Nina tengah meringkuk di sofa besar yang terletak di ruang tengah Villa tersebut, setelah berjalan menyusuri pantai dan berbincang dengan Tikta serta menikmati kelapa muda yang segar di pinggir pantai perutnya terasa begitu kencang.Bayinya terus menendang, dan perut bawahnya terasa sakit.Jadi dia kembali keatas sambil di gendong oleh Tikta, dia tidak sempat merasa malu karena rasa sakit yang dia rasakan.Tikta sudah menelepon dokter kandungan di Bali yang keluarga intinya kenal dan dokter itu sedang di perjalanan menuju Villa.“Masih sakit?” Tanya Tikta, mendekat kearah Nina yang masih meringkuk dengan wajah kesakitan. Peluhnya bercucuran padahal AC central sudah di titik paling rendah.“Iya, bukan mules sih tapi kayak kram gitu.”Tikta mengangguk, dia mengelus lembut punggung Nina.Istri pak Anto datang dengan membawa air mineral hangat, wanita berusia hampir paruh baya itu tersenyum melihat Tikta dan Nina yang berhimpit-himpitan di sofa.“Lucu banget saya lihat mas Tikta kayak yan
Tidak ada yang salah dengan bayi Nina, dokter mengatakan mungkin kram terjadi karena terlalu capek berjalan, usia kandungan Nina sudah memasuki enam bulan. Bayinya sehat, beratnya juga cukup bagus, keadaan Nina juga sama baiknya. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.Setelah pemeriksaan selesai keduanya kembali pulang ke Villa, tubuh Nina seperti remuk. Dokter tadi tidak meresepkan apapun untuknya, dia hanya diminta istirahat saja dan tidak banyak bergerak.“Maaf ya Ta, besok gak bisa kemana-mana.” Ujar Nina, merasa menyesal karena bayinya malah tidak bisa diajak pergi.Tikta membantu Nina turun dari mobil sambil tersenyum, “Ya gak apa-apa, ‘kan di Villa juga kita bisa bikin banyak kegiatan. Kita berenang ya besok?”Pria itu baru tiga bulan ini bersama Nina, mereka menghabiskan banyak waktu berdua selama itu dan setiap kali ucapan yang dia lontarkan mampu membuat Nina tercengang.Apa semua pria seperti ini?Tidak. Selama perjalanan cintanya berpacaran dengan beberapa orang, Nina tidak i
Catur menatap ponselnya, semua pesan dari Nina dia baca tapi satupun tidak di respon. Julie juga mengirimkan beberapa foto pernikahan kedua orang itu, dia enggan untuk melihatnya. Tapi, Nina terlihat begitu cantik dengan gaunnya.Gaun yang di desain oleh Nina sendiri.Catur ingat saat Nina diminta untuk membuat desain gaun pernikahan impiannya, saat itu dia begitu stress dan Catur berada disana. Di sampingnya, menunggui wanita itu mencoret, merobek, dan mendesain berulang-ulang. Ocehan-ocehan Nina mengenai bagaimana dia ingin gaun pernikahannya terlihat seksi namun sopan.“Gue gak yakin bisa pakai gaun ini.”“Emang kenapa?”“Siapa yang mau nikah lagian? Gue gak suka anak kecil.”Tapi kemudian beberapa tahun kemudian wanita itu menikah dan kini tengah menanti anak pertamanya. Seperti mimpi.Dan seperti seorang pengecut, Catur pergi ke London. Seminarnya sudah selesai bahkan sebelum pernikahan Nina dimulai, tapi dia enggan untuk pulang kembali ke Indonesia dan memilih untuk melakukan pe
