18+ "Apa masih perih?" "S-sedikit ...." Rania membuka kedua matanya dan mendapati Renan dengan tatapan dalam memperhatikan dirinya. "Tatapanmu, kenapa seperti itu? Menakutkan ...." "Tatapan cinta, Sayang." Rania sedikit menurunkan pandangannya ke arah dada Renan. "Abs yang sangat jantan, kekar dan menggoda …," ungkap Rania. Jari-jari lentiknya mengusap dari dada ke perut Renan dengan gerakan menyentuh yang menggoda suami tampannya tersebut. Renan tidak bisa mengelak, sentuhan Rania sungguh nikmat dan membuatnya ketagihan. "Enak. Aku tidak menyangka bahwa kita sudah bersama. Rasanya, baru kemarin Rania menolakku, sekarang sudah satu ranjang berdua dan bersentuhan ...." Jari-jari Rania naik ke atas dan menyentuh jakun milik Renan, bibir kemerahannya juga menciptakan sebuah senyuman saat jakun milik suaminya naik turun berulang kali. "Dulu, aku pikir hanya akan menganggap adik. Ternyata, suamiku kerja keras untuk membuktikan keseriusan cintanya. Perempuan mana yang bisa mengabaika
"Loh, kau mengganti lemari dengan yang baru, ya? Lebih besar dari yang dulu?" "Iya, biar muat banyak," jawab Renan, ia meletakkan tas besar berisi beberapa bajunya dan semua baju Rania di dekat lemari barunya. Sudah dua hari pernikahan mereka terlaksana, akhirnya, Renan membawa istrinya untuk tinggal di apartemen miliknya. Rania meletakkan shopper bag-nya di atas kasur. "Owh, begitu." Wanita itu melepaskan jaketnya dan digantung dekat penggantung pakaian kamar tersebut. "Aku mandi duluan, ya. Rasanya benar-benar lengket karena berkeringat," kilah Rania sambil mengeluarkan alat mandinya dari dalam shopper bag.Renan mendekat dan memeluk Rania dari belakang. "Mandilah, aku akan menggunakan kamar mandi di luar, Muah." Tiba-tiba Renan mencium puncak kepala Rania dengan dalam. "Suamiku sangat suka mencium ternyata, ya." "Hanya suka mencium istriku saja, hehe," kekeh Renan dan melepaskan pelukannya pada tubuh Rania. "Aku mencintaimu suamiku," ucap Rania saat Renan sudah membuka pintu
"Ah, Renan! Ini benar dirimu? Huaaa sudah lama tidak bertemu." Rayla reflek memeluk Renan dengan antusias, seperti sesuatu yang sangat berharga dan tidak boleh lepas lagi dari dekapannya. "Ah, Rayla. Jangan seperti itu ...." Renan mengangkat kedua lengannya dan menyuruh Rayla menjauh dari tubuhnya. "Aku sudah beristri, ini posisi tidak baik," pinta Renan dengan sopan. "Ah, kau sudah menikah?" Rayla tampak menampilkan wajah sedihnya. Bibirnya tertekuk manyun dan bola matanya penuh kekecewaan. Loh, apa yang sedang diharapkannya? Renan tampak mengernyitkan dahinya keheranan. "Kau kenapa?" "Aku bercerai dari suamiku, dia meninggalkan aku dan bayi yang aku kandung," jawab Rayla sambil mengelus perutnya yang belum kelihatan buncit. Mengadu pada Renan seolah akan baik-baik saja setelah ini dengan bantuan Renan. "Kasihan sekali dirimu. Kau tidak punya tempat tinggal?" "Sewa apartemenku masih dua bulan lagi, aku masih menetap disana. Ren, hanya kau teman yang mengenalku, kau bisa membant
"Lenganku kenapa membesar seperti ini, pipiku juga menggembul akibat berat badan yang naik. Suamiku selalu membawa cemilan sehabis pulang kerja, aku jadi suka khilaf memakannya tanpa berhenti." Rania memijat lengannya yang membesar sambil melihat dari pantulan cermin di dekat dapur. "Apa aku harus diet? Aku seperti boneka pooh sekarang, tinggal menenteng gentong dan itu benar-benar mirip. Huhu, bagaimana ini? Aku tidak ingin terlihat seperti pooh …," resah Rania sambil melihat ke arah box besar berisi cemilan yang bertumpuk-tumpuk karena Renan yang terus membelikannya. "Coba David belum menjadi trainee, pasti dia yang akan menghabisi cemilanku, huhu .... David bagaimana ini … bunamu menggendut." Rania menyentuh wajahnya. "Apa ini … gembil sekali. Bagai- Hoek! Hoek!" Rania menutup mulutnya saat sesuatu yang sesak ingin keluar melalui tenggorokannya. "Hoek! Ughh ... uhuk! Ughh!" Rania mengeluarkan semua isi perutnya yang terasa mual. Saat sudah mendingan, ia membasuh mulutnya dan seka
