"Sepertinya kita butuh baby sitter," ujar Satria tiba-tiba saat baru menyelesaikan sarapan. Ayra yang sedang menyusui Arka meliriknya. Sedangkan Arsya berada dalam kereta dorong tidak jauh dari mereka. "Tidak perlu, Mas. Aku masih sanggup mengurusi si kembar." "Aku kasihan energimu banyak terbagi, Ayra. Siangnya mengurusi si kembar, malamnya melayaniku." Satria akui hasratnya tinggi. Dan sering melakukan itu. "Setidaknya kalau ada baby sitter kamu tidak terlalu capek." Jadi jika malam dirinya meminta jatah stok energinya banyak. "Juga kalau libur aku bisa kapanpun bermesraan denganmu, karna si kembar ada yang jaga." Selain bermesraan malam-malam, Satria juga ingin bebas melakukannya saat siang libur bekerja dan tidak kemana-mana. "Kamu juga pake sufor ya, biar gak terlalu cape menyusui." Memberi ASI itu tidak mudah. Apalagi untuk bayi kembar. Seperti tidak ada habisnya. Satria kasihan melihat Ayra seperti kelelahan. Energinya sering dikuras. Kalau dibantu susu formula, dia tidak
Satria baru tiba di kantor sudah ditunggui Sasya di depan ruangan. Wanita itu bersandar pada dinding kaca dan tersenyum menyambutnya. "Pagi," sapanya ramah. Satria sejenak berhenti menarik napas kecil, sepagi ini dia sudah di sini. Dia lalu membuka pintu. Sasya hanya diliriknya sekilas. Satria malu serta tak enak karna diperhatikan para karyawan yang sama baru datang dan baru duduk di kubikelnya masing-masing. Sasya ikut ke dalam ruangan. Melihat lelaki itu duduk di kursinya dan bersiap bekerja. "Aku bawain sarapan buat kamu." Dia meletakkan kantong makanan yang sejak tadi dipegangnya. "Bawa kembali. Saya sudah sarapan.""Ya ampun, Satria gak usah bicara kaku begitu. Makanan ini kamu simpan saja buat nanti kalau lapar." Dia memaksa. Lalu duduk di hadapannya. Satria sudah mencoba abai tapi Sasya tak peduli. "Aku mau kerja, sebaiknya kamu keluar dari sini. Kamu juga harus bekerja di kantormu." Lelaki itu mulai jengah. "Aku mau membahas pekerjaan denganmu, tentang proyek itu. Aku
Wandy tertawa lagi melihat Haris yang begitu menantang. "Kamu pikir siapa? Punya kamu 500 juta, hah? Dan uang itu harus ada hari ini juga!" Orang tua Tia ketar-ketir mendengarnya. Tia sendiri semakin sedih. Uang 500 juta bukanlah sedikit. Haris menghela napas panjang. Tidak mudah untuk memiliki Tia, tapi untuk gadis sebaik dia mungkin itu harga yang pantas dikeluarkannya dari pada membiarkan gadis itu dimiliki lelaki lain, yang tidak lebih baik darinya. Tia dijadikan istri ke tiga, tidak mudah menjalani pernikahan seperti itu, dia bisa tersiksa. Haris sudah merasakan sendiri, memiliki pasangan lebih dari satu tidaklah enak, banyak yang jadi korban dan berujung kehilangan. "Saya siap membayar hari ini juga. Tapi bubarkan dulu pernikahan ini." Dia rela merogoh tabungan agar Tia bisa bebas. Cukup dulu dia mengabaikan Ayra yang sebenarnya membutuhkan uang tidak sedikit untuk mengatasi infertilitasnya, agar bisa memiliki anak. Tapi dia terlalu sayang mengeluarkan uang untuk kebaikkan t
