Pada jam makan siang William menemui Amelia. “Aku tidak suka kamu melakukan hal ini pada Nitara!” Suaranya terjaga, tetapi tatapannya sangat menusuk. “Melakukan apa? Meliburkan Nitara? Aku melakukannya untuk menjaga Nitara juga. Sekarang perusahaan sedang dihebohkan, mereka semua menyebut Nitara sebagai pelaku, apa aku setega itu membiarkan sahabatku sendiri menjadi bahan pergunjingan.” “Seharusnya sejak awal tuduhan itu tidak mengarah pada Nitara.” “Aku tidak tahu kenapa itu bisa terjadi. Sekarang papa sedang menyelidiki, papa bilang sudah menemukan titik terang, hanya saja belum memiliki cukup bukti.” “Lalu apa setelah pelaku sebenarnya ditemukan kamu akan kembali mempekerjakan Nitara?” Tatapan William memicing. “Tentu saja. Papa juga tidak percaya Nitara pelakunya.” William membuang wajahnya sesaat, jadi Amelia melanjutkan kalimatnya, “Sejujurnya, kepergianmu yang bertepatan dengan kasus ini membuatku pernah meragukan kalian.” Kalimat ini membuat si pria kembali menatapnya.
Amelia meninggalkan kediaman Bagaswara setelah menyuapi Kenzo sekaligus menidurkannya. William sudah menawarkan makan malam bersama sebagai pormalitas saja karena ayahnya tidak akan menyetujui itu, tetapi Amelia memang menolaknya. Dirinya berpikir jika seorang Amelia bukanlah Nitara jadi tidak perlu mendapatkan perlakukan spesial, cukup leluasa menemui Kenzo itu sudah sangat memuaskan. Namun, tidak begitu jauh dari kediaman Bagaswara, sebuah mobil mencegah laju mobil yang dikendarai Amelia. Itu adalah Tio. “Mei, jelaskan semua ini padaku!” Tiga buah foto ditunjukan bahkan sebelum Amelia meninggalkan jok mobil. Foto pertama saat Amelia dan William membawa Kenzo dari panti asuhan, lalu foto tadi siang dan yang terakhir adalah foto terbaru saat mobil Amelia memasuki halaman rumah Bagaswara. Jelas Amelia terkesiap dalam. “Kamu mengikutiku!” Alih-alih memberikan penjelasan, wanita ini dibuat naik pitam karena merasa privasinya terancam. “Sebenarnya tidak sengaja aku melihat kaliam memba
Adhinatha mengangkat satu alisnya. “Negosiasi bagaimana maksud Tuan?” Suasana ini masih diisi dengan atmosfer formal sebagaimana sesama pebisnis walau Bagaswara mengikisnya perlahan. “Saya akan menutupi semua dana yang hilang, tetapi setelahnya segera lepaskan Nitara.” Tatapannya membidik, menandakan jika kalimat Bagaswara bukan hanya isapan jempol. “Saya mohon maaf, Tuan.” Adhintha tetap memertahankan prinsipnya, tetapi tidak melepaskan sikap formalnya, “walaupun Anda bisa mengganti semua dana yang hilang, tetapi bukan itu yang saya inginkan dan kami harapkan. Kami sedang berusaha mencari pelaku yang sebenarnya. Jika kasus ini ditutup begitu saja mungkin kejadian serupa bisa terulang karena palakunya bebas tanpa sayarat.” Rupanya Bagaswara salah menilai Adhinatha, pria di hadapannya sangat mematuhi kaidah kehidupan terutama berbisnis maka, suap menyuap bukan gayanya. Hal ini cukup membanggakan karena kerjasama mereka dijamin lancar dan bebas hambatan, tetapi untuk masalah pribadi
Hari berganti, kemarin Adhinatha memang tidak berjanji akan mengungkap kasus ini, tetapi ternyata semuanya memang diakhiri hari ini, tepatnya setelah jam makan siang. Pria ini segera memberhentikan seorang karyawan secara tidak terhormat yaitu salah satu bagian keuangan. Wanita itu sangat licik, dia pintar memutar balikan fakta hingga akhirnya semua tuduhan mengarah pada Nitara. Namun, bagaimanapun aib wanita itu, Adhinatha tetap menjaga privasi. Lagipula semua orang akan mengetahuinya dengan sendirinya. Setelah karyawan itu diberhentikan dan meninggalkan perusahaan, Amelia meminta izin kepada ayahnya untuk mengumumkan pembersihan nama Nitara yang sudah satu pekan menjadi pergunjingan. “Silakan.” Izin enteng Adhinatha hingga Amelia mengambil alih speaker perusahaan. “Selamat siang semuanya, di sini saya yang bicara. Amelia. Tolong tinggalkan pekerjaan kalian sejenak untuk mendengarkan hal penting yang ingin saya sampaikan.” Suara indah nan formal Amelia menjadi bahan perhatian semua
