"Assalamualaikum." Ayra mengucap salam begitu pintu rumah Haris dibuka. "Waalaikumsalam." Mutia menjawabnya. Dia yang membukakan pintu. Ayra sejenak memperhatikan. Lalu mengulas senyum dan dibalas senyuman canggung gadis itu. "Silakan." Dia pun menyuruhnya masuk. Ayra masuk sembari menggendong bayi Arsya. Sedangkan Arka berada di tangan Darmi. Mereka mengikuti langkah baby sitter itu. "Ee, ada si kembar rupanya. " Marni menyambut ramah dan hangat mereka yang datang. Ayra cium tangan pada ibu mertuanya itu. "Sayangku yang cantik, sini nenek mau gendong." Marni mengambil alih bayi Arsya, menimang-nimang melepas kerinduan terhadap cucu. "Nenek kangen." Dia juga melihat bayi Arka pada Darmi, menyentuh pipinya. "Si ganteng, Nenek juga kangen." Senang sekali saat kedua cucunya datang. Karna tidak setiap hari di sini. "Kalian duduklah." Ayra dan asistennya pun duduk di sofa tak jauh dari mereka. "Mbak An, tolong ambilkan minum." "Tidak usah, Bu. Biar Ayra ambil sendiri." "Jangan. K
"Maaf, Mas, tangan saya." Tia mengingatkan tangannya yang masih dipegang. "Ah, ya, maaf." Haris pun melepaskan. Bisa-bisanya dia melakukan itu. Dirinya sedikit lancang menyentuh sembarangan. Tiba-tiba saja melakukannya. Sekarang dia sedikit malu. Tia berbeda dengan Tisa, membuatnya menjadi merasa tidak enak setelahnya. Gadis itu mengulum senyum kecil melihat sikapnya. "Sudah malam. Mau kan saya antar pulang?""Mau, Mas." Dia langsung menyahut manis dengan sapaan yang Haris inginkan. Tidak salah-salah lagi. Hati laki-laki itu menghangat dan tersenyum. "Yasudah, ayo." Dia keluar lebih dulu. Tia menyelimuti Dendy, Haris melihat itu semakin suka dia sudah peduli pada anaknya. Haris kemudian menutupkan pintu kamar setelah Tia keluar. "Titip Dendy, Bu. Mau mengantar Tia dulu." Pada Marni di ruang tamu Haris katakan itu. "Tidak usah hawatir. Pergi saja." Diliriknya Tia. "Kamu harus mengantarnya kasian sudah malam." "Tia pulang dulu, Bu." Gadis itu menyalami Marni, setiap mau pulang d
Ada yang menunggu saat Haris tiba di kantor. Seorang perempuan memakai masker putih penutup wajah. Dia menghampiri begitu Haris turun dari mobil. "Mas Haris!" panggilnya mendekat seraya memegang tangan Haris. Hingga lelaki itu tidak jadi melangkah. "Siapa kamu?" perempuan itu membuka maskernya, Haris terkejut melihat siapa dia. "Tisa?!" "Ini aku, Mas."Haris menepis tangannya beitu saja. "Mau apa kamu?" "Beri aku pekerjaan, Mas." Rasanya seperti mimpi melihat Tisa datang ke sini seteleh cukup lama dan meminta pekerjaan. Dia terlihat berbeda dari terakhir bertemu. Tampak sederhana dan tidak angkuh lagi. Penampilannya juga berbeda, dia sudah memakai hijab. "Tidak salah meminta pekerjaan ke sini? Ke mana suami kayamu itu? Yang dulu kamu banggakan!" balas Haris. Masih ingat, dia baru saja cerai dan masih masa iddah, tapi sudah menggandeng pria lain dipamerkan di hadapannya yang baru saja pulang dari rumah sakit. Parahnya meminta uang sejumlah tiga miliyar atas tebusan hak asuh anak
