"Bu Warni kok mau-maunya anaknya dinikahi duda, cuma nikah siri lagi. Anak perawan rugi cuma dinikahi siri. Kayak anak saya dong. Diadakan pesta resepsi pernikahan. Harus dimeriahkan." Wati tetangga jauh Warni bicara seperti itu saat belanja sayur di mamang penjual keliling. Warni sedih mendengarnya dan hanya tersenyum terpaksa. "Gak gak apa-apa nikah sama duda, terpenting baik." Malah ibu-ibu lain yang menimpali. "Iya. Terpenting baik. Pak Haris baik sudah mau melunasi hutang Bu Warni yang banyak, ratusan juta! Laki-laki lain belum tentu mau. Belum tentu sanggup," timpal ibu-ibu lain. "Pak Haris itu orang baru. Kita gak tau. Gak kenal. Siapa tau dia duitnya pinjam juga buat lunasin hutang Bu Warni. Ngeri kalau begitu." Wati kembali bicara tak enak. "Tapi dia boss anak saya, Bu. Mana mungkin pinjam." Warni membela menantu. "Pak Haris punya kantor sendiri Bu Wati, dia Notaris. Punya karyawan. Kita dengar sendiri sewaktu akad nikah kemarin di Masjid." Dua ibu-ibu itu juga membela.
Pukul 10 malam, Satria dan Ayra tiba di rumah mereka. Sepulang dari acara pernikahan Haris. Resepsi sudah usai, tamu-tamu sudah tidak ada, sodara dan kerabat jauh pulang ke rumah masing-masing. Si kembar sudah tidur. Ayra membawa Arsya ke kamar, Mbak Darmi mengikut membawa Arka, bayi kembar itu ditidurkan hati-hati di kasur ayunan dan tutup kelambu. "Terimakasih Mbak sudah ikut menemani. Sekarang Mbak Darmi bisa istirahat." Darmi juga ikut ke resepsi itu, jika tidak Ayra akan kerepotan. "Baik." Perempuan itu berlalu ke luar kamar. Ayra bernapas lega sudah bisa istirahat, setelah seharian di pesta Haris. Melepas hijab lalu berganti baju piyama. Gerah terus memakai pakaian rapi di luar. Juga menghapus make-up yang tebal sambil duduk. Dia juga ikut didandani MUA di sana.Setelahnya duduk di tepi tempat tidur. Satria tidak kunjung masuk, entah di mana suaminya itu. Dia pun beranjak lagi, mencari. Menemukannya tengah duduk melamun di sofa. Wajahnya tampak sendu dan menyandarkan tubuh
Satria lekas memeluk Ayra. "Sayang, tenang.""Dia siapa?" tanyanya dingin. "Dia cuma teman." Sasya bangun berdiri anggun lagi. Tersenyum sinis atas reaksi Ayra. "Pengantinnya galak sekali. Overthinking." Dia berlalu tidak mau menyalaminya. Satria menahan geram dia sudah bertingkah menyebalkan. Orang tua mereka memperhatikan. Termasuk Haris. Mengerutkan kening pada sosok tamu asing dan seksi itu. Tamu-tamu pun melihatnya berlalu. Setelah beberapa saat suasana kondusif lagi, pengantin disibukkan lagi disalami tamu undangan yang lain. Namun, wajah Ayra sudah berbeda, tersenyum terpaksa, juga penasaran dengan wanita tadi. Satria meliriknya tidak enak. Usai pesta keduanya langsung pulang. Ayra menghapus jejak make up di kamarnya. Satria duduk di samping ranjang memperhatikan.Sangat cantik istrinya ini seperti gadis. Lekuk tubuh berbusana tipis itu terlihat jelas. Ayra mempunyai perawakan langsing namun berisi di beberapa bagian, pada bagian depan atas dan belakang yaitu bokong. Pada
