Ucapan Bara terus terngiang di benak Atma, kini ia mulai bertanya-tanya kepada dirinya sendiri. Selama ini Atma tak pernah mengambil pusing identitas wanita yang dekat dengannya. Ia pria normal, ibarat kucing, mau jenis apapun jika disuguhkan daging pasti akan menikmatinya.
Sama halnya dengan Atma, wanita-wanita itulah yang menawarkan surga dunia padanya, dan ia akan menerima dengan senang hati. Tetapi jika nantinya terjadi hal di luar kendalinya, maka Bara-lah yang akan turun tangan merapikan semuanya hingga tak berbekas. Kejam? Bukan, sebagai pewaris tunggal Atma dituntut untuk selalu terlihat sempurna. Tak hanya paras, citra dan image juga harus ia jaga sedemikian rupa.
Di lain sisi, Clarita masih sibuk meratapi nasibnya setelah hari ini. Ia tak menyangka jika ia mengandung bayi kembar, selama ini ia tak pernah memeriksakan kandungannya. Bukan karena malu melainkan ekonominya yang tak bisa ia gunakan untuk sekedar mengunjungi bidan di kampung. Ia hanya mengandalkan instingnya untuk menjaga kandungannya.
Walau ia tak mengharapkan bayi itu tetapi bagi Clarita janin itu tak bersalah. Yang patut disalahkan dari semua kejadian ini adalah dirinya sendiri. Bukan orang lain apalagi janin tak bersalah.
Lamunan Clarita teralihkan oleh derit pintu yang terbuka, ia melirik sekilas. Tanpa sadar ia menghela napas berat. “Dia lagi,” lirih Clarita dalam hati kala ia melihat Atma berjalan mendekatinya.
“Tasmu.” Lengan kekar Atma terulur memberikan tas totebag milih Clarita. Satu-satunya barang yang bisa ia bawa sebelum terlempar ke kota orang.
“Hm,” deham Clarita tak berniat.
“Aku harus pulang, besuk aku akan ke mari,” ujar Atma dengan nada datar.
Clarita mendelik terkejut. “Tak perlu, kau dan aku tak memiliki hubungan se-spesial itu.”
Jawaban sarkas Clarita membuat Atma menyunggingkan smirk-nya. Ia merasa wanita di depannya ini berbeda dari yang lain, tadinya ia mengira jika Clarita tengah mengujinya akan tetapi kini ia yakin betul jika Clarita memang berbeda. “Tak perlu memiliki hubungan spesial untuk menjenguk sesama manusia.”
“Kata menjenguk merujuk pada sebuah tindakan mengunjungi orang yang dikenal ketika mereka mendapat musibah. Dan aku … merasa tak mengenalmu.” Clarita menatap lurus ke arah manik hazel Atma, ia seakan tak takut pada sosok yang tengah berdiri tegap di depannya.
“Kalau begitu anggap saja aku mengunjungi seorang wanita untuk mengenalnya lebih dekat. Clear, ‘kan?” keukeuh Atma tak mau kalah dari perdebatan sengitnya.
Clarita memutar bola mata malas. “Bukankah memang seperti itu orang kaya? Selalu bertindak dan mengambil keputusan sesuka hatinya.”
Atma tersenyum tipis teramat tipis nyaris tak terlihat, baru kali ini ada sosok wanita yang tak kehabisan akal untuk membalas setiap ucapan yang terlontar dari mulutnya. “Aku pergi.”
“Aku pergi, aku akan mengunjungimu. Persetan tuan, aku tak peduli. Kau datang dan pergi sesuka hatimu. Kau pikir, kita kenal dekat? Dasar lelaki tua dan mesum!” rancau Clarita sesaat setelah Atma menutup pintu ruangannya.
“Kau bicara apa?” tanya Atma membuat Clarita terlonjak dan menutup mulutnya. “Kau bicara apa?” ulang Atma mendekat ke arah Clarita.
‘Mengapa ia kembali lagi?’ batin Clarita ketakutan.
Tatapan mata Atma menutut Clarita untuk membuka suara akan tetapi wanita itu seakan enggan mengeluarkan sepatah kata. Atma menaikkan alisnya menunggu jawaban dari Clarita. “A – a – aku tak berbicara apapun. Kau salah dengar. Kusarankan setelah ini periksalah ke tht. Aku yakin pria kaya sepertimu tak ada banyak waktu untuk membersihkan telinga.”
