"Terimakasih, Sayang. Aku jadi senang," ucap Satria setelah kegiatan memadu kasih selesai. Kepala Ayra berbantal lengannya. Mereka sama-sama berbaring berselimut lembut menutupi tubuh telanj-ang. "Sebelumnya kamu marahkan, Mas? Tidak senang karena aku di rumah sakit nemenin Mas Haris. Apalagi kejadian pagi tadi, aku tau itu menyakitimu, Mas.""Iya, aku cemburu dan kesal. Rasanya ingin memaki Mas Haris yang lebay. Tapi aku pikir, dia memang sedang tidak stabil. Aku berusaha memakluminya dan berusaha meyakinkan diri semua akan baik-baik saja, walau sebenarnya cemas. Takut kamu berpaling." Dia takut Haris nekat dan berbuat apa saja untuk mengambil Ayra dari sampingnya. Lelaki itu keras kepala dan ambisius terhadap sesuatu. "Mas Haris hanya masa lalu aku. Kamu tidak usah hawatir." Ayra mengusap lembut pipinya. Menenangkan dan meyakinkan. Dia sudah jatuh pada pesona Satria yang baik hati dan luluh atas perjuangannya selama ini. "Kamu harus janji tidak akan ninggalin aku, Ayra." "Aku ti
"Gak usah kaget, Mas. Tiga milliar itu belum seberapa dengan pengorbananku!" Lagi, Tisa hanya tertuju pada mantan suaminya yang mematung shock."Aku hamil sembilan bulan, aku mual muntah setiap hari dan pusing. Badanku berat, juga sakit. Aku sudah bertaruh nyawa untuk bayi itu, sampai perutku disayat lebar. Tiga milliar hanya angka kecil. Kamu harus membayarnya, Mas!" "Gila, kamu!" Dua kata itu pun terucap dari bibir Haris. Karena tidak tahan mendengarnya. Semua yang telah dia lalui diperhitungkan dan menuntut ganti rugi. Tisa malah tertawa. "Kamu mau anak 'kan? Aku udah kasih. Tapi kamu malah membuang Ibunya. Aku tidak terima kamu mengambilnya begitu saja. Jangan kamu sia-siakan pengorbananku, Mas!" Haris jadi pusing dia terus mendesak seperti itu. Tapi badannya juga masih lemas untuk sekedar memarahi tidak berdaya rasanya. "Kamu harus menyanggupinya. Aku juga akan menuntutmu di pengadilan agama!" Haris bungkam. "Jawab, Mas, jangan diam saja." Tisa jengkel. Memperhatikan lelak
Haris tenang sudah ada di rumah. Bisa bersama putra kecilnya lagi. Bebas menyentuh dan dekat-dekat seperti ini. Dia terus memperhatikannya yang anteng, matanya tampak berbinar melihat kesana-kemari, tubuhnya kadang tidak diam ingin tengkurap. Haris membenarkan posisinya yang miring menjadi telentang lagi. Dan memberikan mainan. Terus menatapnya dalam diam. Sayang sekali bayi tampan itu tidak punya mama. Tisa sama sekali tidak menanyakan, sekalinya datang meminta uang sebagai ganti rugi dia di sini. Perempuan itu hendak menjual anaknya pada ayahnya sendiri. Sungguh, ironi.Bayi itu menggeliat karena kesal, Haris pun mengangkat hati-hati menggendongnya turun dari ranjang. Menimang-nimang. Tiba-tiba ingat Ayra, jika perempuan itu masih di sisinya dan ini adalah anaknya tentu hidupnya akan bahagia dan terasa sempurna. Tapi dia hanya mempunyai salah satunya. Memiliki bayi ini dari rahim perempuan lain, sementara Ayra menghilang dari hidupnya. Haris menggeleng nelangsa, tidak boleh sepert