Kedua mempelai tersenyum senang. Haris mengulurkan tangan, Tia mengerti menyambutnya dan cium tangan. Tidak pernah menyangka akan berakhir seperti ini. Dari yang awalnya pernikahan tidak dinginkan bersama Wandy, sekarang dia suka rela menjadi istri Haris. Dirinya sadar kelamaan memberi jawaban saat Haris melamar, padahal lelaki inilah yang terbaik. Kini mereka telah sah. Benarlah kata pepatah, kalau sudah jodoh tidak ke mana. Akan tetap dipersatukan walau rintangan menghadang. Acara selesai. Para saksi pamit pulang keluar dari Masjid. Orang tua Tia mengucapkan rasa terimakasih pada pak penghulu yang telah sabar menghadapi yang terjadi. Tokoh masyarakat itu pun juga pamit dengan mengucapkan salam. "Mari ke rumah Ibu." Warni mengajak Haris ikut serta bersamanya. "Iya, ayo ke rumah Bapak.""Ah, iya." Lelaki itu menanggapi singkat. Lalu diliriknya Tia di samping yang berdiri malu-malu. Gadis itu terperanjat Haris meraih tangannya menggenggam hangat. Dan bertambah tersipu. "Ayo, ke mo
Haris tenang, alih-alih kecewa ibunya justru sumringah mengetahui dia sudah menikahi Tia, walau mendadak dan sempat membuat terkejut. Reaksinya berbalik tidak seperti ketika mengetahui Satria menikahi Ayra. Saat itu ibunya marah dan mereka ditolak. Tapi ahirnya keduanya diterima seiring berjalannya waktu dan Satria menjelaskan kesalah pahaman. Marni mengajak mereka masuk. Haris berjalan terakhir membawakan koper baju Tia. Dendy berseru memanggilnya. "Ayaah!" Haris melepaskan pegangan koper tersebut memeluk anak itu mencium-cium pucuk kepalanya dan menggendong. Satu sama lainnya saling merindukan. "Anak Ayah, maafin Ayah baru pulang." Mutia tersenyum, kini dia akan bersamanya setiap hari di sini. Tidak hanya sebagai pengasuh tapi juga sebagai ibu sambung. Dia sudah siap dan menyayangi anak itu. "Pernikahannya mendadak. Kenapa tidak beri tahu Ibu? Sayang sekali Ibu jadi tidak mempersiapkan." Saat duduk berkumpul Marni mempertanyakan hal tersebut. Tia menunduk, hawatir ibu mertua mar
Saat Haris membuka mata, Tia masih terlelap. Lelaki itu tersenyum memperhatikan sambil menepikan rambutnya ke telinga. Kini dia tak sendiri lagi saat bangun tidur, ada pasangan yang menemani. Dua tahun merasa kesepian, sekarang sudah berakhir dengan menikah lagi. Tia terbangun dan menoleh, wajah Haris begitu dekat sekali dengannya. Gadis itu masih malu-malu, terlebih ingat semalam. "Mas, sudah subuh?" Arah mata lalu diarahkan pada selimut dan bertanya itu. "Sudah." "Kalau begitu aku mau mandi." "Tetap di sini dulu." Haris mendekat dan memeluk. Mengentikannya yang hendak bangun. Hangat terasa tubuh keduanya saat menempel. Haris mengecup-ngecup pipinya, lalu turun ke bahu. Tangannya juga tidak diam menggerayangi bagian-bagian yang semalam disambangi. Seluruh tubuh Tia masih baru dan kencang. Haris sangat menyukai tubuh orisinil gadis itu, yang sudah dia ambil kegadisannya tadi malam. Tia mendesis menyukai sentuhan tersebut. Haris kemudian berpindah di atas. Menunduk memagut bibir
Haris dan Tia terkejut, sontak berlepas. Tia menarik selimut menutupi tubuh telanjangnya begitupun Haris ikut bersembunyi di baliknya. Menutupi sampai perut. Tisa orang lain yang tidak boleh melihat auratnya. Dan lelaki itu geram, bisa-bisanya dia ada di sini dan berani ke kamar ini tanpa mengetuk pintu dulu. "Sembarangan kamu, Tisa. Lancang memasuki rumah orang dan masuk kamarku?!" Haris memarahinya. Dia tidak boleh ke sini. "Kenapa? Terkejut? perbuatan busuk kalian ketahuan?" Tisa menyerang. "Jadi itu alasanmu mempekerjakan baby sitter muda supaya bisa kamu tiduri seperti ini? Menjijikkan!" Dia terus melayangkan tuduhan-tuduhan. Haris mengusap wajah dan menghela napas atas ketidak tahuan Tisa. Sementara Tia di bawah selimut jantungnya berdegup kencang, malu dipergoki sedang mesra berduaan. "Dasar pezina kalian!" Tisa mendekat ke ranjang menunjuk-nunjuk Tia yang tidak mau sekedar memperlihatkan wajah, semua ditutupi selimut. "Heh, kamu Tia, tidak tahu malu. Berhijab tapi berzina
