Doni manatap gerbang tinggi yang menjulang di hadapan. Meskipun sempat ada drama yang membuat hatinya emosi ketika berangkat, tapi kini seakan sirna dengan sampainya dirinya di lingkungan pondok pesantren modern, tempat kerja baru untuk mengamalkan ilmu yang ia miliki.
Dengan mantap menunjukkan kartu identitas pada satpam, lalu masuk ke dalam lingkungan yang terasa kental nuansa islaminya.
Sujud syukur ia lakukan saat tiba di kamar. Berkali-kali melantunkan doa untuk Irsya dan keluarganya yang telah berjasa dalam karirnya saat ini.
*
Beberapa hari telah berlalu, Fani mulai bisa mengatasi hati untuk tidak terlalu mengingat Doni.
Sekuat apapun aku mempertahankan rasa ini, hanya akan menyakiti diriku sendiri. Karena hanya aku yang memiliki rasa sama dia, dia enggak. Sakit
Selarik kalimat, ditulis Fani di ba
Alex menggaruk kepalanya lagi. "Udah, aku masuk," pamit Fani. "Di ruang tamu, Fan!" perintah Dinda. "Iyaaaaaa ...." Fani masuk dan duduk di kursi sembari berselancar di dunia maya. "Mau apa?" tanya Dinda ketus. "Aku mau balikin uang kamu, Din. Tapi baru separuhnya gak papa, ya?" ujar Alex malu-malu. "Sumpah deh, ya, kamu tuh gak pantes banget ngelakuin kayak gitu sementara penampilan kamu sok cool banget. Pakai ngajakin makan di caffe yang lagi hits, lagi." "Maaf, Dinda, aku 'kan juga pengin ngerasain jalan sama cewek kayak gimana." "Ya tapi modal, dong!" seru Dinda kesal. "Din, jangan teriak-teriak, aku malu
Hari itu, Yuda harus menelan kecewa karena tidak berhasil mengajak Fani pergi.Esok paginya, di dalam kelas, pemuda itu bersikap aneh. Semenjak tragedi skripsi, dirinya masih suka mengolok-olok Fani. Namun, tidak dengan kali ini."Fani datang, kamu kenapa diam?" tanya Billy, rekannya selain Alex.Yuda hanya melirik sekilas. Kembali lagi menatap buku yang ada di hadapannya.Alex juga tidak berani menggoda. Semenjak kejadian kencan dengan biaya hutang yang diketahui Yuda, pemuda itu tidak banyak bicara.Usai jam kuliah, Fani masih sibuk dengan barang dagangan. Dikerumuni banyak teman sekelasnya."Sah, ya, Fan?""Ok, besok lagi, ya?""Fan, aku pesen blash on jangan lupa!""Iya,"&nbs
"Aku juga baru tahu, kalau kamu itu busuk. Apa yang kamu ucapkan tidak seperti yang kamu tampilkan. Dan tentang cewek murahan, lebih murahan mana, dia yang dijemput terhormat dengan seorang gadis yang setiap hari datang ke rumah pria yang berstatus duda. Berdua dalam satu rumah kosong dan aku mendengar sendiri kamu dipanggil, Sayang," suara Arya yang keluar dari kelas dekat jalan yang mereka lewati, mengagetkan gadis berjilbab besar itu."Pak Arya!" ucap Fani kaget. Sementara Ilma sudah merah padam wajahnya."Iya, aku mendengarnya. Bicaramu terlalu keras Ilma, aku jadi mendengar."Ilma terlihat malu dan tidak bisa menjawab."Aku juga tahu, kamu bekerjasama melakukan hal yang dilarang oleh peraturan kampus. Kalau ini sampai ketahuan, beasiswa kamu terancam dicabut. Jadi, Berhati-hatilah dalam bersikap. Atau pekerjaan kamu dalam membuat skripsi--""Saya minta maaf, Pak. Saya akui, aku salah. Maafkan saya salah," potong Ilma khawatir Arya akan memberi
