William sedang berada jauh dari kebisingan, pria ini memilih berkemping untuk mendinginkan pikiran dan mencoba menghapus penyesalan serta dosa-dosanya pada Nitara, tetapi karena bawahan Bagaswara menemukannya, maka waktu dan tempatnya terganggu. Dengan kesal, dia berdiri dari ujung batu yang sejak tadi didudukinya. “Pergilah!” usirnya sangat frontal. “Maaf, Tuan. Tuan Bagaswara memerintahkan saya mencari tuan muda,” santun pria tinggi besar yang dipaksa keadaan. Maka, dirinya berpenampilan selayaknya orang berkemping karena William sudah tiba di puncak gunung seorang diri. “Beri tahu papa, aku di sini!” tegas William, kemudian matanya memicing tajam bak pisau es yang dingin, “tapi jangan memaksaku kembali!” “Tidak, Tuan.” Pria ini mendirikan tenda tidak jauh dari William karena mustahil rasanya menuruni gunung, itu percuma, pria ini tidak akan sampai ke kaki gunung dalam waktu dua jam sebelum gelap. William kembali merenung, tetapi saat gelap dirinya terlatih menyalakan api menggu
William menarik udara dengan frustasi. “Pa, niat William datang kesini karena ingin menenangkan diri dari kesalahan William. Bagaimana bisa tiba-tiba William menikahi Nitara!”“Wanita itu sangat licik, pasti dia menggodamu, itu juga yang dia lakukan pada Erland!” tukas Bagaswara penuh kebencian. “Papa salah. Amei tidak pernah menggoda William.” “Tidak ada yang tahu, dan saat itu kamu bilang kamu mabuk yang artinya tidak mengingat apapun!” William menyadari jika akan sangat membuang waktunya saat berdebat dengan sang ayah. “Intinya William ingin menyendiri dulu.” “Tadi pagi Nitara datang ke rumah, dia mencemaskan kamu. Apa kamu tega mendiamkannya?” Bagaswara sedang mencoba memancing putranya. “William merasa sangat jahat kalau bersama Nitara padahal baru saja mengkhianatinya.” “Nitara tidak akan tahu. Kamu juga harus memastikan Amelia tidak akan bicara!” “Bukan tentang itu, Pa.” Saat ini William penat karena ayahnya sulit mengerti dirinya. Bagaswara membuang udara pendek nan di
Tio mulai mencari tahu kabar William, ternyata benar kata Cristy. “Dia kemana?” panik mulai menyerang, tetapi segera dihapus saat akal sehatnya mengatakan jika dirinya harus menemui Amelia, berharap wanita itu tidak ikut menghilang. Namun baru saja kendaraannya hendak masuk ke area halaman perusahaan, ternyata Amelia baru saja keluar dari dalam mobil yang sudah terparkir lebih dulu, itu bagus, tapi wanita itu tidak sendiri, dirinya bersama Sopia. “Akh, sial. Bagaimana aku mendekati Amelia, berbicara panjang kalau mamanya jadi bodyguard!” Tio merasa kedatangan menjadi sia-sia, tetapi tidak sepenuhnya karena setidaknya dirinya tahu jika Amelia baik-baik saja walau tidak dapat menanyakan apapun tentang William. “Harusnya Mama tidak usah ikut,” ucap lembut Amelia kala melangkah beriringan bersama Sopia yang tampak sangat galamour. Kedatangan mereka segera disambut hangat oleh satpam. “Tidak ada salahnya kan, Mama melihat perusahaan setelah ditinggalkan cukup lama.” Wajah Sopia terangk
Tali diraih, pria ini mengulurkannya pada William setelah yakin mengikatnya dengan kuat pada batang pohon besar. “Tuan, panjatlah!” lantangnya karena panik. Nyawa William adalah tanggung jawabnya, itu yang diamanahkan Bagaswara padanya. Tangan kiri William mengulur, kemudian tangan kanannya juga ikut bertumpu pada satu titik. Kaki-kaki kuatnya menopang tubuh sangat komputen demi menyelamatkan nyawanya karena Kenzo membutuhkan kehadirannya. Cukup sulit dan sangat mendebarkan sekaligus memakan waktu di luar perkiraan, pendakian yang dilakukan William adalah hal paling ektream yang tidak pernah dilakukan semasa hidupnya. Akhirnya tubuh William tiba di sisi bawahan Bagaswara, napas kedua pria ini terengah. Saat ini tatapan kosong William mengarah pada langit. ‘Terimakasih sudah memberikan kesempatan untukku bersama Kenzo.’ “Tuan, sebaiknya kita memanggil helicopter.” Pria ini tidak ingin mendapatkan masalah mendebarkan untuk kedua kalinya. Maka, Benda terbang itu dipanggil menggunakan
Pada jam makan siang William menemui Amelia. “Aku tidak suka kamu melakukan hal ini pada Nitara!” Suaranya terjaga, tetapi tatapannya sangat menusuk. “Melakukan apa? Meliburkan Nitara? Aku melakukannya untuk menjaga Nitara juga. Sekarang perusahaan sedang dihebohkan, mereka semua menyebut Nitara sebagai pelaku, apa aku setega itu membiarkan sahabatku sendiri menjadi bahan pergunjingan.” “Seharusnya sejak awal tuduhan itu tidak mengarah pada Nitara.” “Aku tidak tahu kenapa itu bisa terjadi. Sekarang papa sedang menyelidiki, papa bilang sudah menemukan titik terang, hanya saja belum memiliki cukup bukti.” “Lalu apa setelah pelaku sebenarnya ditemukan kamu akan kembali mempekerjakan Nitara?” Tatapan William memicing. “Tentu saja. Papa juga tidak percaya Nitara pelakunya.” William membuang wajahnya sesaat, jadi Amelia melanjutkan kalimatnya, “Sejujurnya, kepergianmu yang bertepatan dengan kasus ini membuatku pernah meragukan kalian.” Kalimat ini membuat si pria kembali menatapnya.
