Nina menengok lagi ke belakang kursi penumpang, ada banyak paper bag dari berbagai merk terkenal. Tadi ketika dia berpamitan pada ibu Tikta, wanita itu memberikan banyak sekali ‘oleh-oleh’ untuknya.“Semuanya baju baru, beberapa hari lalu ibu beli untuk kamu pakai. Terakhir soalnya Tikta bilang kamu belum sempat belanja baju hamil, ibu takut kamu gak sempat karena sibuk kerja. Semoga suka ya desain dan warnanya.” Ucap ibu Tikta sambil memeluk Nina dan mengelus punggung wanita itu.Tidak ada yang bisa meluluhkan hati Nina kecuali kebaikan.Dia tidak pernah diperlakukan layaknya seorang manusia ketika masih bersama nenek dan keluarga dari pihak ayahnya. Hanya nenek yang memberikan kasih sayang, sisanya dia hanya dikucilkan dan diperlakukan tidak baik.Apa yang ibu Tikta lakukan padanya sedikit menyembuhkan inner child yang dia miliki.“Maaf ya, ibu suka sembarangan aja main beli-beli baju untuk kamu.” Tikta menyadari kalau Nina beberapa kali menoleh ke belakang.“Ah, enggak kok. Aku sen
“Gue bilang juga apa, Tikta itu beda sama Catur. Lo bisa seenaknya nganggep Catur temen lo karena emang dari awal lo gak tertarik sama Catur Nin.” Julie berbicara dengan penuh semangat, dia tengah duduk di sofa kantor Nina sedangkan Nina duduk di kursi kerjanya sambil memijit dahinya.Pagi ini Nina dan Tikta sudah kembali bekerja. Satu minggu bulan madu mereka sudah terlewati, masing-masing kembali pada pekerjaannya. Julie menyambut Nina dengan penuh sukacita, meskipun pekerjaan Nina masih terbagi dengannya dan Kumara tapi setidaknya dia merasa bersyukur karena pekerjaan itu berkurang hampir setengahnya.Kini mereka tengah mengobrol karena Julie penasaran dengan ‘bulan madu’ yang Nina lewati bersama suaminya.“Gue rasa itu karena hormon hamil gue.”Julie melirik kearah Nina dengan tatapan sinis, memutar bola matanya dia menghela napas begitu panjang.“Lo udah dewasa, lo tahu mana rasa suka atau bukan! Hello??? You’re not a VIRGIN.”“Taik.”“Iya ‘kan? Lo jangan nyangkal kalau lo sekara
Kini sudah sebulan Nina juga Tikta kembali ke rutinitas mereka masing-masing. Nina disibukkan dengan berbagai project yang sempat ditunda atau dialihkan pada Julie, Tikta sendiri tengah mengurusi pabrik-pabrik yang di kelola oleh keluarganya.Kehidupan pernikahan yang bagi Nina terasa baru dan cukup menyenangkan. Tikta selalu berusaha menjemputnya ketika mereka sama-sama pulang kerja, mereka selesai bekerja jam sembilan malam. Sepulang kantor meskipun harus berputar, Tikta selalu menyempatkan dirinya untuk menjemput Nina.Sepanjang perjalanan mereka kadang mampir untuk membeli makan malam yang di makan di apartemen atau makan di tempat. Dalam perjalanan pulang terkadang Tikta mulai mengoceh tentang bagaimana pekerjaannya hari itu, dan sejujurnya itu mengejutkan Nina. Dia tidak pernah berpikir Tikta adalah tipe pria yang suka bercerita bagaimana harinya berlalu.Tikta berbicara banyak mengenai bagaimana dia pergi ke satu kabupaten ke kabupaten lain, mengecek beberapa pabrik. Kadang kal
