Hari yang ditunggu Doni tiba. Dengan penuh semangat, dirinya bersiap dari pagi. Sejak semalaman tidak bisa tidur karena sangat bahagia. Baju putih celana hitam dan juga sepatu kulit ia kenakan. Semuanya dibelikan Irsya. Begitupun dengan baju yang dipakai ibu juga kedua adiknya. Semuanya berasal dari Nia.
Emak dan ketiga adiknya juga sudah dari pagi buta mempersiapkan diri untuk mengikuti acara wisuda yang terasa sangat spesial.
Adik Doni yang pertama perempuan bernama Liska. Berusia sama dengan Ilma. Saat ini bekerja di sebuah apotek. Tidak melanjutkan sekolah setelah SMA karena ingin membantu keluarganya yang pas-pasan. Adik Doni yang kedua masih SMA, bisa sekolah dengan dibiayai Liska. Sementara yang terakhir duduk di bangku SMP.
Mobil Nia terparkir di halaman rumah. Sengaja dipinjamkan agar Doni bisa leluasa mengajak keluarga yang ingin ia ajak.
"Din, kira-kira Si Ilma datang gak ya?" tanya Fani khawatir sambil menunggu jemputan."Kalau datang kenapa? Emang masih punya nyali buat berlagak?" tanya Dinda balik sembari memotong kuku."Kamu ikut yuk, Din," ajak Fani."Ogah ih. Kayak nyonya ma asisten nanti. Penampilan kamu sempurna gitu," tolak Dinda."Aku nanti kalau ketemu Ilma gimana? Masih trauma berurusan dengan gebetan orang,""Udah cangtip nanti kalau makan lauknya ganti! Malu-maluin kalau pesannya cuma sambal sama kerupuk!" ucap Dinda mengalihkan pembicaraan."Dinda apaan sih ah?""Lagian, kamu hobi banget makan sambel sama kerupuk sih, Fan? Habis dua bungkus lagi!""Din, aku ganti aja apa ya bajunya? Formal gini,"
POV ILMAAku masih bertahan menjalani hariku meski dengan perasaan hampa. Ingin rasanya keluar dari kampus ini dan pulang untuk menemani Umi di rumah. Karena aku merasa, sudah tidak ada lagi yang aku perjuangkan.Namun, Umi selalu mendorong aku untuk tetap bertahan. Kepada beliau, aku tidak menceritakan apapun yang tengah aku menimpaku saat ini. Karena bila beliau tahu, sudah pasti aku dimarahi."Sayang, kamu sudah sejauh ini berjalan. Tinggal sebentar lagi. Ayo, bertahanlah Ilma! Kalau ada masalah apapun, ceritakan sama Umi. Siapa tahu, Umi tahu solusinya," ujar Umi kala itu. Membuat aku tidak punya pilihan lain.Pekerjaanku dengan Pak Juan juga masih berjalan. Karena bagaimanapun, kami saling membutuhkan. Masalah Fani waktu itu, kami sudah sepakat untuk melupakan. Rasanya, aku berada di titik terhina dalam hidup. Ha
Aku segera menyalami Emak dengan sopan dan menampakkan sikap lemah lembut. Berusaha semaksimal mungkin agar Fani semakin panas."Emak apa kabar?" tanyaku basa-basi."Baik, Mbak Ilma," jawab Emak dengan raut wajah yang cemas. Entah apa yang dipikirkan."Mak datang ke sini naik apa?""Naik mobilnya Bu Nia." Hatiku yang kini jadi panas. Sejauh itukah kakak Fani melakukan pencitraan dengan barang mewahnya? Sengaja-kah membuat keluarga Mas Doni merasa berhutang jasa sama mereka?"Liska, kamu gak kerja?" Aku balik bertanya pada adik Mas Doni. Akan aku gunakan kesempatan sebelum Mbak Nia datang untuk membuat Fani meradang."Enggak, Mbak. 'Kan Mas Doni wisuda,""Ah, iya. Dasar aku. Eh, mau minum es dulu? Ayo aku traktir,"