Sudut bibir Atma berkedut, tetapi pria yang dikenal dingin itu berusaha sekuat tenaga untuk menahan tawanya. Bagaimanapun juga ia harus menjaga citra cool yang telah melekat padanya sejak sma. Tak lama Atma berbalik dan berjalan menuju sofa.
“Kau? Bukannya kau ingin pulang?” tanya Clarita lirih.
Atma menoleh dengan sebelah alis terangkat tatapan matanya masih sama tajam dan menusuk, jika boleh jujur Clarita nyaris kehilangan seluruh tulangnya ketika berhadapan dengan pria dingin berkemeja itu.
Sama halnya dengan Atma, Clarita tengah berusaha terlihat dingin dan tak tersentuh, bukan karena jabatannya, jangankan jabatan kini satu-satunya jabatan yang melekat ditubuh Clarita adalah ‘Ibu tanpa suami dan pekerjaan’ tetapi egonya yang tinggi membuat ia bersusah payah membangun itu semua.
“Kau ingin aku menginap?” tanya Atma dingin.
Manik mata Clarita membulat sempurna ia nyaris mengeluarkan sumpah serapah pada pria yang berada di dekatnya kurang lebih enam jam itu. “Jangan gila! Pergilah, dan aku berharap tak lagi bertemu denganmu setelah ini.” Atma tak menjawab ia hanya tersenyum miring dan berlalu meninggalkan Clarita dengan segala kekesalannya.
Kini tinggallah Clarita seorang diri di ruangan vvip, sejak tadi Clarita terus sibuk mengamati ponselnya. Ia masih bersikeras mencari pekerjaan yang tepat untuknya namun sayang, semua pekerjaan yang tersedia membutuhkan ‘Penampilan yang menarik’ jelas saja Clarita tak akan lagi masuk ke dalam kategori itu. jika dulu Clarita merupakan primadona kampus sekarang semua seakan bertolak belakang.
Sejak mengandung tubuhnya semakin melebar, wajahnya kusam, rambutnya? Jangan tanyakan lagi, rambut yang biasanya setiap minggu terjamah obat-obatan salon itu kini jangankan pergi ke salon, bisa membeli sayur dan beras untuk makan sehari saja ia sudah bersyukur.
Clarita menghela nafas berat, kala jemari lentiknya tanpa sengaja membuka sebuah postingan yang menunjukkan kebahagian sebuah keluarga kecil. Di mana ada ayah, ibu dan sosok wanita muda yang begitu anggun dengan balutan gaun pink. Yah hari ini adalah hari anniversarry orang tuanya, tetapi sialnya Clarita justru terjebak di situasi di mana ia dibuang dan disingkirkan jauh-jauh. Jangankan mengirimkan bantuan, menanyakan kabar saja tak pernah Clarita terima.
“Tak apa, Cla. Kau pasti bisa bangkit. Setelah ini mari kita mulai semuanya dengan lebih baik. Kau tak boleh lemah. Ingat ada dua nyawa yang kini menggantungkan masa depannya padamu. Kau harus bangkit!” ujarnya dengan nada parau. Clarita tertawa miris di sela tangisan kecilnya.
Ia menyimpan ponselnya dan menarik selimut hingga sebatas leher ia membungkus tubuh rapuh itu agar tak semakin hancur. Kini tak ada yang menyemangatinya, tak ada yang menariknya untuk sekedar dapat merasakan kehidupan yang layak lagi. Ia harus berjuang seorang diri.
“Tak ada yang harus disesali, tak ada. Bangkit Cla, bangkit.” Clarita berkata lirih seraya jemarinya memukul-mukul dadanya berharap dapat memacu semangat yang mulai surut. Tanpa sadar Clarita terhanyut dalam kesedihan hingga ia memejamkan mata dalam keadaan menangis. Ia selalu berharap ketika ia bangun nanti semua yang terjadi hanyalah bunga tidur, akan tetapi harapan tetaplah harapan. Tak ada yang bisa ia rubah, kecuali dirinya sendiri.
