Malam itu terasa semakin dingin seiring angin yang berhembus kencang, menggoyangkan dedaunan dan menciptakan suara gemerisik yang tak putus-putus. Langit kelam tanpa bintang, seolah turut menyembunyikan segala jawaban atas kekalutan hati. Grace duduk di bangku kayu bersama Wang, gurunya yang setia mendengarkan kegelisahannya. Dalam temaram cahaya bulan, wajah Grace terlihat suram, matanya menerawang jauh ke depan tanpa fokus.
Wang memecah keheningan. "Kenapa diam saja sejak tadi? Apa yang mengganggu pikiranmu, Grace?" Suaranya tenang, penuh perhatian, seperti biasa.
Grace menarik napas dalam-dalam, menahan getaran emosinya. "Guru... apa yang harus aku lakukan kalau suatu saat... mamaku kembali, tapi dia malah menjadi ibu tiri dari targetku?" ucapnya dengan suara lirih, nyaris tenggelam dalam gemuruh angin malam.
Wang mengernyitkan dahi. "Maksudmu... ibumu sudah kembali?" tanyanya, menatap Grace dengan penuh tanya.
Grace mengangguk pelan, namun raut wajahn
Ekin dan Emil berjalan tergesa-gesa ke arah Ethan. Tangan mereka masing-masing menggenggam senjata tajam, sisa pertarungan sebelumnya masih melekat pada tubuh mereka—darah dan luka kecil di beberapa bagian. Mereka terlihat panik, tapi tetap menjaga sikap hormat di hadapan bos mereka yang baru saja berhasil mengalahkan musuh dengan tangan kosong."Bos! Bos!" seru mereka serentak, suara mereka menggema di lorong gelap tempat mereka berdiri.Ethan, yang sedang membetulkan kerah jaketnya yang berlumur darah, mengangkat kepalanya. Tatapannya tajam seperti elang yang mengamati mangsanya."Bagaimana situasi di sana? Apakah sudah aman?" tanyanya dengan nada tegas, suaranya memerintah tanpa sedikit pun nada ragu.Emil, yang terlihat paling gelisah, segera menjawab. "Bos, mereka yang masih hidup berhasil lolos. Sepertinya mereka adalah utusan dari geng besar. Tapi mereka lebih memilih mati daripada membocorkan siapa yang ada di belakang mereka."
Tubuh Grace terhuyung saat pria itu menariknya keluar dari mobil. Meski pandangannya mulai kabur dan rasa sakit berdenyut di kepalanya, insting bertahan hidupnya mengambil alih. Dengan cepat, ia meraih tongkat yang ada di mobilnya dan, tanpa ragu, menghantam kepala pria itu sekuat tenaga."Aaahhh!" Jeritan pria itu menggema di jalan yang sepi, darah segar langsung mengucur dari lukanya. Namun, Grace tidak luput dari penderitaan. Darah dari luka di kepalanya terus mengalir, beberapa menetes ke wajahnya, membuatnya semakin sulit untuk fokus. Pandangannya semakin buram, tapi ia tetap berusaha berdiri, melawan kelemahannya.Pria kedua melangkah maju, kemarahan terpancar jelas di matanya. "Beraninya kau, perempuan!" teriaknya sambil mengangkat tangan, siap menyerang Grace yang terlihat hampir tak berdaya.Namun, sebelum pria itu sempat bertindak, sebuah tangan besar menahan pergelangan tangannya dengan kekuatan luar biasa. Pria itu terkejut, memutar kepalanya untuk m
"Setiap bertemu dengannya, pasti tidak ada hal yang baik," gumam Ethan lirih.---Di sisi lain, suasana di kediaman keluarga Hart jauh lebih tegang. Jamez baru saja melangkahkan kakinya melewati pintu rumah ketika suara ayahnya, Dom Hart, menggelegar di ruangan."Kenapa pihak kejaksaan bisa ikut campur? Kalau bukan karena mereka mendapatkan bukti kesalahanmu, mereka tidak akan bertindak kali ini!" bentak Dom dengan wajah merah padam, menatap putranya dengan sorot tajam yang penuh kekecewaan.Jamez, dengan santainya, melepas jaketnya dan melemparkannya ke sofa. "Pa, tidak usah cemaskan hal ini. Bukankah aku sudah bebas?" jawabnya, nadanya datar, seolah-olah masalah yang baru saja dihadapinya tak lebih dari sebuah gangguan kecil.Dom memukul meja di depannya, membuat Sammy yang berdiri di samping tampak semakin cemas. "Hanya sementara! Kau masih saja begitu santai dan seolah tidak melakukan kesalahan. Aku harus keluar masuk kantor jaksa, sangat