Tikta dan Nina memutuskan kembali lebih cepat dari Bali. Setelah kemarin bertemu dengan dokter, paginya mereka berdua berdiskusi panjang mengenai apakah baiknya mereka melanjutkan ‘bulan madu’ ini atau kembali pulang.Tikta tidak ingin Nina langsung kembali ke tempat kerja setelah pulang dari Bali, wanita itu menyanggupi dan berjanji akan memilih untuk istirahat.Setelah berdiskusi panjang lebar akhirnya mereka memutuskan menghabiskan sisa ‘bulan madu’ di kediaman orangtua Tikta. Meskipun awalnya Tikta menolak dengan tegas dan berkata kalau dia sudah muak tinggal disana, mengajak Nina untuk ke apartemennya saja. Tapi wanita itu berkata ada baiknya tinggal disana sekarang sebelum melahirkan.Akhirnya Tikta menyetujui.Kepulangan Nina dan Tikta lagi-lagi menjadi bahan berita, seorang wartawan tidak sengaja memergoki mereka di bandara dan terheran-heran mengapa mereka sudah kembali.“Pak, saya bilang sejujurnya aja ke wartawan?” Tanya sekretaris Tikta lewat telepon ketika Tikta dan Nina
“Kamu gak apa-apa aku tidur disini?” Tikta berkata sambil masuk ke dalam kamarnya sendiri, menghampiri Nina yang sedang duduk diatas kasur menyisir rambut panjangnya. Wanita itu baru saja selesai mandi, hanya memakai daster pemberian ibu Tikta.Pria itu duduk diatas kasur, menatap Nina yang tengah menyisir dan bersiap mengeringkan rambutnya.“Gak apa-apa, namanya juga suami istri. Malahan nanti ibu sama bapak curiga kalau kita gak tidur bareng.”Tikta melihat sekitarnya, kamarnya cukup luas, ada satu sofa panjang di sudut ruangan.“Aku tidur disana aja ya?” Dia menunjuk sofa tersebut, mengalihkan pandangannya lagi pada Nina yang kini bangun dari duduknya berjalan menuju stop kontak untuk menyalakan pengering rambut.“Gak usah, aku gak apa-apa kok Ta.”Tikta masih menatap Nina yang kini sambil berdiri mengeringkan rambutnya. Kamar Tikta belum sempat diubah oleh kedua orangtuanya karena dia baru saja keluar dari rumah beberapa hari, jadi tidak ada meja rias disana.Dia kemudian mengambi
“Aku sama mantan tunanganku kenal waktu aku masih kuliah di Indonesia.” Katanya memulai cerita, ingatannya kembali di saat dia dan Gata pertama kali bertemu.Tikta berkuliah di Indonesia, sesuai keinginan orangtuanya. Universitas yang dia masuki adalah pilihan ayahnya, begitupun dengan jurusannya. Kehidupan kampus yang mungkin seharusnya menyenangkan jadi tidak membuatnya selera bahkan untuk pergi ke kampus sekalipun.Kepalanya sudah dijejali rasa benci dan muak.“Ya, kamu bayangin aja sejak kecil aku sudah di tuntut banyak hal terutama masalah perusahaan. Jadi, ngelakuin hal tersebut sampai aku dewasa rasanya sudah gak mampu. Aku jadi mikir kenapa aku harus emban tanggung jawab yang sebenarnya bukan punya aku?”Nina mendengarkan dengan seksama.“Terus aku ketemu sama mantan tunanganku di sebuah perpustakaan tengah kota, kita sedang cari buku dengan judul yang sama dan kebetulan disana hanya ada satu buku. Karena waktu itu aku butuh, aku minta nomor kontaknya. Gak ada kepikiran untuk
Nina sudah terbangun sejak pagi buta, dia berakhir tidur bersebelahan dengan Tikta. Awalnya dia merasa canggung, tapi Tikta terus berbicara pada bayinya sampai dia tertidur lebih dulu. Menatap langit-langit yang bukan kamarnya, menoleh ke kanan dan mendapati punggung Tikta yang tengah tertidur satu selimut dengannya.Ada perasaan aneh yang muncul.Ya, mereka suami istri sekarang.Nina duduk di pinggir kasur, menatap seluruh ruang kamar milik Tikta yang baginya besar sekali. Plafonnya tinggi, dan jendelanya begitu lebar. Dia masuk ke dalam kamar mandi, menyelesaikan cuci muka dan sikat gigi. Mendekat ke arah meja, dia menenggak sebotol air mineral.Nina masih menggunakan daster ketika dia keluar dari kamar.“Bu Nina, bisa dibantu bu?” Salah satu pelayang menghampirinya dengan cekatan membuat Nina terkejut.“Oh, gak usah, saya cuma mau jalan-jalan.”“Saya temani ya bu, nama saya Isma.”Nina ingin menolak, tapi dia tidak sanggup. Mungkin memang pekerjaan pelayan disini jadi dia membiarka