Malam datang, Clarita semakin hanyut dalam mimpinya. “Tidak ayah ibu tidak‼! Aku tidak mau‼” rancau Clarita dalam tidurnya.
“Hai bangunlah, hai Cla. Cla bangunlah.”
Tepukan halus di pipi chuby Clarita ternyata berbuah manis. Manik mata wanita yang baru saja merancau tak jelas itu terbuka lebar nafasnya masih tersenggal-senggal.
Ketika ia berhasil menetralkan detak jantungnya, Clarita menoleh mencari pelaku yang membantunya keluar dari mimpi kelam itu. Manik mata Clarita membulat sempurna kala mendapati sosok yang tak ingin ia temui lagi. “Kau‼”
“Bangunlah,” ujar Atma, tangan kekarnya mengulurkan segelas air mineral untuk Clarita.Alih-alih menerima uluran gelas Atma yang Clarita lakukan justru menatapnya dingin. Ia menatap Atma curiga. “Kau mau apa ke sini? Aku bukan wanita murahan yang akan dengan mudah memberikan tubuhku padamu.”“Mengapa kau berpikir begitu?”Clarita berdecih malas dan berkata, “Bukankah itu trik pria-pria kaya sepertimu, Tuan? Membantu wanita lemah semacamku, datang bak pahlawan membuat mereka seolah berhutang budi lantas meminta bayaran dengan dilayani di ranjang? Setelah itu? kalian akan mencampakkan wanita bak pakaian kotor.”“Bukankah pakaian kotor akan dicuci dan digunakan lagi?” sahut Atma tak mau kalah.“Benar, dan ketika pakaian itu telah lusuh kau akan membuang dan menggantinya dengan yang baru. Begitukan roda kehidupan ranjang seorang ceo seperti anda, Tuan?” balas Clarita sinis.Tatapan Atma melembut tak sepenuhnya tetapi ia mengerti situasi yang tengah di alami Clarita, dugaannya akan fakta k
Kini Atma dilanda kebingungan, pasalnya 3 orang menangis di waktu yang bersamaan. Ia memandang Clarita dan dua bayi tak bernama itu secara bergantian. Pikirannya buntu, ia tak pernah berada di situasi sepelik ini. Niatnya datang ke rumah sakit hanya untuk menyampaikan fakta bahwa ia telah melunasi semua biaya sehingga Clarita tak perlu khawatir.Tetapi yang terjadi justru di luar kendalinya, Atma melihat sesuatu yang sebenarnya sudah tak asing lagi baginya. Karena nyaris tiap malam ia menikmati pemandangan itu secara cuma-cuma tetapi entah mengapa melihat ‘milik’ Clarita mampu membangkitkan sisi nakal darinya. Beruntung kali ini ia dalam mood yang baik sehingga ia tak berniat mengambil alih hak dua bayi tak bernama itu.Setelah menenangkan diri dari pikiran nakalnya, Atma berjalan mendekati Clarita yang masih menangis dengan sebelah tangan ia jadikan bantalan bagi sang Putra dan sebelahnya ia gunakan menutup wajah. “Daripada menangis, lebih baik kau menutup ini,” ujar Atma seraya menu
“Apa maksudmu?” tanya Clarita menyorot Atam tajam.Pria itu mengendikkan bahu acuh dan berjalan menjauhi Clarita. Tak berselang lama setelah kepergian Atma, dua orang wanita dengan pakaian putih khas perawat memasukki kamar Clarita. Mereka terkejut melihat apa yang tengah wanita itu lakukan.“Permisi Nyonya, ada yang bisa saya bantu?” tanya salah seorang perawat membuat Clarita terkejut.“Hah? Ah itu tidak, aku hanya ingin merapikan pakaianku saja.” Clarita bergegas membetulkan posisinya.Ia kini lebih leluasa pasalnya sejak pagi tadi, tangannya telah terbebas dari jarum suntik yang mengganggu pergerakannya. Wanita berusia 22 tahun itu tampak senang karena semua rencana yang telah ia susun akan segera terlaksana.“Maaf Sus, jika saya keluar nanti berapa biaya yang harus saya tanggung?” tanya Clarita berhati-hati.“Biaya?” Suster yang tengah memeriksa tekanan darah Clarita tampak terkejut mendengar pertanyaan polos Clarita.Clarita mengangguk pelan seraya melayangkan tatapan takut. “Te
