'Dasar cewek aneh. Tidak punya sopan santun. Ada tamu bukannya disuruh masuk dan duduk, malah berlagak seperti customer servis,' keluh Arya dalam hati.
"Itu ...."
"Fani! Ada tamu gak disuruh masuk malah berdiri bareng, gimana sih?" celetuk Dinda keluar dari dalam rumah. "Mari, Om, masuk," ajak Dinda sopan. Hati Arya merasa bahagia dengan ajakan Dinda. Namun, ada yang mengganjal di telinga atas panggilan yang diucapkan sahabat Fani.
"Oh iya, terimakasih," jawab Arya senang.
"Duduk, Om! Aku ambilkan minum, ya? Tapi adanya air putih aja," tawar Dinda sopan.
Fani berkali-kali memberi kode pada sahabatnya untuk tidak memanggil Arya dengan sebutan Om. Namun, gadis putih bermata sipit itu tidak paham.
"Kamu kenapa, Fan? Kelilipan? Kok mata kamu gerak-gerak gitu? Atau, kamu salah prod
Part 39"Gak! Aku gak mau pergi!" tolak Dinda ngambek."Beneran, Din, kamu gak ikut?" tanya Fani memastikan.Dinda bergeming, menatap layar ponsel dalam posisi berbaring. Abai pada sahabatnya yang merengek."Din, maafin aku, dong? Aku ngaku, aku salah," lirih Fani penuh penyesalan. Namun, Dinda tetap saja diam.Menyadari ada tamu yang menunggunya, Fani meninggalkan Dinda yang masih marah."Dinda gak mau, Pak," adu Fani sedih."Masih marah?" Mata elang Arya menatap gadis yang menunduk dan mengangguk sedih."Ya, sudah! Ayo, kamu saja yang aku ajak pergi." Fani menatap tidak percaya dengan apa yang ia dengar. Gadis itu mengira, tadi dosen mudanya hanya ingin menghibur s
"Sheren, kamu keterlaluan! Kalaupun ada yang harus kamu salahkan, itu aku. Jangan Fani! Dia tidak tahu apa-apa. Kata-kata yang kamu ucapkan sungguh telah memperlihatkan status dan pendidikan kamu!" Arya berdecak kesal."Apa yang salah dari kata-kata aku? Dia benar-benar sudah di luar batas. Gadis macam apa yang mau sama orang yang sudah bertunangan kau bukan gadis murahan!" Ejek Sheren penuh kesombongan."Kamu benar-benar kelewatan!" ujar Arya kecewa dan meninggalkan gadis yang kedua netranya sudah basah. Tidak lupa, Arya mengambil plastik berisi makanan yang sedianya akan diberikan pada Dinda dan juga uang yang terletak di meja.Tidak peduli Sheren yang menangis, Arya segera berlari menuju mobil yang terparkir di halaman rumah makan.Setiap orang diuji dengan kadar masing-masing. Dan terkadang, ujian itu datang secara bertubi-tubi. Bukan tanpa
Aku dan Ilma memang sahabt sejak kecil. Ilma hidup tertutup dulu. Hanya aku yang jadi temannya. Karena kebetulan, Bapak bekerja di toko abahnya Ilma. Itu sebabnya dia protektif sekali. Namun, sejak kejadian itu, aku sudah tidak pernah lagi berhubungan telepon dengannya. Entahlah sekarang bagaimana kabar dia. Kamu masih suka bertemu Ilma?" tanya Doni."Kadang. Tapi, kami selalu hanya saling menatap. Kemudian, Ilma yang lebih dulu pergi.""Kamu bisa datang minggu depan?""Mas Doni ke sini untuk mengundangku atau kebetulan saja kita bertemu?""Untuk mengundang kamu. Tapi kebetulan juga Bu Nia nyuruh ke sini,""Oh," bibir Fani membulat."Sekalian mau ada acara perpisahan," lanjutnya lagi."Perpisahan apa maksudnya?"
