“Bapak gimana sih bawa mobilnya?” cerca warga setempat yang melihat seorang wanita tergeletak tak berdaya di panasnya aspal siang itu.
“Daripada anda memarahi atau mencaci saya, lebih baik bantu saya bawa wanita ini ke dalam mobil dan saya akan segera membawanya ke rumah sakit.” Pria itu berkata dengan nada yang sangat datar.
Pria tua itu menatap ia curiga. “Anda tak berniat membuang wanita ini, ‘kan?”
“Ck, apa tampang saya terlihat bak kriminal?” tanyanya dengan memutar bola mata kesal.
“Tampang tak selalu menjadi jaminan,” balas pria tua itu tak kalah sengit.
“Jadi bagaimana? Mau membiarkan ia tergeletak di sini atau membawanya ke rumah sakit?” tanya pria berjas lengkap itu membuat warga sekitar bergegas menggotong tubuh Clarita ke dalam mobil mewah milik pria yang tertuduh sebagai penabrak.
Mobil melaju membelah keramaian Kota Semarang. Berjalan menuju rumah sakit ibu dan anak dengan cepat, entah kenapa feeling pria itu mengatakan jika ia harus mencari rumah sakit bersalin secepatnya. Beruntung dari lokasi kejadian ke rumah sakit bersalin tak menyita waktu lama. Ia sendiri sebenarnya bingung, ia merasa tak menabrak wanita yang kini tengah berbaring di kursi penumpangnya, tetapi mengapa wanita itu terjatuh?
“Suster‼” pekiknya mengalihkan pandangan setiap pengunjung rumah sakit. Mereka tak berkedip menatap pria yang datang dengan terburu-buru belum lagi di dalam gendongannya terdapat wanita tak sadarkan diri dengan kondisi tengah mengandung.
“Suster‼” ulangnya karena tak kunjung mendapatkan respon sesuai keinginannya. Teriakan kedua pria tampan itu berhasil menyadarkan para perawat dari lamuanan liar mereka.
Suara roda brankar beradu dengan kerasnya lantai keramik, derap kaki yang berlari pun menambah suasana panik. “Silakan tunggu di luar, Pak. Kami akan memeriksa istri bapak.”
“Istri?” tanya pria itu tak percaya.
Perawat yang berada di depannya hanya tersenyum tipis dan berkata, “Bapak silakan selesaikan pendaftaran pasien jika sewaktu-waktu dibutuhkan penanganan lebih lanjut.” Belum sempat ia menjawab kini tubuh mungil sang suster telah menghilang digantikan dengan pintu putih bertuliskan “UGD.”
Mau tak mau pria itu melangkahkan kakinya menuju ruang administrasi, setidaknya ia tak mau dicap sebagai penabrak tak bertanggung jawab walau sejujurnya ia sendiri tak yakin jika telah menabrak Clarita.
“Dengan bapak siapa?” tanya petugas administrasi pada pria kaku di depannya.
“Adyatma. Tulis saja Atma.”
“Istri bapak bernama?” tanyanya sekali lagi.
Kening Atma mengerut, ia sendiri tak tahu siapa wanita yang ia bawa jangankan tahu namanya melihatnya tidak pernah.
“Sejujurnya sus dia itu –“
“Pak maaf, istri bapak harus segera dioperasi,” ujar seorang suster berjalan menghampirinya dengan tergesa-gesa memotong ucapan Atma pada petugas administrasi.
“Operasi?” tanya Atma tak mengerti.
Atma mengikuti langkah kaki suster tersebut dan meninggalkan bagian administrasi begitu saja. Ia seakan lupa jika ia bukanlah suami dari wanita yang tengah mengandung itu, namun jiwa kemanusiaannya lebih tinggi.
“Maaf pak, istri bapak mengalami benturan hebat di perutnya. Maka dari itu kami menyarankan untuk melakukan operasi caesar sesegera mungkin. Bukan apa-apa pak, saya hanya takut jika tidak dilakukan sekarang maka akan berdampak pada nyawa ketiganya,” jelas dokter yang Atma temui di depan ruangan IGD.
“Tiga?” Kerut di kening Atma semakin dalam, ia tak mengerti maksud dari sang Dokter.