"Apa aku salah dengar?" Tia bergumam sendiri soal perkataan Haris. Dendy sudah tenang, duduk anteng di sisinya, menonton serial kartun di ponsel. Calon istri Haris berarti dia juga calon mama anak ini. Tia meliriknya, iyakah dia akan jadi mamanya? Diusap rambut anak itu seraya tersenyum kecil. Dirinya memang mudah akrab dengan anak-anak, termasuk Dendy. Tapi, bagaimana dengan Tisa? Mama anak itu masih mengharapkan Haris kembali, dia bahkan rela menjadi pengasuh pengganti asal bisa dekat, tapi Haris menolak. Perempuan itu pergi dengan marah setelah diusir. Haris duduk berdua dengan ibunya di ruangan lain. Lelaki itu tampak memijit kening. Setelah terjadi gaduh atas kedatangan mantan istri yang tidak disangka-sangka. "Aku gak nyangka Tisa bakal ke sini." "Ibu juga, Ris. Dia tiba-tiba datang." "Dia memang sudah berhijab sekarang. Tapi aku tetap tidak suka. Dia keterluan memfitnah Ayra sampai pisah dariku.""Ris, jangan ratapi itu. Nanti kamu akan sedih." Marni hawatir putranya belu
"Mau apa kamu? Berani datang ke sini." Satria meringsek maju ke hadapan Ayra. Menanyai dan mengintimidasi Tisa di depan mereka. "Tolong aku, Satria. Beri aku pekerjaan." Dia datang dengan hal sama seperti kepada Haris. "Di kantor Papamu, Satria, apa ada lowongan perkerjaan?""Tidak ada," sahut lelaki itu singkat. Jika ada pun dia tidak akan mau memberi tahunya. "Kalau begitu aku bekerja di rumahmu saja di sini. Kalian punya anak kembar kan? Boleh aku jadi baby sitter? Kalian pasti repot." Pasutri itu saling melirik. Dari mana dia tahu mereka punya anak kembar? Tahu Ayra hamil saja tidak dan baru bertemu sekarang. "Ayra boleh kan? Aku sangat membutuhkan pekerjaan," pintanya lagi tampak memelas. Ayra memperhatikan, dia memang berbeda secara penampilan. "Atau jadi ART juga tidak apa-apa, asal kalian beri pekerjaan." "Seorang Tisa mau jadi pembantu?" Satria berujar sanksi."Apapun itu aku mau terpenting tidak menganggur." "Kamu kan sarjana, kamu bisa melamar pekerjaan di tempat la
Bagaimana ini? Tia terus berjalan cepat. Marni melihatnya dan memanggil. Tia pun menoleh menghampiri. "Tia pulang dulu, Bu," pamitnya sembari cium tangan. Lupa dengan pesan Haris untuk jangan dulu pulang. Dirinya terlanjur malu dan ingin segera pergi. "Apa sudah pamit dengan Haris?" Tia tidak menjawab keburu berbalik dan keluar pintu rumah menenteng tasnya. Marni mematung heran melihatnya berlalu begitu cepat. "Kenapa anak itu? tidak seperti biasanya?" Haris beranjak duduk. Masih tersenyum. Sudah lama baru bersentuhan bibir lagi dengan lawan jenis meski tidak sengaja. Disentuh pelan bibir itu, semakin lebar senyum tersebut hingga memperlihatkan gigi putihnya yang rapi. Rasanya terlalu sebentar, jika boleh dia ingin lebih lama. Bibir Tia lembut dan basah. Tapi tidak bisa, Tia bukan gadis sembarangan. Bukan gadis gampangan untuk diajak berbuat mesra oleh orang yang bukan mahramnya. Haris pun menghormati komitmennya itu. Toh kalau sudah menikah nanti dia bisa bebas. Mau melakukan ap
"Sepertinya kita butuh baby sitter," ujar Satria tiba-tiba saat baru menyelesaikan sarapan. Ayra yang sedang menyusui Arka meliriknya. Sedangkan Arsya berada dalam kereta dorong tidak jauh dari mereka. "Tidak perlu, Mas. Aku masih sanggup mengurusi si kembar." "Aku kasihan energimu banyak terbagi, Ayra. Siangnya mengurusi si kembar, malamnya melayaniku." Satria akui hasratnya tinggi. Dan sering melakukan itu. "Setidaknya kalau ada baby sitter kamu tidak terlalu capek." Jadi jika malam dirinya meminta jatah stok energinya banyak. "Juga kalau libur aku bisa kapanpun bermesraan denganmu, karna si kembar ada yang jaga." Selain bermesraan malam-malam, Satria juga ingin bebas melakukannya saat siang libur bekerja dan tidak kemana-mana. "Kamu juga pake sufor ya, biar gak terlalu cape menyusui." Memberi ASI itu tidak mudah. Apalagi untuk bayi kembar. Seperti tidak ada habisnya. Satria kasihan melihat Ayra seperti kelelahan. Energinya sering dikuras. Kalau dibantu susu formula, dia tidak