POV ARYAAku telah bersalah pada dia. Gadis yang selalu hidup dalam kecerian. Kata-kata yang diucapkan Sheren sebagai luapan kemarahannya sangat tidak pantas. Hati ini begitu kecewa dan semakin tidak suka padanya.Kejadian hari itu sudah tentu menjadi boomerang antar keluarga kami.Malam itu juga, Pak Sandi, papah Sheren datang bersama istrinya. Kali ini mereka datang ke rumahku. Bertemu dan berbicara hanya denganku."Betul apa yang diceritakan Sheren?" tanya Pak Sandi dengan nada yang berwibawa. Meskipun perjodohan kami terkesan memaksakan kehendak, tapi sikap pria dewasa itu masih selalu sopan dan tidak terkesan mengintimidasi."Betul, Pak," aku-ku jantan.Katidak-adaan keluargaku membuat aku leluasa berbicara apapun yang ingin aku ungkapkan.
"Kalau Ibu memang tidak suka dengan apa yang saya lakukan, batalkan saja perjodohan kami. Saya akan menerima dengan senang hati," ujarku memberi umpan."Apa maksud kamu? Apa kamu mau bilang kalau kamu tidak suka sama Sheren, begitu?" tanya istri Pak Sandi terlihat tersinggung."Bila saya bilang iya?" Aku bertanya dengan tidak mempedulikan apapun resikonya nanti."Sheren sudah memberikan perasaannya sama kamu. Padahal, di luar sana banyak sekali pemuda yang ingin mempersunting dia. Tapi dia memilih kamu. Sombong sekali bilang tidak suka sama anakku. Apa kurangnya dia?" tanya mama Sheren lagi."Perasaan adalah sesuatu hal yang tidak bisa dipaksakan, Bu," ujarku lirih."Arya, sabarlah! Jangan mengambil keputusan dalam keadaan emosi. Kalian sudah menjalani hubungan sejauh ini. Jangan sampai membuat kami malu. Ini h
Hari yang ditunggu Doni tiba. Dengan penuh semangat, dirinya bersiap dari pagi. Sejak semalaman tidak bisa tidur karena sangat bahagia. Baju putih celana hitam dan juga sepatu kulit ia kenakan. Semuanya dibelikan Irsya. Begitupun dengan baju yang dipakai ibu juga kedua adiknya. Semuanya berasal dari Nia.Emak dan ketiga adiknya juga sudah dari pagi buta mempersiapkan diri untuk mengikuti acara wisuda yang terasa sangat spesial.Adik Doni yang pertama perempuan bernama Liska. Berusia sama dengan Ilma. Saat ini bekerja di sebuah apotek. Tidak melanjutkan sekolah setelah SMA karena ingin membantu keluarganya yang pas-pasan. Adik Doni yang kedua masih SMA, bisa sekolah dengan dibiayai Liska. Sementara yang terakhir duduk di bangku SMP.Mobil Nia terparkir di halaman rumah. Sengaja dipinjamkan agar Doni bisa leluasa mengajak keluarga yang ingin ia ajak.