"Tia postitif hamil, Mas." Ayra memberitahukan kabar gembira itu pada suaminya yang baru pulang bekerja. "Oh, ya? Kata siapa?" Satria duduk membuka kancing lengan kemeja menggulung sesiku. Juga membuka dua kancing atasnya. Sekarang pakaiannya setiap hari formal karna mesti ke kantor. Beda dengan Satria dulu saat belum menikah dengan Ayra. Kaos oblong, jeans sobek-sobek dan jaket. "Ibu nelpon ngasih tau. Tia katanya mual muntah dan positif garis dua saat di testpack." "Syukurlah kalau begitu. Mas Haris tokcer juga, ya." "Cepet, Mas, kalau dua-duanya sama-sama subur. Gak perlu nunggu lama." Ayra menghela napas dan termenung. "Mau sesubur apapun pasangan laki-lakinya kalau perempuannya gak subur susah. Kayak aku dulu. Susah punya anak." Satria yang tengah bersandar meliriknya dan menegapkan duduk kembali. "Tapi kamu udah bisa punya anakkan?" Satria tahu dia tidak enak hati sudah mengingatnya. Mengelus kepala Ayra."Perlu uang banyak untuk bisa hamil. Dan mungkin perlu uang banyak
"Dendy hilang?" Marni terkejut mendengar kabar cucunya tidak ada. Haris hanya pulang bersama Tia. "Maafin Tia ... Ini semua gara-gara Tia, Bu. Mas Haris merhatiin Tia yang mabuk dan gak tau Dendy pergi ke mana." Tia terisak-isak tertahan. Haris pamit pergi lagi setelah mengantarkannya pulang. Tidak mau kenapa-napa. Kini dia hanya berdua bercerita bersama ibu mertua. "Tidak ada yang tau dia pergi ke mana." Mereka sudah menanya-nanyakannya pada orang sekitar tidak ada yang melihat. "Ya Allah ... ke mana kamu Dendy ...," Marni pun jadi cemas. Anak sekecil itu belum bisa apa-apa di luar sana. "Kalau tau begini tidak usah ikut saja." Seharusnya dia menunggu bersamanya di rumah, tidak perlu dibawa. "Maafin Tia, Bu ... Ini semua salah Tia." Tak henti-henti dia menyesali diri. Seandainya terjadi sesuatu yang buruk pada Dendy dia akan merasa sangat berdosa. Marni melihat padanya. "Sudah ... tidak usah menyalahkan dirimu sendiri. Semoga Haris cepat bisa menemukan putranya lagi." Dielus-el
"Tadi Ibu nelepon Dendy hilang, Mas. Dibawa Tisa sewaktu Tia check up kandungan di rumah sakit."Ayra memberitahukan hal tersebut pada Satria, mendatangi di ruang kerjanya. Lelaki itu mendongak. "Kok bisa? Gak ketahuan.""Tia lagi muntah-muntah karna mual, terus mereka ke toilet. Mas Haris katanya lagi mijitin tengkuk Tia, Dendy lagi digengong pun diturunin dulu. Dia jalan sendiri gak tahuan dan diambil Tisa, Mas, yang ternyata ada di sana juga." Ayra menceritakan kronologi lebih lengkap sambil menggendong Arsya. Satria mendengarkan dengan raut wajah serius. "Ketahuan dari Cctv rumah sakit," jelas Ayra lagi. "Sekarang bagaimana? Udah lapor polisi?" "Kata Ibu, Mas Haris langsung pergi ke rumah Tisa." Satria menghela napas beranjak dari kursi. "Harusnya Mas Haris lapor polisi juga, biar Tisa jera. Meski pun itu anak kandung sendiri tapi caranya salah.""Mungkin kalau bilang dulu gak bakal diijinin, Mas, jadi dia lakuin itu." "Tetep gak boleh begitu. Bikin panik orang aja. Bikin su
"Aku sakit, teganya kamu melarangku bertemu anakku sendiri. Dan sekarang mau membawanya pergi. Tidak akan kubiarkan!" ujar Tisa geram. Air mata luruh lagi tapi juga tersenyum miris. Haris bisa tertular HIV kalau cairan darah ini disuntikkan ke tubuhnya. "Hidupku sudah menderita, tapi kamu menambah-nambah dengan melarang bertemu anakku sendiri. Aku terpaksa membawanya ke sini." Ditatapnya nanar Haris, yang masih membeku. "Aku akan menuntikkan cairan ini jika kamu memaksa membawanya pergi!" Dia sudah dekat berada di hadapannya. Dua orang yang pernah saling mencintai, sering memadu kasih kini menatap benci satu sama lain. "Jangan seperti ini, Tisa. Singkirkan suntikkan itu.""Tidak. Kamu juga harus menderita penyakit ini. Aku tidak mau kamu bahagia, Mas!" "Hentikan pikiran jahatmu. Kalau aku sakit dan mati, siapa yang akan menjaga Dendy? Siapa yang membesarkan dan membiayai dia?" Tisa terdiam dengan air mata semakin berjatuhan banyak. "Harusnya kamu kembali bersamaku, Mas. Bukan men
