Ini hari yang sudah ditunggu-tunggu oleh Nina dan juga Tikta. Hari yang awalnya ingin mereka lalui secara biasa saja tanpa mewah dan meriah namun akhirnya menyerah pada keinginan kedua orangtuanya.Sejak malam Nina sudah begitu resah, dia sulit untuk tertidur dan entah mengapa bayi di dalam perutnya juga sudah tidak mau diam.Pagi hari, Nina sudah bangun dan orang-orang yang bertugas meriasnya sudah datang. Nina menginap di hotel sebelah venue, bersama dengan keluarga Tikta. Dia duduk di depan meja rias dan mulai di dandani, ketika sedang dirias tiba-tiba rasa kantuk menyerangnya.Dia memejamkan matanya.Hanya sekitar sepuluh detik dan dia membuka matanya, ketika dia membuka mata dari pantulan cermin terlihat wajah Tikta. Pria itu tengah menatap ponsel di tangannya, membiarkan bahunya menjadi sandaran Nina yang terlihat sudah rapi. Nina terlonjak kaget, disusul Tikta yang terkejut juga.“Ya ampun, sudah bangun?” Tanyanya, suaranya yang berat itu terdengar begitu lembut dan dewasa seca
Nina dan Tikta sampai ke pulau bali pukul tengah malam waktu setempat, mereka langsung disambut oleh orang yang ditugaskan menjemput keduanya dan membawa mereka ke Villa milik keluarga Sahasika.Nina dibuat menganga melihat betapa besar Villa tersebut. Dia mendadak berpikir jika mengajak seluruh karyawannya disini mungkin mereka akan sangat bahagia, ruangan yang begitu besar dan luas, kolam renang, ruang tidur yang banyak.“Kamu yakin kita berdua aja disini?” Tanya Nina pada Tikta ketika mereka sudah masuk ke dalam Villa dan menunggu semua koper diturunkan, sebagian koper sudah dikirim ke rumah Nina dan Tikta sudah meminta asisten rumah tangganya untuk merapikan semuanya disana.“Kenapa? Kamu takut? Kegedean ya? Mau ganti ke tempat yang lebih kecil? Aku masih ada Villa disini..”Nina terdiam kemudian menggeleng.Dia tidak ingin tahu lebih banyak Villa keluarga konglomerat tersebut.“Kamu mau tidur diatas?” Tanya Tikta kemudian, Nina menatap tangga yang menjulang tinggi keatas. Menghit
Wanita itu mulai bercerita bagaimana masa kecilnya, masa kecil yang baginya tidak ingin lagi diungkit maupun dikenang. Bukanlah masa kecil yang menyenangkan bahkan untuk sekedar diingat.Dia tinggal bersama neneknya ketika kecil, hidupnya jauh dari kata berkecukupan. Neneknya selalu mengakali bagaimana mereka bisa makan dua kali sehari, ibunya telah tiada.“Ibuku, sudah gak ada waktu aku kecil. Aku cuma hidup sama nenek.” Dia berkata pada Tikta yang masih menatapnya. “Ayahku juga gak ada..”“Kabur?” Pertanyaan Tikta membuat Nina menoleh, wanita itu tersenyum dan menggeleng pelan.“Ayahku masuk penjara.”Mata Tikta melotot seketika, terkejut dengan jawaban Nina yang terkesan santai dan biasa saja.“Ayahku membunuh ibu waktu aku masih bayi.”Tikta sudah tidak tahu bagaimana ekspresi yang dia tampilkan di depan Nina tapi dia sama sekali tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya mendengar hal itu. Dia tahu beberapa hal mengenai keluarga Nina karena orangtuanya lebih dulu mencari tahu lata
