Ketika Saron dan Riana berangkat ke sekolah dengan Sapphire, mereka menyadari bahwa gadis itu lebih banyak diam. Sepanjang perjalanan dalam mobil tak ada suara yang keluar dari bibir mungil gadis cantik itu. Dia duduk dengan tenang di kursi belakang, menatap ke arah jalanan dengan pandangan yang sulit diartikan.Mobil mereka mulai memasuki kawasan parkiran Persada Bangsa, dan Sapphire turun dengan bungkam. Saron dan Riana cepat melangkah di belakangnya. Sapphire berhenti didepan sebuah kelas. Matanya yang dilapisi softlens hitam memandang ke dalam kelas itu lurus-lurus. Dia bahkan melangkah masuk dan mengedarkan pandangan tajam ke seisi kelas. Beberapa siswa yang sedang bermain-main menghentikan kegiatan mereka dan memandang ke arah ke tiga perempuan yang seharusnya tidak berada disana."Sapphire, mengapa berhenti disini?" tanya Saron heran. Dia dapat merasakan pandangan segan penghuni kelas itu pada Sapphire. Sementara Riana yang jeli memilih diam sembari mengamati ekspresi Sapphire
Kedua ajudan Sapphire sudah berdiri didekat meja Rose saat gadis itu kembali ke kelasnya. Riana memandangnya lamat-lamat kemudian mencoba tersenyum. "Rose, kau resmi dikeluarkan dari Poison sejak hari ini."Rose tak menyahut. Dia sudah mengira ini akan terjadi. Hatinya mengumpati kegagalannya yang tak dapat menjamah nilakandi hingga detik ini. Dia gagal.Saron memandang Rose penasaran, masalah apakah sebenarnya antara Ariza dan gadis ini? Namun gadis itu tahu batasannya. Bersama Riana, mereka pergi dari sana. Rose mengepalkan tangannya, bila dia menoleh ke jendela kaca kelas, tampak di suatu tempat sesosok pemuda berkacamata tegak menatapnya dengan raut datar. Dan dia semakin merasa bersalah.***Ariza melangkah memasuki kantin, dia memesan semangkuk soto sambil mengedarkan pandang mencari meja yang masih kosong. Satu meja di sudut terlihat masih cukup kosong, karna disana hanya ada Bayu yang duduk. Gadis itu melangkah tanpa ragu, mengambil tempat didepan Bayu, dan mengulas senyum
Hal yang tidak pernah Zeilo pikirkan adalah ketika dia harus terlempar kesamping tatkala dia hampir saja mencium Ariza. Ariza yang refleks bergerak mundur mengerutkan keningnya sekilas dan mengangkat kepala memandang ke depan. Sepasang matanya memandang bingunwg. Bayu sudah berdiri disana, menatap tajam ke arah Zeilo dengan rahang mengeras. Ikatannya sudah terlepas dan Jeri sudah meringkuk kesakitan dengan pisau yang terlempar jauh."Bagaimana bisa Bayu bergerak cepat dan melumpuhkan mereka?" Ariza semakin heran. Dia ingat bahwa Bayu bahkan tidak berdaya menghadapi Trio Bandit yang membulinya habis-habisan di masa lalu. Selagi Ariza masih terpaku, Zeilo sudah bangkit berdiri sambil meringis. "Bangsat!" Makinya pada Bayu. Dia bergerak menerjang melancarkan jurus karate selama ini yang telah dia pelajari. Siapapun yang melihat setiap gerakan Zeilo menyadari betapa terlatihnya dia. Namun ternyata Bayu dapat mengimbangi dengan mudah, bahkan sempat menyusupkan satu tonjokan di rahangnya se