“Wah nak Clarita sudah lahiran. Kapan? Kok ndak bilang sama ibu?” sapa sang pemilik kos ketika berpapasan dengan Clarita yang hendak masuk ke kamarnya.“Iya bu, kemarin saya kecelakaan dan terpaksa melahirkan. Alhamdullilah orangnya bertanggung jawab.”Ibu kos tersenyum ramah dan berkata, “Syukurlah kalau begitu, yang penting kamu dan anakmu sehat ya.”Clarita hanya mengangguk dan tersenyum tipis, setelah berpamitan Clarita bergegas masuk ke dalam kamar kosnya. Ia membaringkan Yara dan Yandra dengan hati-hati ke atas bed tidurnya. Setelah itu ia mengganti pakaiannya dengan yang lebih santai. Ia mulai merapikan barang-barang pribadinya. Ia yakin betul jika setelah ini warga tak akan menerimanya lagi, karena ia pernah berkata jika suaminya akan kembali ketika ia telah melahirkan nanti. Dan sekarang jangankan suami ia saja tak tahu persis siapa ayah dari bayi kembar yang tengah tertidur pulas itu.“Loh kok langsung bersih-bersih, harusnya jangan banyak gerak dulu, Nak,” tegur ibu kos kep
"Kau sendiri yang tahu isi hatimu. Apakah kau nyaman dekatnya atau kau hanya kasihan?”Atma menatap Bara bingung. “Kasihan?”Bara tertawa renyah, kemudian ia meraih kopi hitam yang masih mengepulkan asap menyeruputnya secara perlahan. “Kasihan karena ia melahirkan tanpa kehadiran suami. Mungkin.”“Yang pasti hatiku sudah mati akan cinta!” tegas Atma, Bara hanya mengendikkan bahu cuek.Detik berganti menit, menit berganti jam. Pagi ini, Clarita direpotkan dengan kedua bayinya yang menangis bersamaan. Clarita mencoba menarik napas dalam-dalam kemudian membuangnya perlahan ia melakukannya berulang kali, berusaha untuk menetralkan pikirannya. Clarita selalu melakukan hal itu jika ia tengah dilanda kebingungan.“Ada apa, Cla?” tanya Ibu kos yang entah sejak kapan sudah berdiri di ambang pintu kostnya.“Ah ini bu, maaf kalau mengganggu penghuni kos lain. Saya juga gak tahu kenapa Yara dan Yandra menangis begini. Padahal mereka sudah saya beri asi.”“Boleh ibu bantu? Sepertinya kamu kesulita
“Duduk sini mba.” Clarita mendongak pelan. hingga ditatapnya sosok wanita muda.“Hai mba, apa sudah ada yang dipanggil untuk interview?” tanya Clarita mencoba bersahabat kepada sosok wanita muda di sampingnya. Ia memprediksi jika usia wanita itu baru 19 tahun. Terlihat dari penampilan lugunya dan juga map coklat yang ia bawa.“Hai juga mba, sudah ada beberapa mba. Tersisa segini,” sahutnya sopan.“Segini?” tanya Clarita memastikan.“Iya mba, tadi pagi jauh lebih banyak. Oh iya mba, saya Deandra, panggil saja Dean.”Clarita membalas uluran tangan Dean dan berkata, “Aku Clarita, senang berkenalan denganmu, Mba.”Clarita dan Dean terlibat pada obrolan sederhana namun keduanya terlihat nyaman dan akrab. Tanpa sadar kini hanya tersisa ia, Dean dan 5 pelamar lainnya. Mereka berbincang mulai dari makanan kesukaan hingga pengalaman kerja. Ia tak menyangka jika diusia Dean yang masih muda itu ia telah memiliki banyak pengalaman kerja, sangat berbeda dengannya. Yang hanya berkerja beberapa kali
