"Ini tiket ke Filipina, aku dengar asal ibumu dari sana. Jadi, kau tidak ada keterbatasan dalam berbahasa jika tinggal disana." Haru mendorong tiket pesawat di atas meja itu ke arah Rania yang duduk di depannya. Wanita itu hanya menatap bagaimana kertas tiket itu telah sampai di hadapannya. Ingin menolak, tapi tak punya kuasa. "P-pak-" "Aku hanya ingin tidak melihatmu ada disini, itu saja. Kau mengingatkanku akan Dirta dan Raihan waktu itu." Rania meremas pinggiran bajunya dengan kuat. "Itu jantung ibuku, setidaknya biarkan aku berada di dekat Mas Raihan." "Maaf, aku minta maaf ...." Haru menatap ke arah lain, selain benci dia juga merasa bersalah. Saking bersalahnya, dia semakin tidak ingin melihat Rania. Rania menghapus jejak air matanya dengan sedikit kasar, dia tidak terima diperlakukan seperti ini. "Kenapa Tuan jahat sekali padaku. Ayah dan ibuku bahkan mati demi menyelamatkan anak kalian. Apa masih kurang? Apa ingin melihat aku mati juga? Huh? Dimana hati nuranimu, Tuan? "
Hati yang berat terus melangkah dengan gontai sambil menggenggam tiket pesawat, Rania benar-benar sangat lelah dengan apa yang terjadi. Sekarang, dia lebih baik pasrah mengikuti arus yang mengalir daripada memberontak. Jika benar Filipina adalah keputusan terakhir, maka dia harus menerimanya. Terpenting, dia dan anak-anaknya tidak akan diganggu lagi. "Buna?" panggil David yang sedang menunggu di dekat pintu bersama Vano. Mereka berdua tadinya menunggu diluar. Tidak ada yang mereka lakukan kecuali berjongkok sambil memikirkan nasib selanjutnya bagaimana. Vano berlari kecil menemui bunanya. "Buna? Mana Handa?" tanyanya saat Rania berjongkok menyambut dirinya yang berlari ke arahnya. Selalu, anak itu menanyakan keberadaan handanya, membuat hati Rania semakin teriris dengan belah pisau. Rania tersenyum pahit merespon anaknya. "Maafkan Buna, ya. Mungkin handa tidak akan datang, lain kali dia akan datang kok menemui kita." Rania mengelus pipi mulus milik Vano, matanya hampir berkaca-kaca
"Hey ... sudah ... sudah ... Mas sudah disini, kau tumbuh menjadi wanita dewasa, ya ..." ucap Yogi yang tengah mengusap punggung Rania sambil berpelukan. Dia tidak tahu akan bertemu adiknya di tempat seperti ini. Tapi kenapa? Kenapa ada Rania disini? Bertemu dengan Haru Atmadja pula. Apakah adiknya disakiti oleh Haru iblis itu?Rania menggelengkan kepalanya dan semakin erat memeluk kakaknya. "J-jangan tinggalin Anya ... A-nya sendirian Mas …," isaknya dengan suara tertahan di dada Yogi. Meminta putra sulung Dirta itu untuk tetap diam dan tidak pergi kemana-mana. Benar, Rania memang serindu itu dengan abang Yoginya. "Maafkan aku." Yogi menatap David dan Vano secara bergantian. Apalagi Vano dengan mata bulatnya yang tidak lepas memperhatikan Yogi yang dipeluk oleh bunanya. Pikirannya terlintas lagi, apa laki-laki itu, handanya juga? Yogi pun tersenyum melihat ekspresi kedua anak Rania. Keponakannya memiliki wajah chubby dan sangat tampan seperti ayah kandungnya. "M-mas k-kemana saja
Dahsyat dan spektakuler, bagaimana kita akan melihat hati nurani bekerja. Menyentuh kelopak yang terkoyak paksa. Yogi menarik nafasnya dengan dalam dan penuh keputusasaan. "Tua bangka dan meresahkan," gumam laki-laki itu saat melihat wajah Haru yang tenang. Tentu saja, pria paruh baya di depannya tahu, bahwa Yogi tidak akan berani melepaskan tembakan padanya karena Rania. Diluar sana, Raihan telah berhasil datang untuk menemui Rania dan anaknya. Kemarin, dia telat menyelamatkan saat Rania dipindahkan Haru ke tempat yang lebih jauh. Alhasil, pria itu kehilangan jejak dan berusaha mencari info kembali. "Rania!" Rania menoleh diikuti oleh orang-orang yang ada disana juga. Saat tatapan itu beradu, ada sedikit kelegaan yang menerpa di hati keduanya. Rasanya, Rania sudah merasa aman sekarang. "Aaaa Handaaa!" Vano kecil berlarian menghampiri handanya dengan teriakan kerinduan. "Anoooo takut, Handaaaaa," rengeknya saat Raihan sudah berhasil membawa tubuh kecilnya kepelukan nan hangat.