Canggung. Itu yang dirasakan Fani saat berdua bersama Yuda. Rasanya aneh, terbiasa bertengkar dan saling ejek, kini harus berada di atas motor yang sama. Sepanjang jalan, mereka hanya terdiam. Hingga motor yang mereka kendarai sampai di pelataran sebuah tempat yang biasa digunakan anak muda nongkrong bila malam hari. Terutama di malam minggu. Namun, karena malam itu malam Rabu jadi, keadaan tidak terlalu ramai.Yuda meraih lengan Fani, mengajaknya berjalan menuju tempat pemesanan makanan.“Lepasin, Yuda! Apaan sih, kamu pegang-pegang aku?” protes Fani keras. Untungnya, suara music di caffe lebih keras dari suara Fani, sehingga pengunjung yang masih di sekitar tempat parkir tidak mendengar teriakan Fani.“Di sini lagi ada gosip penculikan. Aku memastikan saja kamu aman,” bisik Yuda di telinga Fani, membuat gadis itu menjauhkan diri dari teman berantemnya.“Alasan aj
“Fan, setelah lulus nanti, kamu mau kerja atau mau nerusin dagang?” tanya Yuda saat keduanya sudah sama-sama selesai tertawa. Bakso bakar yang ada di hadapan Fani sudah habis tak bersisa. Sementara kentang goreng yang ada di hadapan Yuda masih utuh.“Gak tahu. Belum kepikiran. Akum au di rumah aja dulu. Menikmati waktu bersama keluarga aku. Kamu sendiri?”“Entahlah. Aku ingin pergi ke luar negeri setelah dapat ijazah langsung.” Fani memicingkan kedua mata setelah mendengar pernyataan Yuda.“Kenapa begitu? Kamu ‘kan udah bertahun-tahun jauh dari keluarga kamu. Merantau dari ujung selatan Jawa Tengah ke sini. Gak pengin gitu sejenak menghabiskan waktu dengan bapak, ibu, adik atau kakak kamu?” Sepasang mata elang Yuda mendadak redup mendengar pertanyaan Fani. Sesak tiba-tiba merasuk dalam dada.“Seseorang yang aku ingin temui sudah tidak ada la
Fani terbaring di atas tempat tidur. Menatap ruangan yang gelap karena lamounkamar sudah dimatikan. Sejenak kemudian melonjak. "Din," panggilnya pada Dinda berharap sahabatnya belum tidur. "Apa?" jawab Dinda agak ketus. "Lhah, kamu belum tidur, Din?" "Belum!" "Kenapa?" "Ya belum ngantuk-lah," "Kok tadi aku masuk kamu matikan lampu? Jadinya aku sholat di kamar Anya." "Lha kenapa gak sholat di sini?" Mereka saling bincang di kegelapan malam yang disengaja. "Soalnya takut ganggu kamu!" "Gimana tadi perginya? Jadi beli kemeja?" "Eh, iya, y
Makanya, lawan-lah!""Sama kamu, ya?" ucap Yuda dengan nada bercanda. Namun, yang sebenarnya dirinya berharap, Fani menjadi orang terdekatnya."Gak mau! Jauh. 'Kan deket sama pantai selatan. Takut diculik dayang-dayangnya!""Mereka lebih takut mendengar suara kamu, Fani!""Kenapa sekarang kamu jinak?""Karena--""Jangan bilang, kamu jatuh cinta sama aku!" Yuda terdiam mendengar tuduhan Fani yang benar adanya. Sementata gadis yang terlihat manis dengan pasmina warna ungunya, menatap pada segerombolan anak yang berebut bola untuk ditendang."Fani ...," panggil Yuda lirih."Hemh,""Kamu gak pengin menikah muda?" tanya Yuda memberanikan diri.