Di sana jelas berdiri dua sosok wanita dengan penampilan sederhana, tinggi tubuh mereka pun tak berbeda jauh. “Siapa At?” ulang Bara karena Atma tak memberi respon apapun pada pertanyaannya.Tanpa banyak kata, Atma menyalakan mesin mobilnya dan bergerak mengikuti angkutan umum di depannya. Bara mengernyitkan keningnya bingung, namun ia enggan bertanya pada pria di sampingnya. Lengan kekar Atma mencengkram erat stir mobil, sorot mata elang miliknya menatap lurus ke arah angkutan di depannya seakan ketika ia berkedip maka angkutan itu akan menghilang dari pandangannya.Bara tampak mendengus kasar, ia tak tahu ke mana Atma akan membawanya. Terlebih lagi beberapa pekerjaannya belum selesai. Kini Bara menyesali keputusannya untuk berangkat meeting satu mobil dengan Atma, seharusnya ia membawa mobilnya sendiri, sehingga ia tak perlu terjebak pada situasi yang membingungkan.Berbeda dengan Clarita, wanita itu tampak bercengkrama bersama dengan Dean. Setelah berbincang cukup lama dengan Dean,
“At!” panggil Bara yang mendapatkan tatapan tajam dari sang pemilik nama. Bara yang mengerti jika saat ini Atma sedang tak ingin mendengarkannya pun memilih untuk diam dan menikmati setiap adegan roman yang mungkin akan tersuguh.Clarita berjalan tertatih, di belakangnya turut serta gadis dengan rambut sepinggang. Jendela kaca Atma yang tak ditutup sepenuhnya membuat ia berhasil mencuri dengar perbincangan keduanya. “Mba, mba tuh nyari siapa?” tanya Dean bingung.“Dean gak akan tahu siapa!” pekik Clarita tanpa sadar.“Ya makanya mba kasih tahu dong! Kalau mba diam saja bagaimana Dean tahu!” teriak Dean tak kalah tingginya.Bahu Clarita melemah, ia gelisah. Apakah ia harus berkata yang sesungguhnya pada Dean?“Mba, Dean sudah anggap mba seperti kakak Dean sendiri walau kita baru kenal. Dean sudah menceritakan semuanya, Mba masih gak percaya?”“Kita baru saja kenal, De.”Dean mendesah pasrah. “Memangnya kenapa, Mba? Bukannya mba sendiri yang bilang mba di sini seorang diri? Mba sendiri
“Saya sebagai orang tua kandung Danila Ayudia tentu menyerahkan semua keputusan di tangan putri kami. Kebahagiannya adalah kebahagian kami juga,” sahut Ganesha mengabaikan pertanyaan Danila. “Apa? Orang tua kandung? Maksudnya?” tanya Danila bingung ia pun melemparkan tatapan menuntut ke arah Bram. “Sayang, Tante Ratasya dan Om Ganesha adalah orang tua kandung kamu, yang selama ini disembunyikan oleh Pak Brahma, mereka –“ “Apaa‼” pekik Danila tak percaya. “Jadi? Yang kalian bicarakan saat persidangan itu aku?” tanya Danila tak percaya. “Iya sayang, kami memang orang tua kandungmu. Semua bermula dari … .” Ganesha mulai menceritakan awal mula Brahma merebut Danila darinya. Mulai saat Brahma merebut harta miliknya hingga ke kasus penculikan juga penyekapannya. Danila menyimak ucapan orang tuanya dengan begitu seksama, ia tak mau terlewatkan barang satu kata pun. Hingga ia sampai pada cerita tentang percobaan pembunuhan yang Brahma lakukan pada mereka, Danila mengeram tertahan, selama
“Aku ingin selalu seperti ini selamanya? Bisa ‘kan?” “Kamu ini bikin mas hampir jantungan saja. Sayang, hanya maut yang bisa memisahkan kisah cinta kita. Aku akan selalu berusaha selalu berada di sampingmu,” tutur Byan membuat hati Clarita menghangat dan kupu-kupu si perutnya berterbangan. “Mas nanti malam kita pakai ini saja ya? Acaranya kan di tepi pantai, aku juga gak bisa kalau pakai baju terbuka, alergi dingin. Untung suami aku gak dingin,” canda Clarita seraya menatap sang Suami manja. “Sayangg,” ujar Byan salah tingkah, pria itu menggaruk tengkuk lehernya yang tak gatal itu. Matahari pun mulai bergeser, menyisakan langit berwarna jingga dengan suara hiruk pikuk mobil yang berlalu lalang. Clarita baru saja keluar dari kamar mandi dengan handuk yang melilit di kepalanya, sedangkan sang Suami masih berkutat di meja kerjanya yang bersebelahan dengan kamar tidur mereka, Byan sengaja mendesain ruang kerjanya di dalam kamar hanya dengan memberi sekat kaca yang membatasi antara kama