“Benar pak, istri bapak mengandung bayi kembar. Maka dari itu kita harus segera melakukan tindakan agar –“
“Lakukan saja apa yang terbaik,” potong Atma tak sadar. Setelah itu beberapa perawat membawa wanita yang disebut ‘Istrinya’ menuju ruangan operasi. Atma berjalan mengikuti perawat dari belakang dengan langkah tenang namun pasti. Auranya tak pernah surut, ia selalu berhasil memikat siapa saja yang melihatnya.
Satu jam telah berlalu, Atma masih duduk dengan tenang di depan pintu ruangan operasi. Setelah tadi ia berhasil menyelesaikan urusan administrasi dan mengetahui nama wanita yang tanpa sengaja tertabrak olehnya. Dering di ponsel Atma mengalihkan perhatiannya namun, entah mengapa ia enggan menjawabnya.
Atma bersyukur karena harus direpotkan mengurus keperluan Clarita, karena dengan begini ia bisa terbebas dari jerat wanita yang menyandang status sebagai calon tunangannya. Atma melepas jas hitamnya dan menggulung lengan kemejanya hingga sebatas siku membuka dua kancing teratasnya membuat kesan cool semakin tercetak jelas di auranya. Tak jarang pengunjung yang melintas di depannya menatap ia kagum dan liar.
“Dengan bapak Atma?” panggil seorang suster dari balik pintu operasi.
Atma bangkit dari kursinya dan berjalan mendekati sang suster. “Selamat pak, bayi dan istri anda selamat. Jika Bapak ingin melihat sang bayi dan meng-adzaninya silakan masuk.”
“Adzan?” tanya Atma lirih. Dalam hati ia merutuki kebodohannya ia tak terpikirkan hal itu. Selama ini ia sholat saja jarang bagaimana bisa ia meng-adzani bayi?
“Silakan pak,” ujar suster itu dan membukakan akses pintu semakin lebar seakan memaksa Atma untuk segera masuk ke dalam ruangan.
Sesaat netra Atma melirik wanita yang terbaring tak sadarkan diri, wanita yang baru saja ia ketahui namanya. Dan juga status pernikahannya. Dalam hati ia bertanya-tanya bagaimana bisa seorang wanita berstatus belum menikah tetapi melahirkan 2 bayi sekaligus? Apakah ia korban hamil di luar nikah? Atau ia korban pemerkosaan?
“Kalau begitu bayinya akan kami bersihkan dan ibu Clarita akan segera kami pindahkan ke ruang rawat ya pak, terima kasih. Bapak bisa kembali menunggu di luar.” Tanpa banyak kata, Atma melangkahkan kakinya keluar dari ruangan yang membuatnya menjadi pribadi yang berbeda.
Saat menunggu Clarita dipindahkan ke ruang rawatnya, Atma menyempatkan diri menengok ponsel yang sedari tadi terus berdering menandakan panggilan telephone. Pria dengan kemeja putih gading itu mendesah kasar, kala ia mendapati puluhan panggilan tak terjawab juga ribuan pesan dari nomor yang tak pernah ia harapkan. Perhatian Atma teralihkan kala suara roda brankar dan lantai beradu, ia menoleh dan mendapati Clarita tengah berbaring lemah.
“Ibu Clarita sudah selesai kami bersihkan, Pak. Kini tinggal menunggu efek samping dari obat biusnya habis. 1 atau 2 jam lagi Ibu Clarita akan sadar.” Atma hanya mengangguk pandangan elangnya tak lepas dari wajah Clarita yang tengah terlelap dengan begitu tenang. Hidung mancung, bibir tipis, dan bulu mata yang lentik terasa tak asing bagi pria berusia 26 tahun itu.
Sepeninggalan suster dan juga dokter yang merawat clarita, Atma hanya diam menatap wanita dengan wajah polos yang tengah tertidur dengan pulas, walau ia sendiri tahu jika wanita itu tertidur karena obat bius akan tetapi ia menyukai ekspresi tidur wanita yang baru saja melahirkan bayi kembar.
“Eungghh,” lenguh Clarita seraya mengerjapkan kedua bola matanya pelan. Ia merasa kepalanya begitu berat dan sekujur tubuhnya terasa kaku.