Sejak pagi Nina sudah disibukkan dengan banyaknya email yang masuk. Dia tidur terpisah dengan Tikta, keduanya menempati kamar di bawah karena Tikta merasa tidak nyaman harus meninggalkan Nina seorang diri di bawah.Nina baru selesai menyikat gigi dan membasuh wajahnya ketika tiba-tiba Tikta masuk ke dalam kamar, lagi-lagi tanpa mengetuk terlebih dahulu.“Mau sarapan?” Tanya Tikta, muncul di balik pintu. Rambutnya sudah setengah kering padahal waktu masih menunjukkan pukul tujuh pagi dan semalam mereka sampai ke Villa pukul tiga pagi.Nina mengangguk, pria itu pergi tanpa berkata apa-apa lagi. Nina terkadang bingung dengan sikap pria itu yang seenaknya masuk dan keluar tanpa berpikir Nina mungkin sedang berganti pakaian atau apa.Nina kembali pada laptop dan tabnya, mengecek semua pekerjaan yang baru saja masuk ke dalam email. Ada beberapa permintaan untuk sebuah event, setelah pernikahannya selesai kemarin email pekerjaannya semakin ramai, beberapa pesan masuk secara langsung ke ponse
Nina dan Tikta keluar pukul satu siang, mereka berencana makan dan juga pergi ke laut sesuai permintaan pria itu. Ketika keluar dari kamar dan menemui Tikta ada perasaan berbeda yang Nina rasakan, pria itu seperti sedang dalam mood yang tidak baik.Tikta bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Tapi entah kenapa Nina bisa merasakan perubahan pria itu, mereka tiba di tempat makan siang. Memesan makanan dan mulai menyantap pesanan mereka.“Disini enak juga, tempatnya lumayan sepi.” Ujar Nina membuka pembicaraan, dia seperti memiliki kewajiban untuk memulai topik baru melihat bagaimana Tikta berusaha untuk bersikap biasa saja padanya.Tikta mengangguk, “Disini langganan aku, dulu aku sering kesini.” Katanya, raut wajahnya berubah seperti sedang bersedih. Nina menatap pria itu dengan pikiran yang menduga-duga.“Aku dapat tawaran endorse,” Ucapnya, kali ini berusaha mengalihkan topik lebih jauh lagi agar Tikta tidak terbebani dengan entah apa yang ada di dalam kepalanya sekarang. Nina mengad
Nina lagi-lagi di buat melongo oleh Tikta, pria ini masuk ke sebuah wilayah yang Nina ketahui apa namanya. Masuk terus ke dalam dan kemudian berhenti di sebuah Villa yang lebih besar dari yang mereka tempati sekarang, Tikta keluar dari dalam mobil, membantu Nina turun dan kemudian membawa tas punggung yang entah apa isinya.“Ini Villa siapa?” Pertanyaan yang semestinya tidak perlu Nina pertanyakan karena sudah tahu siapa pemiliknya.“Keluarga Sahasika.” Jawab Tikta, kemudian dia menelepon seseorang. Mereka tidak menunggu lama ketika seorang pria datang menghampiri.“Siang, oh ini istrinya mas Tikta?” Ujar seorang pria berkepala plontos sambil membungkuk dan menyodorkan tangannya. Nina buru-buru menyambut tangan itu dan keduanya berjabat tangan.“Ini pak Anto, beliau dari jawa, tapi aku bawa ke Bali khusus untuk jaga Villa disini.”Nina mengerenyit, “Ini Villa punya mas Tikta, pak Ega yang belikan waktu mas Tikta ulang tahun ke delapan belas. Tapi mas Tikta gak mau, jadi katanya ketimb
Nina tengah meringkuk di sofa besar yang terletak di ruang tengah Villa tersebut, setelah berjalan menyusuri pantai dan berbincang dengan Tikta serta menikmati kelapa muda yang segar di pinggir pantai perutnya terasa begitu kencang.Bayinya terus menendang, dan perut bawahnya terasa sakit.Jadi dia kembali keatas sambil di gendong oleh Tikta, dia tidak sempat merasa malu karena rasa sakit yang dia rasakan.Tikta sudah menelepon dokter kandungan di Bali yang keluarga intinya kenal dan dokter itu sedang di perjalanan menuju Villa.“Masih sakit?” Tanya Tikta, mendekat kearah Nina yang masih meringkuk dengan wajah kesakitan. Peluhnya bercucuran padahal AC central sudah di titik paling rendah.“Iya, bukan mules sih tapi kayak kram gitu.”Tikta mengangguk, dia mengelus lembut punggung Nina.Istri pak Anto datang dengan membawa air mineral hangat, wanita berusia hampir paruh baya itu tersenyum melihat Tikta dan Nina yang berhimpit-himpitan di sofa.“Lucu banget saya lihat mas Tikta kayak yan