Grace membuka matanya perlahan, kepalanya masih terasa berdenyut. Pandangannya mengabur sejenak sebelum akhirnya fokus pada langit-langit kamar yang asing baginya. Dia mencoba mengingat apa yang terjadi sebelumnya, tapi rasa sakit di kepalanya membuat pikirannya kacau."Apa yang terjadi? Aku di mana?" gumamnya pelan, suaranya lemah namun penuh kebingungan.Grace memaksa dirinya bangkit dari tempat tidur. Dia menatap sekeliling kamar itu, tidak ada yang dikenalnya. Dengan langkah hati-hati, dia berjalan keluar dari kamar dan menuju ruang tamu. Di sana, samar-samar terlihat seseorang berdiri di balkon, tubuhnya dilingkupi asap rokok yang mengepul perlahan ke udara malam.Grace mengenali sosok itu dan langsung memanggil namanya. "Ethan Christoper?" tanyanya dengan nada terkejut. Namun, ketika tidak ada jawaban, dia menaikkan suaranya. "Tuan Christoper!"Ethan menoleh perlahan, matanya yang tajam langsung menatap Grace. Wajahnya menunjukkan sedikit keheranan,
"Untuk apa wanita itu menghubungimu?" tanya Ethan dengan nada tajam, matanya menatap lurus ke arah Grace."Kalau aku tidak salah menebak, dia pasti berharap aku melepaskan putranya," jawab Grace.Ethan mengerutkan dahi, rahangnya mengeras. "Tidak semudah itu. Niatnya sangat mencurigakan," ujarnya dengan penuh kewaspadaan.Grace tersenyum tipis, tapi itu bukan senyum ramah. "Apa pun tawarannya, aku tidak akan membiarkan dia berhasil," katanya dengan menahan emosi yang sudah menggelegak di dadanya.Ethan memandangnya dengan alis terangkat, tetapi sebelum ia sempat berkata lebih jauh, Grace sudah beranjak pergi. Dalam hati, Grace bergumul dengan perasaan yang sulit diungkapkan. "Mama, jangan membuatku semakin kecewa denganmu. Demi brengsek itu, kau rela menemuiku," batinnya.---Pertemuan Grace dan Sammy berlangsung di sebuah ruang terbuka yang dipenuhi kios-kios makanan. Meja mereka berada di sudut, cukup jauh dari keramaian, tetap
Grace menatap Nyonya Hart dengan senyuman yang penuh arti, tetapi sorot matanya tajam seperti pisau."Lalu, kenapa? Anda menggunakan nama menteri untuk mengancamku?" Grace bertanya, tetap dengan senyuman kecil di wajahnya. "Aku adalah seorang jaksa yang tidak bisa diancam. Nyonya, sangat memalukan kalau Anda hanya berani menggunakan nama menteri untuk melindungi anak Anda. Sebagai seorang ibu, harusnya Anda bisa mendidiknya dan bukan memanjakannya."Sammy Hart mendengus kecil, mencoba menahan emosi. Dia melipat tangannya di depan dada, seolah ingin menunjukkan bahwa dirinya tidak akan gentar. "Anakku adalah anak yang bertanggung jawab. Dia hanya dituduh. Bukti yang kamu dapatkan sama sekali tidak benar. Jaksa Shin, aku berharap kamu menggunakan statusmu dengan cerdas," katanya, dengan nada yang berusaha terdengar tegas.Grace menatapnya tanpa gentar, senyumnya sedikit melebar. "Aku selama ini cukup cerdas, Nyonya Hart," jawabnya tenang. "Tolong nasehati pu
Siang hari di kota Paris, cuaca buruk mengintai. Hujan deras mengguyur dan petir kuat menyambar tanpa henti. Di sebuah gedung kosong, seorang pria berambut putih sedang melakukan pelecehan terhadap seorang wanita. Wajah wanita itu terlihat putus asa, air mata mengalir deras, namun pria itu terus saja melanjutkan perbuatannya dengan desahan penuh kenikmatan hingga mencapai puncaknya.Setelah selesai, pria itu dengan santai mengenakan kembali celananya dan meninggalkan wanita itu begitu saja. Tanpa peduli pada hujan deras yang menghantam tubuhnya, dia pergi dengan tergesa, seolah takut dikenali oleh warga sekitar.Beberapa saat kemudian, pria itu tiba di rumahnya. Begitu melangkah masuk, ia langsung berteriak penuh amarah, "Sammi! Mana makan siangku? Kenapa kau tidak menyediakannya?"Suara teriakannya menggema di seluruh ruangan. Seorang gadis remaja keluar dari kamarnya dengan wajah tegang, matanya berkaca-kaca saat ia menjawab dengan nada penuh kemarahan yang ditahan, "Mama sudah perg