Ayra terdiam resah dalam kamar karna Satria belum pulang. Ponsel di telinga diturunkan. Dihubungi tidak diangkat. Mengetik mengirim pesan pun tidak dibalas. "Masih di kantor apa sudah pulang kamu, Mas?" Tidak biasanya Satria begini. Jika pun telat dia selalu mengabari. Diliriknya si kembar yang sudah terlelap, masing-masing meringkuk saling berhadapan. "Apa pulang ke rumah Papa kamu, Mas? Atau ke rumah Ibu?" Demi menjawb rasa penasaran, Ayra pun menghubungi nomor ibu mertua. Barangkali Satria ada di sana. Menunggu cukup lama sampai bisa tersambung. "Assalamualaikum, Ibu, maaf Ayra mengganggu.""Waalaikumsalam ... Ayra, ada apa?" Marni sudah meringkuk di kasur beranjak duduk menerima teleponnya. "Apa ada Mas Satria, Bu?""Satria? Di sini tidak ada. Memangnya belum pulang?" "Belum, Bu. Di telepon juga gak diangkat-angkat." "Mungkin masih di kantor, Ra.""Tidak tahu, Bu. Kirain ada di rumah Ibu. Yaudah Ayra tutup teleponnya ya. Maaf mengganggu." Ayra mengakhiri panggilan. Ke mana
"Sasya sudah lahiran. Bayinya laki-laki," ujar Ayra. Satria mengeryit heran dari mana istrinya tahu soal ini? Dia sendiri saja tidak tahu. "Kok kamu tau?""Tau aja." Ayra berkata santai. "Tau dari mana? Temenan aja engga," cecar Satria. Mereka hanya tau wanita itu sakit perut saat di rumah sakit. Tidak tahu jenis kelamin bayi. Tapi Ayra? Entah dari siapa bisa tahu. "Bilang tau dari siapa?" tanya Satria lagi sedikit jengkel karna Ayra tidak mau buru-buru menjawab, malah memakan kue manis di hadapan dengan santainya. "Jawab, Ayra. Jangan buat aku penasaran," tekannya. "Gak mau." Satria menyentak pinggangnya hingga merapat. "Katakan." "Apaan sih, Mas.""Atau aku cium nih." Ayra masih diam saja malah senyum-senyum. Dia tidak takut dicium. "Atau aku melakukannya di sini. Buka baju kamu." Ayra melotot mendengar itu. Ini di ruang tamu. Satria tidak peduli, justru menyeringai dan mencoba membuka kancing bajunya. "Jangan, Mas!" Ayra pun menyingkirkan tangan tersebut. "Bagaimana kal
Sasya kesakitan, terus meraung menangis. "Sakit, Maa." Pada mamanya dia mengadu. "Padahal belum HPL-nya kok perut kamu sudah sakit aja." Mamanya pun heran. Dia sibuk mengusap keringat putrinya itu. Ibu mertua juga mengusap-usap perut Sasya. Alex cemas dan merasa bersalah. Gara-gara dia memaksa pergi tadi, Sasya jadi kesakitan. Dia menunduk memegangi tangan istrinya. Tapi oleh Sasya ditepis. "Pergi!" Bahkan dia diusir. "Sayang, gak boleh begitu," tegur mamanya. "Alex suami kamu. Dia sudah baik mau nemenin kamu periksa kandungan.""Ini semua gara-gara dia, Mama. Perut aku jadi sakit. Dia menyeretku pulang!" "Apa? Kamu benar melakukan itu Alex?" Mama Alex pun tidak diam saja mendengar itu. "Aku minta maaf. Aku cuma ngajak dia jalan cepet tadi.""Harusnya tidak boleh seperti itu, Alex!" Mamanya membentaknya. "Aku tau aku salah. Aku emosi tadi karna Sasya nyentuh pipi Satria." "Kalian bertemu Satria?" tanya Mama Sasya. Alex mengangguk. "Dia dan istrinya juga di sini tadi. Habis c