"Kemarin Tisa datang lagi ke rumah Mas Haris. Bikin gaduh." Ayra menceritakan itu pada suaminya sambil memangku Arsya. "Bikin gaduh gimana?" Satria bertanya sambil meraih cangkir kopi."Mas Haris sedang gituan dengan Tia, diganggu Tisa." Kopi yang baru diminum tersembur mendengarnya. Lantas mengusap-ngusap bibir sendiri. "Apa?" Ayra terkekeh melihat ekspresinya yang terkejut sampai-sampai menyemburkan air kopi. "Maksud kamu mereka sedang anuan diketahui, Tisa?" Ayra mengangguk menahan senyum. "Lagi enak-enakkan?" tanyanya lagi."Iya, Mas. Mereka sedang bermesraan di kamar. Telanj4ng gak pake apa-apa.""Kok bisa?" "Tisa masuk ke kamar itu tanpa ketuk pintu dulu." "Wah, gak sopan. Sembarangan. Malu banget pasti.""Iya ... Itu juga Mas Haris keliatan malu sekali dan Tia gak berani ke luar kamar." "Lagian mau ngapain coba Tisa ke sana. Ganggu orang aja." "Dia mau ketemu anaknya, tapi gak ada karna kita lagi kondangan. Dia masuk ke rumah gitu aja karna gak ada yang jawab, terus deng
"Sasya sudah lahiran. Bayinya laki-laki," ujar Ayra. Satria mengeryit heran dari mana istrinya tahu soal ini? Dia sendiri saja tidak tahu. "Kok kamu tau?""Tau aja." Ayra berkata santai. "Tau dari mana? Temenan aja engga," cecar Satria. Mereka hanya tau wanita itu sakit perut saat di rumah sakit. Tidak tahu jenis kelamin bayi. Tapi Ayra? Entah dari siapa bisa tahu. "Bilang tau dari siapa?" tanya Satria lagi sedikit jengkel karna Ayra tidak mau buru-buru menjawab, malah memakan kue manis di hadapan dengan santainya. "Jawab, Ayra. Jangan buat aku penasaran," tekannya. "Gak mau." Satria menyentak pinggangnya hingga merapat. "Katakan." "Apaan sih, Mas.""Atau aku cium nih." Ayra masih diam saja malah senyum-senyum. Dia tidak takut dicium. "Atau aku melakukannya di sini. Buka baju kamu." Ayra melotot mendengar itu. Ini di ruang tamu. Satria tidak peduli, justru menyeringai dan mencoba membuka kancing bajunya. "Jangan, Mas!" Ayra pun menyingkirkan tangan tersebut. "Bagaimana kal
Sasya kesakitan, terus meraung menangis. "Sakit, Maa." Pada mamanya dia mengadu. "Padahal belum HPL-nya kok perut kamu sudah sakit aja." Mamanya pun heran. Dia sibuk mengusap keringat putrinya itu. Ibu mertua juga mengusap-usap perut Sasya. Alex cemas dan merasa bersalah. Gara-gara dia memaksa pergi tadi, Sasya jadi kesakitan. Dia menunduk memegangi tangan istrinya. Tapi oleh Sasya ditepis. "Pergi!" Bahkan dia diusir. "Sayang, gak boleh begitu," tegur mamanya. "Alex suami kamu. Dia sudah baik mau nemenin kamu periksa kandungan.""Ini semua gara-gara dia, Mama. Perut aku jadi sakit. Dia menyeretku pulang!" "Apa? Kamu benar melakukan itu Alex?" Mama Alex pun tidak diam saja mendengar itu. "Aku minta maaf. Aku cuma ngajak dia jalan cepet tadi.""Harusnya tidak boleh seperti itu, Alex!" Mamanya membentaknya. "Aku tau aku salah. Aku emosi tadi karna Sasya nyentuh pipi Satria." "Kalian bertemu Satria?" tanya Mama Sasya. Alex mengangguk. "Dia dan istrinya juga di sini tadi. Habis c