Sepulang check-up dari rumah sakit, Ayra terus terdiam melamun dalam kamar. Memikirkan apa yang disampaikan dokter. Tentang opsi program hamil bayi tabung. Kata dokter inilah alternatif terbaik untuknya. Kecil kemungkinan terjadi pembuahan alami di rahim setelah dua saluran tuba fallopi non paten. Kenyataan menyakitkan saat tahu organ reproduksinya mengalami gangguan. Dan harus melalui serangkaian tindakkan medis. Satria membuka pintu melihatnya seperti itu, menghampiri duduk di hadapannya. "Kamu nyesel, Mas, nikahin aku? Setelah tahu aku tidak subur?" Dia menjadi rendah diri. Satria meraihnya dalam pelukan. Mengusap-usap lembut kepala dan mengecup satu kali. "Sayang ... dengar, aku tidak menyesal sedikitpun. Tidak usah hawatir, kita masih bisa memiliki keturunan. Kamu tetap bisa hamil.""Program bayi tabung mahal, Mas." Dan memakan banyak waktu bolak-balik cek up ke rumah sakit."No problem. Demi kamu, demi kita, apapun akan aku lakukan." "Aku juga harus menjalani tindakkan medi
"Apa? Ayra hamil?" Haris terkejut mendengar kabar yang disampaikan ibunya. "Iya, jalan satu bulan usia kandungannya. Program bayi tabung mereka berhasil." Lelaki itu terdiam. Andai dia benar-benar mau berusaha lebih, seperti yang dilakukan Satria, tidak sayang mengeluarkan uang sampai ratusan juta, dia mungkin sudah memiliki anak bersama Ayra. Nyatanya, cintanya tidak sekuat Satria untuk perempuan itu. Dia malah mencari alternatif lain ketimbang mengurus benar-benar istrinya yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya. Malah mencari wanita lain. Lebih menuruti nafsu syahwat demi tubuh yang baru. Lalu berdalih untuk dapat anak. Yang kenyataannya malah membuat hidupnya sulit dan sama saja menggelontorkan uang tidak sedikit. Lalu berakhir hidup sendiri. Menjadi seorang duda. Dulu menjandakan Ayra demi perempuan yang tidak baik. Sekarang dia merasakan bagaimana itu kehilangan dan kesendirian. "Syukurlah, akhirnya dia bisa punya anak. Aku tidak becus mengurusnya, tidak mau tahu ada kend
Ayra siuman tepat saat mendengar suara Satria yang sedang mengadzankan anaknya. Pada telinga bayi laki-laki setelahnya pada bayi perempuan, dengan dibantu ibu mertua dan ibu kandungnya yang menggendong. Begitu syahdu membuat indah suasana.Menetes haru air mata Ayra. Tak henti mengucap syukur dalam hati atas karunia ini yang tak tanggung-tanggung diberi dua anak sekaligus. Dan sepasang. Dia jadi merasa sudah mempunyai anak sejak dulu tetapi baru sekarang diberikan. Program hamil IVF sering terjadi kembar. Bahkan tidak sedikit orang sengaja direncanakan mengikuti program ini untuk mendapatkan anak kembar meski tanpa gangguan medis seperti yang dialaminya. Anak laki-laki lahir pertama sebagai kakak dan anak perempuan terakhir dikeluarkan sebagai adik. Sangat pantas. Lengkap sudah hidup Ayra dan ia bisa merasakan menjadi wanita seutuhnya sebagaimana yang sering orang-orang bicarakan dulu. "Mas ...." Ia menyapa pelan saat kedua bayinya selasai diadzankan. Satria menoleh. Tersenyum sumr
"Silakan, masuk." Haris mempersilakan Mutia ke dalam rumahnya. Gadis itu melangkah dengan sungkan. Sepasang matanya sibuk memperhatikan sekitar, tempat asing baginya. Sementara Haris di belakang mengikuti pelan sembari menahan senyum. Berhasil membawa gadis incarannya ke rumah. Mulai hari ini Mutia beralih kerja menjadi baby sitter anaknya. Tidak di kantor lagi. Dia bersedia menggaji dua kali lipat untuk membuat putranya akrab dengan calon mamanya. Mutia sendiri sudah ijin pada orang tuanya dan disetujui. "Silakan duduk." "Terimakasih, Pak." Gadis itu menurut duduk meski canggung. "Mbak An, tolong ambilkan minum." Haris meminta pembantu untuk menjamu. "Baik, Pak." "Tidak usah, Pak." Mutia menolak merasa tak enak. "Tidak apa-apa, Tia." Gadis itu lalu diam menunduk sambil memainkan kuku tangan. Tidak tahu harus bicara apa dan malu rasanya. Bagaimanapun Haris atasannya dan dia baru pertama kali ke sini. Haris memperhatikan dengan senyum samar yang terus menghiasi bibir. Suka sek
