Ekin dan Emil berjalan tergesa-gesa ke arah Ethan. Tangan mereka masing-masing menggenggam senjata tajam, sisa pertarungan sebelumnya masih melekat pada tubuh mereka—darah dan luka kecil di beberapa bagian. Mereka terlihat panik, tapi tetap menjaga sikap hormat di hadapan bos mereka yang baru saja berhasil mengalahkan musuh dengan tangan kosong.
"Bos! Bos!" seru mereka serentak, suara mereka menggema di lorong gelap tempat mereka berdiri.
Ethan, yang sedang membetulkan kerah jaketnya yang berlumur darah, mengangkat kepalanya. Tatapannya tajam seperti elang yang mengamati mangsanya.
"Bagaimana situasi di sana? Apakah sudah aman?" tanyanya dengan nada tegas, suaranya memerintah tanpa sedikit pun nada ragu.
Emil, yang terlihat paling gelisah, segera menjawab. "Bos, mereka yang masih hidup berhasil lolos. Sepertinya mereka adalah utusan dari geng besar. Tapi mereka lebih memilih mati daripada membocorkan siapa yang ada di belakang mereka."
Tubuh Grace terhuyung saat pria itu menariknya keluar dari mobil. Meski pandangannya mulai kabur dan rasa sakit berdenyut di kepalanya, insting bertahan hidupnya mengambil alih. Dengan cepat, ia meraih tongkat yang ada di mobilnya dan, tanpa ragu, menghantam kepala pria itu sekuat tenaga."Aaahhh!" Jeritan pria itu menggema di jalan yang sepi, darah segar langsung mengucur dari lukanya. Namun, Grace tidak luput dari penderitaan. Darah dari luka di kepalanya terus mengalir, beberapa menetes ke wajahnya, membuatnya semakin sulit untuk fokus. Pandangannya semakin buram, tapi ia tetap berusaha berdiri, melawan kelemahannya.Pria kedua melangkah maju, kemarahan terpancar jelas di matanya. "Beraninya kau, perempuan!" teriaknya sambil mengangkat tangan, siap menyerang Grace yang terlihat hampir tak berdaya.Namun, sebelum pria itu sempat bertindak, sebuah tangan besar menahan pergelangan tangannya dengan kekuatan luar biasa. Pria itu terkejut, memutar kepalanya untuk m
"Setiap bertemu dengannya, pasti tidak ada hal yang baik," gumam Ethan lirih.---Di sisi lain, suasana di kediaman keluarga Hart jauh lebih tegang. Jamez baru saja melangkahkan kakinya melewati pintu rumah ketika suara ayahnya, Dom Hart, menggelegar di ruangan."Kenapa pihak kejaksaan bisa ikut campur? Kalau bukan karena mereka mendapatkan bukti kesalahanmu, mereka tidak akan bertindak kali ini!" bentak Dom dengan wajah merah padam, menatap putranya dengan sorot tajam yang penuh kekecewaan.Jamez, dengan santainya, melepas jaketnya dan melemparkannya ke sofa. "Pa, tidak usah cemaskan hal ini. Bukankah aku sudah bebas?" jawabnya, nadanya datar, seolah-olah masalah yang baru saja dihadapinya tak lebih dari sebuah gangguan kecil.Dom memukul meja di depannya, membuat Sammy yang berdiri di samping tampak semakin cemas. "Hanya sementara! Kau masih saja begitu santai dan seolah tidak melakukan kesalahan. Aku harus keluar masuk kantor jaksa, sangat
Grace membuka matanya perlahan, kepalanya masih terasa berdenyut. Pandangannya mengabur sejenak sebelum akhirnya fokus pada langit-langit kamar yang asing baginya. Dia mencoba mengingat apa yang terjadi sebelumnya, tapi rasa sakit di kepalanya membuat pikirannya kacau."Apa yang terjadi? Aku di mana?" gumamnya pelan, suaranya lemah namun penuh kebingungan.Grace memaksa dirinya bangkit dari tempat tidur. Dia menatap sekeliling kamar itu, tidak ada yang dikenalnya. Dengan langkah hati-hati, dia berjalan keluar dari kamar dan menuju ruang tamu. Di sana, samar-samar terlihat seseorang berdiri di balkon, tubuhnya dilingkupi asap rokok yang mengepul perlahan ke udara malam.Grace mengenali sosok itu dan langsung memanggil namanya. "Ethan Christoper?" tanyanya dengan nada terkejut. Namun, ketika tidak ada jawaban, dia menaikkan suaranya. "Tuan Christoper!"Ethan menoleh perlahan, matanya yang tajam langsung menatap Grace. Wajahnya menunjukkan sedikit keheranan,