“Kasus? Di perusahaan? Bukankah Nitara bekerja di perusahaan papanya Amei, seharusnya ada Amei yang bisa dijadikannya tempat berlindung.” Tio masih mencoba mengolah informasi karena tidak ingin kecolongan, apalagi oleh sahabatnya sendiri. Intinya dia tidak ingin benar-benar ditikung oleh William. “Iya, seharusnya Nitara bisa berlindung pada Amelia karena mereka bersahabat, tapi itu hanya dalam urusan pribadi, sedangkan urusan bisnis tetap dikendalikan oleh tuan Adhinatha, Amelia tidak memiliki kekuasaan sejauh itu.” William masih memperpanjang alasannya, tetapi untungnya setiap kalimat yang keluar selalu diterima logika hanya saja Tio terlalu sulit menanamkan kepercayaan, jadi alasan apapun tetap membuatnya tabu. “Kasus apa?” Tio ingin masuk semakin dalam demi penyelidikannya. “Pengerukan dana. Itu adalah kasus berat, sampai-sampai Nitara diberhentikan sementara. Menurutmu, apa aku harus meminta bantuannya saat mengadopsi anak, hm?” William kembali mengaitkannya. Bukan mencari kese
William mendesah pelan, tidak dapat melakukan apapun. Malam tiba, ini adalah saat santai William jadi dirinya mengajak Kenzo bermain. “Papa.” Ajaran pertama yang disampaikannya karena sejak menginjak rumah ini balita itu hanya memanggil mama.“Hei.” Bagaswara menegur kecil, “kenapa mengajarkan Kenzo menyebut papa padamu?” Tatapan menyelidiknya.“Eu-itu karena Kenzo belum bisa menyebutkan papa. Selalu saja mama,” dusta William. Padahal hatinya mengatakan jika dirinya juga ingin mendapatkan panggilan yang seharusnya milik Erland.“Kalau kamu yang mengajarkannya, maka Kenzo akan mengenalmu sebagai papa. Itu tidak boleh terjadi, kamu adalah pamannya!” tegas Bagaswara karena dirinya tidak ingin putranya tenggelam dalam peran menggantikan Erland.“Maaf.” Seketika William tunduk dan patuh begitu saja seolah dirinya adalah William kecil yang akan selalu mendengarkan perintah sang ayah.“Hei ....” Di titik ini Bagaswara merasa jika dirinya terlalu keras mendidik William, “bukan maksud papa mel
Ketika baru saja hendak masuk ke dalam lift, panggilan dari baby sitter Kenzo diterima William. “Permisi sebentar.” Kalimat formalnya pada Amelia hingga pria ini menjauh beberapa langkah. “Ada apa?”“Den Kenzo demam, Tuan.”“Bukankah sekarang Kenzo masih di rumah sakit?”“Iya. Saya sengaja memberi tahukan kabar terbari Den Kenzo.” Kalimat wanita yang usianya sejajar dengan Amelia.“Sudah mengatakannya pada dokter, kan?” William mulai cemas.“Sudah, Den Kenzo juga sudah mendapatkan obat. Saya sedang menunggu panasnya turun.”“Saya akan kesana sekarang!”“Baik, Tuan. Mohon maaf karena ....” Belum selesai berbicara, William sudah memutus panggilan.“Memang seharusnya kamu melaporkan apapun yang terjadi pada Kenzo.” Alih-alih merasa terganggu, justru William merasa puas dengan pekerjaan wanita itu. Segera, dirinya kembali kepada Amelia. “Aku tidak bisa berlama-lama, masih ada sesuatu yang harus diurus.”“Iya, silakan.” Senyuman Amelia disertai anggukan. William berhasil menjaga kabar Kenz
Hari berganti, William membawa pulang Kenzo setelah demamnya turun dan dokter mengatakan Kenzo bisa dirawat di rumah. Bagaswara tidak di rumah, maka kepulangan Kenzo tidak mendapatkan sambutan dari kakeknya. “Pa, William tidak akan datang ke perusahaan.” Panggilan di udara segera dihubungkan supaya ayahnya tidak menunggu.“Iya, tidak apa, jaga saja Kenzo.” Lagi, Bagaswara memberikan izin begitu saja. Namun, dirinya tidak pernah menduga jika William mengundang Amelia ke kediamannya untuk memperlihatkan keadaan Kenzo.“Sayang ....” Amelia meraung setelah mendengar Kenzo terjatuh hingga demam dan dirawat di rumah sakit. Pelukannya sangat membatin, “sayang ..., maaf karena Mama jauh dari Kenzo jadi Mama baru saja tahu kalau Kenzo demam.” Dalam dunianya kini, Amelia hanya melihat Kenzo tanpa menganggap William sama sekali. Dirinya memberikan pelukan yang dapat menenangkan putranya.Cukup lama William membiarkan Amelia dan Kenzo menikmati waktu mereka, hingga akhirnya pria ini bersuara. “Ak