Hal yang ditakutkan Nina tentang pernikahan adalah mertua.Melihat bagaimana hubungan Julie dengan mertuanya setelah menikah Nina tidak bisa membayangkan bagaimana jika ia berada di posisi itu. Dirinya dan Julie sama-sama berasal dari keluarga yang tidak utuh, Julie ditinggal oleh kedua orangtuanya setelah perceraian mereka.Dia tidak diurus sama sekali, dan hanya dititipkan pada bibinya. Dia di telantarkan namun masih dikirimi uang sehingga bisa menempuh pendidikan dengan baik, di SMA Julie berpacaran dengan Leonathan yang kini jadi suaminya. Keduanya sama-sama pergi ke London untuk kuliah, Leo begitu mencintai Julie dan menghalalkan segala cara untuk bersama dengan wanita itu.Orangtuanya sejak awal tidak menyetujui pernikahan mereka karena merasa Julie bukan dari keluarga baik-baik. Keluarga Leo terkenal sebagai keluarga yang memiliki kekuatan hukum dan juga berada di bidang politik yang kuat.Setelah menikah Julie begitu bersusah payah untuk berbaur dengan keluarga Leo, ketika ora
Aku mencintai keluargaku.Namun ketika tahu kalau papa kami bukanlah orangtua kandung abang, aku sedikit bingung untuk bereaksi apa. Ada kalanya abang bilang kalau dia dan papa tidak begitu mirip, saat itu aku pikir dia terlalu berpikiran negatif karena omongan orang lain mengenai betapa tidak miripnya mereka kerap kali terdengar.“Kamu sudah dengar sendiri, papa bukan orangtua kandungku.”“Tapi, papa tetaplah orangtua kita.”“Orangtuamu.” Katanya menatapku dengan penuh rasa sedih.Aku tahu betapa memiliki seorang ayah adalah harapan terbesar kami, patah hatinya kurasakan meskipun dia tidak bilang dengan terus terang. Tatapan mata penuh kesedihan itu sudah bisa menjadi jawaban bagaimana pada akhirnya dia harus mengiyakan ucapan orang-orang mengenai betapa beda dia dan papa.Dan, pada dasarnya, mereka memang berbeda.“Abang masih marah?” Tanya Ibu ketika melihatku turun dari lantai dua, matanya terlihat bengkak dan suaranya agak serak. Di depan ibu yang tengah duduk di kursi meja makan
“Ga..” Papa memelukku ketika ibu menyampaikan kabar duka tentang kepergian ayah padaku. Ibu sudah menangis dengan begitu histeris, Pavita memeluknya berusaha menenangkan.Papa kemudian membawa kami pulang ke Indonesia, dimana ayah akan dikebumikan. Tidak ada siapapun disana selain kami sebagai keluarganya, hanya ada rasa kesepian yang berat. Tangis yang keluar hanya muncul dari ibu dan juga sahabatnya, tante Julie. Selain itu aku hanya menatap tubuh ayah yang sudah kaku.Ketika pemakaman sudah berakhir, ibu dibawa kembali ke kamar hotel oleh Pavita. Sedangkan aku dan papa masih berdiam diri di depan makam ayah.“Ucapkan salam terakhirmu.” Kata papa sambil mengelus punggungku.“Kenapa dia meninggalkanku?”Papa menoleh, tahu benar kalau aku tidak tengah mencari jawaban atas pertanyaan yang baru saja kulontarkan. Aku tidak menginginkan jawaban.“Aku bahkan belum mengenalnya dengan baik.”Dan sejurus kemudian airmataku mulai meleleh, tangisku pecah.Ayah menghela napasnya, seperti tahu in
