"Cantik …," gumam Rania saat dirinya bercermin dengan gaun putih sederhana yang terpasang dengan indah di tubuhnya. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai begitu saja dan diiringi polesan make up kuat di bagian wajah. "Tentu, kau kan adikku makanya cantik …," ucap Yogi yang memperhatikan adiknya dari pantulan cermin. Dirinya terlihat kurang sehat karena kehilangan jejak dari sang istri. Beginilah dia sekarang, membuntuti Rania akhir-akhir ini. "Mas terlihat kurang sehat, jika nanti ku-" "Dimana Irene?" Rania tercekat atas pertanyaan Yogi yang memotong ucapannya. "Mas ... kalian sudah berpisah, apalagi yang Mas mau? Bukannya itu pilihan sepihak dari Mas sendiri? Biarkan Kakak Irene bahagia dengan hidupnya, jangan mengusiknya lagi," jawab Rania dengan datar. Dia dapat melihat pantulan wajah Yogi dari cermin, ekspresi itu menyedihkan. "Aku tahu, aku menyesal Rania. Katakan padaku dimana Irene?" "Anya tidak tahu," jawab Rania dan langsung berpura-pura mencari sesuatu dalam tasnya. Dia
Sebelum Renan mengikrarkan janjinya, dia menyempatkan memberi senyuman pada Rania dan kembali menghadap ke arah pendeta. Matanya terpejam sebentar dan menarik napas dengan dalam. "Aku Renan Aditama menerima untuk bersedia menjadi suami dari Rania Arsita. Aku bersumpah pada Tuhan dan berjanji, bahwasanya hanya akan ada satu wanita untuk menemani di masa muda dan tuaku kelak. Aku dengan sangat yakin akan mencintai istriku dengan tulus dan menjaganya lebih dari aku menjaga diriku sendiri. Aku menerima Rania Arsita sebagai bagian dari hidupku. Tuhan, restuilah aku sebagai kepala rumah tangga yang baik untuk keluarga kecil yang akan kami bangun. Terima kasih, sudah percaya dengan menitipkan satu malaikat tanpa sayap ini untuk aku jaga sampai akhir hayatku nanti." Tes!Bulir air mata Rania menetes begitu saja, ucapan janji Renan sungguh membuat hatinya bergetar. Baginya, kehadiran Renan membuat pengaruh besar untuknya. Ia berharap akan mampu menjadi istri yang berbakti pada suaminya ini da
"Menurut pada suami." Dengan berat hati, Rania melepaskan kalungnya dan diberikan pada suaminya. Bibirnya sedikit cemberut karena tidak jadi memakai kalung, padahal dia ingin memakai perhiasan agar terlihat lebih mewah nantinya. Renan pun tersenyum miring dan melayangkan kecupan hangat di pipi sang istri. Kakinya melangkah ke arah lemari dan menaruh kalung Rania di dalam laci. Setelah itu, dia mengeluarkan sesuatu dan berbalik lagi ke hadapan Rania. Sekarang, mata Rania dipenuhi dengan pemandangan abs Renan yang begitu kekar dan menggoda. Buru-buru Rania menggeleng-gelengkan kepalanya agar tidak kalap menyentuh perut suaminya. Set! Renan memasangkan kalung lain ke leher Rania. Iya, dia hanya ingin istrinya memakai barang-barang darinya saja mulai sekarang. "Pakai yang ini karena ini dari suamimu." Rania menunduk dan menyentuh kalung tersebut. "I-ini untukku, mewah s-sekali." "Tentu, aku sudah jauh-jauh hari membelikannya untukmu. Jadi, mulai sekarang harus pake kalung ini saja
18+ "Apa masih perih?" "S-sedikit ...." Rania membuka kedua matanya dan mendapati Renan dengan tatapan dalam memperhatikan dirinya. "Tatapanmu, kenapa seperti itu? Menakutkan ...." "Tatapan cinta, Sayang." Rania sedikit menurunkan pandangannya ke arah dada Renan. "Abs yang sangat jantan, kekar dan menggoda …," ungkap Rania. Jari-jari lentiknya mengusap dari dada ke perut Renan dengan gerakan menyentuh yang menggoda suami tampannya tersebut. Renan tidak bisa mengelak, sentuhan Rania sungguh nikmat dan membuatnya ketagihan. "Enak. Aku tidak menyangka bahwa kita sudah bersama. Rasanya, baru kemarin Rania menolakku, sekarang sudah satu ranjang berdua dan bersentuhan ...." Jari-jari Rania naik ke atas dan menyentuh jakun milik Renan, bibir kemerahannya juga menciptakan sebuah senyuman saat jakun milik suaminya naik turun berulang kali. "Dulu, aku pikir hanya akan menganggap adik. Ternyata, suamiku kerja keras untuk membuktikan keseriusan cintanya. Perempuan mana yang bisa mengabaika