Tidak ada yang salah dengan bayi Nina, dokter mengatakan mungkin kram terjadi karena terlalu capek berjalan, usia kandungan Nina sudah memasuki enam bulan. Bayinya sehat, beratnya juga cukup bagus, keadaan Nina juga sama baiknya. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.Setelah pemeriksaan selesai keduanya kembali pulang ke Villa, tubuh Nina seperti remuk. Dokter tadi tidak meresepkan apapun untuknya, dia hanya diminta istirahat saja dan tidak banyak bergerak.“Maaf ya Ta, besok gak bisa kemana-mana.” Ujar Nina, merasa menyesal karena bayinya malah tidak bisa diajak pergi.Tikta membantu Nina turun dari mobil sambil tersenyum, “Ya gak apa-apa, ‘kan di Villa juga kita bisa bikin banyak kegiatan. Kita berenang ya besok?”Pria itu baru tiga bulan ini bersama Nina, mereka menghabiskan banyak waktu berdua selama itu dan setiap kali ucapan yang dia lontarkan mampu membuat Nina tercengang.Apa semua pria seperti ini?Tidak. Selama perjalanan cintanya berpacaran dengan beberapa orang, Nina tidak i
Aku mencintai keluargaku.Namun ketika tahu kalau papa kami bukanlah orangtua kandung abang, aku sedikit bingung untuk bereaksi apa. Ada kalanya abang bilang kalau dia dan papa tidak begitu mirip, saat itu aku pikir dia terlalu berpikiran negatif karena omongan orang lain mengenai betapa tidak miripnya mereka kerap kali terdengar.“Kamu sudah dengar sendiri, papa bukan orangtua kandungku.”“Tapi, papa tetaplah orangtua kita.”“Orangtuamu.” Katanya menatapku dengan penuh rasa sedih.Aku tahu betapa memiliki seorang ayah adalah harapan terbesar kami, patah hatinya kurasakan meskipun dia tidak bilang dengan terus terang. Tatapan mata penuh kesedihan itu sudah bisa menjadi jawaban bagaimana pada akhirnya dia harus mengiyakan ucapan orang-orang mengenai betapa beda dia dan papa.Dan, pada dasarnya, mereka memang berbeda.“Abang masih marah?” Tanya Ibu ketika melihatku turun dari lantai dua, matanya terlihat bengkak dan suaranya agak serak. Di depan ibu yang tengah duduk di kursi meja makan
“Ga..” Papa memelukku ketika ibu menyampaikan kabar duka tentang kepergian ayah padaku. Ibu sudah menangis dengan begitu histeris, Pavita memeluknya berusaha menenangkan.Papa kemudian membawa kami pulang ke Indonesia, dimana ayah akan dikebumikan. Tidak ada siapapun disana selain kami sebagai keluarganya, hanya ada rasa kesepian yang berat. Tangis yang keluar hanya muncul dari ibu dan juga sahabatnya, tante Julie. Selain itu aku hanya menatap tubuh ayah yang sudah kaku.Ketika pemakaman sudah berakhir, ibu dibawa kembali ke kamar hotel oleh Pavita. Sedangkan aku dan papa masih berdiam diri di depan makam ayah.“Ucapkan salam terakhirmu.” Kata papa sambil mengelus punggungku.“Kenapa dia meninggalkanku?”Papa menoleh, tahu benar kalau aku tidak tengah mencari jawaban atas pertanyaan yang baru saja kulontarkan. Aku tidak menginginkan jawaban.“Aku bahkan belum mengenalnya dengan baik.”Dan sejurus kemudian airmataku mulai meleleh, tangisku pecah.Ayah menghela napasnya, seperti tahu in