Satria baru tiba di kantor sudah ditunggui Sasya di depan ruangan. Wanita itu bersandar pada dinding kaca dan tersenyum menyambutnya. "Pagi," sapanya ramah. Satria sejenak berhenti menarik napas kecil, sepagi ini dia sudah di sini. Dia lalu membuka pintu. Sasya hanya diliriknya sekilas. Satria malu serta tak enak karna diperhatikan para karyawan yang sama baru datang dan baru duduk di kubikelnya masing-masing. Sasya ikut ke dalam ruangan. Melihat lelaki itu duduk di kursinya dan bersiap bekerja. "Aku bawain sarapan buat kamu." Dia meletakkan kantong makanan yang sejak tadi dipegangnya. "Bawa kembali. Saya sudah sarapan.""Ya ampun, Satria gak usah bicara kaku begitu. Makanan ini kamu simpan saja buat nanti kalau lapar." Dia memaksa. Lalu duduk di hadapannya. Satria sudah mencoba abai tapi Sasya tak peduli. "Aku mau kerja, sebaiknya kamu keluar dari sini. Kamu juga harus bekerja di kantormu." Lelaki itu mulai jengah. "Aku mau membahas pekerjaan denganmu, tentang proyek itu. Aku
"Sasya sudah lahiran. Bayinya laki-laki," ujar Ayra. Satria mengeryit heran dari mana istrinya tahu soal ini? Dia sendiri saja tidak tahu. "Kok kamu tau?""Tau aja." Ayra berkata santai. "Tau dari mana? Temenan aja engga," cecar Satria. Mereka hanya tau wanita itu sakit perut saat di rumah sakit. Tidak tahu jenis kelamin bayi. Tapi Ayra? Entah dari siapa bisa tahu. "Bilang tau dari siapa?" tanya Satria lagi sedikit jengkel karna Ayra tidak mau buru-buru menjawab, malah memakan kue manis di hadapan dengan santainya. "Jawab, Ayra. Jangan buat aku penasaran," tekannya. "Gak mau." Satria menyentak pinggangnya hingga merapat. "Katakan." "Apaan sih, Mas.""Atau aku cium nih." Ayra masih diam saja malah senyum-senyum. Dia tidak takut dicium. "Atau aku melakukannya di sini. Buka baju kamu." Ayra melotot mendengar itu. Ini di ruang tamu. Satria tidak peduli, justru menyeringai dan mencoba membuka kancing bajunya. "Jangan, Mas!" Ayra pun menyingkirkan tangan tersebut. "Bagaimana kal
Sasya kesakitan, terus meraung menangis. "Sakit, Maa." Pada mamanya dia mengadu. "Padahal belum HPL-nya kok perut kamu sudah sakit aja." Mamanya pun heran. Dia sibuk mengusap keringat putrinya itu. Ibu mertua juga mengusap-usap perut Sasya. Alex cemas dan merasa bersalah. Gara-gara dia memaksa pergi tadi, Sasya jadi kesakitan. Dia menunduk memegangi tangan istrinya. Tapi oleh Sasya ditepis. "Pergi!" Bahkan dia diusir. "Sayang, gak boleh begitu," tegur mamanya. "Alex suami kamu. Dia sudah baik mau nemenin kamu periksa kandungan.""Ini semua gara-gara dia, Mama. Perut aku jadi sakit. Dia menyeretku pulang!" "Apa? Kamu benar melakukan itu Alex?" Mama Alex pun tidak diam saja mendengar itu. "Aku minta maaf. Aku cuma ngajak dia jalan cepet tadi.""Harusnya tidak boleh seperti itu, Alex!" Mamanya membentaknya. "Aku tau aku salah. Aku emosi tadi karna Sasya nyentuh pipi Satria." "Kalian bertemu Satria?" tanya Mama Sasya. Alex mengangguk. "Dia dan istrinya juga di sini tadi. Habis c
