Keluarga Bagaswara berkumpul di ruang makan, menyantap sarapan mereka dengan satu orang anggota tambahan. Di saat seperti ini Cristy semakin merasa menjadi bagian dari keluarga, merasa menjadi istrinya Erland, sekaligus iparnya William. ‘Tuhan ... terimakasih atas takdir baik yang Kau berikan padaku. Aku sangat bersyukur atas nikmat yang Kau berikan ini.’ Tak henti dia mengucapkan syukur pada Tuhannya bersama senyuman manis yang selalu menjadi lukisan di wajahnya.Seusai sarapan, William mengajak Erland berbicara empat mata. Kalimatnya disampaikan bersama kekeh hangat di hadapan saudara kembarnya serta kedua orangtuanya. Maka saat ini Erland tidak dapat menolak ajakan William. Keduanya bergegas menuju halaman rumah dengan sikap hangat, kemudian menjadi dingin setelah dinding membatasi keduanya serta keluarganya. “Aku sedang tidak ingin membicarakan apapun denganmu!” Erland memulai kalimat, sikap dinginnya mendominasi karena dapat menebak yang akan dibicarakan oleh William, bahkan pria
William tidak mengusir dengan kalimat, tetapi dia segera membukakan pintu mobil untuk Cristy hingga wanita ini mengerti dengan sendirinya walaupun dia masih dalam suasana tercengang. Saat dia keluar, William kembali berkata dengan nada dingin dan datar, “Lain kali jangan datang ke rumah jika hanya ingin menguping!”Deg!Cristy kembali dibuat tidak berdaya oleh sikap William. “A-aku ... minta maaf jika aku berbuat salah.”“Satu-satunya kesalahanmu jika kau membocorkan rahasiaku dan Erland, maka saat itu aku tidak akan memaafkanmu!” Tatapan William sedingin es. Lalu meninggalkan Cristy begitu saja.Saat ini Cristy masih tidak percaya dengan apa yang dialaminya barusaja. “Ke-kenapa William sedingin itu, apa ini sisi lain William? Lalu ... bagaimana dengan Erland, apa dia juga akan memperlakukanku dengan cara yang sama.” Sikap William yang di luar dugaan membuat Cristy berpikir ulang tentang mendekati Erland karena mungkin pujaan hatinya akan memperlakukannya seperti cara William. Jadi, s
Rencana kepergian Erland ke luar negeri menjadi perdebatan baru, bahkan William membahasnya lewat sambungan di udara. “Apa seperti ini caramu memperlakukan aku yang telah banyak berjasa.”Erland mendesah penat. “Kita bisa membahas ini nanti. Aku sedang sibuk, aku yakin kau juga begitu.”“Aku tidak akan berhenti membahasnya. Aku akan melanjutkannya nanti.” Dengusan menjadi pengiring hingga akhirnya panggilan diakhiri.Erland membuang udara sangat panjang. “Itu bayi milik kami, tapi seolah bayi kami adalah hutang yang harus dibayar pada William.” Saat ini dia seakan terjebak di jalan buntu, tidak ada jalan keluar kecuali mengambil keputusan dengan cepat sebelum tertangkap. “Aku tidak boleh mengundur lagi, kami harus pergi secepatnya!” Sore ini dia akan kembali ke kediaman orangtuanya untuk membicarakan rencana kepergiannya ini, kali ini dirinya harus memastikan tidak boleh gagal, tidak ada lagi drama tertidur pulas hingga menelan pembahasan penting yang seharusnya sudah disampaikan.Nam
Keesokan paginya Amelia mulai berbenah, memersiapkan keperluannya di luar negeri, sedangkan Sopia menatap sendu. “Sayang ... harus ya kalian pergi?” Saat ini rasa kehilangan sedang membara di hati wanita ini melebihi saat Amelia berpamitan akan menuntut ilmu.“Mau bagaimana lagi, Erland harus pergi jadi Amei juga ....” Amelia sangat mengerti kesedihan yang dirasakan ibunya, tetapi dibandingkan tetap tinggal di sini supaya ibunya tidak bersedih, Amelia memilih tinggal bersama suaminya, berbakti pada teman hidupnya karena dia sangat mengerti posisinya kini yang harus selalu berada di sisi Erland.Sopia mendesah sendu, kemudian berkata pilu, “Kalian tidak akan pergi besok. Kenapa harus bersiap-siap sekarang?” Belaian lembutnya menghentikan gerakan tangan Amelia yang sedang memilah benda-benda miliknya.Amelia tahu isi hati ibunya karena itu juga yang dirasakannya dulu saat terpaksa berpisah dengan Kenzo. Senyuman diulas. “Amei tidak akan berbenah semua hari ini kok. Nyicil saja, supaya A