"Sayang, kau kenapa? Ah, sial! Kaki sialan!" maki Renan sambil mencoba mengangkat kakinya untuk turun ke bawah. Nihil, dia tidak bisa, kakinya semakin kebas dan mati rasa. "Hoek! Ughh! Hoek!" Rania memuntahkan seluruh isi perutnya yang terasa begitu mual. "Kenapa disaat seperti ini aku tidak bisa apa-apa! Sialan! Kaki sialan! Cih!" Renan memukul sofanya dengan kuat. Kepalanya menoleh ke belakang untuk memperhatikan istrinya yang masih setia di wastafel. "Rania, kau kenapa?" Brsss! Aliran air terbuka dan Rania berkumur untuk mengembalikan netral asam pada mulutnya. "Tidak apa-apa. Perutku mual, sepertinya kemarin salah makan." Rania mengambil tisu dan mengusap wajahnya yang basah. Setelah itu, dia berjalan ke arah Renan lagi sambil membawa satu gelas air hangat untuk dirinya dan satu gelas teh lemon untuk suaminya. "Maafkan aku, kakiku …," ungkap Renan yang penuh dengan rasa penyesalan mendalam. Rania terkekeh kecil menanggapi ungkapan suaminya, begitu polos dan manis. "Apanya y
"Kau itu tidak cocok naik bus, cocoknya naik mobil mewah saja," sindir Rania saat melihat wajah Renan sedikit pucat. Laki-laki itu mengatur nafasnya karena merasa mual saat berada di dalam bus tadi. Mereka duduk di bawah pohon di dekat area hamparan tanaman jeruk yang sangat luas. Belum sampai di pemberhentian bus pertama, Renan secara asal memberhentikan sopir karena merasa tidak nyaman berlama-lama di dalam sana. Alhasil, mereka belum sampai menemui David karena daerah agensi Jeffrey cukup jauh dari kepadatan kota Jakarta. Renan menggeser duduknya merapat ke samping istrinya yang sedang mengeluarkan kotak makan. "A-aku bukan tidak bisa naik bus, aku lapar dan menjadi mual mencium aroma bus," adu Renan sambil menyenderkan kepalanya di bahu Rania. Rania membuka kotak nasinya dan memberikan pada Renan. "Ini makan dulu, biar enakan," titahnya agar Renan menuruti. "Suapi, Bunnnnnn …," pintanya karena Rania terlihat asik sendiri dengan kotak makan yang lain. "Uh, manja sekali kau ini
"Iya, ini sebentar lagi selesai .... sabar dulu, ya," bujuk Rania saat tali baju tidurnya ditarik-tarik oleh Renan. "Tadi sebentar, sekarang sebentar, kapan selesainya, Bun …," rengek laki-laki itu yang berjongkok di bawah untuk memeluki kaki Rania. "Iya, ini Buna belum siap mengetiknya. Handa jangan seperti bayi, ah. Sini duduk disamping Buna." Rania masih terus fokus pada laptopnya, dia mengambil job sebagai model untuk iklan skincare. "Buna lama sekali, kapan akan memulai nananinanya?" "Tidak ada nananina malam ini Handa, Buna sangat lelah." "Seperti orang hamil saja cepat lelah," sindir Renan karena sampai saat ini Rania belum memberitahu tentang testpack itu. Tap! Jari-jari Rania berhenti mengetik saat mendengar ucapan Renan. Lalu, melanjutkan lagi dan pura-pura tidak mendengar apa yang diucapkan Renan barusan. "Ck!" decih Renan, dia berdiri dan menutup laptop Rania paksa. "Selalu tidak ingin memberitahuku duluan, apa kau akan memberitahu pada Jeffrey dulu?" "Apa maksudm
Slit! Cekrek! Bunyi jepretan tercipta dari kamera seorang fotografer yang sedang mengambil foto seorang Rania Arsita. Di usia kandungannya yang sudah menginjak tiga bulan, Renan masih memperbolehkan Rania mengambil job menjadi seorang model dengan catatan job yang diambil harus di seleksi oleh Renan sendiri. "Tolong, ya, istri saya jangan dipegang-pegang seperti itu," kesal Renan karena seorang model laki-laki tidak sengaja menyentuh bahu istrinya. "Bapam, model kami tidak melakukan pelecehan, kenapa kau sangat sensitif sekali?" "Itu istriku, Nyonya. Di perjanjian kontrak tidak ada aku menyetujui berfoto bersama model laki-laki." Nanda menghela nafas pasrah, sudah dijelaskan berulang kali pada Renan, tapi tetap laki-laki itu bersikukuh tidak mau tahu. "Bapak, sudah saya katakan, foto ini untuk bagian depan sampul majalah brand kami. Tentu istri Bapak akan mendapat gaji lebih karena sudah menerima tawaran untuk menjadi cover majalah kami." Renan tampak kesal dan menautkan kedua