Sasya termenung dalam kamar, sambil mengusap perut gendutnya. Sekarang usia kehamilan sudah menginjak sembilan bulan. Pipinya lebih berisi, begitu juga tubuh yang menggendut karna nafsu makan bertambah. Sehari-hari, hanya mengurung diri dalam kamar. Dia tidak mau keluar. Malu sekedar bersapa dengan tetangga. Atau bertemu siapapun.Pintu terbuka. Masuk sosok Alex. Datang membawakan bingkisan makanan. Tersenyum saat melihat istrinya itu. "Sayang, aku bawakan makanan untuk kamu." Diletakkan kantung itu di meja samping ranjang. Sasya melirik. Betapa dia perhatian. Dia juga tidak protes terhadap perubahan di tubuhnya. Tapi meski begitu, Sasya masih tidak cinta. Dulu pacaran dengannya sebatas iseng dan kesenangan semata tanpa niat serius untuk dinikahi. Alex hanya pelampiasan rasa kesepian saja. "Aku bukain ya." Alex membuka bingkisan itu. Kemudian meraih sendok yang ada dalam kotaknya hendak menyuapi Sasya. Tapi Sasya menepis, sampai makanan terjatuh. "Kamu gak usah sok baik. Aku gak
Mau tidak mau Sasya digiring masuk ke dalam mobil Papanya. Begitu juga Alex, ikut menemani. Mereka meminta maaf atas kegaduhan yang Sasya buat. Mobil itu pun membawa mereka pergi. Satria menghela napas lega. Sekarang, masalahnya benar-benar selesai. Diliriknya Papanya yang ikut hadir di sini. "Terimakasih Papa sudah datang." Dia yang mengajak Papa Sasya untuk melihat kelakuan putrinya. "Akan Papa usahakan supaya pernikahan anak Papa baik-baik saja," jawab lelaki itu tersenyum tenang, sambil menepuk pelan bahunya. Dia tahu prahara yang terjadi dalam rumah tangga anaknya, sebisa mungkin membantu. Satria kemudian melihat Haris. "Terimakasih Mas Haris sudah repot-repot kasih bukti." "Tidak perlu berterimakasih, Satria. Kamu sendiri sudah banyak menolongku. Sudah sewajarnya Masmu membantu." Satria tersenyum mendengar untaian kata-kata sejuk dari sang kakak. Haris jauh lebih dewasa dan lebih bijak. Dengan kesadaran dan keinginannya sendiri dia membantu mencari bukti kebohongan Sasya.
"Jangan mengaku-ngaku kamu!" Satria menolak tegas. Yakin itu bukan anaknya. "Usia kehamilanku 6 bulan, tepat setelah kejadian malam itu." "Tidak. Aku yakin aku tidak melakukannya denganmu!" "Kamu harus bertanggung jawab, Mas Satria. Kamu harus nikahin aku. Setelah anak ini lahir aku yakin akan mirip sama kamu." Sasya mengelus-elus kembali perutnya. Lalu melirik Ayra yang masih mematung shock. Matanya memerah dan tampak berkaca-kaca. "Ra, aku rela jadi istri kedua. Ijinkan Mas Satria menikahiku. Kasihan anak ini kalau lahir tanpa Ayah." Sasya memasang wajah memelas. Tidak peduli Ayra yang sakit hati akan kedatangannya, malah meminta berbagi suami. "Selama ini aku diam saja. Aku lalui trimester pertama sendirian. Mual, muntah ... aku tidak ingin mengganggu kalian. Tapi aku tidak bisa terus seperti itu. Aku juga ingin anak ini diakui Ayahnya." Air matanya menetes saat menceritakan itu. Betapa dia ingin bisa bersama Satria. "Aku mencintai Satria. Aku janji akan jadi istri yang baik
Tisa sudah ditangani dokter dan kini berada di ruang rawat. Setetes demi setetes cairan terjatuh dari kantung infusan, mengalir lewat selang dan masuk ke tubuh perempuan itu melalui jarum infus. Haris berdiri memperhatikan. Tisa tidak berdaya oleh penyakitnya. Selama ini dia menahan sendirian. Entah bagaimana jadinya jika dia tidak pergi ke kontrakannya. Sepasang matanya yang terpejam akhirnya terbuka secara perlahan. Melihat hanya Haris seorang yang ada di dekatnya. "Mas ...." lirih dia memanggil. "Kamu di rumah sakit. Aku yang membawa ke sini." Mata Tisa berkaca-kaca, dia kira dirinya sudah mati. Tapi ternyata dibawa berobat. "Kamu tidak usah bawa aku ke sini, Mas." "Mana mungkin orang hampir sekarat kubiarkan." Haris tidak setega itu, meski keduanya pernah saling membenci. "Dendy mana, Mas?""Di luar bersama Tia. Anak kecil tidak boleh masuk." "Aku ingin bertemu.""Harus sembuh dulu." Tisa menunduk sedih. Menyesal tidak pergi ke rumah Haris untuk menemui anaknya. Menyesal