"Rania!" "M-mas ...." "Bunaaa ... aaaaa ... Buna …," teriak Vano dan David, mereka ketakutan melihat bunanya terjatuh dalam dekapan Raihan.Raihan dan Rania terduduk di tanah begitu saja sambil menahan punggung ibunya Vano, mereka syok bukan main akibat tembakan yang baru saja melayang di lengan Rania. Wanita itu memegangi pinggiran lengannya karena sakit luar biasa yang diciptakan tidak mampu ia atasi dengan cara apapun. Ada rasa yang begitu perih menyayat dagingnya, sekali lagi dia terluka. Peluru yang ditembakkan Danu melayang melewati kulit lengan Rania, sehingga lengannya menjadi menyucurkan banyak darah. Akibatnya, membuat Yogi tidak tahan karena adiknya terluka."Rania, ini terluka dan berdarah? Bertahan sebentar, kita akan ke rumah sakit," ucap Raihan dengan segala kepanikannya. Dia bahkan bersiap untuk mengangkat wanita itu ke dalam gendongannya. Rania menggelengkan kepalanya, tanda menolak. "Anya tidak apa-apa, M-mas ...." "Tidak apa-apa bagaimana!" Raihan terlihat mara
"Rania obati dulu lukamu, ya," pinta Raihan sambil memegang lembut bahu Rania yang naik turun karena kesulitan mengatur nafasnya yang sesak tidak karuan. "Tidak mau! Aku tidak mau! Aku ingin Ano," tolak Rania sambil menyingkirkan tangan Raihan yang tersampir di bahunya. "Iya, aku paham. Tapi, tolong mengerti bahwa kamu juga harus diobati." "Raihan, luka apa?" tanya Hani melihat lengan Rania berdarah, dia curiga dan sudah kepalang takut. "Luka tembakan, ayah Jihan yang melakukannya, Ibu," jawab Raihan dengan nada bicara yang tidak sanggup mengatakan luka tembak pada ibunya. Hani membulatkan kedua matanya lebar-lebar, ternyata luka tembak. "Astaga!" Hani mendekati Rania dan mencoba menyentuh bahu Rania. "Sayang, ayo obati lukamu dulu, ya," pintanya dengan raut wajah super khawatir. "Tidak mau! Aku tidak mau, Ibu ... pergi! Tinggalkan aku sendiri! Pergilah!" Rania memberontak dan tidak ingin disentuh siapapun saat ini. Dia hanya ingin menunggu Vano sampai anak laki-laki itu siuman.
