Camelia tak menampik ucapan suaminya, meski ucapan pria itu tak sepenuhnya benar.
“Menyebalkan!” batin Camelia. Meski hati Camelia dipenuhi keraguan, ada sesuatu dalam cara Rainer berbicara yang membuatnya sedikit goyah. Mata suaminya itu, meski sering kali penuh dengan perhitungan, kali ini tampak tulus dan khawatir. "Aku tahu ini sulit untukmu," Rainer melanjutkan, suaranya lebih lembut, "tapi aku hanya ingin kamu aman. Itulah sebabnya aku memastikan malam ini, Danar tidak bisa mengganggu kita." Camelia mengangkat alisnya. "Apa maksudmu?" Rainer menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi, dengan santai dia menjawab, "Tidak perlu khawatir aku hanya membuatnya sedikit sibuk dengan masalah pekerjaan yang tidak bisa dia tinggalkan. Dia terlalu sibuk sekarang untuk memikirkan kita." "Jangan macam-macam kamu, Rai!"<"Apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Camelia, nada suaranya tetap santai meski ada sedikit kekhawatiran. “Aku sudah menghubungi beberapa orang untuk menyelidiki hal ini,” jawab Rainer. "Kamu berhati-hatilah. Jangan percaya siapa pun, bahkan Danar sekalipun,” imbuh Rainer. Kata-kata terakhir Rainer membuat Camelia tersentak. “Kamu masih menuduh Kak Danar? Rai, dia orang yang bisa aku percaya, dan aku tidak melihat alasan mengapa dia akan mengkhianatiku. Aku lihat selama ini kalian juga bersaing secara adil. Kalau begitu aku juga harus berhati-hati denganmu,” balas Camelia. Rainer mendengkus pelan, kesal mendengar istrinya membela Danar mati-matian, apalagi memanggil rivalnya itu dengan sebutan “Kak” sedangkan dengannya wanita itu hanya menyebut nama. “Lia, kamu harus sadar. Dunia ini tidak sehitam dan seputih itu. Orang-orang bisa berubah menjadi abu-abu. Bahkan mereka yang terlihat pa
Rainer hanya menatap datar pada Agnes dan Camelia bergantian.“Maaf, Nona. Tapi kami tidak ingin diganggu oleh siapapun, jadi kalian bisa menggunakan meja lain, di restoran ini masih banyak yang kosong,” sahut Danar.Dia bukan hanya ingin membantu Camelia tetapi juga tidak mau ada orang lain mengganggu sarapannya bersama wanita itu.“Kenapa begitu, aku hanya ingin mengobrol dengan Camelia, kami sudah lama tidak bertemu?” balas Agnes.Tentu saja itu bukan alasan yang sebenarnya, dia hanya ingin menunjukan kepemilikan atas Rainer.“Masih bertanya kenapa? Coba kalau tukar posisi, kalau jadi kami apa Anda juga akan setuju ada orang lain bergabung?” ucap Danar lagi, nada bicara sedikit meninggi.Camelia menyentuh tangan Danar dengan lembut dan berkata, “Kakak, tenangkan dirimu. Aku juga tidak mau ada ulat bulu duduk bersama kita, nanti aku gatal-gatal.”Rainer dan Agnes menatap kesal ke arah Camelia, tetapi berbeda kondisi. R
“Kekasih yang pada akhirnya tak bisa bersatu maksudmu? Kamu tahu kenapa sampai sekarang Rainer tidak juga menceraikanku dan menikahimu?” tanya Camelia penuh intimidasi.Agnes menatap Camelia dengan kekesalan yang menggunung.“Karena sebenarnya Rainer itu mencintai dan peduli padaku lebih dari yang dia rasakan, alias dia tidak sadar,” jawab Camelia dengan percaya diri. Dia sengaja memprovokasi Agnes.“Kamu hanya istri status, tidak lebih! Aku juga tahu Rainer belum pernah menyentuhmu, jangan sombong di depanku!” balas Agnes.Camelia menyeringai lalu berjalan mendekati Agnes dan berbisik di telinganya, “Kamu tidak tahu betapa dahsyatnya Reiner di atas ranjang.”Setelah mengatakan itu Camelia berjalan menjauh dari Agnes dengan senyum penuh kemenangan telah berhasil membuat kekasih suaminya itu kesal. Meskipun semua itu hanya sebuah kebohongan untuk menjatuhkan lawan.Agnes memandang punggung Camelia yang semakin membaur diantara kerumunan. Hatinya kesal.“Kamu pikir kamu sudah menang? Ka
