Erland kembali meletakan kertas di tempatnya terjatuh supaya Amelia tidak tahu jika dirinya sudah mengetahui semua. Kemudian pria ini turun ke lantai bawah untuk menemui putranya yang diasuh Sopia. Segera, mertuanya menyambut, “Sejak kapan Nak Erland pulang? Mama tidak melihat.”“Sekitar satu jam lalu. Erland memang langsung ke kamar menemui Amei.” Senyuman santunnya.“Pantas saja Mama tidak melihat kepulangan Nak Erland,” kekeh kecil Sopia, “Bagaimana bekal makannya? Amei sangat bersemangat saat membuatnya!” Antuasia Sopia yang tidak sabar mendengar penilaian baik menantunya.“Bekal makan yang dibuatkan Amei sangat enak, apalagi semua makanannya masih hangat. Erland sangat menikmatinya, bahkan lebih nikmat dibandingkan makan di luar,” kekehnya saat menyampaikan pujian yang sebenarnya, tanpa adanya embel-embel menyenangkan hati manusia karena masakan Amelia memang patut mendapatkan pujian.Sopia tersipu mendengarnya. “Terimakasih ya, sudah menerima bekal makannya.”“Tentu saja Erland
Fajar menyongsong, hari baru tiba bahkan bulan baru. Amelia mulai menuliskan lish di bulan ini. “Aku akan periksa dede bayi, membeli perlengkapan dede bayi sebagain saja, seperti stroller dan box bayi karena jenis kelaminnya belum diketahui jadi tidak perlu membeli pakaian dan lain sebagainya,” gumamnya saat sepasang mata indahnya tertuju pada sebuah buku catatan.Erland barusaja keluar dari kamar mandi, rambut basahnya digosok handuk kecil. Niat hati akan meraih pakaian yang sudah Amelia sediakan, tetapi perhatiannya teralihkan pada kegiatan sang istri. “Sayang, lagi menulis?”Amelia segera mengarahkan tatapan pada suaminya saat duduk nyaman di atas sofa bahkan satu kakinya diangkat sangat santai. “Ya, aku sedang menuliskan rencana bulan ini,” kekeh hangatnya.“Aku terlibat tidak di dalamnya?” goda Erland bersama kekeh kegelian.“Ish, justru aku ingin melakukan semuanya sama kamu.”“Baiklah, coba aku lihat apa saja rencana kamu di bulan ini.” Erland menghampiri, duduk di sisi istriny
Erland mensyukuri pengertian serta perhatian Amelia, hingga keduanya terlelap saling memeluk, menyalurkan kasih sayang setiap detiknya. Malam ini tidur Amelia sangat tenang bahkan bayinya juga tidak membuat gemuruh sama sekali, perutnya terasa hampa saking tenangnya. Pun, saat pagi tiba Amelia tidak mengalami morning sicknes. “Kok aneh?” herannya seiring menatap Erland.“Mungkin belum, Sayang ....” Erland juga tidak tahu, apalagi pria ini memang tidak berpengalaman menemani istri hamil, ini pengalaman pertamanya.“Mungkin." Amelia menggendikan bahunya, "atau memang sudah berakhir ya? Karena saat hamil Kenzo juga begitu, tiba-tiba saja mualnya hilang dan aku sangat bernafsu untuk makan. Hihi ....” Amelia akan sangat mensyukuri jika mual di masa kehamilannya telah berakhir karena nyaman sekali rasanya saat menjalani kehamilan seperti sedang tidak mengandung.“Kita lihat saja.” Kecupan sayang bersarang di kening Amelia, kemudian dilanjutkan di atas perut Amelia yang sudah memiliki sediki
Hari berikutnya, Nitara dan Amelia memiliki jadwal periksa yang sama, pun mereka mengunjungi dokter kandungan yang sama maka kedua wanita ini memutuskan membuat janji di rumah sakit. “Hi, Tara,” sapa ceria Amelia. Perutnya sudah cukup terlihat karena ini kehamilannya yang kedua, jadi perutnya membesar lebih cepat walau usia kehamilannya sama dengan sang sahabat.“Mei,” balas hangat Nitara. Keduanya saling memberikan pelukan sayang.Amelia memulai obrolan. “Bagaimana kehamilan kamu sekarang, apa masih mual?”“Masih, Mei ....” Nitara segera mengadu.“Sabar ya, aku juga begitu saat mengandung Kenzo, tapi untungnya sekarang dede bayi cukup mengerti mamanya,” kekeh bahagia Amelia.“Syukurlah Mei, kalau kamu tidak mengalami mual parah.” Ingin sekali Nitara berada di posisi Amelia, hingga menikmati kehamilan bukan hal mustahil.“Iya, untungnya tidak. Tapi tenang saja ... ada masanya mual yang dirasakan kamu juga akan hilang dengan sendirinya.” Senyuman lembut Amelia. Di sisinya terdapat Erla