"Aku akan menunggu diluar," ucap Renan, mencoba melepaskan tangan Rania yang menggantung di lengannya. Bukan apa-apa, itu supaya Rania nyaman saja. Nyatanya, tidak bagi Rania. "Kau sudah janji akan menungguku," elak Rania cepat. Mempererat cengkramannya di lengan Rania, mata kecilnya memandang Renan penuh harap, agar laki-laki itu mengerti dan menuruti permintaanya. Akhirnya, Renan menahan senyumnya, wanita ini sangat bucin sekali, ya, sekarang. "Ya sudah," jawabnya dengan kembali berdiri lebih dekat dengan Rania yang duduk di atas brankar. Renan membantu Rania melepas bajunya agar lebih mudah diobati. Wanita itu sedikit kesusahan dan merasa semakin ngilu jika lengannya terlalu banyak bergerak. Luka tembaknya tidak dalam, hanya saja rasa sayatannya begitu menyakitkan untuk dirasakan. "Berbaring, ya, Bu," titah perawat yang membantu Rania berbaring di atas brankar. Renan pun ikut membantu dan menahan hati-hati punggung Rania untuk sampai ke atas kasur brankar tersebut. Perawat mu
Abang!" "R-ren!" "Abang!" teriak Renan saat Yogi menutup kembali pintunya. Pria itu memilih menjauh dari sana dan belum siap bertemu dengan Renan. Hatinya kembali perih saat memandang Renan barusan, teringat mendiang ayahnya dan ibunya yang mati demi Renan. Belum lagi, dia di posisi membingungkan karena dia juga sangat menyayangi Renan sebagai adik angkatnya. "Abang!" panggil Renan lagi dengan nada yang nyaring, alhasil suaranya begitu menggema di koridor rumah sakit yang sedikit gelap karena pencahayaan yang remang. Laki-laki ini menyusul Yogi keluar dan berusaha menahan abangnya agar tidak pergi lagi. "Apa!" jawab Yogi ketus, sengaja. Berlagak tidak peduli pada adik angkatnya yang wajahnya terlihat seperti anak kecil yang sedang menahan tangis. Bibir merah ceri milik si bungsu bahkan mengerucut dan bergetar kecil menahan suara tangisan agar tidak pecah. Ia kembali menjadi sosok kecil yang bergantung pada Yogi, si tua sulung yang dingin namun perhatian. "A-abang... i-ini Enan,
"Eunghh- eohh!" Alvaro tampak akan menangis saat melihat wajah ayahnya. Tangan mungilnya terkepal saat sedang ingin dimandikan oleh nininya. "Renan," tegur Hani karena Renan terus melakukan permainan cilukba pada Varo. "Cilup, baaaaa," goda Renan lagi sambil membuka tutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. "Eungg- eoh- engg engg." "Renan! Anakmu ini masih berumur 14 hari! Belum bisa diajak bermain peek a boo!" marah Hani karena Renan tidak mengindahkan nasehatnya sejak tadi. "Uhuuuu, nini Varo suka malah-malah, ya sayang …," kilah Renan sambil menciumi perut Varo yang menggemaskan. "Eunghhh eohh," respon Varo dengan suara khas anak bayinya. "Kau menggoda cucuku terus. Bunanya sedang makan di dalam kamar, jika dia menangis kau sendiri yang akan membuat buna Varo terhalang untuk mengisi nutrisi di tubuhnya," ucap Hani sambil menjewer telinga Renan. "Aduh duh ... Varo liat ninimu sangat galak pada Handa ...." "Egh," respon si kecil pecah saat melihat handanya di jewer oleh
