“Fan, setelah lulus nanti, kamu mau kerja atau mau nerusin dagang?” tanya Yuda saat keduanya sudah sama-sama selesai tertawa. Bakso bakar yang ada di hadapan Fani sudah habis tak bersisa. Sementara kentang goreng yang ada di hadapan Yuda masih utuh.
“Gak tahu. Belum kepikiran. Akum au di rumah aja dulu. Menikmati waktu bersama keluarga aku. Kamu sendiri?”
“Entahlah. Aku ingin pergi ke luar negeri setelah dapat ijazah langsung.” Fani memicingkan kedua mata setelah mendengar pernyataan Yuda.
“Kenapa begitu? Kamu ‘kan udah bertahun-tahun jauh dari keluarga kamu. Merantau dari ujung selatan Jawa Tengah ke sini. Gak pengin gitu sejenak menghabiskan waktu dengan bapak, ibu, adik atau kakak kamu?” Sepasang mata elang Yuda mendadak redup mendengar pertanyaan Fani. Sesak tiba-tiba merasuk dalam dada.
“Seseorang yang aku ingin temui sudah tidak ada la
Fani terbaring di atas tempat tidur. Menatap ruangan yang gelap karena lamounkamar sudah dimatikan. Sejenak kemudian melonjak. "Din," panggilnya pada Dinda berharap sahabatnya belum tidur. "Apa?" jawab Dinda agak ketus. "Lhah, kamu belum tidur, Din?" "Belum!" "Kenapa?" "Ya belum ngantuk-lah," "Kok tadi aku masuk kamu matikan lampu? Jadinya aku sholat di kamar Anya." "Lha kenapa gak sholat di sini?" Mereka saling bincang di kegelapan malam yang disengaja. "Soalnya takut ganggu kamu!" "Gimana tadi perginya? Jadi beli kemeja?" "Eh, iya, y
Makanya, lawan-lah!""Sama kamu, ya?" ucap Yuda dengan nada bercanda. Namun, yang sebenarnya dirinya berharap, Fani menjadi orang terdekatnya."Gak mau! Jauh. 'Kan deket sama pantai selatan. Takut diculik dayang-dayangnya!""Mereka lebih takut mendengar suara kamu, Fani!""Kenapa sekarang kamu jinak?""Karena--""Jangan bilang, kamu jatuh cinta sama aku!" Yuda terdiam mendengar tuduhan Fani yang benar adanya. Sementata gadis yang terlihat manis dengan pasmina warna ungunya, menatap pada segerombolan anak yang berebut bola untuk ditendang."Fani ...," panggil Yuda lirih."Hemh,""Kamu gak pengin menikah muda?" tanya Yuda memberanikan diri.
Alex dan Dinda masih saling diam. Netra pemuda itu tidak lepas dari memandang gadis bermata sipit yang terlihat sangat tidak suka dengannya. Fani dan Yuda ikut bersikap bingung menghadapi tingkah dua rekannya itu.Yuda tampak melihat ponselnya kemudian berujar, “Fan, temani aku pesan minum yang lain, yuk.”“Itu ada minuman. Masih penuh, kenapa pesan lagi? Mubadzir. Aku lupa, gak boleh minum kopi sama dokter,” ujar Yuda.“ya udah, sana sendirian aja. Aku masih nyaman duduk,” tolak Fani.“Please-lah, Fan, aku gak mau sendirian,” bujuk Yuda,”Dinda yang mencium gelagat aneh dari pemuda yang belakangan ini dekat dengan Fani itu berujar, “jangan mau, Fan! Eh, Yuda, emangnya aku gak tahu ya, kalau kamu sebenarnya ingin meninggalkan aku berdua dengan cowok gak punya modal itu?” Mendengar Dinda berkata, Yuda seakan mati ku
“Kasih suara kuntilak aja,” saran Fani terdengar konyol.“Bantuin yuk, Fan,” ajak Yuda.”“Rumah kamu ‘kan jauh,”“Akan jadi dekat kalau itu juga jadi rumah kamu,” kelakar Yuda.“Maksudnya?” tanya Fani bingung.“Menikahlah dengan aku,” pinta Yuda. Sorot matanya terlihat serius.“Jangan ngaco!” jawab Fani asal.Hati Yuda bimbang. Apa yang ia katakana benar-benar tulus dari dalam hatinya. Namun oleh Fani, selalu dianggap lelucon.“Kamu benar-benar tidak percaya atau kamu memang tidak punya rasa sama aku?” Yuda bertanya tepat pada sasarannya. Fani yang semula cuek mendaqdak salah tingkah.Mereka saling diam. Fani bingung akan menjelaskan apa. Jauh dalam lubuk hatinya masih ada nama Doni. Namun i