"Jadi, nama baby sitternya Mutia dipanggil Tia? Masih gadis dan Mas Haris menyukainya?" Pagi-pagi saat menemani Satria sarapan, Ayra tiba-tiba ingin membahasnya. Setelah semalam dia memberi tahu. "Iya. Kenapa, kamu cemburu?""Engga." Ayra menggeleng cepat. Justru dia bersyukur kalau Haris sudah menemukan wanita idaman lain. Dia berhak bahagia bersama yang lain untuk bisa melupakannya. "Seperti apa orangnya, Mas?" Ayra penasaran. Arka dan Arsya ada di dekatnya. Bayi tiga bulan itu masing-masing berada dalam kereta dorong. Darmi tengah mengerjakan tugas mencuci baju dalam mesin. Dia tersenyum kecil mendengar percakapan sepasang pasutri itu. "Kata Ibu dia seperti kamu, tertutup auratnya. Masih muda, dan baru lulus kuliah," jawab Satria. "Dia kuliah? Kok mau jadi baby sitter?" Ayra heran. "Dia awalnya kerja di kantor Mas Haris, karyawan baru. Lalu diminta untuk jadi baby sitter saja di rumahnya dengan gaji dua kali lipat.""Pantas mau.""Karna sebelumnya juga pernah jadi baby sitter
"Sasya sudah lahiran. Bayinya laki-laki," ujar Ayra. Satria mengeryit heran dari mana istrinya tahu soal ini? Dia sendiri saja tidak tahu. "Kok kamu tau?""Tau aja." Ayra berkata santai. "Tau dari mana? Temenan aja engga," cecar Satria. Mereka hanya tau wanita itu sakit perut saat di rumah sakit. Tidak tahu jenis kelamin bayi. Tapi Ayra? Entah dari siapa bisa tahu. "Bilang tau dari siapa?" tanya Satria lagi sedikit jengkel karna Ayra tidak mau buru-buru menjawab, malah memakan kue manis di hadapan dengan santainya. "Jawab, Ayra. Jangan buat aku penasaran," tekannya. "Gak mau." Satria menyentak pinggangnya hingga merapat. "Katakan." "Apaan sih, Mas.""Atau aku cium nih." Ayra masih diam saja malah senyum-senyum. Dia tidak takut dicium. "Atau aku melakukannya di sini. Buka baju kamu." Ayra melotot mendengar itu. Ini di ruang tamu. Satria tidak peduli, justru menyeringai dan mencoba membuka kancing bajunya. "Jangan, Mas!" Ayra pun menyingkirkan tangan tersebut. "Bagaimana kal
Sasya kesakitan, terus meraung menangis. "Sakit, Maa." Pada mamanya dia mengadu. "Padahal belum HPL-nya kok perut kamu sudah sakit aja." Mamanya pun heran. Dia sibuk mengusap keringat putrinya itu. Ibu mertua juga mengusap-usap perut Sasya. Alex cemas dan merasa bersalah. Gara-gara dia memaksa pergi tadi, Sasya jadi kesakitan. Dia menunduk memegangi tangan istrinya. Tapi oleh Sasya ditepis. "Pergi!" Bahkan dia diusir. "Sayang, gak boleh begitu," tegur mamanya. "Alex suami kamu. Dia sudah baik mau nemenin kamu periksa kandungan.""Ini semua gara-gara dia, Mama. Perut aku jadi sakit. Dia menyeretku pulang!" "Apa? Kamu benar melakukan itu Alex?" Mama Alex pun tidak diam saja mendengar itu. "Aku minta maaf. Aku cuma ngajak dia jalan cepet tadi.""Harusnya tidak boleh seperti itu, Alex!" Mamanya membentaknya. "Aku tau aku salah. Aku emosi tadi karna Sasya nyentuh pipi Satria." "Kalian bertemu Satria?" tanya Mama Sasya. Alex mengangguk. "Dia dan istrinya juga di sini tadi. Habis c
