhkan hukuman itu. Pandangan gadis itu kosong.Angin Nava Satra merasa dadanya sesak, dia menahan diri untuk tidak jatuh saat itu. Tangannya mengangkat palu emas, siap mengesahkan hukuman."Pangeran."Ada yang memanggil. Angin Nava Satra mengangkat kepalanya yang tertunduk. Dia mengedarkan pandang, dan saat matanya menubruk suatu objek, sang pangeran merasa terhenyak, Ratu Sofraz Agatara Vidma berjalan masuk dari pintu ruang pengadilan diikuti Davar Antara. Sang Ratu masih memakai pakaian tidur putih bersih tanpa atribut bangsawan apapun. Perempuan itu terlihat polos, tapi langkahnya yang anggun tetap menunjukkan ketegasannya sebagai seorang ratu. Betapapun terkejutnya Pangeran Angin, yang lebih terkejut di sana adalah Frazia Farza Purdam. Lebih lebih para tetua kerajaan yang tidak menyangka bahwa sang ratu akan sem
Saat Angin Nava Satra tiba di balariung istana, rupanya para jajaran petinggi istana telah ada disana, Frazia Farza pun telah turut hadir.Nilam Rencana, Chandrafala dan Adira turut pula bergabung di balariung.Tirza berlutut, sepasang tangannya di buhul oleh rantai Zora. Dia tidak melakukan banyak gerakan, hanya menunduk saja, saat dia mendengar langkah kaki Angin, gadis itu mengangkat kepala, menyaksikan pangeran Sofraz itu berdiri di depannya.Angin Nava Satra sedikit mengernyit ketika melihat Tirza tersenyum ketika memandangnya. "Kau kembali, akhirnya kau kembali." Dia tersenyum dengan lega seolah-olah telah melepaskan beban di dadanya. "Tirza, kau melakukan banyak hal di luar batas. Apakah kau menyadari kesalahanmu?" Angin bertanya."Sebutkan kesalahanku, Yang Mulia. Aku tidak dapat mengetahui mana yang merupakan salahku dan yang bukan." jawabnya dengan berani."Kau menyusup ke Istana Sofraz, bahkan menutup portal dimensi sehingga aku aku tidak bisa secepatnya kembali ke negeri
Bukan hal sulit bagi kedua orang yang sudah mengenal seluk beluk istana Sofraz semenjak mereka kecil, untuk menyusup ke dalam benteng istana.Malam yang gelap membantu Tirza dan Davar yang memakai pakaian malam hitam menyelinap di lorong-lorong menuju gedung kerajaan.Gedung Kerajaan adalah gedung utama dari semua bangunan yang ada dalam benteng istana.Di gedung inilah terdapat Balariung istana, ruang makan kerajaan, penjamuan tamu, dan kamar raja. Hanya saja gedung ini sering kosong karna sang raja telah tiada.Davar membawa Tirza menyusup di taman gedung kerajaan, sesekali mereka merayap untuk menghindari para ksatria yang berjaga.Di taman itu rupanya ada sebuah jalan rahasia yang tertutup dengan rerumputan. Davar meraba-raba, lalu membuka bulatan logam seukuran tubuh orang dewasa yang menempel di dinding penuh rumput. "Masuk,"pintanya.Tirza masuk lebih dulu diikuti Davar yang dengan cepat menutup jalan rahasia itu dengan bulatan logam sebelumnya dari dalam.Saat masuk, Tirza d
Menutup portal hanya bisa dilakukan oleh orang yang membuka portal itu sendiri, Angin Nava Satra. Bagaimana bisa Frazia melakukan itu?"Aku bisa melakukan banyak hal," Seolah tahu apa yang ada di pikiran Tirza Antara, wanita tua yang masih terlihat muda itu bicara."Kau memang berniat mengambil alih tahta..." gumam Tirza, dengan pandangan tak habis pikir.Mendengar itu, Frazia tertawa. "Aku tidak mengambil alih, sejak awal, tahta Sofraz adalah milikku. Jangan menjadi naif.""Kau juga yang menjebakku sehingga aku difitnah sebagai orang yang meracuni Ratu, bukan?"Tanpa ragu, Frazia tertawa dan mengangguk. "Lalu, kamu mau apa? Berteriak mengatakan kalau aku yang meracun Agatara? Tidak akan ada yang mempercayai seorang pengkhianat sepertimu."Tirza sadar akan hal itu, dia tidak bisa menuding Frazia begitu saja. Dia membutuhkan bukti."Aku tidak peduli dengan urusan Fandita," akhirnya gadis itu bicara lagi. "Aku hanya memohon izin untuk bertemu dengan ibuku.""Ibumu?" Frazia mengangkat