"Din, kira-kira Si Ilma datang gak ya?" tanya Fani khawatir sambil menunggu jemputan."Kalau datang kenapa? Emang masih punya nyali buat berlagak?" tanya Dinda balik sembari memotong kuku."Kamu ikut yuk, Din," ajak Fani."Ogah ih. Kayak nyonya ma asisten nanti. Penampilan kamu sempurna gitu," tolak Dinda."Aku nanti kalau ketemu Ilma gimana? Masih trauma berurusan dengan gebetan orang,""Udah cangtip nanti kalau makan lauknya ganti! Malu-maluin kalau pesannya cuma sambal sama kerupuk!" ucap Dinda mengalihkan pembicaraan."Dinda apaan sih ah?""Lagian, kamu hobi banget makan sambel sama kerupuk sih, Fan? Habis dua bungkus lagi!""Din, aku ganti aja apa ya bajunya? Formal gini,"
POV ILMAAku masih bertahan menjalani hariku meski dengan perasaan hampa. Ingin rasanya keluar dari kampus ini dan pulang untuk menemani Umi di rumah. Karena aku merasa, sudah tidak ada lagi yang aku perjuangkan.Namun, Umi selalu mendorong aku untuk tetap bertahan. Kepada beliau, aku tidak menceritakan apapun yang tengah aku menimpaku saat ini. Karena bila beliau tahu, sudah pasti aku dimarahi."Sayang, kamu sudah sejauh ini berjalan. Tinggal sebentar lagi. Ayo, bertahanlah Ilma! Kalau ada masalah apapun, ceritakan sama Umi. Siapa tahu, Umi tahu solusinya," ujar Umi kala itu. Membuat aku tidak punya pilihan lain.Pekerjaanku dengan Pak Juan juga masih berjalan. Karena bagaimanapun, kami saling membutuhkan. Masalah Fani waktu itu, kami sudah sepakat untuk melupakan. Rasanya, aku berada di titik terhina dalam hidup. Ha
Sampai pembicaraan itu, Arya paham mengapa Mahira sering berada di bar. Rasa bersalahnya kian besar pada gadis itu. Dan bertekad akan menikahi Mahira setelah urusan perceraian dengan Sheren selesai. “Papanya sudah menikah, Bik?” “Belum. Entahlah, bapak memilih sering di Malaysia untuk urusan bisnisnya sejak cerai dengan ibu. Kasihan Mbak Mahira hidup hanya dengan saya. Itu sebabnya, dia memilih keluar kuliah.” Arya sangat paham, luka hati apa seperti apa yang dirasakan gadis itu. Pantas saja, mencoba mencari pelarian. Beruntung, Mahira bertemu dengan wanita baik yang selalu mencegahnya melakukan semua itu. Pikir Arya. ‘Ah, lagi-lagi, aku harus belajar banyak hal dari orang-orang yang aku anggap buruk.’ Batin Arya bergumam. Sebuah mobil berwarna putih memasuki halam rumah. Sorot lampunya mengenai wajah Arya. Mahira tertegun melihat seseorang yang sangat ia kenal berada di rumahnya. “Pasti Tante Lisa yang kasih tahu,” dengkusnya kesal. Dengan cepat ia turun. Arya pun tidak kalah k
Wanita itu belum mau menjawab. Terkadang, sorot mata bimbang diberikan saat menatap Arya.“Tolong katakan! Dimana Mahira saat ini,” desak Arya.“Kamu orang yang terhormat! Tapi, jangan selalu memandang kaum sepertiku dengan sebelah mata dan berpandangan buruk atas kami semua. Tidak semua yang berada di sini itu bahagia melakukan pekerjaan ataupun kebiasaan mereka. Bahkan, banyak diantaranya yang harus menyembunyikan tangisan setelah tertawa. Mahira sudah lama ingin menjadi anak yang rusak. Sepertinya, ia pada akhirnya memilihmu untuk hal ini. Karena merasa memberikan sesuatu yang paling berharga dari seorang wanita, kepada orang yang terhormat seperti kamu. Jika kamu memang se-terhormat itu maka, tanggung jawablah pada apa yang sudah kamu perbuat.” Selesai berkata demikian, wanita yang tidak Arya ketahui namanya itu mengambil secarik kertas dan menuliskan sesuatu. “Datanglah ke rumah ini. Semoga kamu tidak terlambat sampai sana,” ucapnya lagi seraya mengulurkan sebuah kertas.“Terima