Ethan, setelah memuaskan hasrat yang disebabkan oleh pengaruh obat itu, terbaring lemas di kursi mobil. Nafasnya terengah-engah sebelum akhirnya ia kehilangan kesadaran, tidak menyadari kekejaman yang baru saja ia lakukan.Sementara itu, Grace hanya bisa menangis. Hatinya hancur, tubuhnya lemah, dan air matanya mengalir deras. Kehormatannya direnggut tanpa ampun, oleh seorang pria yang tak dikenalnya. Dalam ketakutan dan rasa malu yang mendalam, Grace berusaha keluar dari mobil itu dengan langkah terseok-seok. Tubuhnya terasa seperti dihantam ribuan jarum, namun ia tak punya pilihan selain pergi secepat mungkin dari tempat itu. Ia tak ingin mengingat atau mengetahui lebih lanjut tentang wajah pria yang telah menghancurkannya. Ia berjalan tertatih-tatih di jalanan yang gelap, berusaha menahan sakit yang menjalar di seluruh tubuhnya. Tangisnya semakin keras, namun tempat itu terlalu sepi, tak ada satu pun yang mendengar ratapannya. Malam itu menjadi saksi kesedihannya yang mendalam.K
Grace menatap Nyonya Hart dengan senyuman yang penuh arti, tetapi sorot matanya tajam seperti pisau."Lalu, kenapa? Anda menggunakan nama menteri untuk mengancamku?" Grace bertanya, tetap dengan senyuman kecil di wajahnya. "Aku adalah seorang jaksa yang tidak bisa diancam. Nyonya, sangat memalukan kalau Anda hanya berani menggunakan nama menteri untuk melindungi anak Anda. Sebagai seorang ibu, harusnya Anda bisa mendidiknya dan bukan memanjakannya."Sammy Hart mendengus kecil, mencoba menahan emosi. Dia melipat tangannya di depan dada, seolah ingin menunjukkan bahwa dirinya tidak akan gentar. "Anakku adalah anak yang bertanggung jawab. Dia hanya dituduh. Bukti yang kamu dapatkan sama sekali tidak benar. Jaksa Shin, aku berharap kamu menggunakan statusmu dengan cerdas," katanya, dengan nada yang berusaha terdengar tegas.Grace menatapnya tanpa gentar, senyumnya sedikit melebar. "Aku selama ini cukup cerdas, Nyonya Hart," jawabnya tenang. "Tolong nasehati pu
"Untuk apa wanita itu menghubungimu?" tanya Ethan dengan nada tajam, matanya menatap lurus ke arah Grace."Kalau aku tidak salah menebak, dia pasti berharap aku melepaskan putranya," jawab Grace.Ethan mengerutkan dahi, rahangnya mengeras. "Tidak semudah itu. Niatnya sangat mencurigakan," ujarnya dengan penuh kewaspadaan.Grace tersenyum tipis, tapi itu bukan senyum ramah. "Apa pun tawarannya, aku tidak akan membiarkan dia berhasil," katanya dengan menahan emosi yang sudah menggelegak di dadanya.Ethan memandangnya dengan alis terangkat, tetapi sebelum ia sempat berkata lebih jauh, Grace sudah beranjak pergi. Dalam hati, Grace bergumul dengan perasaan yang sulit diungkapkan. "Mama, jangan membuatku semakin kecewa denganmu. Demi brengsek itu, kau rela menemuiku," batinnya.---Pertemuan Grace dan Sammy berlangsung di sebuah ruang terbuka yang dipenuhi kios-kios makanan. Meja mereka berada di sudut, cukup jauh dari keramaian, tetap