Ruangan yang didominasi warna merah tua itu nampak hening. Ada tiga orang sebenarnya yang duduk disana. Tapi rupanya mereka masih enggan bicara. Lelaki pertama adalah seseorang berusia 40 an tahun, berkacamata dan berwajah bersih. Orang kedua dan ketiga adalah dua orang muda mudi yang sama-sama bermata cokelat terang."Apa yang sudah kalian lakukan?" Lelaki itu menarik nafas panjang. "Kalian membiarkannya melakukan hal gila seperti itu?""Dia berkata ingin mengikuti permainan ini, Paman. Kami sebenarnya ingin ikut bersamanya, namun dia melarang kami." jawab sang pemuda, Chandra."Keselamatan Yang Mulia adalah yang utama, Chandra. Jangan sampai karna satu kelalaian, kita kehilangan Raja.""Kami tidak berdaya, Paman. Waktu itu kami bilang akan menguntitnya, namun dia menolak."Lelaki yang dipanggil paman itu terdiam beberapa lama. "Dia pasti merencanakan sesuatu. Tugas kalian adalah menjaganya, menggantikan tugas dari pelindung yang terbuang itu. Awasi terus dirinya meski hanya dari ja
"Akan sulit jika aku menjelaskan padamu mengenai dimensi secara detail karna pola pikir manusia pada hakikatnya sederhana, dan akan sulit percaya pada sesuatu yang tak terlihat. Padahal, mata adalah indra yang terbatas." jelas Chandra pula. Daniah mengangguk-anggukkan kepalanya. "Menarik, tapi mengapa kau tidak menjelaskannya lebih jauh?""Dengan otakmu yang tak seberapa itu?" Chandra mengetuk kening Daniah sambil tersenyum. "Dimensi ke lima dan keatas terlalu sulit untuk dijelaskan. Kau harus berpikir lebih keras untuk sekedar memahaminya."Daniah merengut. "Apakah kau akan percaya kalau nun ditempat yang tidak pernah kau bayangkan, tidak dapat kau lihat, ada sebuah kehidupan yang sungguh-sungguh berbeda dengan dunia yang kita tinggali ini? Adanya makhluk-makhluk dan manusia lain yang rupanya berbeda?" Chandra menatap langit. Daniah menggeleng. "Seperti apa, semacam elf?"Chandra mengangkat bahu. "Indah untuk didefinisikan."Daniah menatap Chandra menyelidik. "Kau bicara seperti su
Cermin besar dalam kamar Sapphire itu membiaskan bayangan gadis itu yang duduk menatap kesana. Jangan salah, itu masih Ariza. Gadis itu memakai kalung bermata biru safir itu di lehernya. Kalung itu memancarkan cahaya biru sesaat kemudian meredup. Ariza melepaskan softlens dimatanya. Menampilkan iris biru yang terang bagai samudra. Pelan, dia beralih ke mata lainnya, melepas softlens yang tersisa dengan hati-hati dan membuangnya ke tempat sampah. Ya, dia tidak akan memakai sepasang softlens lebih dari satu kali. Ariza kembali menoleh pada cermin, meraih sisir dan berniat menyisir. Namun gerak tangannya terhenti. Ariza mengerjabkan matanya berulangkali, dan mendekatkan wajahnya ke cermin.Dia melihat keanehan. Keanehan yang membuatnya tampak benar-benar seperti monster. Separuh iris mata kanannya yang seharusnya hitam kecoklatan, kini tampak separuh kebiruan. Deru nafas Ariza menggebu karna kaget. "Sapphire... Sapphire..." Bibirnya bergetar menyebut nama itu. "Kau dimana?"Bahu Ariza m
Hy guys! Makasih sudah membaca sampai bab ini, jadi mungkin untuk beberapa bab selanjutnya aku akan flashback lengkap kisah Tirza dengan settingan di Sofraz. Selamat membaca ya!***Tirza Antara memandangi dirinya sendiri dalam cermin. Dia mengenakan gaun berwarna biru berkilauan yang cantik. Selama ini sangat jarang gadis itu mengenakan gaun istana karna dirinya lebih sering berada di lapangan, berlatih layaknya seorang satria, sehingga bila dia menyaksikan penampilannya dia agak merasa aneh. Para faidara menjalin rambutnya dengan jalinan cantik, dengan hiasan batu permata safir dirambutnya. "Anda sangat cantik, Firi." ungkap salah satu faidara yang meriasnya sambil tersenyum. "Bahkan Putri Nilam Rencana kalah dengan keindahan pesona Anda." sambungnya. Tirza Antara tersenyum lembut, "Jangan terlampau memujiku. Nilam Rencana sangat cantik, bagaimana mungkin aku dapat menyainginya?""Kami bicara kenyataan, Firi." Ucap Faidara yang disebelah kanan. "Anda jauh lebih cocok menjadi perma