Irsya mengajak keluarga Doni makan di rumah makan seafood. Adik-adik Doni terlihat sopan meskipun mereka berasal dari keluarga yang pas-pasan. Terlihat sekali emaknya sangat pandai dalam mendidik."Pak Irsya, Bu Nia, kami mengucapkan terimakasih yang banyak. Berkat kalian, anak saya bisa menyelesaikan kuliah," ujar emak Doni setelah mereka selesai makan."Iya, Bu, sama-sama. Kami juga mengucapkan terimakasih. Apalagi selama ini Doni selalu membantu kami mengantar kemana saja kami pergi. Rasanya tidak mau kehilangan dia, tapi mau bagaimana lagi 'kan? Bagaimanapun Doni kuliah untuk memperbaiki nasib. Kalau terus menjadi sopir ya tidak mungkin," jawab Irsya.Setelah selesai makan, mereka pulang ke rumah sendiri-sendiri. Fani kembali ke tempat kost dengan diantar mobil Irsya. Sementara Doni membawa keluarganya pulang."Tante gak pulang
Di dalam kamarnya, selepas Maghrib, memanfaatkan situasi sepi tanpa Dinda yang sedang keluar, Fani menatap sebuah boneka yang sudah dihias. Sedianya akan ia berikan pada Doni, tapi sadar kalau dirinya bukanlah siapa-siapa bagi pemuda itu.Masih ia ingat jelas sikap Ilma yang seakan sudah sangat dekat dengan keluarga Doni. Di saat itulah dirinya merasa tidak berarti apa-apa bila dibandingkan gadis itu.Fani memeluk erat boneka yang juga sudah ia beri parfum sembari berujar pelan, "biarlah jodohku akan datang sendiri suatu hari nanti. Aku tidak mau lelah memikirkan apa yang belum tentu ditakdirkan untuk aku." Ia membuang hiasan yang ada pada boneka. Dan meletakkan benda itu di atas kasur."Hai! Kelak ada yang lebih indah dari kamu yang akan menemani tidurku," ucap Fani seorang diri seperti orang gila. Senyum hambar terukir jelas, menggambarkan suasana hati yang tidak baik-baik saja
Pagi itu, seperti rencana awal, Doni mengembalikan mobil. Sekaligus berpamitan untuk yang terakhir kali pada majikannya. Kebetulan, keluarga kecil itu ada di rumah Irsya. "Saya minta maaf, Pak, Bu, bila selama bekerja banyak membuat salah. Dan banyak merepotkan Pak Irsya sejak dulu. Untuk kegaduhan yang pernah dilakukan teman saya, saya juga minta maaf," ujar Doni setelah memberikan kunci pada Irsya."Saya juga ya, Doni. Kalau selama kita bersama, banyak hal yang mungkin melukai perasaan kamu secara tidak disengaja," jawab Irsya dengan tenggorokan tercekat. Bertahun-tahun bersama, tentu menciptakan kesedihan yang besar saat harus menerima kenyataan akhirnya berpisah.Seandainya Irsya tidak membantu Doni kuliah, hal itu tidak akan terjadi. Doni akan selalu bersama dengan mereka dalam waktu yang lebih lama. Namun, Irsya tidak menyesali langkah yang ia ambil.