Grace membuka matanya perlahan, kepalanya masih terasa berdenyut. Pandangannya mengabur sejenak sebelum akhirnya fokus pada langit-langit kamar yang asing baginya. Dia mencoba mengingat apa yang terjadi sebelumnya, tapi rasa sakit di kepalanya membuat pikirannya kacau."Apa yang terjadi? Aku di mana?" gumamnya pelan, suaranya lemah namun penuh kebingungan.Grace memaksa dirinya bangkit dari tempat tidur. Dia menatap sekeliling kamar itu, tidak ada yang dikenalnya. Dengan langkah hati-hati, dia berjalan keluar dari kamar dan menuju ruang tamu. Di sana, samar-samar terlihat seseorang berdiri di balkon, tubuhnya dilingkupi asap rokok yang mengepul perlahan ke udara malam.Grace mengenali sosok itu dan langsung memanggil namanya. "Ethan Christoper?" tanyanya dengan nada terkejut. Namun, ketika tidak ada jawaban, dia menaikkan suaranya. "Tuan Christoper!"Ethan menoleh perlahan, matanya yang tajam langsung menatap Grace. Wajahnya menunjukkan sedikit keheranan,
"Setiap bertemu dengannya, pasti tidak ada hal yang baik," gumam Ethan lirih.---Di sisi lain, suasana di kediaman keluarga Hart jauh lebih tegang. Jamez baru saja melangkahkan kakinya melewati pintu rumah ketika suara ayahnya, Dom Hart, menggelegar di ruangan."Kenapa pihak kejaksaan bisa ikut campur? Kalau bukan karena mereka mendapatkan bukti kesalahanmu, mereka tidak akan bertindak kali ini!" bentak Dom dengan wajah merah padam, menatap putranya dengan sorot tajam yang penuh kekecewaan.Jamez, dengan santainya, melepas jaketnya dan melemparkannya ke sofa. "Pa, tidak usah cemaskan hal ini. Bukankah aku sudah bebas?" jawabnya, nadanya datar, seolah-olah masalah yang baru saja dihadapinya tak lebih dari sebuah gangguan kecil.Dom memukul meja di depannya, membuat Sammy yang berdiri di samping tampak semakin cemas. "Hanya sementara! Kau masih saja begitu santai dan seolah tidak melakukan kesalahan. Aku harus keluar masuk kantor jaksa, sangat
Tubuh Grace terhuyung saat pria itu menariknya keluar dari mobil. Meski pandangannya mulai kabur dan rasa sakit berdenyut di kepalanya, insting bertahan hidupnya mengambil alih. Dengan cepat, ia meraih tongkat yang ada di mobilnya dan, tanpa ragu, menghantam kepala pria itu sekuat tenaga."Aaahhh!" Jeritan pria itu menggema di jalan yang sepi, darah segar langsung mengucur dari lukanya. Namun, Grace tidak luput dari penderitaan. Darah dari luka di kepalanya terus mengalir, beberapa menetes ke wajahnya, membuatnya semakin sulit untuk fokus. Pandangannya semakin buram, tapi ia tetap berusaha berdiri, melawan kelemahannya.Pria kedua melangkah maju, kemarahan terpancar jelas di matanya. "Beraninya kau, perempuan!" teriaknya sambil mengangkat tangan, siap menyerang Grace yang terlihat hampir tak berdaya.Namun, sebelum pria itu sempat bertindak, sebuah tangan besar menahan pergelangan tangannya dengan kekuatan luar biasa. Pria itu terkejut, memutar kepalanya untuk m
Ekin dan Emil berjalan tergesa-gesa ke arah Ethan. Tangan mereka masing-masing menggenggam senjata tajam, sisa pertarungan sebelumnya masih melekat pada tubuh mereka—darah dan luka kecil di beberapa bagian. Mereka terlihat panik, tapi tetap menjaga sikap hormat di hadapan bos mereka yang baru saja berhasil mengalahkan musuh dengan tangan kosong."Bos! Bos!" seru mereka serentak, suara mereka menggema di lorong gelap tempat mereka berdiri.Ethan, yang sedang membetulkan kerah jaketnya yang berlumur darah, mengangkat kepalanya. Tatapannya tajam seperti elang yang mengamati mangsanya."Bagaimana situasi di sana? Apakah sudah aman?" tanyanya dengan nada tegas, suaranya memerintah tanpa sedikit pun nada ragu.Emil, yang terlihat paling gelisah, segera menjawab. "Bos, mereka yang masih hidup berhasil lolos. Sepertinya mereka adalah utusan dari geng besar. Tapi mereka lebih memilih mati daripada membocorkan siapa yang ada di belakang mereka."