Sasya termenung dalam kamar, sambil mengusap perut gendutnya. Sekarang usia kehamilan sudah menginjak sembilan bulan. Pipinya lebih berisi, begitu juga tubuh yang menggendut karna nafsu makan bertambah. Sehari-hari, hanya mengurung diri dalam kamar. Dia tidak mau keluar. Malu sekedar bersapa dengan tetangga. Atau bertemu siapapun.Pintu terbuka. Masuk sosok Alex. Datang membawakan bingkisan makanan. Tersenyum saat melihat istrinya itu. "Sayang, aku bawakan makanan untuk kamu." Diletakkan kantung itu di meja samping ranjang. Sasya melirik. Betapa dia perhatian. Dia juga tidak protes terhadap perubahan di tubuhnya. Tapi meski begitu, Sasya masih tidak cinta. Dulu pacaran dengannya sebatas iseng dan kesenangan semata tanpa niat serius untuk dinikahi. Alex hanya pelampiasan rasa kesepian saja. "Aku bukain ya." Alex membuka bingkisan itu. Kemudian meraih sendok yang ada dalam kotaknya hendak menyuapi Sasya. Tapi Sasya menepis, sampai makanan terjatuh. "Kamu gak usah sok baik. Aku gak
Mau tidak mau Sasya digiring masuk ke dalam mobil Papanya. Begitu juga Alex, ikut menemani. Mereka meminta maaf atas kegaduhan yang Sasya buat. Mobil itu pun membawa mereka pergi. Satria menghela napas lega. Sekarang, masalahnya benar-benar selesai. Diliriknya Papanya yang ikut hadir di sini. "Terimakasih Papa sudah datang." Dia yang mengajak Papa Sasya untuk melihat kelakuan putrinya. "Akan Papa usahakan supaya pernikahan anak Papa baik-baik saja," jawab lelaki itu tersenyum tenang, sambil menepuk pelan bahunya. Dia tahu prahara yang terjadi dalam rumah tangga anaknya, sebisa mungkin membantu. Satria kemudian melihat Haris. "Terimakasih Mas Haris sudah repot-repot kasih bukti." "Tidak perlu berterimakasih, Satria. Kamu sendiri sudah banyak menolongku. Sudah sewajarnya Masmu membantu." Satria tersenyum mendengar untaian kata-kata sejuk dari sang kakak. Haris jauh lebih dewasa dan lebih bijak. Dengan kesadaran dan keinginannya sendiri dia membantu mencari bukti kebohongan Sasya.
"Jangan mengaku-ngaku kamu!" Satria menolak tegas. Yakin itu bukan anaknya. "Usia kehamilanku 6 bulan, tepat setelah kejadian malam itu." "Tidak. Aku yakin aku tidak melakukannya denganmu!" "Kamu harus bertanggung jawab, Mas Satria. Kamu harus nikahin aku. Setelah anak ini lahir aku yakin akan mirip sama kamu." Sasya mengelus-elus kembali perutnya. Lalu melirik Ayra yang masih mematung shock. Matanya memerah dan tampak berkaca-kaca. "Ra, aku rela jadi istri kedua. Ijinkan Mas Satria menikahiku. Kasihan anak ini kalau lahir tanpa Ayah." Sasya memasang wajah memelas. Tidak peduli Ayra yang sakit hati akan kedatangannya, malah meminta berbagi suami. "Selama ini aku diam saja. Aku lalui trimester pertama sendirian. Mual, muntah ... aku tidak ingin mengganggu kalian. Tapi aku tidak bisa terus seperti itu. Aku juga ingin anak ini diakui Ayahnya." Air matanya menetes saat menceritakan itu. Betapa dia ingin bisa bersama Satria. "Aku mencintai Satria. Aku janji akan jadi istri yang baik
Tisa sudah ditangani dokter dan kini berada di ruang rawat. Setetes demi setetes cairan terjatuh dari kantung infusan, mengalir lewat selang dan masuk ke tubuh perempuan itu melalui jarum infus. Haris berdiri memperhatikan. Tisa tidak berdaya oleh penyakitnya. Selama ini dia menahan sendirian. Entah bagaimana jadinya jika dia tidak pergi ke kontrakannya. Sepasang matanya yang terpejam akhirnya terbuka secara perlahan. Melihat hanya Haris seorang yang ada di dekatnya. "Mas ...." lirih dia memanggil. "Kamu di rumah sakit. Aku yang membawa ke sini." Mata Tisa berkaca-kaca, dia kira dirinya sudah mati. Tapi ternyata dibawa berobat. "Kamu tidak usah bawa aku ke sini, Mas." "Mana mungkin orang hampir sekarat kubiarkan." Haris tidak setega itu, meski keduanya pernah saling membenci. "Dendy mana, Mas?""Di luar bersama Tia. Anak kecil tidak boleh masuk." "Aku ingin bertemu.""Harus sembuh dulu." Tisa menunduk sedih. Menyesal tidak pergi ke rumah Haris untuk menemui anaknya. Menyesal