Fani dan Yuda tidak langsung pulang ketika mata kuliah selesai. Kadua sejoli itu memilih ke perpustakaan untuk mengerjakan tugas dari dosen.Sikap Yuda masih sama. Berusaha selalu dekat dengan gadis yang disukainya. Bahkan di dalam perpustakaan-pun dirinya masih sering menggoda Fani dengan tangan usinya. Kadang menarik tangan, kadang mengusap kepala. Sementara Fani, selalu menghindar dengan kesal.“Ehem. Mas Doni sudah tidak ada, sekarang punya target lain.” Sebuah suara dari lorong buku mengagetkan keduanya. Ilma di sana smebari memilih bacaan yang ingin ia ambil.“Maksud kamu?” tanya Fani bingung.“Aku gak nyangka ya, kamu semurahan itu, Fan,” lirih Ilma saat melewati Yuda dan Fani yang duduk di atas lantai dengan tumpukan buku di hadapan mereka.“Jaga mulut kamu! Malu dengan jilbab besar yang kamu kenakan!” Yuda bangkit dan menga
Mengabaikan kata hati yang sangat tidak menginginkan ke rumah dosennya, juga kekhawatiran dari ibunya, ilma gegas berangkat. Langit terlihat gelap gulita, tanda hujan akan segera turun. Di tengah perjalanan, suara petir terdengar sahut menyahut. Menambah suasana mencekam dalam hati gadis itu.“Ya Allah,” gumam Ilma lirih di atas kendaraan.Sudah menjadi kebiasaan, Ilma selalu masuk setelah mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Namun, kali itu dirinya berdiri di depan pintu agak lama. Sampai ponselnya kembali berdering.“Saya sudah di depan pintu, Pak,” ujar Ilma sesaat setelah mengangkat telepon.Tak berapa lama, daun yang terbuat dari kayu itu terdengar berderit. Sesosok pria berdiri di hadapan Ilma dengan menatap tajam padanya.Hujan turun dengan derasnya diiringi suara petir yang menggelegar. Dengan langkah pelan, Ilma masuk. Kakinya manapaki lantai yan
Ilma terisak dengan segala kepedihannya. Sementara Juan, terlihat puas sudah merenggut paksa kehormatan gadis yang meringkuk di sampingnya dengan perasaan hancur.“Ilma,” panggil Juan lirih. Tangannya memegang pundak Ilma.“Jangan sentuh aku!” teriak Ilma keras. Berusaha bangkit menahan sakit di salah satu anggota tubuhnya. Namun,Dengan tertatih bangkit dalam keadaan tertutup selimut, menahan rasa sakit pada salah satu anggota tubuhnya. Bercak darah terlihat di atas seprei putih. Gadis malang itu merangkak di atas lantai memungut bajunya yang berserakan. Dengan linangan air mata, Ilma memakai semua untuk menutup tubuh yang telah dianggapnya kotor. Netranya menelisik mencari dimana penutup kepalanya berada, tapi tidak ada. “Ilma, aku akan mengantarmu,” ujar Jun yang telah duduk dengan memakai celana pendek yang ia kenakan seblumnya.“Jangan sebut
“Ilma katanya gak pernah berangkat sejak ketemu kita di perpustakaan,” ujar Yuda suatu siang saat mengemasi barang dagangan Fani.“Oh, ya? Kenapa?” tanya Fani heran.“Mana aku tahu,”“Aneh, dia ‘kan mahasiswa super aktif,” gumam Fani. “Jangan-jangan terjadi sesuatu hal,” tambahnya lagi.“Maksud kamu?” tanya Yuda tidak paham.“Meninggal dalam kamar kost jangan-jangan!” Mata Fani membelalak usai mengatakan demikianYuda langsung mendorong kening gadis itu menggunakan ujung tangannya. “Jangan asal kalau bicara,” ucap Yuda.“Lhah soalnya aneh gitu,”“Kalau dia meninggal, kamu orang pertama kali yang akan dia temui, hahahahaha ….”“Yuda, jangan ngaco!”