Ponsel Rainer tak berhenti berdering sejak tadi. Dengan rasa malas dia melihat siapa pelaku yang membuat istirahatnya terganggu. Nama rivalnya--Danar terpampang nyata di sana.“Ya, Danar? Ada apa?” tanya Rainer.“Rai, apakah Camelia ada bersamamu?” Danar langsung bertanya tanpa basa-basi.Rainer mengernyitkan keningnya, suaranya berubah jadi serius.“Camelia? Bukankah kalian selalu bersama? Kenapa bertanya padaku?”“Dia tidak ada di kamarnya, dan aku tidak bisa menghubunginya. Kamu tidak sedang berbohong padaku?” Danar kembali bertanya penuh dengan penekanan.Rainer mengernyitkan keningnya sebelum menjawab, "Aku tidak tahu, Danar. Aku juga belum bicara dengannya. Kalau dia tidak ada di kamarnya, kemungkinan dia sedang pergi entah ke mana. Camelia tahu bagaimana menjaga dirinya sendiri."Danar mengerang frustrasi. "Ini berbeda. Dia selalu memberitahuku jika ada sesuatu. Sekarang dia menghilang begitu saja tanpa
Braaakkk!!!Suara pintu terbuka dengan kasar, terdengar tajam di pendengaran Camelia.“Heh, bangun! Kamu pikir di sini kamar hotel?”Camelia terbangun dalam kegelapan. Kepalanya terasa berat, dan seluruh tubuhnya terasa kaku. Matanya masih tertutup kain, dan tangan serta kakinya terikat dengan kuat di sebuah kursi kayu. Dia mencoba menggerakkan tubuhnya, tapi setiap kali dia bergerak, tali itu semakin erat. "Di mana aku? Apa yang terjadi?" tanya Camelia dalam hati.Yang terakhir dia ingat adalah keluar dari dari cafe kecil di pinggiran kota, tapi setelah itu semuanya menjadi buram.Suara deritan pintu yang perlahan menutup dan suasana yang sepi membuat Camelia yakin dia tidak lagi berada di tengah kota. Suara langkah kaki terdengar mendekat. Camelia menahan napas, mencoba mendengar dengan lebih jelas.“Akhirnya kamu bangun juga." Sebuah suara wanita terdengar, dingin dan penuh kebencian.Camelia seperti mengena
“Aku bilang, aku tidak ingin terlibat,” jawab Camelia dengan suara bergetar.Pria itu menarik kursi itu, lalu menghentikan langkah dan mendorong kursi itu ke tembok dengan kasar.“Dengar Camelia Agatha, kamu sudah terlibat dalam permainan ini. Kamu adalah umpan yang pasti akan dimakan oleh Rainer,” ucap pria itu seraya mencium rambut panjang Camelian. Hal yang membuat Camelia jijik.“Kamu salah orang, Rainer tidak akan bersusah payah menyelamatkanku,” balas Camelia.Camelia memang tidak yakin Rainer akan menyelamatkannya.“Oh, ya? Mari kita lihat nanti.”Pria itu keluar dari ruangan itu dengan angkuh.Kurang lebih dua hari telah berlalu. Selama dua hari ini setiap kali ada kesempatan, Agnes selalu melampiaskan semua kekesalannya pada Camelia, menampar, menjambak, memukul.Kondisi Camelia saat ini cukup lemah, irama jantungnya mulai tak bersahabat, dia hanya bisa berharap keajaiban akan datang padanya.“