Putri Tirza Antara kembali ke gedung keluarganya dengan menyelinap keluar dari pesta. Dia merasa kedinginan dan lekas mengganti bajunya dengan gaun yang lebih simpel. Beberapa faidara kepanglimaan membantu menata rambutnya lagi. Mahkota putri yang anggun dengan permata safir bertengger dikepalanya dengan anggun. Mahkota yang serupa dengan mahkota Nilam Rencana, hanya saja milik Nilam dihiasi permata zamrud yang berwarna hijau. Gadis itu berjalan kembali ke ruang pesta, seperti biasa menolak bantuan para faidara dan membawa lipatan jubah sang pangeran . Dia pertama-tama menuju gedung divana, bermaksud untuk menyerahkan jubah itu pada pelayan sang pangeran untuk dibersihkan. Namun tatkala dia melewati ruang latihan, dilihatnya Pangeran Sofraz sedang duduk mengusap pedang emasnya sambil tersenyum miring pada Tirza. Perasaan gadis itu mendadak tidak enak."Pangeran disini?""Aku bosan dengan keramaian dan ingin mencari sepi sejenak. Apa yang kau lakukan di gedungku, Mandara?""Aku ingi
Putri Tirza Antara, berjalan dengan wajah tersenyum menemui Pangeran Avdar. Gadis itu terlihat penuh dengan aura bangsawannya yang murni, anggun dalam pakaian putri dengan kerah tunggi dan jubah menjuntai biru di hiasi batu permata halus."Kau sudah kembali," Pangeran bermata hitam itu membalas senyum Tirza, meraih tangan gadis itu dan membimbingnya duduk di pendopo gedung putra mahkota."Semuanya berjalan dengan baik,""Aku sudah mendengarnya, dan aku turut bahagia untukmu, Tirza." Sang Pangeran menghela napas sebentar, lalu menatap Tirza dengan pandangan yang penuh damba sekaligus tak percaya, "Kau kembali padaku, sesuai janjimu." ujarnya.Tirza mengangguk. "Seorang ksatria harus memegang janjinya.""Apakah dengan ini kau bersedia..." Pangeran Avdar menggantung kalimatnya, menatap dengan lekat sepasang mata biru indah gadis di hadapannya lalu melanjutkan dengan hati -hati,"Apa kau bersedia untuk menikah denganku?"Tirza tak langsung menjawab pertanyaan penuh harap itu. Gadis itu ta
Keadaan kerajaan menjadi terkendali. Frazia Farza di jebloskan ke dalam penjara untuk menerima penghukuman besok. Semua bangsawan di perintahkan sang ratu untuk kembali ke kediaman masing-masing. Termasuk keluarga Bazlam yang kini di awasi oleh kesatria ksatria Sofraz, padahal kediaman mereka berada satu lingkungan dalam istana."Bagaimana kau bisa melepaskan diri?" tanya Angin saat di ruang pengadilan itu yang tersisa tinggalah dia, sang ratu, Tirza Antara dan kakaknya Davar Antara."Davar membantu hamba dengan Nilakandi Adavara. Dengan permata itu juga Davar menyembuhkan Ratu bersama dengan guru." jawab Tirza yang sudah mendengar penjelasan singkat kakaknya tadi ketika Pangeran tengah bertarung dengan Jelaba."Dimana guru sekarang?" tanya Angin."Guru Amba telah kembali, Yang Mulia. Dia percaya Yang Mulia dan Tirza dapat menyelesaikan ini.""Aku sudah lama tidak menjenguknya." Angin mengucapkannya dengan penuh sesal. Dia melihat pada sang ibu yang tersenyum lembut padanya, sang pange
