Malam tiba, rupanya William memiliki rencana sendiri menemui Kenzo, bukan karena Kenzo tantrum atau apapun itu. Sebuah mainan menjadi buah tangannya. “Terimakasih.” Senyuman Amelia penuh syukur.“Ini bukan apa-apa.” Senyuman teduh William. Dirinya mendapatkan amanah dari Erland untuk memberikan mainan yang dibelikan olehnya, tetapi tentu saja itu adalah rahasia. Hanya William dan Bagaswara yang tahu.Kenzo segera merangkul William serta mainannya, balita ini juga tersenyum ceria hingga suasana seisi rumah ikut masuk ke dalam perasaan bahagia Kenzo.Sementara, lagi-lagi Nitara merasa tidak aman ditinggalkan oleh William, tetapi curiga juga mulai membumbuinya. “Kenapa William sering sekali pergi di luar jam kerja. Apa benar menemui rekan kuliahnya?” Hal ini terlalu sering maka wajar saja seorang istri menanamkan kecurigaan.Nitara hanya mondar-mandir di dalam kamarnya, tidak berani keluar dari area yang dianggapnya paling aman karena tidak mungkin Erland menjangkaunya. Namun, seorang pe
Saat ini Nitara masih menyembunyikan perasaan yang sebenarnya. “Beli di mana?”“Di outlet langganan keluarga.” Senyuman cerah William yang kemudian menatap dirinya dalam pantulan cermin, “ini sangat bagus. Bagus sekali.” Pria ini merasa mantelnya sangat spesial, entah kenapa?Namun, di balik sumringahnya terdapat Nitara yang semakin memiliki perasaan tidak nyaman. “Sudah malam, apa kamu mau tidur sekarang?”William segera berbalik meninggalkan pantulan cermin untuk menatap Nitara. “Tidur saja duluan, aku masih lelah, aku mau merokok sebentar.” Wajah teduh William tidak hilang, tetapi senyuman cerahnya tanpak sangat asing bagi Nitara.‘Apa seperti ini sikap William saat membeli pakaian baru? Itu berlebihan. Selama ini pakaian William sering baru, tapi William bersikap biasa saja.’ Tatapan Nitara serta senyumannya tidak menunjukan apapun yang ada di hatinya, dirinya menyembunyikan perasaan tidak nyaman ini dengan rapih. Maka, si wanita menjamah tempat tidur terlebih dahulu, sedangkan su
“Amei cuma lelah, Ma ...,” alasan yang dilontarkan Amelia.“Kalau lelah beristirahat saja, jangan memaksakan diri, kasihan Kenzo.” Lembut Sopia bersama belaian di lengan putrinya. Sentuhan lembut nan sayang selalu bisa menenangkan karena dirinya juga seorang ibu, dirinya sangat memahami betapa pentingnya sentuhan dan pelukan bagi seorang anak.Jadi, kini Kenzo diasuh oleh Sopia sedangkan Amelia hanya terpaku di dalam kamar. Adhinatha tidak kemanapun, jadwalnya hari ini sangat tipis, dirinya hanya akan memeriksa perusahaan selama beberapa jam saja. Maka, waktunya dengan Kenzo begitu banyak.“Mana Amei?”“Di kamar, katanya lelah ....”Adhinatha baru saja melihat benjolan di dahi Kenzo. Sontak, dirinya juga sangat khawatir, “Kenzo kenapa, Ma?”“Terbentur ranjang, Amei sedikit tledor. Jadi Mama mengambil Kenzo.”Belaian lembut Adhinatha mengusap dahi cucunya. “Kenzo bermain sama nenek dan kakek saja ya, kasihan mamanya Kenzo,” kekehnya begitu hangat nan penuh kasih sayang.Satu jam berlal
Miranda kembali pada keluarganya setelah Erland menghabiskan semua makanan yang diberikan dengan penuh kasih sayang olehnya. Ternyata semua peserta pesta sederhana ini telah berhenti mengunyah, perut mereka diisi oleh makanan, sedangkan hati mereka diisi oleh kebahagiaan. Tidak berapa lama setelah kedatangannya, ibunya Nitara yang bernama Sania meminta putrinya untuk mengantarnya ke toilet, maka dengan senang hati istri dari keturunan terpandang ini menemani ibunya. “Ma, kita ke toilet di kamar Tara saja ya. Lagian ..., Mama belum pernah masuk ke kamar Tara.” “Iya, terserah Tara saja ....” Sania terkekeh sangat bahagia melihat kebahagiaan putrinya. Sesampainya di dalam kamar, ukuran kamar yang dihuni putrinya lebih besar dari ukuran rang tengah keluarga mereka. Maka, senyuman segera ditarik Sania. “Ma, selama ini Tara tidur di sini, andai Tara bisa membangunkan rumah yang kamarnya yang sebesar ini pasti Mama sama papa sangat nyamana saat tidur.” “Bicara apa kamu ini, Nak ... Willi