Alex dan Dinda masih saling diam. Netra pemuda itu tidak lepas dari memandang gadis bermata sipit yang terlihat sangat tidak suka dengannya. Fani dan Yuda ikut bersikap bingung menghadapi tingkah dua rekannya itu.Yuda tampak melihat ponselnya kemudian berujar, “Fan, temani aku pesan minum yang lain, yuk.”“Itu ada minuman. Masih penuh, kenapa pesan lagi? Mubadzir. Aku lupa, gak boleh minum kopi sama dokter,” ujar Yuda.“ya udah, sana sendirian aja. Aku masih nyaman duduk,” tolak Fani.“Please-lah, Fan, aku gak mau sendirian,” bujuk Yuda,”Dinda yang mencium gelagat aneh dari pemuda yang belakangan ini dekat dengan Fani itu berujar, “jangan mau, Fan! Eh, Yuda, emangnya aku gak tahu ya, kalau kamu sebenarnya ingin meninggalkan aku berdua dengan cowok gak punya modal itu?” Mendengar Dinda berkata, Yuda seakan mati ku
Sampai pembicaraan itu, Arya paham mengapa Mahira sering berada di bar. Rasa bersalahnya kian besar pada gadis itu. Dan bertekad akan menikahi Mahira setelah urusan perceraian dengan Sheren selesai. “Papanya sudah menikah, Bik?” “Belum. Entahlah, bapak memilih sering di Malaysia untuk urusan bisnisnya sejak cerai dengan ibu. Kasihan Mbak Mahira hidup hanya dengan saya. Itu sebabnya, dia memilih keluar kuliah.” Arya sangat paham, luka hati apa seperti apa yang dirasakan gadis itu. Pantas saja, mencoba mencari pelarian. Beruntung, Mahira bertemu dengan wanita baik yang selalu mencegahnya melakukan semua itu. Pikir Arya. ‘Ah, lagi-lagi, aku harus belajar banyak hal dari orang-orang yang aku anggap buruk.’ Batin Arya bergumam. Sebuah mobil berwarna putih memasuki halam rumah. Sorot lampunya mengenai wajah Arya. Mahira tertegun melihat seseorang yang sangat ia kenal berada di rumahnya. “Pasti Tante Lisa yang kasih tahu,” dengkusnya kesal. Dengan cepat ia turun. Arya pun tidak kalah k
Wanita itu belum mau menjawab. Terkadang, sorot mata bimbang diberikan saat menatap Arya.“Tolong katakan! Dimana Mahira saat ini,” desak Arya.“Kamu orang yang terhormat! Tapi, jangan selalu memandang kaum sepertiku dengan sebelah mata dan berpandangan buruk atas kami semua. Tidak semua yang berada di sini itu bahagia melakukan pekerjaan ataupun kebiasaan mereka. Bahkan, banyak diantaranya yang harus menyembunyikan tangisan setelah tertawa. Mahira sudah lama ingin menjadi anak yang rusak. Sepertinya, ia pada akhirnya memilihmu untuk hal ini. Karena merasa memberikan sesuatu yang paling berharga dari seorang wanita, kepada orang yang terhormat seperti kamu. Jika kamu memang se-terhormat itu maka, tanggung jawablah pada apa yang sudah kamu perbuat.” Selesai berkata demikian, wanita yang tidak Arya ketahui namanya itu mengambil secarik kertas dan menuliskan sesuatu. “Datanglah ke rumah ini. Semoga kamu tidak terlambat sampai sana,” ucapnya lagi seraya mengulurkan sebuah kertas.“Terima