“Perusahaan koleps, seluruh perusahaan besar menunda penanda tangannya MOU. Harga saham menurun drastis, beberapa vendor menagih pelunasan segera, kau ke mana saja?” ucap Mahen seraya membiarkan putranya membaca seluruh isi mapnya.“Kita bisa menangani ini sem –““Dengan cara apa? Sekarang saja perusahaan sudah tak ada kerja sama, oke masih ada tetapi itu hanya project remahan, kamu pikir itu bisa membayar semua tagihan? Belum lagi gaji pegawai. Seharusnya kamu memikirkan itu, kamu fokus membesarkan perusahaan ini bukan justru sibuk mengurus wanita dan anaknya yang penyakitan itu!”“Shut up, Pah! Apa papah tahu aku jadi seperti ini karena siapa? Karena anda! Anda yang selalu mengagalkan percintaanku anda yang selalu menghancurkan urusan hidupku sendiri. Kenapa? Karena anda terlalu ingin terlihat sempurna, padahal anda jauh lebih busuk daripada bangkai tikus.” Atma ber
“Gak papa kok, ya sudah kita masuk lagi yuk? Kayanya sudah waktunya mulai lagi persidangannya.” Mereka pun mengangguk setuju dengan ucapan Byan. Mereka pun kembali berjalan beriringan memasuki ruang sidang, siang ini mereka akan mendengar keputusam hakim atas perbuatan Brahma bertahun-tahun lalu.“Mas,” lirih Clarita mencekal lengan Byan. Pria itu menoleh dan menatap teduh sang Istri. “Aku takut.”“Pasrahkan semua ke Allah, ya. Semua akan baik-baik saja.” Clarita menghela napas seraya mengeratkan genggamannya di tangan sang Suami.Hakim dan seluruh jajaran pun mulai memasuki ruangan, setelah itu Brahma selaku tersangka utama telah hadir kembali di ruang sidang. Setelah persidangan kembali dibuka Jaksa penuntut umum kembali membacakan dakwaannya.“Dengan ini, kami memutuskan untuk menjatuhkan hukuman kepada Brahma Wijaya dengan pasal tersebut selama 25 tahun kurungan.”Bola mata Clarita nyaris terlepas dari tempatnya kala mendengar putusan hakim kepada pria yang selama ini anggap sebag
“Kita hanya bisa berpasrah diri, Dan. Kita sudah berusaha menegakkan keadilan semoga semua sesuai dengan harapan kita ya.”Waktu seakan begitu cepat berlalu, hari-hari berlalu begitu cepat. Sejak persidangan pertama kemarin kehidupan Danila terasa begitu nikmat dan ringan. Ia masih bekerja di toko kue milik sang Kakak. Sedangkan hubungan asmaranya masih terjalin dengan baik. Bram tak pernah menuntut hubungan ranjang pria itu justru mengarahkan Danila menjadi wanita yang lebih elegant.Lain halnya dengan Atma, pria itu justru semakin gencar mendekati Hanna. Ia bahkan tak peduli dengan penolakan yang terus Hanna berikan padanya. Hanna adalah harapan terakhir untuknya mendapatkan warisan dari sang Nenek, ia pun tak menyerah untuk mendapatkan Hanna kembali.“Han, percayalah padaku. Aku tak hanya membutuhkan Bayu, sejujurnya aku masih menyimpan rasa padamu, tetapi aku terlalu malu untuk mengakuinya. Apa tida