"Pergilah bersama Galamav." Pangeran Gag melepas kepergian Tirza. Gadis itu mengenakan pakaian perjalanan sederhana, namun tetapi tak bisa menyembunyikan kecantikannya.Tirza memang menguasai kemampuan teleportasi, namun untuk melakukannya dibutuhkan energi yang besar dan cukup beresiko. Karna itu dia berpikir untuk kembali ke Sofraz jalur udara. Tirza ingin menemui gurunya lebih dulu.Gadis itu tersenyum pada pangeran Gag sebelum Galamav, gagak raksasa itu mengepakkan sayapnya membawa Tirza terbang ke awan."Kita temui Guruku, Galamav."burung itu menguik halus tanda mengerti. Selang beberapa saat kemudian, mereka mulai melintasi langit Sofraz. Galamav sepertinya tahu tempat terakhir dimana Guru Amba berada. Dia mendarat di hutan Pilaz. Hutan yang terletak di barat Sofraz itu adalah salah satu hutan terlarang yang jarang di masuki manusia.Tirza sendiri tahu bahwa hutan ini adalah tempat dimana sang guru lebih banyak bersunyi diri dan bermeditasi semenjak Angin dan Tirza telah purn
Frazia Farza Purdam melangkah memasuki ruang peraduan Ratu Sofraz. Perempuan itu berada dalam keadaan setengah koma, tak dapat bicara dan tak membuka mata. Beberapa saat, Frazia berdiri disana, lalu perlahan senyum tipis muncul di bibirnya."Sudah begitu lama eh? Padahal aku berharap kamu segera mati, Agatara Vidma. Aku menikmati peranku sekarang, semuanya berada dalam kendaliku. Aku tinggal menunggu waktu bagaimana cara menutup portal dimensi agar putramu tidak akan dapat kembali ke sini, dan aku akan berkuasa selamanya..."Perempuan berambut merah itu tertawa kecil, menahan mulutnya dengan tangan. Khawatir kalau para dayang yang berdiri di luar sana dapat menangkap suara tawanya. Frazia melangkah mengelilingi ranjang ratu."Sekarang, Sofraz berada dalam genggamanku. Namun karna para tua tua sialan itu aku terpaksa harus menahan diriku untuk duduk di kursi kebesaran. Padahal selangkah lagi, semuanya akan sempurna." Dia berdecak sinis. Lalu, wanita itu menatap ke arah Agatara Vidma, Ra
"Bukan kamu yang menentukan kepantasan seseorang untuk menjadi ratu,""Ya,"Ariza mengangguk tanpa ragu menyahuti ucapan sang Pangeran. "Tapi aku bebas menilainya.""Aku akan mengampuni perbuatanmu ini," Ucap Angin Nava Satra, berdiri dengan tenang dalam wibawa seorang raja. "Asalkan, kau dengan sukarela menyerahkan Nilakandi Adavara. Aku berjanji, aku tidak akan mengusikmu lagi."Ariza membeku beberapa saat, lalu perlahan -lahan senyum manisnya terbentuk. "Barangkali jika kau lupa, Angin Nava Satra. Kaulah yang mengusirku dari Sofraz. Lalu kenapa sekarang kau bisa melintasi dimensi hanya karna Nilakandi Adavara ada bersamaku?""Ini untuk kesembuhan ibunda." balas Angin Nava Satra. "Bagaimana...." Tirza menarik nafasnya, lalu mengangkat kepala menatap orang yang dicintainya itu. "Jika aku tidak mau?"Angin Nava Satra mengerjab dalam ketenangannya, dia maju satu langkah. Sedangkan Nilam mulai bangkit perlahan dan berusaha melakukan penyembuhan mandiri meski itu memang tidak akan banyak