“Sheren, hari ini aku ingin menjatuhkan talak pada kamu. Dan mulai hari ini, aku tidak akan menganggapmu sebagai istriku lagi,” ucap Arya lantang dan asal. Ia sudah lelah dengan semua yang terjadi.Setelahnya, pria itu berbalik pergi dan enggan untuk tahu tentang yang terjadi di rumah itu lagi.Di perjalanan pulang, emosinya masih meledak-ledak. Namun, satu hal yang ia syukuri, karena kini, dirinya bebas untuk meninggalkan Sheren. Perasaan lega sedikit terbit di hatinya.***“Jadi yang terjadi seperti itu?” tanya Hamdan ketika Arya telah selesai menceritakan apa yang baru saja diketahuinya. Ia langsung pulang dan urung mencari Mahira.“Iya, Pak. Makanya, kita sekarang tidak usah lagi berhubungan dengan Pak Sandi. Bapak keluar saja dari kantornya. Nanti, aku bantu buat CV kecil-kecilan bila Bapak masih ingin tetap menggeluti dunia itu.”“Tidak, Ya. Bapak ingin buat toko bangunan saja. Sudah pusing dengan rebutan tender. Bapak kenal banyak mandor. Dan juga relasi yang bisa ditawari untu
“Seharusnya, sebuah pernikahan itu terjadi karena sepasang lelaki dan wanita saling mencintai. Karena menjalin rumah tangga harus didasari oleh rasa cinta. Jika salah satu pihak terpaksa dengan itu, maka yang akan terjadi adalah keduanya saling tersakiti. Seperti saat ini. Pernikahan itu selamanya akan kita jalani, menikahlah dengan orang yang mencintaimu, Sheren. Itu yang selalu aku ucapkan sejak dulu. Aku mencoba menuruti apa yang kamu paksakan. Dan nyatanya, inilah hasilnya. Kami saling tersakiti,” jawab Arya tanpa rasa takut dan ragu. Ia lalu mengeluarkan sebuah buku tabungan beserta ATM. “Ambillah, pak Sandi. Titip buat Ibu. Sebagai balas jasa atas semuanya. Ini kunci mobil saya. Jika saya hitung, jumlahnya lebih dari apa yang Bapak berikan untuk kakak saya saat itu. Itu sudah saya hitung dengan nilai uang sekarang. Mengenai biaya kuliah saya, bapak saya bekerja pada Anda. Bukan meminta secara Cuma-Cuma. Jadi, tidak etis rasanya bila hal tersebut ikut diungkit. Namun, apabila Ibu
Arya lalu meninggalkan beberapa lembar uang di mejanya. Ia masih memiliki nomor Mahira. Mudah untuknya menemukan gadis itu lain waktu.Aku akan bertanggung jawab.Bunyi pesan yang dikirimkan Arya untuk Mahira.Sampai di rumahnya, ternyata Sandi sudah berada di sana dan terlihat habis membahas sesuatu penting dengan Hamdan. Tidak ketinggalan, Sasmita juga duduk di samping sang suami dengan raut wajah marah.Arya duduk dan langsung berbicara sebagai seorang yang ksatria. “Saya tahu, apa yang Pak Sandi bahas dengan bapak saya. Sejak awal semua keluarga inti kita sudah tahu, jika saya tidak menghendaki pernikahan ini. Maaf, Pak Sandi, dengan semua hal yang terjadi, termasuk kemewahan di pesta pernikahan kami, saya merasa sangat tersiksa. Tidak ada bahagia sama sekali. Jika saat ini saya harus memilih, silakan ambil yang ingin Bapak ambil dari keluarga saya. Asalkan saya bisa bebas dengan semua ini. Kami memang tidak sepadan dengan keluarga Anda. Seharusnya, pernikahan ini tidak akan perna
Mahira mengekor saja. Ia menjaga jarak dari Arya setelah sebelumnya bertukar nomor ponsel. Saat Arya menyalakan benda pipihnya, puluhan pesan dikirimkan Sheren. Namun, tidak dibaca sama sekali. Dirinya hanya menghidupkan ponsel untuk menyimpan nomor Mahira.“Kamu cari tempat lain dulu. Nanti, aku akan mengirimkan nomer kamar,” ujar ARya.‘Masalah CCTV, aku bisa menyelesaikan setelah ini jika itu berbahaya,’ gumam Arya dalam hati.“Kenapa mengajak aku? Bukankah Anda baru saja menikah, Pak Dosen?” tanya Mahira sopan.Dalam hati Arya bingung, mengapa perempuan itu bisa bersikap demikian, padahal Mahira seorang wanita nakal.“Aku tidak mencintai wanita yang kunikahi. Ia memaksa dan mengancam banyak hal, sehingga aku lelah membantah. Malam itu, malam dimana aku bersamamu, aku sedang frustasi. Karena dia benar-benar tidak mau menerima keputusanku untuk membatalkan rencana pernikahan. Dan kini, aku benar-benar merasa sudah tahan ….” Arya mulai bercerita.“Kalian pasangan yang serasi. Istri A