Setelah berhasil menyamakan sinar yang masuk ke netranya, kini manik mata hitam pekat Clarita berhasil terbuka dengan jelas. “Kau siapa?” tanya Clarita pada sosok pria dengan garis wajah tegas yang duduk dengan tenang di samping ranjang rumah sakit.
“Kau baru saja melahirkan anak kembar,” jelas Atma seakan tahu rentetan pertanyaan yang akan dilayangkan wanita itu padanya.
“Anakku? Di mana?” tanya Clarita panik dan meraba perutnya. Ia lantas bergerak ingin turun dari ranjang akan tetapi perutnya masih terasa sakit.
“Jangan banyak bergerak, kau baru saja selesai menjalankan operasi. Tunggu sebentar biar aku panggilkan dokter.” Atma membantu Clarita untuk kembali tidur dan merapikan selimutnya. Pada saat Atma menunduk Clarita melihat sebuah kalung berlionting gading yang menggantung di leher pria itu, ia lantas mendelik tak percaya.
Ia menggeleng cepat dengan nafas tercekat. “Tak mungkin,” lirihnya.
Hai teman-teman, jangan lupa tinggalkan komentar jika kalian menyukai cerita ini yah!! Hope you like it, Guys!!
“Kenapa?”Clarita hanya menggeleng cepat sebagai jawaban dari pertanyaan Atma, lidahnya terasa kelu bahkan ia tak sadar jika sedari tadi ia menahan nafas. “Bernafaslah, kau tak mau anakmu besar tanpa ibu, ‘kan?”Clarita ingin mengumpat mendengar ucapan Atma namun entah mengapa lidahnya seakan enggan berfungsi dengan baik, bahkan otak cerdasnya tak mampu berkerja dengan baik.“Mengapa aku bisa melahirkan?” tanya Clarita polos.“Karena kau mengandung.” Atma menjawab dengan santai. Ia bahkan tak mengalihkan pandangannya dari pemandangan di balik jendela rumah sakit.Clarita memutar bola mata malas. “Ck. Nenek-nenek jompo juga tahu itu. Mana ada orang melahirkan tanpa mengandung. Maksudku, mengapa sekarang?”“Karena tidak nanti.”Lagi-lagi jawaban Atma berhasil membuat Clarita berdecak kesal. Ia ingat betul jika siang tadi ia masih berkeliling mengunjungi satu persatu perusahaan yang membuka lowongan. Tetapi tepat saat ia akan kembali ke kosnya, ia berhenti di tengah jalan dan … “Kau mena
Clarita menoleh dengan mata sembab dan pipi yang masih basah kala mendengar suara Atma yang berdiri tak jauh darinya. “Apa!” pekik Clarita.Atma mengernyitkan kening bingung, ia tak tahu asal usul wanita di depannya begitupun sebaliknya. Tetapi ia tak mungkin diam saja melihat seorang wanita yang baru saja melahirkan bayi kembar tengah menangis tersedu-sedu, terlebih lagi wanita itu tengah merengkuh tubuh putrinya.Entah setan mana yang merasuk ke dalam tubuh Atma, tangan kekarnya terulur mengambil alih bayi yang baru beberapa jam merasakan dunia luar itu. Bak membawa sebuah barang yang mudah rapuh, Atma menggendongnya dengan hati-hati, seakan sedikit saja ia salah langkah maka bayi yang ada di dalam gendongannya akan hancur lebur.Terlalu berlebihan untuk pria sekelas Atma, pria tak tersentuh yang entah mengapa begitu peduli pada bayi kembar dan juga wanita yang ada di depannya. Setelah berhasil meletakkan kembali sang putri ke keranjangnya, ia bergegas keluar memanggil perawat.Tak