“Sheren, hari ini aku ingin menjatuhkan talak pada kamu. Dan mulai hari ini, aku tidak akan menganggapmu sebagai istriku lagi,” ucap Arya lantang dan asal. Ia sudah lelah dengan semua yang terjadi.Setelahnya, pria itu berbalik pergi dan enggan untuk tahu tentang yang terjadi di rumah itu lagi.Di perjalanan pulang, emosinya masih meledak-ledak. Namun, satu hal yang ia syukuri, karena kini, dirinya bebas untuk meninggalkan Sheren. Perasaan lega sedikit terbit di hatinya.***“Jadi yang terjadi seperti itu?” tanya Hamdan ketika Arya telah selesai menceritakan apa yang baru saja diketahuinya. Ia langsung pulang dan urung mencari Mahira.“Iya, Pak. Makanya, kita sekarang tidak usah lagi berhubungan dengan Pak Sandi. Bapak keluar saja dari kantornya. Nanti, aku bantu buat CV kecil-kecilan bila Bapak masih ingin tetap menggeluti dunia itu.”“Tidak, Ya. Bapak ingin buat toko bangunan saja. Sudah pusing dengan rebutan tender. Bapak kenal banyak mandor. Dan juga relasi yang bisa ditawari untu
“Seharusnya, sebuah pernikahan itu terjadi karena sepasang lelaki dan wanita saling mencintai. Karena menjalin rumah tangga harus didasari oleh rasa cinta. Jika salah satu pihak terpaksa dengan itu, maka yang akan terjadi adalah keduanya saling tersakiti. Seperti saat ini. Pernikahan itu selamanya akan kita jalani, menikahlah dengan orang yang mencintaimu, Sheren. Itu yang selalu aku ucapkan sejak dulu. Aku mencoba menuruti apa yang kamu paksakan. Dan nyatanya, inilah hasilnya. Kami saling tersakiti,” jawab Arya tanpa rasa takut dan ragu. Ia lalu mengeluarkan sebuah buku tabungan beserta ATM. “Ambillah, pak Sandi. Titip buat Ibu. Sebagai balas jasa atas semuanya. Ini kunci mobil saya. Jika saya hitung, jumlahnya lebih dari apa yang Bapak berikan untuk kakak saya saat itu. Itu sudah saya hitung dengan nilai uang sekarang. Mengenai biaya kuliah saya, bapak saya bekerja pada Anda. Bukan meminta secara Cuma-Cuma. Jadi, tidak etis rasanya bila hal tersebut ikut diungkit. Namun, apabila Ibu
Arya lalu meninggalkan beberapa lembar uang di mejanya. Ia masih memiliki nomor Mahira. Mudah untuknya menemukan gadis itu lain waktu.Aku akan bertanggung jawab.Bunyi pesan yang dikirimkan Arya untuk Mahira.Sampai di rumahnya, ternyata Sandi sudah berada di sana dan terlihat habis membahas sesuatu penting dengan Hamdan. Tidak ketinggalan, Sasmita juga duduk di samping sang suami dengan raut wajah marah.Arya duduk dan langsung berbicara sebagai seorang yang ksatria. “Saya tahu, apa yang Pak Sandi bahas dengan bapak saya. Sejak awal semua keluarga inti kita sudah tahu, jika saya tidak menghendaki pernikahan ini. Maaf, Pak Sandi, dengan semua hal yang terjadi, termasuk kemewahan di pesta pernikahan kami, saya merasa sangat tersiksa. Tidak ada bahagia sama sekali. Jika saat ini saya harus memilih, silakan ambil yang ingin Bapak ambil dari keluarga saya. Asalkan saya bisa bebas dengan semua ini. Kami memang tidak sepadan dengan keluarga Anda. Seharusnya, pernikahan ini tidak akan perna