Di sebuah lapangan desa mereka yang di pinggirnya terdapat sebuah taman tempat anak kuda nongkrong di sore hari, menyaksikan pertandingan volly--Doni mengajak Ilma berbicara. Ada seorang penjual es degan di sana, jadi mereka berpura-pura sedang membeli itu.Mereka berdua duduk dalam jarak sekitar satu meter. Menatap jalanan yang cukup ramai lalu lalang kendaraan."Mau bicara apa lagi?" tanya Doni dingin tanpa melihat pada Ilma."Mas mau pergi?" tanya Ilma balik. Tatapannya tertuju pada pria di sampingan kanan."Dari mana kamu tahu?""Dari Liska,""Jadi, kamu sengaja tadi ke rumahku karena tahu aku akan pergi?" Ilma tidak menjawab.Hati Doni ada sedikit kekecewaan pada adiknya. Dengan cepat, diambilnya ponsel dan menekan nomer Liska."Halo, Mas! Ada apa?" tanya Li
Doni manatap gerbang tinggi yang menjulang di hadapan. Meskipun sempat ada drama yang membuat hatinya emosi ketika berangkat, tapi kini seakan sirna dengan sampainya dirinya di lingkungan pondok pesantren modern, tempat kerja baru untuk mengamalkan ilmu yang ia miliki.Dengan mantap menunjukkan kartu identitas pada satpam, lalu masuk ke dalam lingkungan yang terasa kental nuansa islaminya.Sujud syukur ia lakukan saat tiba di kamar. Berkali-kali melantunkan doa untuk Irsya dan keluarganya yang telah berjasa dalam karirnya saat ini.*Beberapa hari telah berlalu, Fani mulai bisa mengatasi hati untuk tidak terlalu mengingat Doni.Sekuat apapun aku mempertahankan rasa ini, hanya akan menyakiti diriku sendiri. Karena hanya aku yang memiliki rasa sama dia, dia enggak. SakitSelarik kalimat, ditulis Fani di ba
Sampai pembicaraan itu, Arya paham mengapa Mahira sering berada di bar. Rasa bersalahnya kian besar pada gadis itu. Dan bertekad akan menikahi Mahira setelah urusan perceraian dengan Sheren selesai. “Papanya sudah menikah, Bik?” “Belum. Entahlah, bapak memilih sering di Malaysia untuk urusan bisnisnya sejak cerai dengan ibu. Kasihan Mbak Mahira hidup hanya dengan saya. Itu sebabnya, dia memilih keluar kuliah.” Arya sangat paham, luka hati apa seperti apa yang dirasakan gadis itu. Pantas saja, mencoba mencari pelarian. Beruntung, Mahira bertemu dengan wanita baik yang selalu mencegahnya melakukan semua itu. Pikir Arya. ‘Ah, lagi-lagi, aku harus belajar banyak hal dari orang-orang yang aku anggap buruk.’ Batin Arya bergumam. Sebuah mobil berwarna putih memasuki halam rumah. Sorot lampunya mengenai wajah Arya. Mahira tertegun melihat seseorang yang sangat ia kenal berada di rumahnya. “Pasti Tante Lisa yang kasih tahu,” dengkusnya kesal. Dengan cepat ia turun. Arya pun tidak kalah k
Wanita itu belum mau menjawab. Terkadang, sorot mata bimbang diberikan saat menatap Arya.“Tolong katakan! Dimana Mahira saat ini,” desak Arya.“Kamu orang yang terhormat! Tapi, jangan selalu memandang kaum sepertiku dengan sebelah mata dan berpandangan buruk atas kami semua. Tidak semua yang berada di sini itu bahagia melakukan pekerjaan ataupun kebiasaan mereka. Bahkan, banyak diantaranya yang harus menyembunyikan tangisan setelah tertawa. Mahira sudah lama ingin menjadi anak yang rusak. Sepertinya, ia pada akhirnya memilihmu untuk hal ini. Karena merasa memberikan sesuatu yang paling berharga dari seorang wanita, kepada orang yang terhormat seperti kamu. Jika kamu memang se-terhormat itu maka, tanggung jawablah pada apa yang sudah kamu perbuat.” Selesai berkata demikian, wanita yang tidak Arya ketahui namanya itu mengambil secarik kertas dan menuliskan sesuatu. “Datanglah ke rumah ini. Semoga kamu tidak terlambat sampai sana,” ucapnya lagi seraya mengulurkan sebuah kertas.“Terima