“Itu papa?” Tanyaku pada ibu yang kemudian mengangguk pelan sambil menggendong adikku, Pavita.Aku ingat benar momen itu, momen dimana orang yang selama ini aku pikir tidak pernah ada di hidup kami kemudian muncul dengan senyum lebar. Segala kecanggungannya begitu terasa di setiap ujung jari yang merangkul aku dan adikku dengan erat.Selama hanya ada kami bertiga, ibu selalu menghindari pertanyaanku mengenai sosok seorang ayah. Ada kalanya, keperluan sekolah membuatku bertanya apakah aku memiliki seorang ayah yang nantinya akan ibu jawab dengan isakan tangis atau hanya anggukan.Tidak ada penjelasan sampai ia kemudian mulai menyinggung bahwa beberapa orang memiliki ayah lebih dari satu orang. Aku yang masih terlalu kecil tidak begitu mengerti hingga akhirnya menyadari kalau yang ibu maksud beberapa anak memiliki dua orang ayah salah satunya adalah diriku.Pertemuan dengan papa begitu canggung, Pavita sampai tidak berani mendekat karena masih belum terbiasa dan merasa bahwa pria di dep
“Hi, aku ayah kamu. Catur Rangga.”Aku masih begitu mengingat bagaimana akhirnya kami bertemu. Catur Rangga adalah ayah biologisku. Orang yang terlihat biasa saja, tingginya mungkin sekitar seratus tujuh puluh senti sekian, kulitnya seputih susu persis denganku.Ketika aku melihat wajahnya, aku baru mengerti.Ah, itulah kenapa orang-orang bilang aku tidak mirip dengan Pavita karena pada dasarnya aku mirip dengan orang ini. Hampir sembilan puluh persen fitur wajahku benar-benar mirip dengannya.Dia menyondorkan tangannya dengan canggung ketika pada akhirnya aku menyambut uluran tangan itu dan menjabatnya, tangannya berkeringat dan dingin. Aku rasa bukan hanya aku yang merasa gugup.Aku duduk di depannya, kami memilih meja berkursi dua berhadapan di pojok sebuah coffee shop. Papa mengantarku dengan mobil dan tengah menungguku di ujung jalan, dia bilang tidak akan ikut dan hanya ingin membuatku menikmati waktu bersama ayah biologisku.Pria itu masih menunduk di depanku, aku bisa mengerti
Ketika aku mulai tumbuh remaja, ibu selalu bicara mengenai ayah. Bahwa di dunia ini ada beberapa anak yang memiliki dua ayah.“Ada yang punya ayah secara biologis, ada juga yang tidak.”“Maksudnya bagaimana bu?” Tanyaku kala itu ketika ibu tiba-tiba bicara mengenai hal yang baru saja dia ucapkan, kami tengah berada di dalam mobil.Sore sudah menjelang, langit berwarna jingga dan hanya ada kami berdua di parkiran daycare adikku.“Ya, ada yang kita panggil ayah namun bukan orang yang memberi kita kehidupan. Tapi dia adalah sosok yang menjelma sebagai ayah yang kita tahu sebagai anak. Ada juga seorang ayah yang memberikan kita kehidupan dan mungkin karena satu hal dia tidak menjadi sosok yang kita tahu.”Kalimat ibu begitu rumit, aku yang masih kecil tidak mengerti.Pembahasan itu berakhir begitu saja ketika adikku datang dan masuk ke dalam mobil dengan senyum lebar di wajahnya.Pembahasan ibu mengenai
Catur menatap pria di depannya, pria yang selama beberapa bulan terakhir menghantuinya. Pria itu menuntut banyak hal dari Catur termasuk memaksanya untuk ‘membawa’ kembali Nina.“Gue sudah bilang gue gak akan diem aja, lo ngerti maksud gue gak?” Gata melotot, wajahnya terlihat begitu merah karena emosi sudah mencapai puncaknya. Dia berjalan kesana kemari di depan Catur yang masih duduk dengan rokok di sela jarinya.Pria itu sudah berkali-kali datang menemui Catur, ketika dia datang ke warehouse dan Catur mencoba untuk menggertak serta mengancamnya pria itu malah semakin menjadi-jadi ketimbang takut akan hal itu.“Bisa berhenti obsesi sama Tikta gak sih lo?” Catur menghisap rokoknya disela perkataannya, berusaha untuk tetap tenang juga menghadapi pria di depannya yang semakin lama dia yakini sebagai seorang dengan gangguan jiwa.Gata menghentikan langkahnya, dengan penuh kedramatisan dia menoleh pada Catur. Pria itu suda