Dengan canggung, Arya menghadapi tamunya. Basa-basi menawarkan minum yang ia lakukan, hanya diabaikan saja oleh Sasmita.“Arya, kami mengikuti keinginan Sheren menikah dengan kamu, menghabiskan banyak uang. Dan kamu hanya menjadikan pernikahan ini sebagai lelucon, begitu?” tanya Sasmita gerap. Napasnya tersengal menahan emosi. “Andaikan kami membebankan semua biaya pesta pada kalian, sudah pasti kalian akan sangat keberatan,” sambungnya lagi.Arya tertunduk di hadapan Sasmita. Bibirnya tidak mampu mengucapkan sepatah katapun. Lebih tepatnya, ia memilih diam.Sasmita masih terus mengungkit banyak hal. Hingga sebuah kalimat menyakitkan yang diucapkannya, menjadi titik terakhir kesabaran Arya.“Jika bukan karena kami, kalian tidak akan menjadi orang terhormat. Ingat, ya, Arya! Bahkan, baju dalam yang kamu kenakan saat ini, itu semua berkat bantuan kami. Gaji enak dan posisi kamu menjadi dosen, itu tidak akan pernah kamu rasakan bila kami tidak mengulurkan bantuan pekerjaan pada bapakmu.
Sheren masih terbaring di atas kasur, saat Arya berpamitan pulang ke rumahnya. Ia membuka ponsel dan mengamati foto mereka berdua saat hari pertunangan. Di sana, Arya masih tersenyum pada kamera.“Semuanya gara-gara kamu, Fani. Jika Mas Arya tidak bertemu dengan kamu, maka dia tidak akan berpaling dari aku,” ujar Sheren geram. “Dan sekarang, kamu enak-enakan sudah hidup berbahagia dengan orang lain,” lanjutnya.Ia masih terngiang ucapan Arya tentang pilihan lebih baik dipenjara. Kini, Sheren seolah tidak memiliki senjata apapun untuk bisa membuat Arya membuka hatinya.“Sheren ….”Panggilan dari seseorang membuatnya bangun. “Mama …,” sapanya sambil cepat-cepat mengusap mata yang sembab.“Kamu menangis? Apa Arya melakukan sesuatu sama kamu?” tanya wanita bernama Sasmita khawatir.“Tidak, Mama ….” Sheren berusaha menutupi.“Lalu karena apa? Mama tidak pernah melihat kamu menangis seperti ini. Bahkan, setetes air mata tidak pernah jatuh di pipimu karena ulah mama dan papa. Mama yakin, ini
“Apa lagi? Mau yang kedua kalinya? Maaf, aku sudah berselera melakukan hal itu lagi,” jawab Mahira.“Sebenarnya kamu siapa?” tanya Arya penuh kebodohan.“Aku Mahira. Aku penunggu bar. Anggap saja seperti itu,” jawab Mahira lalu melangkah cepat pergi.Arya menghabiskan waktu dengan tidur di kamar hotel hingga malam tiba. Panggilan telepon berkali-kali dari Sheren tak membuatnya bangun dari lelapnya.Dan saat ia terjaga, Arya berada dalam kebimbangan hati. Satu sisi ia sadar telah menjadi suami Sheren dan harus melakukan kewajiban sebagaimana mestinya. Sisi lain , tak ada hasrat untuk hanya sekadar mendekati wanita yang memiliki paras hampir sempurna itu.Ketika sampai kediaman keluarga Sheren, semua orang telah terlelap. Hanya pembantu yang masih menunggunya pulang. “Mbak Sheren baru saja masuk kamar, Mas. Sebenarnya ingin menunggu Mas Arya lebih lama lagi. Tapi, ketiduran. Terus saya suruh beliau ke kamar saja, saya yang menunggu Mas Arya,” ucap wanita berumur tiga puluh lima tahun ya