Sampai pembicaraan itu, Arya paham mengapa Mahira sering berada di bar. Rasa bersalahnya kian besar pada gadis itu. Dan bertekad akan menikahi Mahira setelah urusan perceraian dengan Sheren selesai. “Papanya sudah menikah, Bik?” “Belum. Entahlah, bapak memilih sering di Malaysia untuk urusan bisnisnya sejak cerai dengan ibu. Kasihan Mbak Mahira hidup hanya dengan saya. Itu sebabnya, dia memilih keluar kuliah.” Arya sangat paham, luka hati apa seperti apa yang dirasakan gadis itu. Pantas saja, mencoba mencari pelarian. Beruntung, Mahira bertemu dengan wanita baik yang selalu mencegahnya melakukan semua itu. Pikir Arya. ‘Ah, lagi-lagi, aku harus belajar banyak hal dari orang-orang yang aku anggap buruk.’ Batin Arya bergumam. Sebuah mobil berwarna putih memasuki halam rumah. Sorot lampunya mengenai wajah Arya. Mahira tertegun melihat seseorang yang sangat ia kenal berada di rumahnya. “Pasti Tante Lisa yang kasih tahu,” dengkusnya kesal. Dengan cepat ia turun. Arya pun tidak kalah k
Wanita itu belum mau menjawab. Terkadang, sorot mata bimbang diberikan saat menatap Arya.“Tolong katakan! Dimana Mahira saat ini,” desak Arya.“Kamu orang yang terhormat! Tapi, jangan selalu memandang kaum sepertiku dengan sebelah mata dan berpandangan buruk atas kami semua. Tidak semua yang berada di sini itu bahagia melakukan pekerjaan ataupun kebiasaan mereka. Bahkan, banyak diantaranya yang harus menyembunyikan tangisan setelah tertawa. Mahira sudah lama ingin menjadi anak yang rusak. Sepertinya, ia pada akhirnya memilihmu untuk hal ini. Karena merasa memberikan sesuatu yang paling berharga dari seorang wanita, kepada orang yang terhormat seperti kamu. Jika kamu memang se-terhormat itu maka, tanggung jawablah pada apa yang sudah kamu perbuat.” Selesai berkata demikian, wanita yang tidak Arya ketahui namanya itu mengambil secarik kertas dan menuliskan sesuatu. “Datanglah ke rumah ini. Semoga kamu tidak terlambat sampai sana,” ucapnya lagi seraya mengulurkan sebuah kertas.“Terima
“Sheren, hari ini aku ingin menjatuhkan talak pada kamu. Dan mulai hari ini, aku tidak akan menganggapmu sebagai istriku lagi,” ucap Arya lantang dan asal. Ia sudah lelah dengan semua yang terjadi.Setelahnya, pria itu berbalik pergi dan enggan untuk tahu tentang yang terjadi di rumah itu lagi.Di perjalanan pulang, emosinya masih meledak-ledak. Namun, satu hal yang ia syukuri, karena kini, dirinya bebas untuk meninggalkan Sheren. Perasaan lega sedikit terbit di hatinya.***“Jadi yang terjadi seperti itu?” tanya Hamdan ketika Arya telah selesai menceritakan apa yang baru saja diketahuinya. Ia langsung pulang dan urung mencari Mahira.“Iya, Pak. Makanya, kita sekarang tidak usah lagi berhubungan dengan Pak Sandi. Bapak keluar saja dari kantornya. Nanti, aku bantu buat CV kecil-kecilan bila Bapak masih ingin tetap menggeluti dunia itu.”“Tidak, Ya. Bapak ingin buat toko bangunan saja. Sudah pusing dengan rebutan tender. Bapak kenal banyak mandor. Dan juga relasi yang bisa ditawari untu