"Loh, kau mengganti lemari dengan yang baru, ya? Lebih besar dari yang dulu?" "Iya, biar muat banyak," jawab Renan, ia meletakkan tas besar berisi beberapa bajunya dan semua baju Rania di dekat lemari barunya. Sudah dua hari pernikahan mereka terlaksana, akhirnya, Renan membawa istrinya untuk tinggal di apartemen miliknya. Rania meletakkan shopper bag-nya di atas kasur. "Owh, begitu." Wanita itu melepaskan jaketnya dan digantung dekat penggantung pakaian kamar tersebut. "Aku mandi duluan, ya. Rasanya benar-benar lengket karena berkeringat," kilah Rania sambil mengeluarkan alat mandinya dari dalam shopper bag.Renan mendekat dan memeluk Rania dari belakang. "Mandilah, aku akan menggunakan kamar mandi di luar, Muah." Tiba-tiba Renan mencium puncak kepala Rania dengan dalam. "Suamiku sangat suka mencium ternyata, ya." "Hanya suka mencium istriku saja, hehe," kekeh Renan dan melepaskan pelukannya pada tubuh Rania. "Aku mencintaimu suamiku," ucap Rania saat Renan sudah membuka pintu
"Ah, Renan! Ini benar dirimu? Huaaa sudah lama tidak bertemu." Rayla reflek memeluk Renan dengan antusias, seperti sesuatu yang sangat berharga dan tidak boleh lepas lagi dari dekapannya. "Ah, Rayla. Jangan seperti itu ...." Renan mengangkat kedua lengannya dan menyuruh Rayla menjauh dari tubuhnya. "Aku sudah beristri, ini posisi tidak baik," pinta Renan dengan sopan. "Ah, kau sudah menikah?" Rayla tampak menampilkan wajah sedihnya. Bibirnya tertekuk manyun dan bola matanya penuh kekecewaan. Loh, apa yang sedang diharapkannya? Renan tampak mengernyitkan dahinya keheranan. "Kau kenapa?" "Aku bercerai dari suamiku, dia meninggalkan aku dan bayi yang aku kandung," jawab Rayla sambil mengelus perutnya yang belum kelihatan buncit. Mengadu pada Renan seolah akan baik-baik saja setelah ini dengan bantuan Renan. "Kasihan sekali dirimu. Kau tidak punya tempat tinggal?" "Sewa apartemenku masih dua bulan lagi, aku masih menetap disana. Ren, hanya kau teman yang mengenalku, kau bisa membant
"Lenganku kenapa membesar seperti ini, pipiku juga menggembul akibat berat badan yang naik. Suamiku selalu membawa cemilan sehabis pulang kerja, aku jadi suka khilaf memakannya tanpa berhenti." Rania memijat lengannya yang membesar sambil melihat dari pantulan cermin di dekat dapur. "Apa aku harus diet? Aku seperti boneka pooh sekarang, tinggal menenteng gentong dan itu benar-benar mirip. Huhu, bagaimana ini? Aku tidak ingin terlihat seperti pooh …," resah Rania sambil melihat ke arah box besar berisi cemilan yang bertumpuk-tumpuk karena Renan yang terus membelikannya. "Coba David belum menjadi trainee, pasti dia yang akan menghabisi cemilanku, huhu .... David bagaimana ini … bunamu menggendut." Rania menyentuh wajahnya. "Apa ini … gembil sekali. Bagai- Hoek! Hoek!" Rania menutup mulutnya saat sesuatu yang sesak ingin keluar melalui tenggorokannya. "Hoek! Ughh ... uhuk! Ughh!" Rania mengeluarkan semua isi perutnya yang terasa mual. Saat sudah mendingan, ia membasuh mulutnya dan seka
"Sayang, kau kenapa? Ah, sial! Kaki sialan!" maki Renan sambil mencoba mengangkat kakinya untuk turun ke bawah. Nihil, dia tidak bisa, kakinya semakin kebas dan mati rasa. "Hoek! Ughh! Hoek!" Rania memuntahkan seluruh isi perutnya yang terasa begitu mual. "Kenapa disaat seperti ini aku tidak bisa apa-apa! Sialan! Kaki sialan! Cih!" Renan memukul sofanya dengan kuat. Kepalanya menoleh ke belakang untuk memperhatikan istrinya yang masih setia di wastafel. "Rania, kau kenapa?" Brsss! Aliran air terbuka dan Rania berkumur untuk mengembalikan netral asam pada mulutnya. "Tidak apa-apa. Perutku mual, sepertinya kemarin salah makan." Rania mengambil tisu dan mengusap wajahnya yang basah. Setelah itu, dia berjalan ke arah Renan lagi sambil membawa satu gelas air hangat untuk dirinya dan satu gelas teh lemon untuk suaminya. "Maafkan aku, kakiku …," ungkap Renan yang penuh dengan rasa penyesalan mendalam. Rania terkekeh kecil menanggapi ungkapan suaminya, begitu polos dan manis. "Apanya y