Alex dan Dinda masih saling diam. Netra pemuda itu tidak lepas dari memandang gadis bermata sipit yang terlihat sangat tidak suka dengannya. Fani dan Yuda ikut bersikap bingung menghadapi tingkah dua rekannya itu.
Yuda tampak melihat ponselnya kemudian berujar, “Fan, temani aku pesan minum yang lain, yuk.”
“Itu ada minuman. Masih penuh, kenapa pesan lagi? Mubadzir. Aku lupa, gak boleh minum kopi sama dokter,” ujar Yuda.
“ya udah, sana sendirian aja. Aku masih nyaman duduk,” tolak Fani.
“Please-lah, Fan, aku gak mau sendirian,” bujuk Yuda,”
Dinda yang mencium gelagat aneh dari pemuda yang belakangan ini dekat dengan Fani itu berujar, “jangan mau, Fan! Eh, Yuda, emangnya aku gak tahu ya, kalau kamu sebenarnya ingin meninggalkan aku berdua dengan cowok gak punya modal itu?” Mendengar Dinda berkata, Yuda seakan mati ku
“Kasih suara kuntilak aja,” saran Fani terdengar konyol.“Bantuin yuk, Fan,” ajak Yuda.”“Rumah kamu ‘kan jauh,”“Akan jadi dekat kalau itu juga jadi rumah kamu,” kelakar Yuda.“Maksudnya?” tanya Fani bingung.“Menikahlah dengan aku,” pinta Yuda. Sorot matanya terlihat serius.“Jangan ngaco!” jawab Fani asal.Hati Yuda bimbang. Apa yang ia katakana benar-benar tulus dari dalam hatinya. Namun oleh Fani, selalu dianggap lelucon.“Kamu benar-benar tidak percaya atau kamu memang tidak punya rasa sama aku?” Yuda bertanya tepat pada sasarannya. Fani yang semula cuek mendaqdak salah tingkah.Mereka saling diam. Fani bingung akan menjelaskan apa. Jauh dalam lubuk hatinya masih ada nama Doni. Namun i
Fani dan Yuda tidak langsung pulang ketika mata kuliah selesai. Kadua sejoli itu memilih ke perpustakaan untuk mengerjakan tugas dari dosen.Sikap Yuda masih sama. Berusaha selalu dekat dengan gadis yang disukainya. Bahkan di dalam perpustakaan-pun dirinya masih sering menggoda Fani dengan tangan usinya. Kadang menarik tangan, kadang mengusap kepala. Sementara Fani, selalu menghindar dengan kesal.“Ehem. Mas Doni sudah tidak ada, sekarang punya target lain.” Sebuah suara dari lorong buku mengagetkan keduanya. Ilma di sana smebari memilih bacaan yang ingin ia ambil.“Maksud kamu?” tanya Fani bingung.“Aku gak nyangka ya, kamu semurahan itu, Fan,” lirih Ilma saat melewati Yuda dan Fani yang duduk di atas lantai dengan tumpukan buku di hadapan mereka.“Jaga mulut kamu! Malu dengan jilbab besar yang kamu kenakan!” Yuda bangkit dan menga
Mengabaikan kata hati yang sangat tidak menginginkan ke rumah dosennya, juga kekhawatiran dari ibunya, ilma gegas berangkat. Langit terlihat gelap gulita, tanda hujan akan segera turun. Di tengah perjalanan, suara petir terdengar sahut menyahut. Menambah suasana mencekam dalam hati gadis itu.“Ya Allah,” gumam Ilma lirih di atas kendaraan.Sudah menjadi kebiasaan, Ilma selalu masuk setelah mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Namun, kali itu dirinya berdiri di depan pintu agak lama. Sampai ponselnya kembali berdering.“Saya sudah di depan pintu, Pak,” ujar Ilma sesaat setelah mengangkat telepon.Tak berapa lama, daun yang terbuat dari kayu itu terdengar berderit. Sesosok pria berdiri di hadapan Ilma dengan menatap tajam padanya.Hujan turun dengan derasnya diiringi suara petir yang menggelegar. Dengan langkah pelan, Ilma masuk. Kakinya manapaki lantai yan
Ilma terisak dengan segala kepedihannya. Sementara Juan, terlihat puas sudah merenggut paksa kehormatan gadis yang meringkuk di sampingnya dengan perasaan hancur.“Ilma,” panggil Juan lirih. Tangannya memegang pundak Ilma.“Jangan sentuh aku!” teriak Ilma keras. Berusaha bangkit menahan sakit di salah satu anggota tubuhnya. Namun,Dengan tertatih bangkit dalam keadaan tertutup selimut, menahan rasa sakit pada salah satu anggota tubuhnya. Bercak darah terlihat di atas seprei putih. Gadis malang itu merangkak di atas lantai memungut bajunya yang berserakan. Dengan linangan air mata, Ilma memakai semua untuk menutup tubuh yang telah dianggapnya kotor. Netranya menelisik mencari dimana penutup kepalanya berada, tapi tidak ada. “Ilma, aku akan mengantarmu,” ujar Jun yang telah duduk dengan memakai celana pendek yang ia kenakan seblumnya.“Jangan sebut
“Ilma katanya gak pernah berangkat sejak ketemu kita di perpustakaan,” ujar Yuda suatu siang saat mengemasi barang dagangan Fani.“Oh, ya? Kenapa?” tanya Fani heran.“Mana aku tahu,”“Aneh, dia ‘kan mahasiswa super aktif,” gumam Fani. “Jangan-jangan terjadi sesuatu hal,” tambahnya lagi.“Maksud kamu?” tanya Yuda tidak paham.“Meninggal dalam kamar kost jangan-jangan!” Mata Fani membelalak usai mengatakan demikianYuda langsung mendorong kening gadis itu menggunakan ujung tangannya. “Jangan asal kalau bicara,” ucap Yuda.“Lhah soalnya aneh gitu,”“Kalau dia meninggal, kamu orang pertama kali yang akan dia temui, hahahahaha ….”“Yuda, jangan ngaco!”
