Hari berganti, kemarin Adhinatha memang tidak berjanji akan mengungkap kasus ini, tetapi ternyata semuanya memang diakhiri hari ini, tepatnya setelah jam makan siang. Pria ini segera memberhentikan seorang karyawan secara tidak terhormat yaitu salah satu bagian keuangan. Wanita itu sangat licik, dia pintar memutar balikan fakta hingga akhirnya semua tuduhan mengarah pada Nitara. Namun, bagaimanapun aib wanita itu, Adhinatha tetap menjaga privasi. Lagipula semua orang akan mengetahuinya dengan sendirinya. Setelah karyawan itu diberhentikan dan meninggalkan perusahaan, Amelia meminta izin kepada ayahnya untuk mengumumkan pembersihan nama Nitara yang sudah satu pekan menjadi pergunjingan. “Silakan.” Izin enteng Adhinatha hingga Amelia mengambil alih speaker perusahaan. “Selamat siang semuanya, di sini saya yang bicara. Amelia. Tolong tinggalkan pekerjaan kalian sejenak untuk mendengarkan hal penting yang ingin saya sampaikan.” Suara indah nan formal Amelia menjadi bahan perhatian semua
“Kasus? Di perusahaan? Bukankah Nitara bekerja di perusahaan papanya Amei, seharusnya ada Amei yang bisa dijadikannya tempat berlindung.” Tio masih mencoba mengolah informasi karena tidak ingin kecolongan, apalagi oleh sahabatnya sendiri. Intinya dia tidak ingin benar-benar ditikung oleh William. “Iya, seharusnya Nitara bisa berlindung pada Amelia karena mereka bersahabat, tapi itu hanya dalam urusan pribadi, sedangkan urusan bisnis tetap dikendalikan oleh tuan Adhinatha, Amelia tidak memiliki kekuasaan sejauh itu.” William masih memperpanjang alasannya, tetapi untungnya setiap kalimat yang keluar selalu diterima logika hanya saja Tio terlalu sulit menanamkan kepercayaan, jadi alasan apapun tetap membuatnya tabu. “Kasus apa?” Tio ingin masuk semakin dalam demi penyelidikannya. “Pengerukan dana. Itu adalah kasus berat, sampai-sampai Nitara diberhentikan sementara. Menurutmu, apa aku harus meminta bantuannya saat mengadopsi anak, hm?” William kembali mengaitkannya. Bukan mencari kese
William mendesah pelan, tidak dapat melakukan apapun. Malam tiba, ini adalah saat santai William jadi dirinya mengajak Kenzo bermain. “Papa.” Ajaran pertama yang disampaikannya karena sejak menginjak rumah ini balita itu hanya memanggil mama.“Hei.” Bagaswara menegur kecil, “kenapa mengajarkan Kenzo menyebut papa padamu?” Tatapan menyelidiknya.“Eu-itu karena Kenzo belum bisa menyebutkan papa. Selalu saja mama,” dusta William. Padahal hatinya mengatakan jika dirinya juga ingin mendapatkan panggilan yang seharusnya milik Erland.“Kalau kamu yang mengajarkannya, maka Kenzo akan mengenalmu sebagai papa. Itu tidak boleh terjadi, kamu adalah pamannya!” tegas Bagaswara karena dirinya tidak ingin putranya tenggelam dalam peran menggantikan Erland.“Maaf.” Seketika William tunduk dan patuh begitu saja seolah dirinya adalah William kecil yang akan selalu mendengarkan perintah sang ayah.“Hei ....” Di titik ini Bagaswara merasa jika dirinya terlalu keras mendidik William, “bukan maksud papa mel
Ketika baru saja hendak masuk ke dalam lift, panggilan dari baby sitter Kenzo diterima William. “Permisi sebentar.” Kalimat formalnya pada Amelia hingga pria ini menjauh beberapa langkah. “Ada apa?”“Den Kenzo demam, Tuan.”“Bukankah sekarang Kenzo masih di rumah sakit?”“Iya. Saya sengaja memberi tahukan kabar terbari Den Kenzo.” Kalimat wanita yang usianya sejajar dengan Amelia.“Sudah mengatakannya pada dokter, kan?” William mulai cemas.“Sudah, Den Kenzo juga sudah mendapatkan obat. Saya sedang menunggu panasnya turun.”“Saya akan kesana sekarang!”“Baik, Tuan. Mohon maaf karena ....” Belum selesai berbicara, William sudah memutus panggilan.“Memang seharusnya kamu melaporkan apapun yang terjadi pada Kenzo.” Alih-alih merasa terganggu, justru William merasa puas dengan pekerjaan wanita itu. Segera, dirinya kembali kepada Amelia. “Aku tidak bisa berlama-lama, masih ada sesuatu yang harus diurus.”“Iya, silakan.” Senyuman Amelia disertai anggukan. William berhasil menjaga kabar Kenz