Ucapan Bara terus terngiang di benak Atma, kini ia mulai bertanya-tanya kepada dirinya sendiri. Selama ini Atma tak pernah mengambil pusing identitas wanita yang dekat dengannya. Ia pria normal, ibarat kucing, mau jenis apapun jika disuguhkan daging pasti akan menikmatinya.Sama halnya dengan Atma, wanita-wanita itulah yang menawarkan surga dunia padanya, dan ia akan menerima dengan senang hati. Tetapi jika nantinya terjadi hal di luar kendalinya, maka Bara-lah yang akan turun tangan merapikan semuanya hingga tak berbekas. Kejam? Bukan, sebagai pewaris tunggal Atma dituntut untuk selalu terlihat sempurna. Tak hanya paras, citra dan image juga harus ia jaga sedemikian rupa.Di lain sisi, Clarita masih sibuk meratapi nasibnya setelah hari ini. Ia tak menyangka jika ia mengandung bayi kembar, selama ini ia tak pernah memeriksakan kandungannya. Bukan karena malu melainkan ekonominya yang tak bisa ia gunakan untuk sekedar mengunjungi bidan di kampung. Ia hanya mengandalkan instingnya untuk
“Bangunlah,” ujar Atma, tangan kekarnya mengulurkan segelas air mineral untuk Clarita.Alih-alih menerima uluran gelas Atma yang Clarita lakukan justru menatapnya dingin. Ia menatap Atma curiga. “Kau mau apa ke sini? Aku bukan wanita murahan yang akan dengan mudah memberikan tubuhku padamu.”“Mengapa kau berpikir begitu?”Clarita berdecih malas dan berkata, “Bukankah itu trik pria-pria kaya sepertimu, Tuan? Membantu wanita lemah semacamku, datang bak pahlawan membuat mereka seolah berhutang budi lantas meminta bayaran dengan dilayani di ranjang? Setelah itu? kalian akan mencampakkan wanita bak pakaian kotor.”“Bukankah pakaian kotor akan dicuci dan digunakan lagi?” sahut Atma tak mau kalah.“Benar, dan ketika pakaian itu telah lusuh kau akan membuang dan menggantinya dengan yang baru. Begitukan roda kehidupan ranjang seorang ceo seperti anda, Tuan?” balas Clarita sinis.Tatapan Atma melembut tak sepenuhnya tetapi ia mengerti situasi yang tengah di alami Clarita, dugaannya akan fakta k
Kini Atma dilanda kebingungan, pasalnya 3 orang menangis di waktu yang bersamaan. Ia memandang Clarita dan dua bayi tak bernama itu secara bergantian. Pikirannya buntu, ia tak pernah berada di situasi sepelik ini. Niatnya datang ke rumah sakit hanya untuk menyampaikan fakta bahwa ia telah melunasi semua biaya sehingga Clarita tak perlu khawatir.Tetapi yang terjadi justru di luar kendalinya, Atma melihat sesuatu yang sebenarnya sudah tak asing lagi baginya. Karena nyaris tiap malam ia menikmati pemandangan itu secara cuma-cuma tetapi entah mengapa melihat ‘milik’ Clarita mampu membangkitkan sisi nakal darinya. Beruntung kali ini ia dalam mood yang baik sehingga ia tak berniat mengambil alih hak dua bayi tak bernama itu.Setelah menenangkan diri dari pikiran nakalnya, Atma berjalan mendekati Clarita yang masih menangis dengan sebelah tangan ia jadikan bantalan bagi sang Putra dan sebelahnya ia gunakan menutup wajah. “Daripada menangis, lebih baik kau menutup ini,” ujar Atma seraya menu
“Apa maksudmu?” tanya Clarita menyorot Atam tajam.Pria itu mengendikkan bahu acuh dan berjalan menjauhi Clarita. Tak berselang lama setelah kepergian Atma, dua orang wanita dengan pakaian putih khas perawat memasukki kamar Clarita. Mereka terkejut melihat apa yang tengah wanita itu lakukan.“Permisi Nyonya, ada yang bisa saya bantu?” tanya salah seorang perawat membuat Clarita terkejut.“Hah? Ah itu tidak, aku hanya ingin merapikan pakaianku saja.” Clarita bergegas membetulkan posisinya.Ia kini lebih leluasa pasalnya sejak pagi tadi, tangannya telah terbebas dari jarum suntik yang mengganggu pergerakannya. Wanita berusia 22 tahun itu tampak senang karena semua rencana yang telah ia susun akan segera terlaksana.“Maaf Sus, jika saya keluar nanti berapa biaya yang harus saya tanggung?” tanya Clarita berhati-hati.“Biaya?” Suster yang tengah memeriksa tekanan darah Clarita tampak terkejut mendengar pertanyaan polos Clarita.Clarita mengangguk pelan seraya melayangkan tatapan takut. “Te