"S-sayang ... apa begitu sakit?" tanya Renan dengan suara yang bergemetaran. Wajahnya penuh keringat dingin dengan pancaran kecemasan yang luar biasa. Apalagi saat Rania berusaha memompa perutnya ke bawah dengan susah payah, semakin Renan tidak tahan untuk menumpahkan air mata pilu. "Euhhh ... huhhhh ... hahhhh!" Rania membuang napas sesuai anjuran perawat. Persalinan ini bukan yang pertama untuknya, sehingga Rania tidak terlalu cemas menjalaninya. Tapi .... Lihat, suaminya. Kaki laki-laki itu menjadi gemetaran dan tidak mampu berdiri lebih lama. Pertama kalinya dia melihat kekaguman luar biasa dari seorang wanita yang sedang bertaruh nyawa untuk melahirkan kehidupan baru. "Ibu tarik napas dan hentakkan ke bawah, pelan-pelan saja. Tidak perlu terburu-buru ...." pinta sang perawat di sisi kiri Rania. Perawat itu sejak tadi menggenggam tangan Rania dan diusap lembut sebagai penenang. "Hmmmmhhhh." Rania menarik napas dalam-dalam. "Haaaaaahhhhhh." "Lagi, Ibu ...." "Huhhhhhh ... hahh
Rania masih setia berada di dekapan sang suami pagi itu. Pikirannya masih bercabang akibat kejadian yang menimpanya barusan, tangannya masih terasa lemas dan sedikit bergetar. Sadar akan hal itu, Renan menggenggam telapak tangan istrinya dengan lembut. "Ibu sedang dalam perjalanan kesini, nanti aku antarkan pulang sebelum ke kantor," ucap Renan memulai percakapan lebih dulu. Rania menggeleng. "J-jangan ke kantor, izin saja. Ku mohon ...." Renan menghela napas. "Iya, aku hanya absen sebentar." Laki-laki itu merapikan rambut istrinya yang sedikit berantakan. "Bagaimana perasaanmu, sudah mendingan?" "Masih sedikit nyeri di bagian pantat ...," rengeknya dengan manja, mengadu pada sang suami bahwa tulang pantatnya sedikit sakit. "Nanti, aku oleskan salap pereda nyeri yang diberi dokter tadi." Rania mengangguk dan matanya menjadi lelah seperti ingin tertidur. "Mengantuk ... Buna mengantuk, Handa." "Ayo berbaring, Handa akan membantu Buna berbaring." Renan sudah bersiap untuk melepask
"Raihan punya pilihan sendiri, walupun tidak yakin untuk, tapi Raihan akan mencoba ...." Raihan memandang ayah dan bergantian. "S-siapa?" Hani ragu-ragu. "I-itu, sekretaris pribadi Raihan yang baru." Hani merasakan merasakan lega di hati. "Raisya? Yang kemarin siang dokumen ke rumah?" Raihan menggaruk belakang kepalanya, dia menjadi salah tingkah dan malu untuk merespon pertanyaan ibunya. "Tidak apa-apa. Anaknya sopan dan baik seperti Rania. Ayah setuju saja," ucap Haru yang mengerti kegugupan anaknya. "A-ah itu ... Raihan masih tidak yakin apa dia mau menerima Raihan ...." Hani menyentuh punggung tangan Raihan dan diusap lembut. "Berjuanglah, jalanmu lebih mudah sekarang, Nak ...." ungkap Hani menyemangati anaknya. Benar, jalan Raihan sekarang lebih mudah karena tidak ada halangan, tidak seperti dulu banyak penghalangnya antara dia dan Rania. "Terima kasih Ayah, Ibu ... Raihan akan mencoba membuka hati dan berjuang untuk gadis itu." *** Grup Atmadja. "Raisya, apa?" tanya
Suatu hari di kediaman Renan dengan pemandangan senja yang menyenangkan dari jendela unitnya. "Enan sayang ....." Renan tidak melepaskan penglihatannya dari karikatur superman yang kepala dan tubuhnya secara terpisah. "Buna pasti ada maunya kalau sudah panggil sayang-sayang. Ada apa? Tas gucci lagi? Atau jaket gucci?" "Issss, memangnya Handa merasa diporotin ya kalau Buna minta barang-barang bermerek seperti itu?" Rania berjalan mendekati Renan yang sedang fokus pada karikatur superman tersebut. "Handa bekerja untuk Buna, kenapa Handa harus merasa diporotin? Memangnya kemana lagi uang Handa kalau bukan buat Buna?" Rania berusaha jongkok dan memeluk punggung laki-laki itu. "Buna, si kecil terjepit, apa tidak sesak seperti itu?" "Lembang village. Buna ingin ke lembang village ...." "Mau lihat apa disana? Mending ke kebun binatang, lebih jelas banyak binatang yang bisa dilihat." Rania terus memeluk punggung Renan. "Mau naik kuda, Buna ingin naik kuda di Lembang village." "Loh?"