“Itu papa?” Tanyaku pada ibu yang kemudian mengangguk pelan sambil menggendong adikku, Pavita.Aku ingat benar momen itu, momen dimana orang yang selama ini aku pikir tidak pernah ada di hidup kami kemudian muncul dengan senyum lebar. Segala kecanggungannya begitu terasa di setiap ujung jari yang merangkul aku dan adikku dengan erat.Selama hanya ada kami bertiga, ibu selalu menghindari pertanyaanku mengenai sosok seorang ayah. Ada kalanya, keperluan sekolah membuatku bertanya apakah aku memiliki seorang ayah yang nantinya akan ibu jawab dengan isakan tangis atau hanya anggukan.Tidak ada penjelasan sampai ia kemudian mulai menyinggung bahwa beberapa orang memiliki ayah lebih dari satu orang. Aku yang masih terlalu kecil tidak begitu mengerti hingga akhirnya menyadari kalau yang ibu maksud beberapa anak memiliki dua orang ayah salah satunya adalah diriku.Pertemuan dengan papa begitu canggung, Pavita sampai tidak berani mendekat karena masih belum terbiasa dan merasa bahwa pria di dep
“Hi, aku ayah kamu. Catur Rangga.”Aku masih begitu mengingat bagaimana akhirnya kami bertemu. Catur Rangga adalah ayah biologisku. Orang yang terlihat biasa saja, tingginya mungkin sekitar seratus tujuh puluh senti sekian, kulitnya seputih susu persis denganku.Ketika aku melihat wajahnya, aku baru mengerti.Ah, itulah kenapa orang-orang bilang aku tidak mirip dengan Pavita karena pada dasarnya aku mirip dengan orang ini. Hampir sembilan puluh persen fitur wajahku benar-benar mirip dengannya.Dia menyondorkan tangannya dengan canggung ketika pada akhirnya aku menyambut uluran tangan itu dan menjabatnya, tangannya berkeringat dan dingin. Aku rasa bukan hanya aku yang merasa gugup.Aku duduk di depannya, kami memilih meja berkursi dua berhadapan di pojok sebuah coffee shop. Papa mengantarku dengan mobil dan tengah menungguku di ujung jalan, dia bilang tidak akan ikut dan hanya ingin membuatku menikmati waktu bersama ayah biologisku.Pria itu masih menunduk di depanku, aku bisa mengerti
Ketika aku mulai tumbuh remaja, ibu selalu bicara mengenai ayah. Bahwa di dunia ini ada beberapa anak yang memiliki dua ayah.“Ada yang punya ayah secara biologis, ada juga yang tidak.”“Maksudnya bagaimana bu?” Tanyaku kala itu ketika ibu tiba-tiba bicara mengenai hal yang baru saja dia ucapkan, kami tengah berada di dalam mobil.Sore sudah menjelang, langit berwarna jingga dan hanya ada kami berdua di parkiran daycare adikku.“Ya, ada yang kita panggil ayah namun bukan orang yang memberi kita kehidupan. Tapi dia adalah sosok yang menjelma sebagai ayah yang kita tahu sebagai anak. Ada juga seorang ayah yang memberikan kita kehidupan dan mungkin karena satu hal dia tidak menjadi sosok yang kita tahu.”Kalimat ibu begitu rumit, aku yang masih kecil tidak mengerti.Pembahasan itu berakhir begitu saja ketika adikku datang dan masuk ke dalam mobil dengan senyum lebar di wajahnya.Pembahasan ibu mengenai
Catur menatap pria di depannya, pria yang selama beberapa bulan terakhir menghantuinya. Pria itu menuntut banyak hal dari Catur termasuk memaksanya untuk ‘membawa’ kembali Nina.“Gue sudah bilang gue gak akan diem aja, lo ngerti maksud gue gak?” Gata melotot, wajahnya terlihat begitu merah karena emosi sudah mencapai puncaknya. Dia berjalan kesana kemari di depan Catur yang masih duduk dengan rokok di sela jarinya.Pria itu sudah berkali-kali datang menemui Catur, ketika dia datang ke warehouse dan Catur mencoba untuk menggertak serta mengancamnya pria itu malah semakin menjadi-jadi ketimbang takut akan hal itu.“Bisa berhenti obsesi sama Tikta gak sih lo?” Catur menghisap rokoknya disela perkataannya, berusaha untuk tetap tenang juga menghadapi pria di depannya yang semakin lama dia yakini sebagai seorang dengan gangguan jiwa.Gata menghentikan langkahnya, dengan penuh kedramatisan dia menoleh pada Catur. Pria itu suda