Saat mendapatkan kabar mengejutkan ini Erland rasa dirinya harus menyampaikannya pada Amelia karena bagaimanapun rasa tidak nyaman yang hinggap akibat Tio selalu mengejar istrinya, pria ini masih memiliki hati nurani dan prikemanusiaan. “Mei, jenguk Tio di rumah sakit. Kasihan Tio.” Lembut Erland saat mengabarkan.“Hah, Tio kenapa!” keget Amelia yang sedang bersama Miranda juga Nitara.“Barusaja Cristy menelepon katanya keadaan Tio semakin parah.” Erland tidak sanggup jika harus menyebut keadaan Tio dengan kata sekarat karena dirasa terlalu kasar untuk orang yang sedang memperjuangkan hidupnya.“Iya ampun, Tio ....” Amelia ingin menahan kesedihannya supaya tidak diekspresikan karena kini dia sedang bersama mertuanya, pun wanita ini juga harus menjaga perasaan suaminya, tetapi terlalu sulit untuk menahannya. Jadi, air mata lolos begitu saja.Tentu saja hal ini membuat Miranda bertanya-tanya dengan cemas, “Ada apa Mei, apa terjadi seuatu?” Bukan hanya mertuanya, tetapi sahabatnya juga m
Sekitar sepuluh menit kemudian, dokter keluar dari ruangan “Operasinya berjalan lancar, tetapi pasien bernama Tio membutuhkan lebih banyak waktu beristirahat.” Hangatnya kala menyampaikan. Pun, saat ini Tio dipindahkan ke ruangan.Semua orang yang berada di sana merasa lega karena mungkin dengan ini Tio akan memiliki kesempatan hidup lebih banyak atau mungkin penyakitnya hilang. Semua orang saling bertukar pelukan, kecuali Amelia dan Emily karena mereka tidak saling mengenal. Namun, di sela-sela obrolan hangat penuh dengan perasaan lega Emily mencoba mendekati Amelia. “Hi Mei, tidak disangka aku akan bertemu dengan istrinya Erland, kami pernah satu kampus loh.” Hangatnya, tetapi tentu saja ini hanya sikap yang dibuat-buat.Amelia menyahut dengan sikap serupa, “Oh iya, kalian sudah sangat mengenal dong.”“Tentu saja, hubungan kami jauh dari sekedar saling mengenal.” Senyuman hangat Emily yang didalamnya tersimpan sebuah rencana busuk. Tidak banyak obrolan antara keduanya karena saat in
Tepatnya tengah malam, William terbangun tiba-tiba karena sesuatu mengganggunya. “Astaga ... kenapa aku bermimpi buruk tentang anakku?” Titik-titik keringat dingin sudah bermunculan di dahinya hingga William menyekanya. “Aku sampai berkeringat seperti ini, mimpi itu seperti nyata.”Saat ini tarikan udara panjang diambilnya guna menenangkan diri. “Semoga itu hanya mimpi, mungkin aku terlalu mengkhawatirkan bayi kami karena Tara sering mengadu belum merasakan pergerakan bayinya.” Pria ini lebih cepat menenangkan diri dibandingkan Nitara. Segera, wajahnya dibasuh kemudian mengambil sebatang rokok supaya tubuh dan pikirannya relax.Malam ini jam istirahat William terpotong hingga dirinya harus berusaha untuk tidur setelah sebatang rokok dihabiskan. Foto USG bayinya dipandangi sekejap. “Kamu baik-baik saja, Nak. Papa hanya bermimpi buruk tentang kamu, tapi itu hanya mimpi,” desahnya.Pada pagi harinya William terbangun, tetapi karena jam tidurnya sempat terpotong maka kepalanya sedikit ber
“Ma-maaf, aku ....” Amelia terlalu kaget mendengarnya hingga dirinya tidak tahu harus bagaimana, pun butiran bening mulai menetes, “aku ada urusan.”Tut ....Bunyi panjang itu sudah sampai di ruang dengar Emily, maka wanita ini menyeringai sangat jahat. “Aku masih menginginkan Erland. Dan memang hanya aku yang pantas untuknya. Kami sudah mengenal jauh dari pada kamu, aku bukanlah masa lalunya Erland, tapi aku masa depannya Erland yang sengaja dipertemukan lagi oleh Tuhan.”Saat Emily berbahagia, justru Amelia sibuk mengusap air matanya yang terus berjatuhan. Selama beberapa lama hanya tangisan yang menemani hingga akhirnya dia mencoba mengendalikan diri. “Emily bilang mereka bertemu tanpa sengaja, lalu Erland mengaku belum menikah. Tapi mana mungkin Erland begitu!” Pemikiran positifnya mencoba dibentuk hanya saja terlalu sulit karena Amelia membutuhkan penjelasan dari suaminya.Namun, saat ini Erland sedang sangat sibuk. Amelia tidak ingin mengganggu suaminya. Maka, dia mencari ibunya