“Wah nak Clarita sudah lahiran. Kapan? Kok ndak bilang sama ibu?” sapa sang pemilik kos ketika berpapasan dengan Clarita yang hendak masuk ke kamarnya.“Iya bu, kemarin saya kecelakaan dan terpaksa melahirkan. Alhamdullilah orangnya bertanggung jawab.”Ibu kos tersenyum ramah dan berkata, “Syukurlah kalau begitu, yang penting kamu dan anakmu sehat ya.”Clarita hanya mengangguk dan tersenyum tipis, setelah berpamitan Clarita bergegas masuk ke dalam kamar kosnya. Ia membaringkan Yara dan Yandra dengan hati-hati ke atas bed tidurnya. Setelah itu ia mengganti pakaiannya dengan yang lebih santai. Ia mulai merapikan barang-barang pribadinya. Ia yakin betul jika setelah ini warga tak akan menerimanya lagi, karena ia pernah berkata jika suaminya akan kembali ketika ia telah melahirkan nanti. Dan sekarang jangankan suami ia saja tak tahu persis siapa ayah dari bayi kembar yang tengah tertidur pulas itu.“Loh kok langsung bersih-bersih, harusnya jangan banyak gerak dulu, Nak,” tegur ibu kos kep
"Kau sendiri yang tahu isi hatimu. Apakah kau nyaman dekatnya atau kau hanya kasihan?”Atma menatap Bara bingung. “Kasihan?”Bara tertawa renyah, kemudian ia meraih kopi hitam yang masih mengepulkan asap menyeruputnya secara perlahan. “Kasihan karena ia melahirkan tanpa kehadiran suami. Mungkin.”“Yang pasti hatiku sudah mati akan cinta!” tegas Atma, Bara hanya mengendikkan bahu cuek.Detik berganti menit, menit berganti jam. Pagi ini, Clarita direpotkan dengan kedua bayinya yang menangis bersamaan. Clarita mencoba menarik napas dalam-dalam kemudian membuangnya perlahan ia melakukannya berulang kali, berusaha untuk menetralkan pikirannya. Clarita selalu melakukan hal itu jika ia tengah dilanda kebingungan.“Ada apa, Cla?” tanya Ibu kos yang entah sejak kapan sudah berdiri di ambang pintu kostnya.“Ah ini bu, maaf kalau mengganggu penghuni kos lain. Saya juga gak tahu kenapa Yara dan Yandra menangis begini. Padahal mereka sudah saya beri asi.”“Boleh ibu bantu? Sepertinya kamu kesulita
“Saya sebagai orang tua kandung Danila Ayudia tentu menyerahkan semua keputusan di tangan putri kami. Kebahagiannya adalah kebahagian kami juga,” sahut Ganesha mengabaikan pertanyaan Danila. “Apa? Orang tua kandung? Maksudnya?” tanya Danila bingung ia pun melemparkan tatapan menuntut ke arah Bram. “Sayang, Tante Ratasya dan Om Ganesha adalah orang tua kandung kamu, yang selama ini disembunyikan oleh Pak Brahma, mereka –“ “Apaa‼” pekik Danila tak percaya. “Jadi? Yang kalian bicarakan saat persidangan itu aku?” tanya Danila tak percaya. “Iya sayang, kami memang orang tua kandungmu. Semua bermula dari … .” Ganesha mulai menceritakan awal mula Brahma merebut Danila darinya. Mulai saat Brahma merebut harta miliknya hingga ke kasus penculikan juga penyekapannya. Danila menyimak ucapan orang tuanya dengan begitu seksama, ia tak mau terlewatkan barang satu kata pun. Hingga ia sampai pada cerita tentang percobaan pembunuhan yang Brahma lakukan pada mereka, Danila mengeram tertahan, selama