“Kamu yakin mau menunda?”Pria itu bertanya dengan wajah yang terlihat khawatir. Ferdi, dia suami Kumara.Keduanya bertemu di butik EKAWIRA. Ferdi adalah salah satu klien terbaik butik itu, dia seorang pengusaha yang cukup tersohor. Namun keduanya memutuskan untuk menyembunyikan hubungan mereka.Selain karena peraturan butik untuk tidak menjalin hubungan dengan klien, juga karena Ferdi sudah dikenal oleh publik karena usahanya.“Iya, aku masih punya tanggung jawab di butik..” Jawab Kumara, dia menunduk. Pernikahan mereka baru berjalan beberapa bulan ketika Nina memutuskan untuk pergi meninggalkan Indonesia dan melahirkan di Jepang.Tepatnya pagi ini, Kumara mendapat panggilan dari Julie untuk rapat.Wanita itu menjelaskan mengapa rapat itu diadakan, Nina juga hadir secara online.“Semalam gue sudah ngobrol sama Julie dan gue rasa sekarang gue harus bilang juga ke lo.” Katanya pada Kumara yang membeku, dia menoleh pada Julie.“Jadi, apartemen itu sebagai hadiah pernikahan gue.” Nina me
“Ma, boleh gak?” Ini sudah kesekian kalinya Kiran merengek pada Julie. Mata itu memancarkan belas kasihan yang ingin sekali Julie hindari.CHARAKA KIRAN YOGASWARA.Sudah delapan tahun berceraian itu berakhir, meninggalkan luka menganga yang begitu besar di dada Julie. Bahkan belum mengering meskipun orang bilang waktu akan menyembuhkan segalanya.Lukanya belum juga sembuh.Usia Kiran memasuki usia remaja sekarang, lima belas tahun. Dia tumbuh seperti ayahnya, bagaimana dia bersikap, menanggapi persoalan, namun tentu saja dia jauh lebih manis dari ayahnya.“Ya gak mungkin dong nak mama ngizinin kamu magang di butik EKAWIRA? Lagian kamu masih anak SMP ngapain nyoba kerja?”Kiran cemberut sekarang, mengaduk mie instan yang lagi-lagi hasil rengekannya karena sudah dua bulan tidak memakannya.“Kiran mau belajar kerja ma, nanti setelah lulus sekolah biar gak kaget!”Julie menggeleng, mengibas-ngibaskan tangannya tanda bahwa dia tidak menyutujui hal itu.“Pergi sekolah sejauh mungkin, nanti
Julie tidak pernah absen mendatangi Catur, dia tidak pernah sekalipun mengurangi jatah kesempatan untuk menjenguk pria itu. Semenjak pria itu menyerahkan diri hingga sampai akhirnya dia keluar penjara, Julie selalu ada untuknya.Tentu saja, sama dengan Nina kebenciannya pada Catur begitu besar. Kecewa dan benci jadi satu sehingga dia bahkan tidak tahu mengapa masih dengan sadar mengunjungi pria itu, menengok dan mengecek keadaannya.Julie sadar, mereka sudah terlalu lama bersama.Nina melakukannya juga, meskipun wanita itu membenci Catur namun perasaan peduli tidak bisa dihilangkan begitu saja.“Tidak ada sanak saudara sama sekali?” Tanya salah seorang polisi ketika pengadilan berakhir, penahanan Catur telah diputuskan. Dia akan dipenjara selama kurang lebih dua puluh tahun.Waktu yang cukup panjang untuk menebus semua kesalahannya.“Tidak ada pak, selama disini saya sebagai walinya.” Julie berhadapan dengan salah satu petugas yang membawa semua barang-barang pribadi Catur.Petugas it