Ruangan itu sunyi mendadak sunyi dan dipenuhi ketegangan. Camelia tak berdaya dengan wajah pucat, napas terengah, tenaganya terkuras habis."Rai, jangan pedulikan aku. Jangan sampai semua itu jatuh ke tangan mereka," ucap Camelia dengan suara yang begitu lemah.Agnes segera berjalan mendekat ke arah Erwin. "Wah, wah, kami harus menyaksikan drama rumah tangga yang dramatis," sindir Erwin. Agnes berdiri di samping pria itu dengan tatapan licik, memegang kendali penuh dalam situasi ini. Dia tak perlu lagi bersikap pura-pura, setelah usahanya merebut hati Rainer sudah jelas-jelas gagal.Rainer yang berdiri tak jauh dari Camelia, mengepalkan tangan dengan kuat. Dia tak pernah membayangkan situasinya akan sampai sejauh ini, cukup berbahaya untuk Camelia. Melihat Camelia dalam kondisi yang cukup berbahaya Rainer seperti tak bisa lagi menahan menahan amarah yang semakin membara. Namun, dia tetap mengatur agar logikanya tetap be
Sementara itu, Erwin yang merasa semakin terdesak, mulai kehilangan kendali atas situasi. “Agnes! Cepat bawa dokumen itu kemari!” teriaknya.Agnes, yang masih bersandar di tembok menahan sakit pun menoleh ke arah Erwin. Dia tidak pernah berada di situasi seperti ini membuatnya tidak tahu harus berbuat apa. Yang dia tahu saat ini adalah menghentikan perdarahan segera mungkin.“Kita tidak punya pilihan lagi, Erwin! Kita harus mundur!" ucap Agnes dengan suara tersengal seraya menunjukkan dokumen yang sudah ada di tangannya.Tetapi Erwin merasa curiga kenapa Rainer begitu tenang meski dokumen itu ada di tangan Agnes.“Kamu menipuku, Rai? Itu pasti bukan dokumen yang kuminta,” ucap Erwin dengan rahang yang mengeras.“Kamu sudah kalah, Erwin,” kata Rainer dengan nada rendah tapi penuh kemenangan, "lepaskan senjatamu dan akhiri semua ini sebelum kamu menyesal.”"Kamu pikir aku akan kalah? Kamu pikir aku tidak merencanakan ini
Tirai putih menjuntai dari langit-langit, menghiasi aula dengan kemewahan yang menenangkan. Rangkaian bunga mawar putih dan lilin-lilin tinggi menghiasi sisi-sisi jalan menuju altar. Denting piano mengalun lembut, menggiring langkah Levi yang berdiri tegap menanti di ujung sana. Jas hitamnya melekat rapi, dasi kupu-kupu menghiasi lehernya, dan senyum gugup itu tidak bisa bersembunyi meski wajahnya berusaha tampak tenang.Anne melangkah perlahan, gaun putihnya jatuh anggun menyapu lantai, taburan payet menyala lembut. Mata mereka saling mengunci, dan dunia seakan hening, hanya mereka berdua, dan debar yang berkejaran di dada.Suara tawa kecil menyelingi isakan haru, ketika Levi dengan suara sedikit gemetar mengucapkan janji suci. Anne menatapnya, mata yang dulu ragu kini bersinar penuh keyakinan. Ketika mereka saling mengikat janji, tamu-tamu bersorak dan di antara mereka, Camelia mengusap sudut matanya yang basah, sementara Rainer menepuk punggung Levi saat keduanya turun dari altar
Suara kursi yang digeser Clay terdengar tegas. Bocah itu berdiri, menatap ayahnya dengan ekspresi serius yang jarang muncul di wajah polosnya.“Aku nggak setuju, Pi,” ucap Clay langsung pada intinya.Danar mengangkat alis, meletakkan dokumen kerjanya ke samping. “Apa yang kamu maksud?”“Aku nggak setuju punya mama baru, kalau bukan Tante Camelia,” jawab bocah itu, tegas.Wajah Danar melembut, bibirnya membentuk senyum kecil yang tak sepenuhnya ceria. “Kamu masih suka Tante Camelia karena dia baik, dan karena kamu terbiasa sama dia. Tapi kamu juga harus ingat, Tante Camelia sudah bahagia bersama Om Rainer dan juga Reyaga. Orang lain bisa salah paham jika kamu bicara seenaknya seperti itu,” balas Danar dengan penuh pengertian.Clay memeluk tubuhnya sendiri, menghindari tatapan Danar. “Iya aku tahu tapi aku tidak suka liat Papa dekat dengan perempuan lain.”Danar menghela napas, bangkit dari sofa, lalu berjongkok di depan putranya. “Clay, dengarkan Papi. Papi juga tidak sedang dalam