“Sheren, hari ini aku ingin menjatuhkan talak pada kamu. Dan mulai hari ini, aku tidak akan menganggapmu sebagai istriku lagi,” ucap Arya lantang dan asal. Ia sudah lelah dengan semua yang terjadi.Setelahnya, pria itu berbalik pergi dan enggan untuk tahu tentang yang terjadi di rumah itu lagi.Di perjalanan pulang, emosinya masih meledak-ledak. Namun, satu hal yang ia syukuri, karena kini, dirinya bebas untuk meninggalkan Sheren. Perasaan lega sedikit terbit di hatinya.***“Jadi yang terjadi seperti itu?” tanya Hamdan ketika Arya telah selesai menceritakan apa yang baru saja diketahuinya. Ia langsung pulang dan urung mencari Mahira.“Iya, Pak. Makanya, kita sekarang tidak usah lagi berhubungan dengan Pak Sandi. Bapak keluar saja dari kantornya. Nanti, aku bantu buat CV kecil-kecilan bila Bapak masih ingin tetap menggeluti dunia itu.”“Tidak, Ya. Bapak ingin buat toko bangunan saja. Sudah pusing dengan rebutan tender. Bapak kenal banyak mandor. Dan juga relasi yang bisa ditawari untu
“Seharusnya, sebuah pernikahan itu terjadi karena sepasang lelaki dan wanita saling mencintai. Karena menjalin rumah tangga harus didasari oleh rasa cinta. Jika salah satu pihak terpaksa dengan itu, maka yang akan terjadi adalah keduanya saling tersakiti. Seperti saat ini. Pernikahan itu selamanya akan kita jalani, menikahlah dengan orang yang mencintaimu, Sheren. Itu yang selalu aku ucapkan sejak dulu. Aku mencoba menuruti apa yang kamu paksakan. Dan nyatanya, inilah hasilnya. Kami saling tersakiti,” jawab Arya tanpa rasa takut dan ragu. Ia lalu mengeluarkan sebuah buku tabungan beserta ATM. “Ambillah, pak Sandi. Titip buat Ibu. Sebagai balas jasa atas semuanya. Ini kunci mobil saya. Jika saya hitung, jumlahnya lebih dari apa yang Bapak berikan untuk kakak saya saat itu. Itu sudah saya hitung dengan nilai uang sekarang. Mengenai biaya kuliah saya, bapak saya bekerja pada Anda. Bukan meminta secara Cuma-Cuma. Jadi, tidak etis rasanya bila hal tersebut ikut diungkit. Namun, apabila Ibu
Arya lalu meninggalkan beberapa lembar uang di mejanya. Ia masih memiliki nomor Mahira. Mudah untuknya menemukan gadis itu lain waktu.Aku akan bertanggung jawab.Bunyi pesan yang dikirimkan Arya untuk Mahira.Sampai di rumahnya, ternyata Sandi sudah berada di sana dan terlihat habis membahas sesuatu penting dengan Hamdan. Tidak ketinggalan, Sasmita juga duduk di samping sang suami dengan raut wajah marah.Arya duduk dan langsung berbicara sebagai seorang yang ksatria. “Saya tahu, apa yang Pak Sandi bahas dengan bapak saya. Sejak awal semua keluarga inti kita sudah tahu, jika saya tidak menghendaki pernikahan ini. Maaf, Pak Sandi, dengan semua hal yang terjadi, termasuk kemewahan di pesta pernikahan kami, saya merasa sangat tersiksa. Tidak ada bahagia sama sekali. Jika saat ini saya harus memilih, silakan ambil yang ingin Bapak ambil dari keluarga saya. Asalkan saya bisa bebas dengan semua ini. Kami memang tidak sepadan dengan keluarga Anda. Seharusnya, pernikahan ini tidak akan perna