Hari berganti, William membawa pulang Kenzo setelah demamnya turun dan dokter mengatakan Kenzo bisa dirawat di rumah. Bagaswara tidak di rumah, maka kepulangan Kenzo tidak mendapatkan sambutan dari kakeknya. “Pa, William tidak akan datang ke perusahaan.” Panggilan di udara segera dihubungkan supaya ayahnya tidak menunggu.“Iya, tidak apa, jaga saja Kenzo.” Lagi, Bagaswara memberikan izin begitu saja. Namun, dirinya tidak pernah menduga jika William mengundang Amelia ke kediamannya untuk memperlihatkan keadaan Kenzo.“Sayang ....” Amelia meraung setelah mendengar Kenzo terjatuh hingga demam dan dirawat di rumah sakit. Pelukannya sangat membatin, “sayang ..., maaf karena Mama jauh dari Kenzo jadi Mama baru saja tahu kalau Kenzo demam.” Dalam dunianya kini, Amelia hanya melihat Kenzo tanpa menganggap William sama sekali. Dirinya memberikan pelukan yang dapat menenangkan putranya.Cukup lama William membiarkan Amelia dan Kenzo menikmati waktu mereka, hingga akhirnya pria ini bersuara. “Ak
Setelah berbicara formal dengan semua anggota keluarga, William dan Nitara menyempatkan berbicara empat mata, kini waktu menunjukan pukul sepuluh malam, memang terlalu malam untuk mengunjungi kediaman seorang wanita hingga tetangga sedikit berbisik, tetapi tidak pernah berani mencemooh keluarga Nitara walau keadaan ekonimo mereka di bawah rata-rata karena keluarga ini terhormat, ditambah pertunangan anak gadis di keluarga itu bersama anak orang paling kaya hingga membuat tetangga silau dengan keluarga satu ini.“Apa kamu siap? Maaf, ini sangat mendadak,” desah William yang duduk di seberang Nitara.“Aku siap kapanpun, cuma ... sebenarnya besok papa harus pergi menjadi perwakilan daerah.”William terkesiap, “Jadi bagaimana dengan papa kamu?”“Tidak tahu, tadi papa tidak mengatakan apapun kan, jadi mungkin papa akan tetap pergi, paling mama yang akan mengumumkan hal ini pada semua anggota keluarga, sedangkan aku besok harus tetap bekerja karena aku tidak enak kalau meminta izin di hari
Kacau. Itu yang dirasakan Amelia. “Bagaimana dengan Kenzo, apa William yakin bisa menjaga Kenzo tanpa harus Nitara tahu?” Amelia berdiam diri di toilet setelah membasuh wajahnya yang dipenuhi kecemasan. “Wil, Kenzo anak kita, aku tidak mau Nitara tahu itu. Alasan apa yang akan kamu berikan pada Nitara?” sendu merajang pada setiap bilik hatinya.Kriet ....Salah satu pintu kamar mandi terbuka. Nitara keluar. “Mei, apa tadi kamu bilang kamu dan William punya anak?”Amelia memandang pantulan wajah Nitara dalam permukaan datar cermin, tidak disangka karena ternyata terdapat seseorang di dalam toilet. Dirinya menoleh cepat bersama kedua mata membelalak dan wajah pucat. “Tara ....” Keduanya saling memandang tidak percaya. Nitara melanjutkan langkah hingga kedua wanita ini benar-benar berhadapan.“Mei, jawab aku?” Wajah Nitara memucat sangat cepat senada dengan wajah Amelia.“Ta-Tara ..., tolong jangan salah paham ....” Bibir Amelia bergetar.Nitara menggeleng halus. “Tidak Mei, aku yakin ti
William terkesiap mendengarnya, dari mana Nitara mengetahui nama seorang balita bernama Kenzo?“Sayang, kamu bicara apa?” Senyuman hambarnya bersama kekhawatiran.“Amei bilang Kenzo anak kalian, apa benar?” Air mata masih berlinang, tetapi Nitara tidak dapat melewatkan hal ini karena sebelum penyesalan datang setelah menikah, jadi lebih baik mengetahu hal pahit itu sekarang.William terpaku, senyumannya pudar, raut wajahnya berubah datar dipenuhi kebingungan. “Siapa yang mengatakannya? Hanya orang tidak waras yang mengatakan itu.” Maksudnya jika Amelia mengatakannya maka wanita itu sangat gila. Apa tujuannya, apakah karena dirinya akan menikahi Nitara, tapi bukankah walaupun dirinya selalu menjadi Erland di mata si wanita, tetapi selama ini Amelia tidak pernah memiliki rasa cemburu. Maka aneh rasanya jika tiba-tiba saja Amelia berusaha menghentikan pernikahan ini karena rasa cemburu.Nitara menggeleng sengit. “Katakan saja iya dan tidak!” Riuh di hatinya semakin menjadi, itu diwakilka