Malam itu terasa semakin dingin seiring angin yang berhembus kencang, menggoyangkan dedaunan dan menciptakan suara gemerisik yang tak putus-putus. Langit kelam tanpa bintang, seolah turut menyembunyikan segala jawaban atas kekalutan hati. Grace duduk di bangku kayu bersama Wang, gurunya yang setia mendengarkan kegelisahannya. Dalam temaram cahaya bulan, wajah Grace terlihat suram, matanya menerawang jauh ke depan tanpa fokus.Wang memecah keheningan. "Kenapa diam saja sejak tadi? Apa yang mengganggu pikiranmu, Grace?" Suaranya tenang, penuh perhatian, seperti biasa.Grace menarik napas dalam-dalam, menahan getaran emosinya. "Guru... apa yang harus aku lakukan kalau suatu saat... mamaku kembali, tapi dia malah menjadi ibu tiri dari targetku?" ucapnya dengan suara lirih, nyaris tenggelam dalam gemuruh angin malam.Wang mengernyitkan dahi. "Maksudmu... ibumu sudah kembali?" tanyanya, menatap Grace dengan penuh tanya.Grace mengangguk pelan, namun raut wajahn
"Jaksa Shin," Sammy membaca kartu nama yang tergantung di leher Grace dengan suara bergetar, penuh emosi. "Kalau menurutmu ada bukti yang menunjukkan kesalahan anakku, keluarkan sekarang juga! Jangan sembarangan menuduh tanpa dasar!"Grace menatap Sammy dengan tenang, membiarkan wanita itu meluapkan emosinya. Dia tahu, sikap tenang adalah senjatanya. "Nyonya Hart," ucap Grace akhirnya, suaranya tegas namun tetap sopan. "Kami tidak bekerja tanpa bukti. Setiap langkah kami berdasarkan fakta yang ada."Sammy melipat tangan di dada, matanya tak lepas dari wajah Grace. "Bukti? Mana buktinya? Aku ingin melihat sendiri. Anakku tidak bersalah. Dia bukan tipe orang yang akan melakukan hal seperti itu."Grace mengangguk, tetap menjaga profesionalismenya. "Saya memahami perasaan Anda, sebagai seorang ibu. Namun, saat ini kami membutuhkan kerja sama Anda berdua. Silakan Anda berdua ikut ke ruang interogasi. Ada beberapa hal yang perlu kami klarifikasi."Setelah inter
Langit mendung menyelimuti kantor kejaksaan, seolah menggambarkan suasana hati pria paruh baya yang memasuki ruangan dengan langkah berat namun penuh emosi. Di sampingnya, seorang wanita berpenampilan anggun namun dengan tatapan penuh amarah berdiri tegak, seakan siap menghadapi siapapun yang menghalangi jalan mereka. Mereka adalah Dom Hart dan Sammy. yang datang untuk mencari putra mereka, Jamez.“Di mana putraku?” suara Dom menggema, keras dan menusuk, memaksa setiap kepala dalam ruangan itu menoleh ke arahnya.Billy, salah satu jaksa muda di tempat itu, mendongak dari berkas-berkas yang sedang diteliti. Dia berdiri dengan sikap profesional, meskipun ketegangan mulai terasa. “Tuan, Anda siapa?” tanyanya dengan sopan namun tegas.Dom melangkah maju, setiap langkahnya seolah menghentak lantai. “Kalian sangat keterlaluan! Berani sekali menyentuh anakku! Bebaskan dia sekarang juga!” katanya dengan nada penuh kemarahan yang membuat ruangan itu terasa sesak.Billy tetap menjaga ketenangan