Ada banyak hal yang terjadi setelah mereka akhirnya tinggal hanya berdua saja dan tidur satu kamar. Satu bulan Tikta maupun Nina sudah menilai masing-masing karakter mereka sendiri.Untuk masalah lampu di kamar, keduanya sepakat untuk memakai lampu tidur. Keduanya tidak bisa tidur dalam keadaan gelap total maupun terang sekali, lampu tidur adalah solusi. Kemudian untuk handuk, Tikta selalu lupa menyimpan handuk di tempat tidur dan Nina selalu mengomel mengenai hal itu. Masalah sisir, masalah pengering rambut, bahkan guling.“Itu emang masalah awal pernikahan!” Julie tertawa terbahak di ruangan Nina sambil mendengarkan wanita itu bercerita, di temani Kumara mereka bertiga tengah berada di tengah rapat dan memutuskan untuk rehat sejenak.Nina menyeruput jus berry yang dibuatkan Tikta tadi pagi di dalam tumbler, menyandarkan punggungnya di sofa sambil memanyunkan bibirnya. “Gue kesel banget karena setiap kali dikasih tahu dia cuma iya iya doang, ujung-ujungnya suka kelupaan sampai kasur
Tadi setelah wanita diujung telepon mengangkat teleponnya, Nina buru-buru mematikannya. Refleks. Dia sendiri tidak berniat untuk mematikannya, hanya saja jarinya dengan cepat menekan tombol merah. Siapa wanita itu? Ya, sudah tidak aneh juga Catur memiliki seorang pacar. Tapi aneh, kali ini pria itu tidak bicara apapun padanya. Pria itu seperti sedang menghindari Nina, dia merasa tidak dipedulikan oleh Catur. “Kamu gak apa-apa Nin?” Pertanyaan Tikta yang duduk di sebelahnya sambil menyetir mengejutkan Nina, dia menoleh dan mendapati pria itu menoleh padanya beberapa kali. Mengecek keadaannya. “Gak apa- apa kok, tadi aku nelpon Catur tapi yang angkat cewek.” Tikta terdiam, melirik kearah Nina. “Pacarnya?” Nina menggeleng, “Gak tahu, aku refleks matikan teleponnya.” “Loh kok malah dimatikan?” “Gak tahu, kenapa ya aku malah matikan teleponnya?” Ujar Nina sambil tertawa canggung. Tikta mengetuk setir dengan jarinya. “Kamu khawatir sama Catur?” Nina tidak langsung menjawab, dia me
Ini hari sabtu. Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan pagi, tapi Nina dan Tikta belum ada yang bangun. Semalam mereka tidur jam satu malam setelah menyelesaikan beberapa pekerjaan dan mengobrol sebelum tidur. Jam dua belas nanti mereka harus sudah berada di Rumah Sakit untuk memeriksakan kandungan Nina. Hari ini jadwal untuk melihat jenis kelamin si bayi. Tikta bangun terlebih dahulu, dia menguap lebar dan mendapati wajah Nina menghadapnya pagi ini. Dia tersenyum, mengelus rambut Nina yang masih pulas. Ketika pertama kali mereka tidur bersama ada perasaan canggung yang menyergapnya. Selama sepuluh tahun hanya ada Gata di sisinya, kini orang lain yang menggantikannya terasa begitu aneh. Perasaan canggung yang kemudian lama-lama semakin terbiasa. “Nin, bangun.” Tikta memanggil Nina dengan suara yang berat, dia terkekeh sebelum bangun dari tempat tidur, pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka dan mandi. Saat Tikta pergi, Nina membuka matanya. Wajahnya memerah, dia memegang pipinya
“Nin?” Ini sudah kesekian kalinya Tikta memanggil Nina dan wanita itu hanya bengong, sejak kembali dari pemeriksaan dokter kandungan wanita itu seperti sedang tidak berada di satu tempat dengan Tikta. Nina asik dengan isi kepalanya sendiri.“Nin?” Tikta memanggil kembali, melambaikan tangannya di depan muka Nina. Mereka kini berada di dalam Mall, duduk di salah satu bangku taman sambil menikmati es krim yang diminta Nina.“Eh iya Ta?”“Kamu gak apa-apa?” Tanya Tikta kemudian, mengambil mangkok kertas bekas es krim di tangan Nina dan menumpuknya dengan miliknya untuk dibuang.“Aku gak apa-apa..”“Kamu capek habis keliling?” Tikta berjalan ke tempat sampah terdekat, membuang mangkok kertas tersebut dan duduk lagi di sebelah Nina. Mereka baru saja kembali dari salah satu toko pakaian bayi, membeli beberapa potong pakaian dan akan pergi menuju perlengkapan lainnya.“Enggak kok, aku masih kuat.” Jawab Nina, wajahnya terlihat terkejut dan bingung.“Kamu lagi mikirin apa sih? Aku manggil mul