Meski tahu, hukuman yang paling berat yang akan dilemparkan adalah hukuman mati, Tirza tetap merasakan sakit yang nyeri didadaya ketika dia mendengar Angin Nava Satra menjatuhkan hukuman itu. Pandangan gadis itu kosong.Angin Nava Satra merasa dadanya sesak, dia menahan diri untuk tidak jatuh saat itu. Tangannya mengangkat palu emas, siap mengesahkan hukuman."Pangeran."Ada yang memanggil. Angin Nava Satra mengangkat kepalanya yang tertunduk. Dia mengedarkan pandang, dan saat matanya menubruk suatu objek, sang pangeran merasa terhenyak, Ratu Sofraz Agatara Vidma berjalan masuk dari pintu ruang pengadilan diikuti Davar Antara. Sang Ratu masih memakai pakaian tidur putih bersih tanpa atribut bangsawan apapun. Perempuan itu terlihat polos, tapi langkahnya yang anggun tetap menunjukkan ketegasannya sebagai seorang ratu. Betapapun terkejutnya Pangeran Angin, yang lebih terkejut di sana adalah Frazia Farza Purdam. Lebih lebih para tetua kerajaan yang tidak menyangka bahwa sang ratu akan sem
Saat Angin Nava Satra tiba di balariung istana, rupanya para jajaran petinggi istana telah ada disana, Frazia Farza pun telah turut hadir.Nilam Rencana, Chandrafala dan Adira turut pula bergabung di balariung.Tirza berlutut, sepasang tangannya di buhul oleh rantai Zora. Dia tidak melakukan banyak gerakan, hanya menunduk saja, saat dia mendengar langkah kaki Angin, gadis itu mengangkat kepala, menyaksikan pangeran Sofraz itu berdiri di depannya.Angin Nava Satra sedikit mengernyit ketika melihat Tirza tersenyum ketika memandangnya. "Kau kembali, akhirnya kau kembali." Dia tersenyum dengan lega seolah-olah telah melepaskan beban di dadanya. "Tirza, kau melakukan banyak hal di luar batas. Apakah kau menyadari kesalahanmu?" Angin bertanya."Sebutkan kesalahanku, Yang Mulia. Aku tidak dapat mengetahui mana yang merupakan salahku dan yang bukan." jawabnya dengan berani."Kau menyusup ke Istana Sofraz, bahkan menutup portal dimensi sehingga aku aku tidak bisa secepatnya kembali ke negeri
Bukan hal sulit bagi kedua orang yang sudah mengenal seluk beluk istana Sofraz semenjak mereka kecil, untuk menyusup ke dalam benteng istana.Malam yang gelap membantu Tirza dan Davar yang memakai pakaian malam hitam menyelinap di lorong-lorong menuju gedung kerajaan.Gedung Kerajaan adalah gedung utama dari semua bangunan yang ada dalam benteng istana.Di gedung inilah terdapat Balariung istana, ruang makan kerajaan, penjamuan tamu, dan kamar raja. Hanya saja gedung ini sering kosong karna sang raja telah tiada.Davar membawa Tirza menyusup di taman gedung kerajaan, sesekali mereka merayap untuk menghindari para ksatria yang berjaga.Di taman itu rupanya ada sebuah jalan rahasia yang tertutup dengan rerumputan. Davar meraba-raba, lalu membuka bulatan logam seukuran tubuh orang dewasa yang menempel di dinding penuh rumput. "Masuk,"pintanya.Tirza masuk lebih dulu diikuti Davar yang dengan cepat menutup jalan rahasia itu dengan bulatan logam sebelumnya dari dalam.Saat masuk, Tirza d
Menutup portal hanya bisa dilakukan oleh orang yang membuka portal itu sendiri, Angin Nava Satra. Bagaimana bisa Frazia melakukan itu?"Aku bisa melakukan banyak hal," Seolah tahu apa yang ada di pikiran Tirza Antara, wanita tua yang masih terlihat muda itu bicara."Kau memang berniat mengambil alih tahta..." gumam Tirza, dengan pandangan tak habis pikir.Mendengar itu, Frazia tertawa. "Aku tidak mengambil alih, sejak awal, tahta Sofraz adalah milikku. Jangan menjadi naif.""Kau juga yang menjebakku sehingga aku difitnah sebagai orang yang meracuni Ratu, bukan?"Tanpa ragu, Frazia tertawa dan mengangguk. "Lalu, kamu mau apa? Berteriak mengatakan kalau aku yang meracun Agatara? Tidak akan ada yang mempercayai seorang pengkhianat sepertimu."Tirza sadar akan hal itu, dia tidak bisa menuding Frazia begitu saja. Dia membutuhkan bukti."Aku tidak peduli dengan urusan Fandita," akhirnya gadis itu bicara lagi. "Aku hanya memohon izin untuk bertemu dengan ibuku.""Ibumu?" Frazia mengangkat