Dua insan duduk saling berhadapan. Gelas mocktail dengan irisan jeruk nipis itu diletakkan kembali sebelum isinya menyentuh bibir. Cahaya remang menggantung di antara keduanya, seolah ikut menahan napas. Suasana restoran seharusnya membantu, namun hati Levi justru berdebar semakin kacau. Tangannya terlipat di atas meja, matanya menatap lurus ke arah gadis di hadapannya.“Jadi apa yang ingin kamu bicarakan sampai mengajakku makan malam di tempat seperti ini?” tanya Anne yang mulai tidak sabar karena Levi lebih banyak diam hari ini, berbeda dengan biasanya.Sebelum menjawab pertanyaan itu, Levi menghela panas lalu berdehem.“Kamu pernah suka pada seseorang, tapi takut itu cuma perasaan sepihak?” Ternyata yang keluar dari bibirnya bukanlah jawaban. Melainkan sebuah pertanyaan.Anne membulatkan mata, seolah tidak menduga arah pembicaraan. Jemarinya yang memegang sendok tiba-tiba berhenti. “Kamu sedang bertanya soal aku, atau soal kamu?”Levi menautkan jemarinya di atas meja.“Aku hanya
Sunyi.Mata Camelia menyapu wajah suaminya. Di dalam pantulan manik kelam itu, ada satu bahasa yang tidak perlu diterjemahkan, cinta yang utuh, dan kebanggaan yang tidak bisa ditutupi.Rainer membalas pandangan itu, ujung bibirnya naik pelan.“Namanya akan kami umumkan saat acara syukuran nanti,” jawab Rainer diiringi dengan senyuman.Levi mengangkat alis.“Nggak asyik. Padahal aku sudah tidak sabar ingin memanggil namanya.”“Makanya menikah, biar kamu juga bisa merasakan betapa bahagiannya punya junior dan memanggil namanya untuk pertama kali,” balas Rainer.Levi berdecak, tapi tidak menanggapi, daripada dia harus mendengar ucapan Rainer yang menjengkelkan.*Gelak tawa menggema, aroma bunga segar dan makanan rumahan memenuhi udara, berbaur dengan hangatnya percakapan para tamu. Beberapa rekan bisnis Rainer berdiri dengan gelas di tangan, menyelam dalam obrolan santai. Daisy tampak sibuk mempersilakan orang-orang untuk duduk, sementara Anne dengan cekatan menjaga jalannya hidangan.
Di sepanjang perjalanan, tangan Rainer tidak pernah lepas dari Camelia. Jari-jarinya mengusap punggung istrinya, suaranya terus berbisik lembut, meskipun kegelisahan jelas terbaca. Sesampainya di rumah sakit, semuanya terasa seperti kekacauan yang teratur. Rainer pikir Camelia bisa segera melakukan persalinan ternyata mereka harus menunggu karena belum waktunya. “Dokter, apa tidak bisa lebih cepat? Lihatlah istriku sudah sangat kesakitan,” ujar Rainer. Dokter hanya tersenyum, sepanjang dia menjadi dokter, sudah sering melihat suami yang panik seperti itu. Rainer terus menemani Camelia menjalani proses menuju persalinan, seakan-akan ikut merasakan kesakitan yang dialamai istrinya. Setelah lebih dari sepuluh jam berada di rumah sakit, Camelia akhirnya siap untuk melakukan persalinan. Dokter dan perawat sigap membawa Camelia ke ruang bersalin. Rainer tidak peduli pada siapapun selain wanita yang sekarang terbaring di ranjang dengan ekspresi menahan sakit. Dia menggenggam tan
Rainer tersenyum, melirik istrinya, lalu mengaduk minumannya dengan santai. "Kamu terlalu memikirkan mereka, Sayang. Benar-benar seperti emak-emak yang sedang mencarikan jodoh untuk anaknya," ujar Rainer. "Jelas aku memikirkan mereka! Anne itu orang terdekatku saat ini setelah kamu. Levi orang terdekatmu setelah aku, apalagi dia memohon-mohon cuti pada bosnya yang kejam ini agar bisa berkencan dengan seorang wanita," balas Camelia cepat. "Oh iya, tentang Levi, dia selalu bersikap seolah-olah paling mengerti hubungan, paling berpengalaman, layaknya pakar cinta seperti yang kamu bilang. Tapi sekarang? Kenapa dia malah seperti ini? Bikin aku gregetan," imbuh Camelia. Rainer terkekeh, mengangkat bahu. "Levi selalu berhati-hati dalam setiap langkahnya. Dia bukan tipe yang terburu-buru. Terlalu banyak berpikir sebelum bertindak, itulah sebabnya dia belum memiliki kekasih padahal usianya sudah kepala tiga." "Ya, tapi kalau terus seperti ini, Anne bisa bosan, bisa-bisa aku jodoh