Akhir pekan berlalu dengan begitu saja. Tikta dengan pikiran-pikirannya setelah tanpa sengaja melihat Gata bersama Catur di restoran yang sama dengannya, serta Nina yang tengah merasa bersalah karena menghapus pesan di ponsel Tikta.Keduanya sibuk dengan perasaan bersalah masing-masing sambil membereskan kamar bayi Ragnala.Di dominasi warna krem, nuansa kamar bayi itu terasa lembut dan menenangkan. Tikta mengganti lampunya dengan lampu yang lebih redup, menyambungkan lampu tidur ke stop kontak dan mencobanya. Sedangkan Nina sehabis mencuci baju-baju bayi itu, menyusunnya dengan rapi ke dalam lemari. Mereka membeli beberapa diffuser yang aman untuk bayi, memasang kamera CCTV serta baby monitor.Masih ada dua bulan lagi, tapi keduanya sudah mempersiapkan semuanya dengan rapi.“Alat steril botol susu bakalan datang hari ini ya Ta, tolong nanti kalau ambil mobil kabari satpam.” Kata Nina, dia tengah berada di kamar merapikan rambutnya yang panjan
Aku mencintai keluargaku.Namun ketika tahu kalau papa kami bukanlah orangtua kandung abang, aku sedikit bingung untuk bereaksi apa. Ada kalanya abang bilang kalau dia dan papa tidak begitu mirip, saat itu aku pikir dia terlalu berpikiran negatif karena omongan orang lain mengenai betapa tidak miripnya mereka kerap kali terdengar.“Kamu sudah dengar sendiri, papa bukan orangtua kandungku.”“Tapi, papa tetaplah orangtua kita.”“Orangtuamu.” Katanya menatapku dengan penuh rasa sedih.Aku tahu betapa memiliki seorang ayah adalah harapan terbesar kami, patah hatinya kurasakan meskipun dia tidak bilang dengan terus terang. Tatapan mata penuh kesedihan itu sudah bisa menjadi jawaban bagaimana pada akhirnya dia harus mengiyakan ucapan orang-orang mengenai betapa beda dia dan papa.Dan, pada dasarnya, mereka memang berbeda.“Abang masih marah?” Tanya Ibu ketika melihatku turun dari lantai dua, matanya terlihat bengkak dan suaranya agak serak. Di depan ibu yang tengah duduk di kursi meja makan
“Ga..” Papa memelukku ketika ibu menyampaikan kabar duka tentang kepergian ayah padaku. Ibu sudah menangis dengan begitu histeris, Pavita memeluknya berusaha menenangkan.Papa kemudian membawa kami pulang ke Indonesia, dimana ayah akan dikebumikan. Tidak ada siapapun disana selain kami sebagai keluarganya, hanya ada rasa kesepian yang berat. Tangis yang keluar hanya muncul dari ibu dan juga sahabatnya, tante Julie. Selain itu aku hanya menatap tubuh ayah yang sudah kaku.Ketika pemakaman sudah berakhir, ibu dibawa kembali ke kamar hotel oleh Pavita. Sedangkan aku dan papa masih berdiam diri di depan makam ayah.“Ucapkan salam terakhirmu.” Kata papa sambil mengelus punggungku.“Kenapa dia meninggalkanku?”Papa menoleh, tahu benar kalau aku tidak tengah mencari jawaban atas pertanyaan yang baru saja kulontarkan. Aku tidak menginginkan jawaban.“Aku bahkan belum mengenalnya dengan baik.”Dan sejurus kemudian airmataku mulai meleleh, tangisku pecah.Ayah menghela napasnya, seperti tahu in