“Kamu yakin mau menunda?”Pria itu bertanya dengan wajah yang terlihat khawatir. Ferdi, dia suami Kumara.Keduanya bertemu di butik EKAWIRA. Ferdi adalah salah satu klien terbaik butik itu, dia seorang pengusaha yang cukup tersohor. Namun keduanya memutuskan untuk menyembunyikan hubungan mereka.Selain karena peraturan butik untuk tidak menjalin hubungan dengan klien, juga karena Ferdi sudah dikenal oleh publik karena usahanya.“Iya, aku masih punya tanggung jawab di butik..” Jawab Kumara, dia menunduk. Pernikahan mereka baru berjalan beberapa bulan ketika Nina memutuskan untuk pergi meninggalkan Indonesia dan melahirkan di Jepang.Tepatnya pagi ini, Kumara mendapat panggilan dari Julie untuk rapat.Wanita itu menjelaskan mengapa rapat itu diadakan, Nina juga hadir secara online.“Semalam gue sudah ngobrol sama Julie dan gue rasa sekarang gue harus bilang juga ke lo.” Katanya pada Kumara yang membeku, dia menoleh pada Julie.“Jadi, apartemen itu sebagai hadiah pernikahan gue.” Nina me
“Ma, boleh gak?” Ini sudah kesekian kalinya Kiran merengek pada Julie. Mata itu memancarkan belas kasihan yang ingin sekali Julie hindari.CHARAKA KIRAN YOGASWARA.Sudah delapan tahun berceraian itu berakhir, meninggalkan luka menganga yang begitu besar di dada Julie. Bahkan belum mengering meskipun orang bilang waktu akan menyembuhkan segalanya.Lukanya belum juga sembuh.Usia Kiran memasuki usia remaja sekarang, lima belas tahun. Dia tumbuh seperti ayahnya, bagaimana dia bersikap, menanggapi persoalan, namun tentu saja dia jauh lebih manis dari ayahnya.“Ya gak mungkin dong nak mama ngizinin kamu magang di butik EKAWIRA? Lagian kamu masih anak SMP ngapain nyoba kerja?”Kiran cemberut sekarang, mengaduk mie instan yang lagi-lagi hasil rengekannya karena sudah dua bulan tidak memakannya.“Kiran mau belajar kerja ma, nanti setelah lulus sekolah biar gak kaget!”Julie menggeleng, mengibas-ngibaskan tangannya tanda bahwa dia tidak menyutujui hal itu.“Pergi sekolah sejauh mungkin, nanti
Julie tidak pernah absen mendatangi Catur, dia tidak pernah sekalipun mengurangi jatah kesempatan untuk menjenguk pria itu. Semenjak pria itu menyerahkan diri hingga sampai akhirnya dia keluar penjara, Julie selalu ada untuknya.Tentu saja, sama dengan Nina kebenciannya pada Catur begitu besar. Kecewa dan benci jadi satu sehingga dia bahkan tidak tahu mengapa masih dengan sadar mengunjungi pria itu, menengok dan mengecek keadaannya.Julie sadar, mereka sudah terlalu lama bersama.Nina melakukannya juga, meskipun wanita itu membenci Catur namun perasaan peduli tidak bisa dihilangkan begitu saja.“Tidak ada sanak saudara sama sekali?” Tanya salah seorang polisi ketika pengadilan berakhir, penahanan Catur telah diputuskan. Dia akan dipenjara selama kurang lebih dua puluh tahun.Waktu yang cukup panjang untuk menebus semua kesalahannya.“Tidak ada pak, selama disini saya sebagai walinya.” Julie berhadapan dengan salah satu petugas yang membawa semua barang-barang pribadi Catur.Petugas it