“Aku ingin selalu seperti ini selamanya? Bisa ‘kan?” “Kamu ini bikin mas hampir jantungan saja. Sayang, hanya maut yang bisa memisahkan kisah cinta kita. Aku akan selalu berusaha selalu berada di sampingmu,” tutur Byan membuat hati Clarita menghangat dan kupu-kupu si perutnya berterbangan. “Mas nanti malam kita pakai ini saja ya? Acaranya kan di tepi pantai, aku juga gak bisa kalau pakai baju terbuka, alergi dingin. Untung suami aku gak dingin,” canda Clarita seraya menatap sang Suami manja. “Sayangg,” ujar Byan salah tingkah, pria itu menggaruk tengkuk lehernya yang tak gatal itu. Matahari pun mulai bergeser, menyisakan langit berwarna jingga dengan suara hiruk pikuk mobil yang berlalu lalang. Clarita baru saja keluar dari kamar mandi dengan handuk yang melilit di kepalanya, sedangkan sang Suami masih berkutat di meja kerjanya yang bersebelahan dengan kamar tidur mereka, Byan sengaja mendesain ruang kerjanya di dalam kamar hanya dengan memberi sekat kaca yang membatasi antara kama
“Perusahaan koleps, seluruh perusahaan besar menunda penanda tangannya MOU. Harga saham menurun drastis, beberapa vendor menagih pelunasan segera, kau ke mana saja?” ucap Mahen seraya membiarkan putranya membaca seluruh isi mapnya.“Kita bisa menangani ini sem –““Dengan cara apa? Sekarang saja perusahaan sudah tak ada kerja sama, oke masih ada tetapi itu hanya project remahan, kamu pikir itu bisa membayar semua tagihan? Belum lagi gaji pegawai. Seharusnya kamu memikirkan itu, kamu fokus membesarkan perusahaan ini bukan justru sibuk mengurus wanita dan anaknya yang penyakitan itu!”“Shut up, Pah! Apa papah tahu aku jadi seperti ini karena siapa? Karena anda! Anda yang selalu mengagalkan percintaanku anda yang selalu menghancurkan urusan hidupku sendiri. Kenapa? Karena anda terlalu ingin terlihat sempurna, padahal anda jauh lebih busuk daripada bangkai tikus.” Atma ber
“Gak papa kok, ya sudah kita masuk lagi yuk? Kayanya sudah waktunya mulai lagi persidangannya.” Mereka pun mengangguk setuju dengan ucapan Byan. Mereka pun kembali berjalan beriringan memasuki ruang sidang, siang ini mereka akan mendengar keputusam hakim atas perbuatan Brahma bertahun-tahun lalu.“Mas,” lirih Clarita mencekal lengan Byan. Pria itu menoleh dan menatap teduh sang Istri. “Aku takut.”“Pasrahkan semua ke Allah, ya. Semua akan baik-baik saja.” Clarita menghela napas seraya mengeratkan genggamannya di tangan sang Suami.Hakim dan seluruh jajaran pun mulai memasuki ruangan, setelah itu Brahma selaku tersangka utama telah hadir kembali di ruang sidang. Setelah persidangan kembali dibuka Jaksa penuntut umum kembali membacakan dakwaannya.“Dengan ini, kami memutuskan untuk menjatuhkan hukuman kepada Brahma Wijaya dengan pasal tersebut selama 25 tahun kurungan.”Bola mata Clarita nyaris terlepas dari tempatnya kala mendengar putusan hakim kepada pria yang selama ini anggap sebag
“Kita hanya bisa berpasrah diri, Dan. Kita sudah berusaha menegakkan keadilan semoga semua sesuai dengan harapan kita ya.”Waktu seakan begitu cepat berlalu, hari-hari berlalu begitu cepat. Sejak persidangan pertama kemarin kehidupan Danila terasa begitu nikmat dan ringan. Ia masih bekerja di toko kue milik sang Kakak. Sedangkan hubungan asmaranya masih terjalin dengan baik. Bram tak pernah menuntut hubungan ranjang pria itu justru mengarahkan Danila menjadi wanita yang lebih elegant.Lain halnya dengan Atma, pria itu justru semakin gencar mendekati Hanna. Ia bahkan tak peduli dengan penolakan yang terus Hanna berikan padanya. Hanna adalah harapan terakhir untuknya mendapatkan warisan dari sang Nenek, ia pun tak menyerah untuk mendapatkan Hanna kembali.“Han, percayalah padaku. Aku tak hanya membutuhkan Bayu, sejujurnya aku masih menyimpan rasa padamu, tetapi aku terlalu malu untuk mengakuinya. Apa tida