“Itu papa?” Tanyaku pada ibu yang kemudian mengangguk pelan sambil menggendong adikku, Pavita.Aku ingat benar momen itu, momen dimana orang yang selama ini aku pikir tidak pernah ada di hidup kami kemudian muncul dengan senyum lebar. Segala kecanggungannya begitu terasa di setiap ujung jari yang merangkul aku dan adikku dengan erat.Selama hanya ada kami bertiga, ibu selalu menghindari pertanyaanku mengenai sosok seorang ayah. Ada kalanya, keperluan sekolah membuatku bertanya apakah aku memiliki seorang ayah yang nantinya akan ibu jawab dengan isakan tangis atau hanya anggukan.Tidak ada penjelasan sampai ia kemudian mulai menyinggung bahwa beberapa orang memiliki ayah lebih dari satu orang. Aku yang masih terlalu kecil tidak begitu mengerti hingga akhirnya menyadari kalau yang ibu maksud beberapa anak memiliki dua orang ayah salah satunya adalah diriku.Pertemuan dengan papa begitu canggung, Pavita sampai tidak berani mendekat karena masih belum terbiasa dan merasa bahwa pria di dep
“Hi, aku ayah kamu. Catur Rangga.”Aku masih begitu mengingat bagaimana akhirnya kami bertemu. Catur Rangga adalah ayah biologisku. Orang yang terlihat biasa saja, tingginya mungkin sekitar seratus tujuh puluh senti sekian, kulitnya seputih susu persis denganku.Ketika aku melihat wajahnya, aku baru mengerti.Ah, itulah kenapa orang-orang bilang aku tidak mirip dengan Pavita karena pada dasarnya aku mirip dengan orang ini. Hampir sembilan puluh persen fitur wajahku benar-benar mirip dengannya.Dia menyondorkan tangannya dengan canggung ketika pada akhirnya aku menyambut uluran tangan itu dan menjabatnya, tangannya berkeringat dan dingin. Aku rasa bukan hanya aku yang merasa gugup.Aku duduk di depannya, kami memilih meja berkursi dua berhadapan di pojok sebuah coffee shop. Papa mengantarku dengan mobil dan tengah menungguku di ujung jalan, dia bilang tidak akan ikut dan hanya ingin membuatku menikmati waktu bersama ayah biologisku.Pria itu masih menunduk di depanku, aku bisa mengerti
Ketika aku mulai tumbuh remaja, ibu selalu bicara mengenai ayah. Bahwa di dunia ini ada beberapa anak yang memiliki dua ayah.“Ada yang punya ayah secara biologis, ada juga yang tidak.”“Maksudnya bagaimana bu?” Tanyaku kala itu ketika ibu tiba-tiba bicara mengenai hal yang baru saja dia ucapkan, kami tengah berada di dalam mobil.Sore sudah menjelang, langit berwarna jingga dan hanya ada kami berdua di parkiran daycare adikku.“Ya, ada yang kita panggil ayah namun bukan orang yang memberi kita kehidupan. Tapi dia adalah sosok yang menjelma sebagai ayah yang kita tahu sebagai anak. Ada juga seorang ayah yang memberikan kita kehidupan dan mungkin karena satu hal dia tidak menjadi sosok yang kita tahu.”Kalimat ibu begitu rumit, aku yang masih kecil tidak mengerti.Pembahasan itu berakhir begitu saja ketika adikku datang dan masuk ke dalam mobil dengan senyum lebar di wajahnya.Pembahasan ibu mengenai
Catur menatap pria di depannya, pria yang selama beberapa bulan terakhir menghantuinya. Pria itu menuntut banyak hal dari Catur termasuk memaksanya untuk ‘membawa’ kembali Nina.“Gue sudah bilang gue gak akan diem aja, lo ngerti maksud gue gak?” Gata melotot, wajahnya terlihat begitu merah karena emosi sudah mencapai puncaknya. Dia berjalan kesana kemari di depan Catur yang masih duduk dengan rokok di sela jarinya.Pria itu sudah berkali-kali datang menemui Catur, ketika dia datang ke warehouse dan Catur mencoba untuk menggertak serta mengancamnya pria itu malah semakin menjadi-jadi ketimbang takut akan hal itu.“Bisa berhenti obsesi sama Tikta gak sih lo?” Catur menghisap rokoknya disela perkataannya, berusaha untuk tetap tenang juga menghadapi pria di depannya yang semakin lama dia yakini sebagai seorang dengan gangguan jiwa.Gata menghentikan langkahnya, dengan penuh kedramatisan dia menoleh pada Catur. Pria itu suda