"Pergilah bersama Galamav." Pangeran Gag melepas kepergian Tirza. Gadis itu mengenakan pakaian perjalanan sederhana, namun tetapi tak bisa menyembunyikan kecantikannya.Tirza memang menguasai kemampuan teleportasi, namun untuk melakukannya dibutuhkan energi yang besar dan cukup beresiko. Karna itu dia berpikir untuk kembali ke Sofraz jalur udara. Tirza ingin menemui gurunya lebih dulu.Gadis itu tersenyum pada pangeran Gag sebelum Galamav, gagak raksasa itu mengepakkan sayapnya membawa Tirza terbang ke awan."Kita temui Guruku, Galamav."burung itu menguik halus tanda mengerti. Selang beberapa saat kemudian, mereka mulai melintasi langit Sofraz. Galamav sepertinya tahu tempat terakhir dimana Guru Amba berada. Dia mendarat di hutan Pilaz. Hutan yang terletak di barat Sofraz itu adalah salah satu hutan terlarang yang jarang di masuki manusia.Tirza sendiri tahu bahwa hutan ini adalah tempat dimana sang guru lebih banyak bersunyi diri dan bermeditasi semenjak Angin dan Tirza telah purn
Frazia Farza Purdam melangkah memasuki ruang peraduan Ratu Sofraz. Perempuan itu berada dalam keadaan setengah koma, tak dapat bicara dan tak membuka mata. Beberapa saat, Frazia berdiri disana, lalu perlahan senyum tipis muncul di bibirnya."Sudah begitu lama eh? Padahal aku berharap kamu segera mati, Agatara Vidma. Aku menikmati peranku sekarang, semuanya berada dalam kendaliku. Aku tinggal menunggu waktu bagaimana cara menutup portal dimensi agar putramu tidak akan dapat kembali ke sini, dan aku akan berkuasa selamanya..."Perempuan berambut merah itu tertawa kecil, menahan mulutnya dengan tangan. Khawatir kalau para dayang yang berdiri di luar sana dapat menangkap suara tawanya. Frazia melangkah mengelilingi ranjang ratu."Sekarang, Sofraz berada dalam genggamanku. Namun karna para tua tua sialan itu aku terpaksa harus menahan diriku untuk duduk di kursi kebesaran. Padahal selangkah lagi, semuanya akan sempurna." Dia berdecak sinis. Lalu, wanita itu menatap ke arah Agatara Vidma, Ra
"Bukan kamu yang menentukan kepantasan seseorang untuk menjadi ratu,""Ya,"Ariza mengangguk tanpa ragu menyahuti ucapan sang Pangeran. "Tapi aku bebas menilainya.""Aku akan mengampuni perbuatanmu ini," Ucap Angin Nava Satra, berdiri dengan tenang dalam wibawa seorang raja. "Asalkan, kau dengan sukarela menyerahkan Nilakandi Adavara. Aku berjanji, aku tidak akan mengusikmu lagi."Ariza membeku beberapa saat, lalu perlahan -lahan senyum manisnya terbentuk. "Barangkali jika kau lupa, Angin Nava Satra. Kaulah yang mengusirku dari Sofraz. Lalu kenapa sekarang kau bisa melintasi dimensi hanya karna Nilakandi Adavara ada bersamaku?""Ini untuk kesembuhan ibunda." balas Angin Nava Satra. "Bagaimana...." Tirza menarik nafasnya, lalu mengangkat kepala menatap orang yang dicintainya itu. "Jika aku tidak mau?"Angin Nava Satra mengerjab dalam ketenangannya, dia maju satu langkah. Sedangkan Nilam mulai bangkit perlahan dan berusaha melakukan penyembuhan mandiri meski itu memang tidak akan banyak