"Aku bawain hadiah jam tangan bagus buat kamu." Tanpa mempedulikan Ayra, Sasya mendekat memberi kotak kecil berpita yang dibawanya. "Buka aja. Ini jam tangan mahal. Buat kamu aku ngasih yang spesial." Satria tidak menerima. Dia malah melirik istrinya. Raut wajah Ayra berubah memerah karna marah. "Sayang, aku nggak ngundang dia. Aku nggak tahu dia akan ke sini." Dirinya sibuk menjelaskan. Tidak mau Ayra salah paham lagi. Entah dari mana Sasya bisa tahu acaranya. "Kamu emang nggak ngundang aku. Tapi aku tahu ini hari lahirmu. Tidak seperti istrimu yang lupa. Payah!" Dia menyimak percakapan mereka tanpa diketahui kehadirannya. Dada Ayra bergemuruh dicibir seperti itu. Satria hawatir dia marah besar. "Tidak usah dengerin omongan dia. Ayo, kita pergi saja." Dia pun memutuskan menghindar. Menyudahi acara yang menurutnya sudah kacau. Tapi Ayra bertahan di tempat. Dilepaskan tangan Satria yang memegangnya. "Kamu tidak lupa kejadian malam itu kan, Mas Satria? Aku melihat isi dompetmu. Di
"Bagaimana hadiah dariku sudah sampai?" Saysa menghadang langkah Satria yang baru tiba di basement kantor. "Sudah.""Oh, ya? Terus gimana? Istrimu yang alim itu pasti shock." Satria tersenyum sinis menanggapi ucapannya. Dia sengaja berbuat ulah. Seniat itu ingin menghancurkan hubungannya dengan Ayra. "Kamu tidak usah repot-repot mengirim barang seperti itu ke rumahku. Gak usah buang-buang uang untuk mengusikku." "Aku kan sedang memperjuangkan cintaku dan cintamu yang dulu tertunda." "Hanya kamu. Aku tidak!" tegas Satria. Dia tidak menyukainya lagi sejak lama. Justru yang ada membenci sikapnya yang begini. Laki-laki itu lalu pergi. Menjauhi mobil yang sudah terparkir rapi. Sasya mengikuti. Dengan tidak tahu malunya menggandeng tangan mesra. Satria melepaskan, tapi dia meraih lengannya lagi. Satria malu dilihat orang lain dan tidak ingin jadi pusat perhatian atau bahan gosip. Dan tentu bisa menjadi bahan masalah lagi dengan Ayra di rumah. "Kamu itu apaan si!" Sekali lagi dia lep
"Ris, kamu jangan ngasih uang sama Tisa kalau dia datang lagi." Saat makan bersama Marni membicarakan itu. Haris berhenti menyendok nasi melirik ibunya. Sementara Tia tetap melanjutkan makan dengan pelan dan terus menunduk. "Iya, Bu." "Nanti jadi kebiasaan. Dia keenakan. Dia harusnya tanggung jawab keluarganya bukan kamu lagi. Kamu kan sudah mengurusi anaknya." Marni tahu semua itu dari Tia yang sudah bercerita. Dia pun tidak setuju dengan sikap putranya yang dirasa berlebihan. "Haris gak akan ngasih lagi kok, Bu." "Jangan seperti itu. Lebih baik uangnya kamu kasih istrimu yang jelas-jelas sedang hamil anakmu." "Iya, Bu. Haris gak akan ngulangin lagi." Tidak cukup sekali Haris meyakinkan ibunya. Marni kesal mengetahui itu. Karna sudah menyakiti hati Tia. "Kalau apa-apa tuh bilang ke istrimu. Jangan main mengambil keputusan sendiri." Haris menarik napas panjang dan menghempaskan karna ibunya terus menyudutkan dan memperingatkan. "Haris juga udah bicarain ini dengan Tia. Ibu