"Aku bawain hadiah jam tangan bagus buat kamu." Tanpa mempedulikan Ayra, Sasya mendekat memberi kotak kecil berpita yang dibawanya. "Buka aja. Ini jam tangan mahal. Buat kamu aku ngasih yang spesial." Satria tidak menerima. Dia malah melirik istrinya. Raut wajah Ayra berubah memerah karna marah. "Sayang, aku nggak ngundang dia. Aku nggak tahu dia akan ke sini." Dirinya sibuk menjelaskan. Tidak mau Ayra salah paham lagi. Entah dari mana Sasya bisa tahu acaranya. "Kamu emang nggak ngundang aku. Tapi aku tahu ini hari lahirmu. Tidak seperti istrimu yang lupa. Payah!" Dia menyimak percakapan mereka tanpa diketahui kehadirannya. Dada Ayra bergemuruh dicibir seperti itu. Satria hawatir dia marah besar. "Tidak usah dengerin omongan dia. Ayo, kita pergi saja." Dia pun memutuskan menghindar. Menyudahi acara yang menurutnya sudah kacau. Tapi Ayra bertahan di tempat. Dilepaskan tangan Satria yang memegangnya. "Kamu tidak lupa kejadian malam itu kan, Mas Satria? Aku melihat isi dompetmu. Di
"Bagaimana hadiah dariku sudah sampai?" Saysa menghadang langkah Satria yang baru tiba di basement kantor. "Sudah.""Oh, ya? Terus gimana? Istrimu yang alim itu pasti shock." Satria tersenyum sinis menanggapi ucapannya. Dia sengaja berbuat ulah. Seniat itu ingin menghancurkan hubungannya dengan Ayra. "Kamu tidak usah repot-repot mengirim barang seperti itu ke rumahku. Gak usah buang-buang uang untuk mengusikku." "Aku kan sedang memperjuangkan cintaku dan cintamu yang dulu tertunda." "Hanya kamu. Aku tidak!" tegas Satria. Dia tidak menyukainya lagi sejak lama. Justru yang ada membenci sikapnya yang begini. Laki-laki itu lalu pergi. Menjauhi mobil yang sudah terparkir rapi. Sasya mengikuti. Dengan tidak tahu malunya menggandeng tangan mesra. Satria melepaskan, tapi dia meraih lengannya lagi. Satria malu dilihat orang lain dan tidak ingin jadi pusat perhatian atau bahan gosip. Dan tentu bisa menjadi bahan masalah lagi dengan Ayra di rumah. "Kamu itu apaan si!" Sekali lagi dia lep
"Ris, kamu jangan ngasih uang sama Tisa kalau dia datang lagi." Saat makan bersama Marni membicarakan itu. Haris berhenti menyendok nasi melirik ibunya. Sementara Tia tetap melanjutkan makan dengan pelan dan terus menunduk. "Iya, Bu." "Nanti jadi kebiasaan. Dia keenakan. Dia harusnya tanggung jawab keluarganya bukan kamu lagi. Kamu kan sudah mengurusi anaknya." Marni tahu semua itu dari Tia yang sudah bercerita. Dia pun tidak setuju dengan sikap putranya yang dirasa berlebihan. "Haris gak akan ngasih lagi kok, Bu." "Jangan seperti itu. Lebih baik uangnya kamu kasih istrimu yang jelas-jelas sedang hamil anakmu." "Iya, Bu. Haris gak akan ngulangin lagi." Tidak cukup sekali Haris meyakinkan ibunya. Marni kesal mengetahui itu. Karna sudah menyakiti hati Tia. "Kalau apa-apa tuh bilang ke istrimu. Jangan main mengambil keputusan sendiri." Haris menarik napas panjang dan menghempaskan karna ibunya terus menyudutkan dan memperingatkan. "Haris juga udah bicarain ini dengan Tia. Ibu