Mahira mengekor saja. Ia menjaga jarak dari Arya setelah sebelumnya bertukar nomor ponsel. Saat Arya menyalakan benda pipihnya, puluhan pesan dikirimkan Sheren. Namun, tidak dibaca sama sekali. Dirinya hanya menghidupkan ponsel untuk menyimpan nomor Mahira.“Kamu cari tempat lain dulu. Nanti, aku akan mengirimkan nomer kamar,” ujar ARya.‘Masalah CCTV, aku bisa menyelesaikan setelah ini jika itu berbahaya,’ gumam Arya dalam hati.“Kenapa mengajak aku? Bukankah Anda baru saja menikah, Pak Dosen?” tanya Mahira sopan.Dalam hati Arya bingung, mengapa perempuan itu bisa bersikap demikian, padahal Mahira seorang wanita nakal.“Aku tidak mencintai wanita yang kunikahi. Ia memaksa dan mengancam banyak hal, sehingga aku lelah membantah. Malam itu, malam dimana aku bersamamu, aku sedang frustasi. Karena dia benar-benar tidak mau menerima keputusanku untuk membatalkan rencana pernikahan. Dan kini, aku benar-benar merasa sudah tahan ….” Arya mulai bercerita.“Kalian pasangan yang serasi. Istri A
Dengan canggung, Arya menghadapi tamunya. Basa-basi menawarkan minum yang ia lakukan, hanya diabaikan saja oleh Sasmita.“Arya, kami mengikuti keinginan Sheren menikah dengan kamu, menghabiskan banyak uang. Dan kamu hanya menjadikan pernikahan ini sebagai lelucon, begitu?” tanya Sasmita gerap. Napasnya tersengal menahan emosi. “Andaikan kami membebankan semua biaya pesta pada kalian, sudah pasti kalian akan sangat keberatan,” sambungnya lagi.Arya tertunduk di hadapan Sasmita. Bibirnya tidak mampu mengucapkan sepatah katapun. Lebih tepatnya, ia memilih diam.Sasmita masih terus mengungkit banyak hal. Hingga sebuah kalimat menyakitkan yang diucapkannya, menjadi titik terakhir kesabaran Arya.“Jika bukan karena kami, kalian tidak akan menjadi orang terhormat. Ingat, ya, Arya! Bahkan, baju dalam yang kamu kenakan saat ini, itu semua berkat bantuan kami. Gaji enak dan posisi kamu menjadi dosen, itu tidak akan pernah kamu rasakan bila kami tidak mengulurkan bantuan pekerjaan pada bapakmu.
Sheren masih terbaring di atas kasur, saat Arya berpamitan pulang ke rumahnya. Ia membuka ponsel dan mengamati foto mereka berdua saat hari pertunangan. Di sana, Arya masih tersenyum pada kamera.“Semuanya gara-gara kamu, Fani. Jika Mas Arya tidak bertemu dengan kamu, maka dia tidak akan berpaling dari aku,” ujar Sheren geram. “Dan sekarang, kamu enak-enakan sudah hidup berbahagia dengan orang lain,” lanjutnya.Ia masih terngiang ucapan Arya tentang pilihan lebih baik dipenjara. Kini, Sheren seolah tidak memiliki senjata apapun untuk bisa membuat Arya membuka hatinya.“Sheren ….”Panggilan dari seseorang membuatnya bangun. “Mama …,” sapanya sambil cepat-cepat mengusap mata yang sembab.“Kamu menangis? Apa Arya melakukan sesuatu sama kamu?” tanya wanita bernama Sasmita khawatir.“Tidak, Mama ….” Sheren berusaha menutupi.“Lalu karena apa? Mama tidak pernah melihat kamu menangis seperti ini. Bahkan, setetes air mata tidak pernah jatuh di pipimu karena ulah mama dan papa. Mama yakin, ini
“Apa lagi? Mau yang kedua kalinya? Maaf, aku sudah berselera melakukan hal itu lagi,” jawab Mahira.“Sebenarnya kamu siapa?” tanya Arya penuh kebodohan.“Aku Mahira. Aku penunggu bar. Anggap saja seperti itu,” jawab Mahira lalu melangkah cepat pergi.Arya menghabiskan waktu dengan tidur di kamar hotel hingga malam tiba. Panggilan telepon berkali-kali dari Sheren tak membuatnya bangun dari lelapnya.Dan saat ia terjaga, Arya berada dalam kebimbangan hati. Satu sisi ia sadar telah menjadi suami Sheren dan harus melakukan kewajiban sebagaimana mestinya. Sisi lain , tak ada hasrat untuk hanya sekadar mendekati wanita yang memiliki paras hampir sempurna itu.Ketika sampai kediaman keluarga Sheren, semua orang telah terlelap. Hanya pembantu yang masih menunggunya pulang. “Mbak Sheren baru saja masuk kamar, Mas. Sebenarnya ingin menunggu Mas Arya lebih lama lagi. Tapi, ketiduran. Terus saya suruh beliau ke kamar saja, saya yang menunggu Mas Arya,” ucap wanita berumur tiga puluh lima tahun ya