Amelia meninggalkan kediaman Bagaswara setelah menyuapi Kenzo sekaligus menidurkannya. William sudah menawarkan makan malam bersama sebagai pormalitas saja karena ayahnya tidak akan menyetujui itu, tetapi Amelia memang menolaknya. Dirinya berpikir jika seorang Amelia bukanlah Nitara jadi tidak perlu mendapatkan perlakukan spesial, cukup leluasa menemui Kenzo itu sudah sangat memuaskan. Namun, tidak begitu jauh dari kediaman Bagaswara, sebuah mobil mencegah laju mobil yang dikendarai Amelia. Itu adalah Tio. “Mei, jelaskan semua ini padaku!” Tiga buah foto ditunjukan bahkan sebelum Amelia meninggalkan jok mobil. Foto pertama saat Amelia dan William membawa Kenzo dari panti asuhan, lalu foto tadi siang dan yang terakhir adalah foto terbaru saat mobil Amelia memasuki halaman rumah Bagaswara. Jelas Amelia terkesiap dalam. “Kamu mengikutiku!” Alih-alih memberikan penjelasan, wanita ini dibuat naik pitam karena merasa privasinya terancam. “Sebenarnya tidak sengaja aku melihat kaliam memba
Adhinatha mengangkat satu alisnya. “Negosiasi bagaimana maksud Tuan?” Suasana ini masih diisi dengan atmosfer formal sebagaimana sesama pebisnis walau Bagaswara mengikisnya perlahan. “Saya akan menutupi semua dana yang hilang, tetapi setelahnya segera lepaskan Nitara.” Tatapannya membidik, menandakan jika kalimat Bagaswara bukan hanya isapan jempol. “Saya mohon maaf, Tuan.” Adhintha tetap memertahankan prinsipnya, tetapi tidak melepaskan sikap formalnya, “walaupun Anda bisa mengganti semua dana yang hilang, tetapi bukan itu yang saya inginkan dan kami harapkan. Kami sedang berusaha mencari pelaku yang sebenarnya. Jika kasus ini ditutup begitu saja mungkin kejadian serupa bisa terulang karena palakunya bebas tanpa sayarat.” Rupanya Bagaswara salah menilai Adhinatha, pria di hadapannya sangat mematuhi kaidah kehidupan terutama berbisnis maka, suap menyuap bukan gayanya. Hal ini cukup membanggakan karena kerjasama mereka dijamin lancar dan bebas hambatan, tetapi untuk masalah pribadi
Hari berganti, kemarin Adhinatha memang tidak berjanji akan mengungkap kasus ini, tetapi ternyata semuanya memang diakhiri hari ini, tepatnya setelah jam makan siang. Pria ini segera memberhentikan seorang karyawan secara tidak terhormat yaitu salah satu bagian keuangan. Wanita itu sangat licik, dia pintar memutar balikan fakta hingga akhirnya semua tuduhan mengarah pada Nitara. Namun, bagaimanapun aib wanita itu, Adhinatha tetap menjaga privasi. Lagipula semua orang akan mengetahuinya dengan sendirinya. Setelah karyawan itu diberhentikan dan meninggalkan perusahaan, Amelia meminta izin kepada ayahnya untuk mengumumkan pembersihan nama Nitara yang sudah satu pekan menjadi pergunjingan. “Silakan.” Izin enteng Adhinatha hingga Amelia mengambil alih speaker perusahaan. “Selamat siang semuanya, di sini saya yang bicara. Amelia. Tolong tinggalkan pekerjaan kalian sejenak untuk mendengarkan hal penting yang ingin saya sampaikan.” Suara indah nan formal Amelia menjadi bahan perhatian semua