“Selamat malam, Nyonya-nyonya.” Suara berat itu menyusup di antara obrolan, membuat Camelia dan Vanessa menoleh. Danar berdiri dengan setelan abu-abu yang rapi. Ekspresinya santai, tapi sorot mata itu tidak bisa menyembunyikan perasaan yang bergulat di dalam dada. Danar dan Camelia bertemu pandang, wanita itu menyunggingkan senyum yang celakanya masih membuat hati Danar berdesir. "Kamu benar-benar sulit ditemui sekarang,” ujar Danar. "Wajar, dia sekarang lebih sibuk dengan keluarga kecilnya," kata Vanessa menimpali sambil tersenyum. Tatapan Danar turun ke perut Camelia yang mulai membuncit. Ada kebahagiaan yang dia rasakan karena itu sebuah tanda jika hidup wanita itu lebih baik dan yang pasti, bahagia. Tetapi juga sesuatu yang tertahan di balik senyum tipisnya. Sejenak, hatinya terasa kosong. Camelia menangkap tatapan itu, tetapi memilih untuk bersikap biasa saja. “Apa kabar, Pak Danar?” Ada sesuatu di hati Danar, Camelia bahkan sudah tidak memanggilnya ‘kakak’ lagi.
“Selamat malam, Nyonya-nyonya.” Suara berat itu menyusup di antara obrolan, membuat Camelia dan Vanessa menoleh. Danar berdiri dengan setelan abu-abu yang rapi. Ekspresinya santai, tapi sorot mata itu tidak bisa menyembunyikan perasaan yang bergulat di dalam dada. Danar dan Camelia bertemu pandang, wanita itu menyunggingkan senyum yang celakanya masih membuat hati Danar berdesir. "Kamu benar-benar sulit ditemui sekarang,” ujar Danar. "Wajar, dia sekarang lebih sibuk dengan keluarga kecilnya," kata Vanessa menimpali sambil tersenyum. Tatapan Danar turun ke perut Camelia yang mulai membuncit. Ada kebahagiaan yang dia rasakan karena itu sebuah tanda jika hidup wanita itu lebih baik dan yang pasti, bahagia. Tetapi juga sesuatu yang tertahan di balik senyum tipisnya. Sejenak, hatinya terasa kosong. Camelia menangkap tatapan itu, tetapi memilih untuk bersikap biasa saja. “Apa kabar, Pak Danar?” Ada sesuatu di hati Danar, Camelia bahkan sudah tidak memanggilnya ‘kakak’ lagi.
“Halo, dengan Tuan Rainer Wijaya, kami dari rumah sakit, ingin memberi tahu jika Nyonya Camelia pingsan dan dibawa ke rumah sakit.” Jantungnya berdegup lebih cepat. “Ada apa, Rai?” “Camelia dibawa ke rumah sakit, Lev.” Tidak menunggu waktu yang lama Rainer langsung bergegas menuju rumah sakit. Tangan Rainer mencengkram kemudi dengan erat, buku-buku jarinya memutih. Napas memburu, tubuh terasa panas, tapi bukan karena udara di dalam mobil—melainkan ketakutan yang perlahan-lahan merayap naik. Camelia pingsan. Rumah sakit. Mungkin aritmianya kambuh? Tiga hal itu terus berputar di kepalanya, memukul saraf-saraf kewaspadaan hingga jantungnya berdegup tak karuan. Steve. Itu pasti karena pria itu. Jika dia tahu pertemuan sialan itu akan membawa dampak sebesar ini, dia tak akan membiarkan Camelia keluar rumah. Sial. Harusnya dia lebih waspada. Harusnya dia tidak meremehkan dampaknya. Mobil berhenti dengan hentakan kasar di depan pintu gawat darurat. Rainer keluar tanpa