“Seharusnya, sebuah pernikahan itu terjadi karena sepasang lelaki dan wanita saling mencintai. Karena menjalin rumah tangga harus didasari oleh rasa cinta. Jika salah satu pihak terpaksa dengan itu, maka yang akan terjadi adalah keduanya saling tersakiti. Seperti saat ini. Pernikahan itu selamanya akan kita jalani, menikahlah dengan orang yang mencintaimu, Sheren. Itu yang selalu aku ucapkan sejak dulu. Aku mencoba menuruti apa yang kamu paksakan. Dan nyatanya, inilah hasilnya. Kami saling tersakiti,” jawab Arya tanpa rasa takut dan ragu. Ia lalu mengeluarkan sebuah buku tabungan beserta ATM. “Ambillah, pak Sandi. Titip buat Ibu. Sebagai balas jasa atas semuanya. Ini kunci mobil saya. Jika saya hitung, jumlahnya lebih dari apa yang Bapak berikan untuk kakak saya saat itu. Itu sudah saya hitung dengan nilai uang sekarang. Mengenai biaya kuliah saya, bapak saya bekerja pada Anda. Bukan meminta secara Cuma-Cuma. Jadi, tidak etis rasanya bila hal tersebut ikut diungkit. Namun, apabila Ibu
Arya lalu meninggalkan beberapa lembar uang di mejanya. Ia masih memiliki nomor Mahira. Mudah untuknya menemukan gadis itu lain waktu.Aku akan bertanggung jawab.Bunyi pesan yang dikirimkan Arya untuk Mahira.Sampai di rumahnya, ternyata Sandi sudah berada di sana dan terlihat habis membahas sesuatu penting dengan Hamdan. Tidak ketinggalan, Sasmita juga duduk di samping sang suami dengan raut wajah marah.Arya duduk dan langsung berbicara sebagai seorang yang ksatria. “Saya tahu, apa yang Pak Sandi bahas dengan bapak saya. Sejak awal semua keluarga inti kita sudah tahu, jika saya tidak menghendaki pernikahan ini. Maaf, Pak Sandi, dengan semua hal yang terjadi, termasuk kemewahan di pesta pernikahan kami, saya merasa sangat tersiksa. Tidak ada bahagia sama sekali. Jika saat ini saya harus memilih, silakan ambil yang ingin Bapak ambil dari keluarga saya. Asalkan saya bisa bebas dengan semua ini. Kami memang tidak sepadan dengan keluarga Anda. Seharusnya, pernikahan ini tidak akan perna
Mahira mengekor saja. Ia menjaga jarak dari Arya setelah sebelumnya bertukar nomor ponsel. Saat Arya menyalakan benda pipihnya, puluhan pesan dikirimkan Sheren. Namun, tidak dibaca sama sekali. Dirinya hanya menghidupkan ponsel untuk menyimpan nomor Mahira.“Kamu cari tempat lain dulu. Nanti, aku akan mengirimkan nomer kamar,” ujar ARya.‘Masalah CCTV, aku bisa menyelesaikan setelah ini jika itu berbahaya,’ gumam Arya dalam hati.“Kenapa mengajak aku? Bukankah Anda baru saja menikah, Pak Dosen?” tanya Mahira sopan.Dalam hati Arya bingung, mengapa perempuan itu bisa bersikap demikian, padahal Mahira seorang wanita nakal.“Aku tidak mencintai wanita yang kunikahi. Ia memaksa dan mengancam banyak hal, sehingga aku lelah membantah. Malam itu, malam dimana aku bersamamu, aku sedang frustasi. Karena dia benar-benar tidak mau menerima keputusanku untuk membatalkan rencana pernikahan. Dan kini, aku benar-benar merasa sudah tahan ….” Arya mulai bercerita.“Kalian pasangan yang serasi. Istri A