“Katakan apa yang sedang kau rencanakan?” tanya Hanna dengan tatapan penuh selidik.“Begini, aku dituntut untuk memiliki seorang anak. Dan kamu butuh sumsumku bukan? Bagaimana jika kita bekerja sama? Aku akan mencukupi semua kebutuhanmu dan Bayu tetapi menikahlah denganku.”Hanna pun tersenyum miring. “Jadi benar ‘kan dugaanku? Kamu mengejarku dan berbuat baik padaku itu tidak tulus dari dalam hati, apa ini memang sifat aslimu?”“Ayolah, Han. Aku butuh kerja sama ini, agar aku bisa terlepas dari ayahku. Aku akan menghidupi kalian dengan baik, aku juga akan memperlakukanmu dengan baik. Aku hanya butuh Bayu dan status ini agar warisan nenekku bisa segera aku miliki.”“Kamu berubah, At! Ini bukan Atma yang aku kenal!” pekik Hanna seraya berjalan menjauhi pria itu.“Han aku berubah begini karenamu! Aku tak lagi p
Tanpa mendengar ucapan karyawannya Clarita segera berjalan menuju tokonya. Ia menapaki setia anak tangga, samar-samar ia mendengar pertikaian dua orang wanita dan benar saja, ketika langkahnya tiba di lantai dua ia menemukan Danila tengah berdebat dengan seorang wanita paruh baya.“Danila tidak akan mau mencabut tuntutan Danila! Kalian berdua itu licik!” pekik Danila di depan wanita setengah baya. Dari posisinya berdiri Clarita tak dapat melihat dengan jelas siapa sosok yang tengah bertengkar dengannya.Langkah kaki Clarita semakin mendekat ke arah Danila, ia pun tiba di samping tubuh wanita yang menjadi lawan bicara adiknya itu. “Maaf ada apa ya?”“Clarita!” ujar wanita itu terkejut melihat sosok ayu Clarita berdiri di sampingnya. “Kau juga! Mengapa kau tidak tahu terima kasih? Suamiku mengurusmu sejak kecil! Jika tidak ada suamiku maka –“&ldquo
“Kamu ngomong apa sih sayang? Tanpa diminta pun aku akan segera meminangmu. Aku tidak akan membuang kamu begitu saja. Sesuai janjiku padamu, dan juga kamu berhasil membuatku merasakan getaran yang sudah lama tak pernah aku rasakan lagi, bahkan kamu ada untukku di kala aku down kemarin. Kamu ingat ‘kan?” Danila pun mengangguk dan mengulas senyum. Ia lantas kembali melanjutkan aktivitas ranjangnya. Matahari semakin berani menampakkan dirinya, ia mulai menyinari langit kota Semarang menjadi teman warga di sana memulai aktivitasnya. Ada yang berangkat ke sekolah, ada yang berangkat bekerja, ada juga yang berangkat bergosip. Dua insan yang baru saja berubah status percintaannya masih asyik bergelung di dalam selimut tebal dengan tubuh tanpa sehelai benang pun. Selepas shubuh tadi mereka memang kembali mengulang kegiatannya hingga tertidur karena kelelahan. Ketukan dan suara tangis bayi membangunkan keduanya. Clarita mengerjapkan kedua matanya, ia lantas bangkit dari tidurnya dan memilih
“Ini semua adalah dosa yang harus aku tanggung! Tetapi kenapa harus Bayu? Aku … aku tidak bisa hidup tanpanya.”Kening Atma semakin berkerut, ia semakin bingung dengan ucapan Hanna, wanita itu seolah membuat teka-teki untuknya. “Seharusnya malam itu aku tidak melakukan perbuatan dosa, dan berakhir seperti ini. Ke mana aku harus mencari pendonor yang cocok?”“Donor?”Saat Hanna akan menjelaskan ucapannya, pintu UGD terbuka menampilkan sosok wanita setengah baya dengan jas putih yang melekat di tubuhnya. “Dengan keluarga pasien?”“Saya ibunya, Dok!” Hanna berjalan cepat mendekati dokter itu.“Begini bu, kondisi adik Bayu semakin mengkhawatirkan. Kita harus segera menemukan pendonor tulang sumsum belakang untuk keselamatan putra Ibu. Karena kelainan darah bawaan yang Bayu idap sudah di tahap mengkhawatirkan. Saya berharap ibu bisa segera menemukan pendonor yang tepat, untuk saat ini kami hanya bisa memberikan transfusi darah namun itu tidak bisa kita lakukan terus menerus.”Mendengar per