Sasya termenung dalam kamar, sambil mengusap perut gendutnya. Sekarang usia kehamilan sudah menginjak sembilan bulan. Pipinya lebih berisi, begitu juga tubuh yang menggendut karna nafsu makan bertambah. Sehari-hari, hanya mengurung diri dalam kamar. Dia tidak mau keluar. Malu sekedar bersapa dengan tetangga. Atau bertemu siapapun.Pintu terbuka. Masuk sosok Alex. Datang membawakan bingkisan makanan. Tersenyum saat melihat istrinya itu. "Sayang, aku bawakan makanan untuk kamu." Diletakkan kantung itu di meja samping ranjang. Sasya melirik. Betapa dia perhatian. Dia juga tidak protes terhadap perubahan di tubuhnya. Tapi meski begitu, Sasya masih tidak cinta. Dulu pacaran dengannya sebatas iseng dan kesenangan semata tanpa niat serius untuk dinikahi. Alex hanya pelampiasan rasa kesepian saja. "Aku bukain ya." Alex membuka bingkisan itu. Kemudian meraih sendok yang ada dalam kotaknya hendak menyuapi Sasya. Tapi Sasya menepis, sampai makanan terjatuh. "Kamu gak usah sok baik. Aku gak
Mau tidak mau Sasya digiring masuk ke dalam mobil Papanya. Begitu juga Alex, ikut menemani. Mereka meminta maaf atas kegaduhan yang Sasya buat. Mobil itu pun membawa mereka pergi. Satria menghela napas lega. Sekarang, masalahnya benar-benar selesai. Diliriknya Papanya yang ikut hadir di sini. "Terimakasih Papa sudah datang." Dia yang mengajak Papa Sasya untuk melihat kelakuan putrinya. "Akan Papa usahakan supaya pernikahan anak Papa baik-baik saja," jawab lelaki itu tersenyum tenang, sambil menepuk pelan bahunya. Dia tahu prahara yang terjadi dalam rumah tangga anaknya, sebisa mungkin membantu. Satria kemudian melihat Haris. "Terimakasih Mas Haris sudah repot-repot kasih bukti." "Tidak perlu berterimakasih, Satria. Kamu sendiri sudah banyak menolongku. Sudah sewajarnya Masmu membantu." Satria tersenyum mendengar untaian kata-kata sejuk dari sang kakak. Haris jauh lebih dewasa dan lebih bijak. Dengan kesadaran dan keinginannya sendiri dia membantu mencari bukti kebohongan Sasya.
"Jangan mengaku-ngaku kamu!" Satria menolak tegas. Yakin itu bukan anaknya. "Usia kehamilanku 6 bulan, tepat setelah kejadian malam itu." "Tidak. Aku yakin aku tidak melakukannya denganmu!" "Kamu harus bertanggung jawab, Mas Satria. Kamu harus nikahin aku. Setelah anak ini lahir aku yakin akan mirip sama kamu." Sasya mengelus-elus kembali perutnya. Lalu melirik Ayra yang masih mematung shock. Matanya memerah dan tampak berkaca-kaca. "Ra, aku rela jadi istri kedua. Ijinkan Mas Satria menikahiku. Kasihan anak ini kalau lahir tanpa Ayah." Sasya memasang wajah memelas. Tidak peduli Ayra yang sakit hati akan kedatangannya, malah meminta berbagi suami. "Selama ini aku diam saja. Aku lalui trimester pertama sendirian. Mual, muntah ... aku tidak ingin mengganggu kalian. Tapi aku tidak bisa terus seperti itu. Aku juga ingin anak ini diakui Ayahnya." Air matanya menetes saat menceritakan itu. Betapa dia ingin bisa bersama Satria. "Aku mencintai Satria. Aku janji akan jadi istri yang baik
Tisa sudah ditangani dokter dan kini berada di ruang rawat. Setetes demi setetes cairan terjatuh dari kantung infusan, mengalir lewat selang dan masuk ke tubuh perempuan itu melalui jarum infus. Haris berdiri memperhatikan. Tisa tidak berdaya oleh penyakitnya. Selama ini dia menahan sendirian. Entah bagaimana jadinya jika dia tidak pergi ke kontrakannya. Sepasang matanya yang terpejam akhirnya terbuka secara perlahan. Melihat hanya Haris seorang yang ada di dekatnya. "Mas ...." lirih dia memanggil. "Kamu di rumah sakit. Aku yang membawa ke sini." Mata Tisa berkaca-kaca, dia kira dirinya sudah mati. Tapi ternyata dibawa berobat. "Kamu tidak usah bawa aku ke sini, Mas." "Mana mungkin orang hampir sekarat kubiarkan." Haris tidak setega itu, meski keduanya pernah saling membenci. "Dendy mana, Mas?""Di luar bersama Tia. Anak kecil tidak boleh masuk." "Aku ingin bertemu.""Harus sembuh dulu." Tisa menunduk sedih. Menyesal tidak pergi ke rumah Haris untuk menemui anaknya. Menyesal