Waktu janjian telah tiba, kini Amelia keluar dari dalam mobil digiring oleh ibunya. “Ma, antar sampai di sini saja, Mama sama Kenzo tunggu saja di mobil.”“Sebenarnya apa yang akan kalian bicarakan? Sepertinya sangat rahasia,” kesal Sopia karena dirinya tidak dapat memerhatikan putrinya yang berjalan dengan perut besar. Wanita ini mengkhawatirkan langkah Amelia karena mungkin putrinya meleng kesana kemari.“Amei juga tidak tahu ...,” jujurnya berharap Sopia percaya sebelum menyimpan curiga atau mengomel.“Ya sudah, Mama memerhatikan kamu dari sini.” Sopia memilih mengalah, kemudian meminta salah seorang pelayan cafe untuk memapah Amelia.Setibanya di dalam cafe, tatapan Amelia menyusuri setiap sudut hingga akhirnya menemukan William yang sedang melambaikan tangan ke arahnya seiring berdiri gagah bersama senyuman hangat. Jadi, pria ini melanjutkan memapah Amelia hingga duduk nyaman di atas sofa. “Maaf kalau aku merepotkan kamu.” Kalimat lembut William sebagai pembukaan pertemuan mereka
Amelia tidak memberikan jawaban apapun, dia masih bergeming karena masih dalam suasana kaget. Perlahan wajahnya juga memucat, pandangannya kosong kemudian meneteskan air mata sendu.Saat ini William baru saja menyadari jika Amelia terluka, dia paling tidak suka melihat wanita terluka apalagi dia yang menjadi penyebabnya. “Mei ....” Suara lembutnya mencoba memanggil Amelia bahkan tangan wanita itu diraih, tetapi Amelia segera menarik tangannya.“Maaf Wil, aku harus pergi.” Suara Amelia tercekik rasa sakit. Entah kenapa permintaan William bisa sangat menyakitinya hingga seperti ini. Pun, bayangan kebaikan serta ketulusan William dulu seakan sirna. Amelia bangkit dari duduknya cukup bersusah payah, maka William membantu dengan sigap.Tatapan William memerhatikan wajah pucat bercampur sendu yang dilukis Amelia hingga tidak terbayangkan bagaimana ekspresi wajah Nitara kelak jika Amelia saja seperti ini. “Mei ... aku minta maaf jika kata-kataku tidak membuat kamu nyaman. Aku juga minta maaf
William segera beralasan untuk menjemput Erland, padahal niatnya ingin mencegah saudaranya supaya tidak berkunjung karena bisa saja kembarannya menceritakan permintaan besarnya di hadapan Nitara.Namun, sebenarnya Erland tidak berniat berkunjungi kediaman William. Dia hanya menggertak supaya saudaranya bersedia menemuinya yang sudah menunggu. Maka, rencananya berhasil. Saat ini Erland melihat William sedang berjalan tergesa-gesa ke arahnya. Dengusan adalah hal pertama yang ditunjukan William. “Kenapa harus datang kemari, apa kau sengaja ingin membongkar rahasia kita di hadapan Tara!”Amarah menyelimuti William, tetapi justru Erland bersikap santai, tetapi rahangnya menggertak dan dengan cepat mencengkeram kedua kerah kemeja saudaranya. “Lancang sekali kau, dan di mana hatimu, bisa-bisanya meminta bayi kami pada Amei!”“Kau tidak menyetujui permintaanku!” tegas William, kemudian melanjutkan dengan kedua mata memicing, “tepatnya tidak tahu diri padahal aku sudah membantumu di masa-masa
William tidak dapat berkata apapun karena ternyata sangat sulit menyembunyikan rahasia besar seperti ini, tetapi di balik kanyataan yang sedang dihadapinya sekarang pria ini juga menyesali pertemuannya dengan Amelia karena wanita itu di luar dugaannya. Mulut Amelia tidak terjaga sama sekali.Erland menyahut kalimat ayahnya, “Bagaimanapun yang terjadi dan sampai kapanpun Erland tidak akan pernah setuju untuk pertukaran bayi. Mungkin papa dan mama masih bisa merasa baik-baik saja karena bayi yang dilahirkan Amelia dan Nitara adalah cucu kalian. Tapi bagaimana dengan Amei, dia akan sangat menderita karena kehilangan bayinya, orangtuanya juga. Apakah mama dan papanya Amei bisa menerima bayi yang dilahirkan Nitara? Erland rasa kedua mertua Erland tidak akan menyayangi bayi yang dilahirkan Nitara sebanyak menyayangi cucunya sendiri.”Miranda dan Bagaswara mendengarkan kalimat Erland dari awal sampai akhir, keduanya juga mengerti bahkan sebelum Erland membahas hal ini. Memang benar, kedua cu