Nitara kembali ke ruangan William bersama hati dan kepala terbakar. “Wil, aku sangat memercayaimu, bahkan aku berusaha melupakan masa lalu kamu dengan Amelia, tapi kenapa diam-diam kamu berduaan dengan Amelia. Apa hubungan lama kalian belum usai, heuh!” Hampir saja tetesan kesedihan jatuh membasahi pipinya, tetapi Nitara masih mampu berpikir logis, dirinya bisa mengontrol perasaan ini karena di sini bukan tempat yang tepat. Setelah menarik napas panjang kemudian membuangnya, barulah wanita ini kembali tenang hingga akhirnya pelamar kerja berdatangan satu persatu.Wawancara kerja berlangsung cukup lama, sekitar dua jam karena ternyata banyak sekali pelamar. Namun, William masih belum kembali ke ruangannya. Jadi Nitara pikir jika suaminya sengaja berlama-lama dengan Amelia padahal bukan membahas bisnis. ‘Apa yang mereka lakukan?’Namun, kenyataannya Amelia meninggalkan gedung sejak satu jam setengah yang lalu. William dan Amelia tidak menghabiskan waktu lama untuk membahas privasi merek
Hanya satu jam saja Nitara menghabiskan waktu sendirinya. Saat keluar dari ruangan, William sedang menyesap teh hangat. “Sayang, sebentar sekali istirahatnya ...,” sambutan hangatnya.“Aku tidak betah. Lagipula aku takut bajunya kusut.” Nitara duduk di sofa saat suaminya tetap duduk di meja kerja, “apa yang kamu minum?”“Teh, ini pemberian kolega. Rasanya sangat enak.” Senyuman William memang sedikit lain saat memuji tehnya, tetapi bukan berarti bernilai negatif justru karena tehnya sangat enak maka terdapat penilain lebih. Namun, Nitara mengartikan itu adalah teh pemberian Amelia saat suaminya menemui wanita itu hingga wajahnya berubah kecut selama sepersekian detik.“Kenapa tidak menyeduh teh yang biasa kamu minum?”“Teh itu terlalu biasa, tapi yang ini berbeda.” William masih menautkan senyumannya,.“Bedanya?” Nitara ingin meledak, mengekspresikan perasaannya yang menggebu, tetapi tidak semudah itu dirinya harus melakukan hal negatif karena William tetap harus dihormati sebagaiman
William tidak lantas bangun, dirinya memeriksa kaki Nitara dengan sangat detail. “Sayang, ini benar tidak sakit?” Pria ini mendongak.“Tidak. Sungguh, itu tidak sakit sama sekali.” Nitara semakin cemas saja. Akhirnya William kembali berdiri, kemudian menangkup kedua pipi istrinya. “Aku akan membeli heels yang baru, jangan pakai yang ini lagi, heels yang ini hampir saja membuatmu celaka.”“Heuh!” Nitara mengerjap karena rupanya insiden kecil ini membuat William menyalahkan heelnya, “tidak perlu, aku sudah punya banyak heels dan semuanya masih sangat bagus.”“Baiklah, tapi jangan pakai ini lagi. Aku akan mengambilkanmu heels yang baru. Tunggu ya.” William bergegas naik ke lantai atas, sedangkan Nitara berdiri di ujung tangga, ingin mencegah suaminya, tetapi William melesat begitu saja. Jika harus jujur lebih baik dirinya yang kembali ke kamar dibandingkan tetap di sini bersama Erland.Erland bertepuk tangan kecil bersama ekspresi tidak terbaca. “Hebat sekali, kamu berhasil mencuri semu
Sopia tidak menyetujui perasaan putrinya. “Mei, kamu sudah menikah dengan William seharusnya kamu hanya mencintai dan tergila-gila pada suamimu!” Kalimat ini membuat Amelia tersadar jika dirinya telah salah bicara.“Maksud Amei ..., Amei mencintai William, tapi Amei tergila-gila pada William dan papa.” Senyuman hambarnya mengambang begitu saja, tetapi jawabannya mampu meredam kekesalan Sopia.“Kamu ini Mei, Mama kira kamu menyukai dua pria.”“Tidak Ma, Amei cuma mencintai William.” Senyuman hambarnya lagi, tetapi lebih sempit dan singkat. ‘Aku mencintai Erland, tapi aku tergila-gila pada Erland dan William.’“Kapan William akan kesini mengunjungi kalian?”“Entah, Amei belum meneleponnya, tapi Amei rasa jangan terlalu sering.”“Justru harus sering karena Kenzo anaknya dan kamu istrinya!” Sopia menegaskan.“Amei takut hubungan kita akhirnya tercium Nitara kalau William sering kesini ....”“Sudahlah Mei, jangan kamu pikirkan Nitara lagi!” kekesalan Sopia kembali, “Mama akan berusaha memb