Sasya termenung dalam kamar, sambil mengusap perut gendutnya. Sekarang usia kehamilan sudah menginjak sembilan bulan. Pipinya lebih berisi, begitu juga tubuh yang menggendut karna nafsu makan bertambah. Sehari-hari, hanya mengurung diri dalam kamar. Dia tidak mau keluar. Malu sekedar bersapa dengan tetangga. Atau bertemu siapapun.Pintu terbuka. Masuk sosok Alex. Datang membawakan bingkisan makanan. Tersenyum saat melihat istrinya itu. "Sayang, aku bawakan makanan untuk kamu." Diletakkan kantung itu di meja samping ranjang. Sasya melirik. Betapa dia perhatian. Dia juga tidak protes terhadap perubahan di tubuhnya. Tapi meski begitu, Sasya masih tidak cinta. Dulu pacaran dengannya sebatas iseng dan kesenangan semata tanpa niat serius untuk dinikahi. Alex hanya pelampiasan rasa kesepian saja. "Aku bukain ya." Alex membuka bingkisan itu. Kemudian meraih sendok yang ada dalam kotaknya hendak menyuapi Sasya. Tapi Sasya menepis, sampai makanan terjatuh. "Kamu gak usah sok baik. Aku gak
Mau tidak mau Sasya digiring masuk ke dalam mobil Papanya. Begitu juga Alex, ikut menemani. Mereka meminta maaf atas kegaduhan yang Sasya buat. Mobil itu pun membawa mereka pergi. Satria menghela napas lega. Sekarang, masalahnya benar-benar selesai. Diliriknya Papanya yang ikut hadir di sini. "Terimakasih Papa sudah datang." Dia yang mengajak Papa Sasya untuk melihat kelakuan putrinya. "Akan Papa usahakan supaya pernikahan anak Papa baik-baik saja," jawab lelaki itu tersenyum tenang, sambil menepuk pelan bahunya. Dia tahu prahara yang terjadi dalam rumah tangga anaknya, sebisa mungkin membantu. Satria kemudian melihat Haris. "Terimakasih Mas Haris sudah repot-repot kasih bukti." "Tidak perlu berterimakasih, Satria. Kamu sendiri sudah banyak menolongku. Sudah sewajarnya Masmu membantu." Satria tersenyum mendengar untaian kata-kata sejuk dari sang kakak. Haris jauh lebih dewasa dan lebih bijak. Dengan kesadaran dan keinginannya sendiri dia membantu mencari bukti kebohongan Sasya.
"Jangan mengaku-ngaku kamu!" Satria menolak tegas. Yakin itu bukan anaknya. "Usia kehamilanku 6 bulan, tepat setelah kejadian malam itu." "Tidak. Aku yakin aku tidak melakukannya denganmu!" "Kamu harus bertanggung jawab, Mas Satria. Kamu harus nikahin aku. Setelah anak ini lahir aku yakin akan mirip sama kamu." Sasya mengelus-elus kembali perutnya. Lalu melirik Ayra yang masih mematung shock. Matanya memerah dan tampak berkaca-kaca. "Ra, aku rela jadi istri kedua. Ijinkan Mas Satria menikahiku. Kasihan anak ini kalau lahir tanpa Ayah." Sasya memasang wajah memelas. Tidak peduli Ayra yang sakit hati akan kedatangannya, malah meminta berbagi suami. "Selama ini aku diam saja. Aku lalui trimester pertama sendirian. Mual, muntah ... aku tidak ingin mengganggu kalian. Tapi aku tidak bisa terus seperti itu. Aku juga ingin anak ini diakui Ayahnya." Air matanya menetes saat menceritakan itu. Betapa dia ingin bisa bersama Satria. "Aku mencintai Satria. Aku janji akan jadi istri yang baik
Tisa sudah ditangani dokter dan kini berada di ruang rawat. Setetes demi setetes cairan terjatuh dari kantung infusan, mengalir lewat selang dan masuk ke tubuh perempuan itu melalui jarum infus. Haris berdiri memperhatikan. Tisa tidak berdaya oleh penyakitnya. Selama ini dia menahan sendirian. Entah bagaimana jadinya jika dia tidak pergi ke kontrakannya. Sepasang matanya yang terpejam akhirnya terbuka secara perlahan. Melihat hanya Haris seorang yang ada di dekatnya. "Mas ...." lirih dia memanggil. "Kamu di rumah sakit. Aku yang membawa ke sini." Mata Tisa berkaca-kaca, dia kira dirinya sudah mati. Tapi ternyata dibawa berobat. "Kamu tidak usah bawa aku ke sini, Mas." "Mana mungkin orang hampir sekarat kubiarkan." Haris tidak setega itu, meski keduanya pernah saling membenci. "Dendy mana, Mas?""Di luar bersama Tia. Anak kecil tidak boleh masuk." "Aku ingin bertemu.""Harus sembuh dulu." Tisa menunduk sedih. Menyesal tidak pergi ke rumah Haris untuk menemui anaknya. Menyesal