Arya tertegun dengan keterangan yang disampaikan dokter. Sorot matanya memancarkan sikap tidak percaya.“Maaf, Dok, dari mana Dokter menyimpulkan hal ini? Maksud saya, pasien mengatakan sendiri atau?” tanya Arya bingung.“Tadi pasien mengigau. Seperti memarahi seseorang. Mengumpat-umpat. Entah kenapa, hati saya tergerak untuk bertanya bagian tubuh mana saja yang sakit, karena dari dia marah-marah tadi, sepertinya ada hubungannya dengan peristiwa itu. Pasien menangis dan, ada, tadi kejadian yang akhirnya saya tergerak untuk memeriksa bagian kewanitaan dia. Saya rasa tidak etis menceritakan sama Anda dengan detail,” jawab dokter membuat Arya semakin kaget.“Terima kasih, Dok.”“Silakan, sampaikan pada pihak keluarga. Langkah ke depannya seperti apa, karena ini baru dugaan saya. Maksdunya, bisa jadi mereka melakukan atas dasar suka sama suka atau, yah, untuk leb
Pak Arya bicara apa?” Dalam kondisi lemahnya, Ilma masih bisa berakting pura-pura tidak tahu.“Berhenti bersikap seperti itu, Ilma! Berhenti terlihat baik di hadapan semua orang. Kamu bisa menipu teman-teman kamu dengan sikap yang kamu tampakkan. Tapi tidak dengan aku. Aku tidak ingin bingung dan harus mengurus kamu di sini. Makanya, bicaralah sejujurnya agar masalah ini selesai.” Hati Arya yang terlanjur hilang respect terhadap Ilma, membuatnya tega berkata demikian. “Maaf, kata-kataku terdengar menyakitkan tapi, kamu orang yang tidak punya teman dekat. Saat ini, kamu mengalami masalah yang berat. Aku sebagai orang yang tahu karena diberitahu dokter, tidak ingin mengurusnya seorang diri. Kamu itu makhluk sosial, Ilma. Sekalipun kamu cerdas, ada hal-hal yang tidak bisa kamu tanggung dan kamu lakuka, serta kamu hadapi sendiri. Beritahu aku yang sebenarnya, atau aku akan mencari tahu dimana orang tua kamu dan menyerahkan hal ini sama mereka
“Aku terpaksa, Pak. Aku terpaksa bekerja pada dia karena butuh uang untuk tambahan biaya kuliah. Aku pun tidak nyaman berada dalam satu rumah dengan dia, tapi sekali lagi, aku harus melakukan itu,” teriak Ilma.“Apa yang kamu kerjakan?” tanya Arya sembari menatap tajam. Ilma terdiam lagi. Masih ada rasa takut hendak jujur pada Arya. “Baiklah, kalau kamu tidak mau mengatakan itu. Tidak masalah. Aku memang sudah lama kehilangan respect sama kamu. Mengenal kamu membuatku paham, bila hati seseorang terkadang tidak sesuai dengan penampilan luarnya,” lanjut Arya lagi. Membuat hati Ilma terpukul.“Pak Arya kenapa begitu membenci aku? Apa karena Bapak ada rasa sama Fani?”“Itu bukan urusan kamu, Ilma. Berhentilah mengurusi Fani. Dia bahagia dengan hidupnya sendiri. Sementara kamu? Terjatuh oleh perilakumu sendiri. Dan dalam keadaan yang sungguh memprihatinkan. Masihkah dalam