“Kamu yakin mau menunda?”Pria itu bertanya dengan wajah yang terlihat khawatir. Ferdi, dia suami Kumara.Keduanya bertemu di butik EKAWIRA. Ferdi adalah salah satu klien terbaik butik itu, dia seorang pengusaha yang cukup tersohor. Namun keduanya memutuskan untuk menyembunyikan hubungan mereka.Selain karena peraturan butik untuk tidak menjalin hubungan dengan klien, juga karena Ferdi sudah dikenal oleh publik karena usahanya.“Iya, aku masih punya tanggung jawab di butik..” Jawab Kumara, dia menunduk. Pernikahan mereka baru berjalan beberapa bulan ketika Nina memutuskan untuk pergi meninggalkan Indonesia dan melahirkan di Jepang.Tepatnya pagi ini, Kumara mendapat panggilan dari Julie untuk rapat.Wanita itu menjelaskan mengapa rapat itu diadakan, Nina juga hadir secara online.“Semalam gue sudah ngobrol sama Julie dan gue rasa sekarang gue harus bilang juga ke lo.” Katanya pada Kumara yang membeku, dia menoleh pada Julie.“Jadi, apartemen itu sebagai hadiah pernikahan gue.” Nina me
“Ma, boleh gak?” Ini sudah kesekian kalinya Kiran merengek pada Julie. Mata itu memancarkan belas kasihan yang ingin sekali Julie hindari.CHARAKA KIRAN YOGASWARA.Sudah delapan tahun berceraian itu berakhir, meninggalkan luka menganga yang begitu besar di dada Julie. Bahkan belum mengering meskipun orang bilang waktu akan menyembuhkan segalanya.Lukanya belum juga sembuh.Usia Kiran memasuki usia remaja sekarang, lima belas tahun. Dia tumbuh seperti ayahnya, bagaimana dia bersikap, menanggapi persoalan, namun tentu saja dia jauh lebih manis dari ayahnya.“Ya gak mungkin dong nak mama ngizinin kamu magang di butik EKAWIRA? Lagian kamu masih anak SMP ngapain nyoba kerja?”Kiran cemberut sekarang, mengaduk mie instan yang lagi-lagi hasil rengekannya karena sudah dua bulan tidak memakannya.“Kiran mau belajar kerja ma, nanti setelah lulus sekolah biar gak kaget!”Julie menggeleng, mengibas-ngibaskan tangannya tanda bahwa dia tidak menyutujui hal itu.“Pergi sekolah sejauh mungkin, nanti
Julie tidak pernah absen mendatangi Catur, dia tidak pernah sekalipun mengurangi jatah kesempatan untuk menjenguk pria itu. Semenjak pria itu menyerahkan diri hingga sampai akhirnya dia keluar penjara, Julie selalu ada untuknya.Tentu saja, sama dengan Nina kebenciannya pada Catur begitu besar. Kecewa dan benci jadi satu sehingga dia bahkan tidak tahu mengapa masih dengan sadar mengunjungi pria itu, menengok dan mengecek keadaannya.Julie sadar, mereka sudah terlalu lama bersama.Nina melakukannya juga, meskipun wanita itu membenci Catur namun perasaan peduli tidak bisa dihilangkan begitu saja.“Tidak ada sanak saudara sama sekali?” Tanya salah seorang polisi ketika pengadilan berakhir, penahanan Catur telah diputuskan. Dia akan dipenjara selama kurang lebih dua puluh tahun.Waktu yang cukup panjang untuk menebus semua kesalahannya.“Tidak ada pak, selama disini saya sebagai walinya.” Julie berhadapan dengan salah satu petugas yang membawa semua barang-barang pribadi Catur.Petugas it