Renan menjadi diam seribu bahasa. Perkataan Rania sungguh ada benarnya. Setelah menikah, bahkan Rania tidak melakukan apa-apa pun Renan tetap bernafsu. Renan kembali memandang Rania dengan keberanian dan tatapan yang teduh. "A-aku bisa jamin itu, aku tidak akan melakukan sesuatu yang membuatmu khawatir." "Ini sudah sore, kau akan meninggalkan istrimu yang juga sedang hamil demi temanmu itu?" "Buna, tidak. Handa hanya sebentar melihat keadaannya. Hanya sebentar ...." "Ren, tidak bisakah kau mengerti perasaanku sedikit saja?" "Aku tahu aku salah." Rania menarik napasnya dengan dalam, lagi-lagi dia mengalah. "Pergilah, aku tidak melarang. Dari pada bayiku terguncang pertumbuhannya karena aku yang terus-terusan emosi, lebih baik aku diam." Rania menarik gagang pintu kamarnya dan masuk tanpa melihat Renan lagi. "B-buna ...." Stak. Pintu kamar tertutup rapat, bahkan bunyi pintu itu tidak keras. Biasanya orang yang suka emosi akan menutup pintu secara kasar. Yah, Rania membuat seoran
Slit! Cekrek! Bunyi jepretan tercipta dari kamera seorang fotografer yang sedang mengambil foto seorang Rania Arsita. Di usia kandungannya yang sudah menginjak tiga bulan, Renan masih memperbolehkan Rania mengambil job menjadi seorang model dengan catatan job yang diambil harus di seleksi oleh Renan sendiri. "Tolong, ya, istri saya jangan dipegang-pegang seperti itu," kesal Renan karena seorang model laki-laki tidak sengaja menyentuh bahu istrinya. "Bapam, model kami tidak melakukan pelecehan, kenapa kau sangat sensitif sekali?" "Itu istriku, Nyonya. Di perjanjian kontrak tidak ada aku menyetujui berfoto bersama model laki-laki." Nanda menghela nafas pasrah, sudah dijelaskan berulang kali pada Renan, tapi tetap laki-laki itu bersikukuh tidak mau tahu. "Bapak, sudah saya katakan, foto ini untuk bagian depan sampul majalah brand kami. Tentu istri Bapak akan mendapat gaji lebih karena sudah menerima tawaran untuk menjadi cover majalah kami." Renan tampak kesal dan menautkan kedua
"Iya, ini sebentar lagi selesai .... sabar dulu, ya," bujuk Rania saat tali baju tidurnya ditarik-tarik oleh Renan. "Tadi sebentar, sekarang sebentar, kapan selesainya, Bun …," rengek laki-laki itu yang berjongkok di bawah untuk memeluki kaki Rania. "Iya, ini Buna belum siap mengetiknya. Handa jangan seperti bayi, ah. Sini duduk disamping Buna." Rania masih terus fokus pada laptopnya, dia mengambil job sebagai model untuk iklan skincare. "Buna lama sekali, kapan akan memulai nananinanya?" "Tidak ada nananina malam ini Handa, Buna sangat lelah." "Seperti orang hamil saja cepat lelah," sindir Renan karena sampai saat ini Rania belum memberitahu tentang testpack itu. Tap! Jari-jari Rania berhenti mengetik saat mendengar ucapan Renan. Lalu, melanjutkan lagi dan pura-pura tidak mendengar apa yang diucapkan Renan barusan. "Ck!" decih Renan, dia berdiri dan menutup laptop Rania paksa. "Selalu tidak ingin memberitahuku duluan, apa kau akan memberitahu pada Jeffrey dulu?" "Apa maksudm
"Kau itu tidak cocok naik bus, cocoknya naik mobil mewah saja," sindir Rania saat melihat wajah Renan sedikit pucat. Laki-laki itu mengatur nafasnya karena merasa mual saat berada di dalam bus tadi. Mereka duduk di bawah pohon di dekat area hamparan tanaman jeruk yang sangat luas. Belum sampai di pemberhentian bus pertama, Renan secara asal memberhentikan sopir karena merasa tidak nyaman berlama-lama di dalam sana. Alhasil, mereka belum sampai menemui David karena daerah agensi Jeffrey cukup jauh dari kepadatan kota Jakarta. Renan menggeser duduknya merapat ke samping istrinya yang sedang mengeluarkan kotak makan. "A-aku bukan tidak bisa naik bus, aku lapar dan menjadi mual mencium aroma bus," adu Renan sambil menyenderkan kepalanya di bahu Rania. Rania membuka kotak nasinya dan memberikan pada Renan. "Ini makan dulu, biar enakan," titahnya agar Renan menuruti. "Suapi, Bunnnnnn …," pintanya karena Rania terlihat asik sendiri dengan kotak makan yang lain. "Uh, manja sekali kau ini