"Aku bawain hadiah jam tangan bagus buat kamu." Tanpa mempedulikan Ayra, Sasya mendekat memberi kotak kecil berpita yang dibawanya. "Buka aja. Ini jam tangan mahal. Buat kamu aku ngasih yang spesial." Satria tidak menerima. Dia malah melirik istrinya. Raut wajah Ayra berubah memerah karna marah. "Sayang, aku nggak ngundang dia. Aku nggak tahu dia akan ke sini." Dirinya sibuk menjelaskan. Tidak mau Ayra salah paham lagi. Entah dari mana Sasya bisa tahu acaranya. "Kamu emang nggak ngundang aku. Tapi aku tahu ini hari lahirmu. Tidak seperti istrimu yang lupa. Payah!" Dia menyimak percakapan mereka tanpa diketahui kehadirannya. Dada Ayra bergemuruh dicibir seperti itu. Satria hawatir dia marah besar. "Tidak usah dengerin omongan dia. Ayo, kita pergi saja." Dia pun memutuskan menghindar. Menyudahi acara yang menurutnya sudah kacau. Tapi Ayra bertahan di tempat. Dilepaskan tangan Satria yang memegangnya. "Kamu tidak lupa kejadian malam itu kan, Mas Satria? Aku melihat isi dompetmu. Di
"Bagaimana hadiah dariku sudah sampai?" Saysa menghadang langkah Satria yang baru tiba di basement kantor. "Sudah.""Oh, ya? Terus gimana? Istrimu yang alim itu pasti shock." Satria tersenyum sinis menanggapi ucapannya. Dia sengaja berbuat ulah. Seniat itu ingin menghancurkan hubungannya dengan Ayra. "Kamu tidak usah repot-repot mengirim barang seperti itu ke rumahku. Gak usah buang-buang uang untuk mengusikku." "Aku kan sedang memperjuangkan cintaku dan cintamu yang dulu tertunda." "Hanya kamu. Aku tidak!" tegas Satria. Dia tidak menyukainya lagi sejak lama. Justru yang ada membenci sikapnya yang begini. Laki-laki itu lalu pergi. Menjauhi mobil yang sudah terparkir rapi. Sasya mengikuti. Dengan tidak tahu malunya menggandeng tangan mesra. Satria melepaskan, tapi dia meraih lengannya lagi. Satria malu dilihat orang lain dan tidak ingin jadi pusat perhatian atau bahan gosip. Dan tentu bisa menjadi bahan masalah lagi dengan Ayra di rumah. "Kamu itu apaan si!" Sekali lagi dia lep
"Ris, kamu jangan ngasih uang sama Tisa kalau dia datang lagi." Saat makan bersama Marni membicarakan itu. Haris berhenti menyendok nasi melirik ibunya. Sementara Tia tetap melanjutkan makan dengan pelan dan terus menunduk. "Iya, Bu." "Nanti jadi kebiasaan. Dia keenakan. Dia harusnya tanggung jawab keluarganya bukan kamu lagi. Kamu kan sudah mengurusi anaknya." Marni tahu semua itu dari Tia yang sudah bercerita. Dia pun tidak setuju dengan sikap putranya yang dirasa berlebihan. "Haris gak akan ngasih lagi kok, Bu." "Jangan seperti itu. Lebih baik uangnya kamu kasih istrimu yang jelas-jelas sedang hamil anakmu." "Iya, Bu. Haris gak akan ngulangin lagi." Tidak cukup sekali Haris meyakinkan ibunya. Marni kesal mengetahui itu. Karna sudah menyakiti hati Tia. "Kalau apa-apa tuh bilang ke istrimu. Jangan main mengambil keputusan sendiri." Haris menarik napas panjang dan menghempaskan karna ibunya terus menyudutkan dan memperingatkan. "Haris juga udah bicarain ini dengan Tia. Ibu