Dengan canggung, Arya menghadapi tamunya. Basa-basi menawarkan minum yang ia lakukan, hanya diabaikan saja oleh Sasmita.“Arya, kami mengikuti keinginan Sheren menikah dengan kamu, menghabiskan banyak uang. Dan kamu hanya menjadikan pernikahan ini sebagai lelucon, begitu?” tanya Sasmita gerap. Napasnya tersengal menahan emosi. “Andaikan kami membebankan semua biaya pesta pada kalian, sudah pasti kalian akan sangat keberatan,” sambungnya lagi.Arya tertunduk di hadapan Sasmita. Bibirnya tidak mampu mengucapkan sepatah katapun. Lebih tepatnya, ia memilih diam.Sasmita masih terus mengungkit banyak hal. Hingga sebuah kalimat menyakitkan yang diucapkannya, menjadi titik terakhir kesabaran Arya.“Jika bukan karena kami, kalian tidak akan menjadi orang terhormat. Ingat, ya, Arya! Bahkan, baju dalam yang kamu kenakan saat ini, itu semua berkat bantuan kami. Gaji enak dan posisi kamu menjadi dosen, itu tidak akan pernah kamu rasakan bila kami tidak mengulurkan bantuan pekerjaan pada bapakmu.
Sheren masih terbaring di atas kasur, saat Arya berpamitan pulang ke rumahnya. Ia membuka ponsel dan mengamati foto mereka berdua saat hari pertunangan. Di sana, Arya masih tersenyum pada kamera.“Semuanya gara-gara kamu, Fani. Jika Mas Arya tidak bertemu dengan kamu, maka dia tidak akan berpaling dari aku,” ujar Sheren geram. “Dan sekarang, kamu enak-enakan sudah hidup berbahagia dengan orang lain,” lanjutnya.Ia masih terngiang ucapan Arya tentang pilihan lebih baik dipenjara. Kini, Sheren seolah tidak memiliki senjata apapun untuk bisa membuat Arya membuka hatinya.“Sheren ….”Panggilan dari seseorang membuatnya bangun. “Mama …,” sapanya sambil cepat-cepat mengusap mata yang sembab.“Kamu menangis? Apa Arya melakukan sesuatu sama kamu?” tanya wanita bernama Sasmita khawatir.“Tidak, Mama ….” Sheren berusaha menutupi.“Lalu karena apa? Mama tidak pernah melihat kamu menangis seperti ini. Bahkan, setetes air mata tidak pernah jatuh di pipimu karena ulah mama dan papa. Mama yakin, ini
“Apa lagi? Mau yang kedua kalinya? Maaf, aku sudah berselera melakukan hal itu lagi,” jawab Mahira.“Sebenarnya kamu siapa?” tanya Arya penuh kebodohan.“Aku Mahira. Aku penunggu bar. Anggap saja seperti itu,” jawab Mahira lalu melangkah cepat pergi.Arya menghabiskan waktu dengan tidur di kamar hotel hingga malam tiba. Panggilan telepon berkali-kali dari Sheren tak membuatnya bangun dari lelapnya.Dan saat ia terjaga, Arya berada dalam kebimbangan hati. Satu sisi ia sadar telah menjadi suami Sheren dan harus melakukan kewajiban sebagaimana mestinya. Sisi lain , tak ada hasrat untuk hanya sekadar mendekati wanita yang memiliki paras hampir sempurna itu.Ketika sampai kediaman keluarga Sheren, semua orang telah terlelap. Hanya pembantu yang masih menunggunya pulang. “Mbak Sheren baru saja masuk kamar, Mas. Sebenarnya ingin menunggu Mas Arya lebih lama lagi. Tapi, ketiduran. Terus saya suruh beliau ke kamar saja, saya yang menunggu Mas Arya,” ucap wanita berumur tiga puluh lima tahun ya