"Aku bawain hadiah jam tangan bagus buat kamu." Tanpa mempedulikan Ayra, Sasya mendekat memberi kotak kecil berpita yang dibawanya. "Buka aja. Ini jam tangan mahal. Buat kamu aku ngasih yang spesial." Satria tidak menerima. Dia malah melirik istrinya. Raut wajah Ayra berubah memerah karna marah. "Sayang, aku nggak ngundang dia. Aku nggak tahu dia akan ke sini." Dirinya sibuk menjelaskan. Tidak mau Ayra salah paham lagi. Entah dari mana Sasya bisa tahu acaranya. "Kamu emang nggak ngundang aku. Tapi aku tahu ini hari lahirmu. Tidak seperti istrimu yang lupa. Payah!" Dia menyimak percakapan mereka tanpa diketahui kehadirannya. Dada Ayra bergemuruh dicibir seperti itu. Satria hawatir dia marah besar. "Tidak usah dengerin omongan dia. Ayo, kita pergi saja." Dia pun memutuskan menghindar. Menyudahi acara yang menurutnya sudah kacau. Tapi Ayra bertahan di tempat. Dilepaskan tangan Satria yang memegangnya. "Kamu tidak lupa kejadian malam itu kan, Mas Satria? Aku melihat isi dompetmu. Di
"Bagaimana hadiah dariku sudah sampai?" Saysa menghadang langkah Satria yang baru tiba di basement kantor. "Sudah.""Oh, ya? Terus gimana? Istrimu yang alim itu pasti shock." Satria tersenyum sinis menanggapi ucapannya. Dia sengaja berbuat ulah. Seniat itu ingin menghancurkan hubungannya dengan Ayra. "Kamu tidak usah repot-repot mengirim barang seperti itu ke rumahku. Gak usah buang-buang uang untuk mengusikku." "Aku kan sedang memperjuangkan cintaku dan cintamu yang dulu tertunda." "Hanya kamu. Aku tidak!" tegas Satria. Dia tidak menyukainya lagi sejak lama. Justru yang ada membenci sikapnya yang begini. Laki-laki itu lalu pergi. Menjauhi mobil yang sudah terparkir rapi. Sasya mengikuti. Dengan tidak tahu malunya menggandeng tangan mesra. Satria melepaskan, tapi dia meraih lengannya lagi. Satria malu dilihat orang lain dan tidak ingin jadi pusat perhatian atau bahan gosip. Dan tentu bisa menjadi bahan masalah lagi dengan Ayra di rumah. "Kamu itu apaan si!" Sekali lagi dia lep
"Ris, kamu jangan ngasih uang sama Tisa kalau dia datang lagi." Saat makan bersama Marni membicarakan itu. Haris berhenti menyendok nasi melirik ibunya. Sementara Tia tetap melanjutkan makan dengan pelan dan terus menunduk. "Iya, Bu." "Nanti jadi kebiasaan. Dia keenakan. Dia harusnya tanggung jawab keluarganya bukan kamu lagi. Kamu kan sudah mengurusi anaknya." Marni tahu semua itu dari Tia yang sudah bercerita. Dia pun tidak setuju dengan sikap putranya yang dirasa berlebihan. "Haris gak akan ngasih lagi kok, Bu." "Jangan seperti itu. Lebih baik uangnya kamu kasih istrimu yang jelas-jelas sedang hamil anakmu." "Iya, Bu. Haris gak akan ngulangin lagi." Tidak cukup sekali Haris meyakinkan ibunya. Marni kesal mengetahui itu. Karna sudah menyakiti hati Tia. "Kalau apa-apa tuh bilang ke istrimu. Jangan main mengambil keputusan sendiri." Haris menarik napas panjang dan menghempaskan karna ibunya terus menyudutkan dan memperingatkan. "Haris juga udah bicarain ini dengan Tia. Ibu