“Katakan apa yang sedang kau rencanakan?” tanya Hanna dengan tatapan penuh selidik.“Begini, aku dituntut untuk memiliki seorang anak. Dan kamu butuh sumsumku bukan? Bagaimana jika kita bekerja sama? Aku akan mencukupi semua kebutuhanmu dan Bayu tetapi menikahlah denganku.”Hanna pun tersenyum miring. “Jadi benar ‘kan dugaanku? Kamu mengejarku dan berbuat baik padaku itu tidak tulus dari dalam hati, apa ini memang sifat aslimu?”“Ayolah, Han. Aku butuh kerja sama ini, agar aku bisa terlepas dari ayahku. Aku akan menghidupi kalian dengan baik, aku juga akan memperlakukanmu dengan baik. Aku hanya butuh Bayu dan status ini agar warisan nenekku bisa segera aku miliki.”“Kamu berubah, At! Ini bukan Atma yang aku kenal!” pekik Hanna seraya berjalan menjauhi pria itu.“Han aku berubah begini karenamu! Aku tak lagi p
Tanpa mendengar ucapan karyawannya Clarita segera berjalan menuju tokonya. Ia menapaki setia anak tangga, samar-samar ia mendengar pertikaian dua orang wanita dan benar saja, ketika langkahnya tiba di lantai dua ia menemukan Danila tengah berdebat dengan seorang wanita paruh baya.“Danila tidak akan mau mencabut tuntutan Danila! Kalian berdua itu licik!” pekik Danila di depan wanita setengah baya. Dari posisinya berdiri Clarita tak dapat melihat dengan jelas siapa sosok yang tengah bertengkar dengannya.Langkah kaki Clarita semakin mendekat ke arah Danila, ia pun tiba di samping tubuh wanita yang menjadi lawan bicara adiknya itu. “Maaf ada apa ya?”“Clarita!” ujar wanita itu terkejut melihat sosok ayu Clarita berdiri di sampingnya. “Kau juga! Mengapa kau tidak tahu terima kasih? Suamiku mengurusmu sejak kecil! Jika tidak ada suamiku maka –“&ldquo
“Kamu ngomong apa sih sayang? Tanpa diminta pun aku akan segera meminangmu. Aku tidak akan membuang kamu begitu saja. Sesuai janjiku padamu, dan juga kamu berhasil membuatku merasakan getaran yang sudah lama tak pernah aku rasakan lagi, bahkan kamu ada untukku di kala aku down kemarin. Kamu ingat ‘kan?” Danila pun mengangguk dan mengulas senyum. Ia lantas kembali melanjutkan aktivitas ranjangnya. Matahari semakin berani menampakkan dirinya, ia mulai menyinari langit kota Semarang menjadi teman warga di sana memulai aktivitasnya. Ada yang berangkat ke sekolah, ada yang berangkat bekerja, ada juga yang berangkat bergosip. Dua insan yang baru saja berubah status percintaannya masih asyik bergelung di dalam selimut tebal dengan tubuh tanpa sehelai benang pun. Selepas shubuh tadi mereka memang kembali mengulang kegiatannya hingga tertidur karena kelelahan. Ketukan dan suara tangis bayi membangunkan keduanya. Clarita mengerjapkan kedua matanya, ia lantas bangkit dari tidurnya dan memilih
“Ini semua adalah dosa yang harus aku tanggung! Tetapi kenapa harus Bayu? Aku … aku tidak bisa hidup tanpanya.”Kening Atma semakin berkerut, ia semakin bingung dengan ucapan Hanna, wanita itu seolah membuat teka-teki untuknya. “Seharusnya malam itu aku tidak melakukan perbuatan dosa, dan berakhir seperti ini. Ke mana aku harus mencari pendonor yang cocok?”“Donor?”Saat Hanna akan menjelaskan ucapannya, pintu UGD terbuka menampilkan sosok wanita setengah baya dengan jas putih yang melekat di tubuhnya. “Dengan keluarga pasien?”“Saya ibunya, Dok!” Hanna berjalan cepat mendekati dokter itu.“Begini bu, kondisi adik Bayu semakin mengkhawatirkan. Kita harus segera menemukan pendonor tulang sumsum belakang untuk keselamatan putra Ibu. Karena kelainan darah bawaan yang Bayu idap sudah di tahap mengkhawatirkan. Saya berharap ibu bisa segera menemukan pendonor yang tepat, untuk saat ini kami hanya bisa memberikan transfusi darah namun itu tidak bisa kita lakukan terus menerus.”Mendengar per