Mahira mengekor saja. Ia menjaga jarak dari Arya setelah sebelumnya bertukar nomor ponsel. Saat Arya menyalakan benda pipihnya, puluhan pesan dikirimkan Sheren. Namun, tidak dibaca sama sekali. Dirinya hanya menghidupkan ponsel untuk menyimpan nomor Mahira.“Kamu cari tempat lain dulu. Nanti, aku akan mengirimkan nomer kamar,” ujar ARya.‘Masalah CCTV, aku bisa menyelesaikan setelah ini jika itu berbahaya,’ gumam Arya dalam hati.“Kenapa mengajak aku? Bukankah Anda baru saja menikah, Pak Dosen?” tanya Mahira sopan.Dalam hati Arya bingung, mengapa perempuan itu bisa bersikap demikian, padahal Mahira seorang wanita nakal.“Aku tidak mencintai wanita yang kunikahi. Ia memaksa dan mengancam banyak hal, sehingga aku lelah membantah. Malam itu, malam dimana aku bersamamu, aku sedang frustasi. Karena dia benar-benar tidak mau menerima keputusanku untuk membatalkan rencana pernikahan. Dan kini, aku benar-benar merasa sudah tahan ….” Arya mulai bercerita.“Kalian pasangan yang serasi. Istri A
Dengan canggung, Arya menghadapi tamunya. Basa-basi menawarkan minum yang ia lakukan, hanya diabaikan saja oleh Sasmita.“Arya, kami mengikuti keinginan Sheren menikah dengan kamu, menghabiskan banyak uang. Dan kamu hanya menjadikan pernikahan ini sebagai lelucon, begitu?” tanya Sasmita gerap. Napasnya tersengal menahan emosi. “Andaikan kami membebankan semua biaya pesta pada kalian, sudah pasti kalian akan sangat keberatan,” sambungnya lagi.Arya tertunduk di hadapan Sasmita. Bibirnya tidak mampu mengucapkan sepatah katapun. Lebih tepatnya, ia memilih diam.Sasmita masih terus mengungkit banyak hal. Hingga sebuah kalimat menyakitkan yang diucapkannya, menjadi titik terakhir kesabaran Arya.“Jika bukan karena kami, kalian tidak akan menjadi orang terhormat. Ingat, ya, Arya! Bahkan, baju dalam yang kamu kenakan saat ini, itu semua berkat bantuan kami. Gaji enak dan posisi kamu menjadi dosen, itu tidak akan pernah kamu rasakan bila kami tidak mengulurkan bantuan pekerjaan pada bapakmu.
Sheren masih terbaring di atas kasur, saat Arya berpamitan pulang ke rumahnya. Ia membuka ponsel dan mengamati foto mereka berdua saat hari pertunangan. Di sana, Arya masih tersenyum pada kamera.“Semuanya gara-gara kamu, Fani. Jika Mas Arya tidak bertemu dengan kamu, maka dia tidak akan berpaling dari aku,” ujar Sheren geram. “Dan sekarang, kamu enak-enakan sudah hidup berbahagia dengan orang lain,” lanjutnya.Ia masih terngiang ucapan Arya tentang pilihan lebih baik dipenjara. Kini, Sheren seolah tidak memiliki senjata apapun untuk bisa membuat Arya membuka hatinya.“Sheren ….”Panggilan dari seseorang membuatnya bangun. “Mama …,” sapanya sambil cepat-cepat mengusap mata yang sembab.“Kamu menangis? Apa Arya melakukan sesuatu sama kamu?” tanya wanita bernama Sasmita khawatir.“Tidak, Mama ….” Sheren berusaha menutupi.“Lalu karena apa? Mama tidak pernah melihat kamu menangis seperti ini. Bahkan, setetes air mata tidak pernah jatuh di pipimu karena ulah mama dan papa. Mama yakin, ini
“Apa lagi? Mau yang kedua kalinya? Maaf, aku sudah berselera melakukan hal itu lagi,” jawab Mahira.“Sebenarnya kamu siapa?” tanya Arya penuh kebodohan.“Aku Mahira. Aku penunggu bar. Anggap saja seperti itu,” jawab Mahira lalu melangkah cepat pergi.Arya menghabiskan waktu dengan tidur di kamar hotel hingga malam tiba. Panggilan telepon berkali-kali dari Sheren tak membuatnya bangun dari lelapnya.Dan saat ia terjaga, Arya berada dalam kebimbangan hati. Satu sisi ia sadar telah menjadi suami Sheren dan harus melakukan kewajiban sebagaimana mestinya. Sisi lain , tak ada hasrat untuk hanya sekadar mendekati wanita yang memiliki paras hampir sempurna itu.Ketika sampai kediaman keluarga Sheren, semua orang telah terlelap. Hanya pembantu yang masih menunggunya pulang. “Mbak Sheren baru saja masuk kamar, Mas. Sebenarnya ingin menunggu Mas Arya lebih lama lagi. Tapi, ketiduran. Terus saya suruh beliau ke kamar saja, saya yang menunggu Mas Arya,” ucap wanita berumur tiga puluh lima tahun ya