"Untuk apa wanita itu menghubungimu?" tanya Ethan dengan nada tajam, matanya menatap lurus ke arah Grace."Kalau aku tidak salah menebak, dia pasti berharap aku melepaskan putranya," jawab Grace.Ethan mengerutkan dahi, rahangnya mengeras. "Tidak semudah itu. Niatnya sangat mencurigakan," ujarnya dengan penuh kewaspadaan.Grace tersenyum tipis, tapi itu bukan senyum ramah. "Apa pun tawarannya, aku tidak akan membiarkan dia berhasil," katanya dengan menahan emosi yang sudah menggelegak di dadanya.Ethan memandangnya dengan alis terangkat, tetapi sebelum ia sempat berkata lebih jauh, Grace sudah beranjak pergi. Dalam hati, Grace bergumul dengan perasaan yang sulit diungkapkan. "Mama, jangan membuatku semakin kecewa denganmu. Demi brengsek itu, kau rela menemuiku," batinnya.---Pertemuan Grace dan Sammy berlangsung di sebuah ruang terbuka yang dipenuhi kios-kios makanan. Meja mereka berada di sudut, cukup jauh dari keramaian, tetap
Grace menatap Nyonya Hart dengan senyuman yang penuh arti, tetapi sorot matanya tajam seperti pisau."Lalu, kenapa? Anda menggunakan nama menteri untuk mengancamku?" Grace bertanya, tetap dengan senyuman kecil di wajahnya. "Aku adalah seorang jaksa yang tidak bisa diancam. Nyonya, sangat memalukan kalau Anda hanya berani menggunakan nama menteri untuk melindungi anak Anda. Sebagai seorang ibu, harusnya Anda bisa mendidiknya dan bukan memanjakannya."Sammy Hart mendengus kecil, mencoba menahan emosi. Dia melipat tangannya di depan dada, seolah ingin menunjukkan bahwa dirinya tidak akan gentar. "Anakku adalah anak yang bertanggung jawab. Dia hanya dituduh. Bukti yang kamu dapatkan sama sekali tidak benar. Jaksa Shin, aku berharap kamu menggunakan statusmu dengan cerdas," katanya, dengan nada yang berusaha terdengar tegas.Grace menatapnya tanpa gentar, senyumnya sedikit melebar. "Aku selama ini cukup cerdas, Nyonya Hart," jawabnya tenang. "Tolong nasehati pu
Ethan berusaha berpikir dengan keras, berbagai ingatan bercampur di kepalanya, membuatnya merasa gelisah. Wajah Sammy, yang kini mulai terasa begitu familiar, terus menghantui pikirannya.“Foto keluarga yang aku temukan di kamar Grace...” gumamnya, memejamkan mata sejenak, mencoba menyusun potongan ingatan itu dengan lebih jelas. “Wanita di sampingnya adalah ibunya, dan dia... Sammy?” Ethan membuka matanya perlahan, menyadari keterkaitan yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya.Dia menyandarkan tubuhnya di kursi mobil dan menghela napas kasar. “Wanita ini benar-benar mengejutkan,” gumamnya dengan suara rendah namun penuh emosi. “Dalam situasi seperti ini, dia malah bertemu dengan ibunya yang sudah lama hilang. Dan kini kembali dengan status ibu tiri dari tersangka. Apa yang akan dilakukan jaksa itu?” ucapnya seraya menatap tajam ke arah rumah tua di depan sana.Matanya terus mengawasi langkah Grace yang kian mende
Grace yang masih tenggelam dalam ketidaksadaran, tampak seolah-olah sedang terjebak dalam mimpi buruk yang tak berkesudahan. Keringat dingin mengalir di sepanjang pelipisnya, membasahi wajahnya yang pucat. Tubuhnya gelisah, seolah-olah berjuang melawan sesuatu yang tak terlihat.Dalam mimpinya, bayangan hitam masa lalu kembali menyeruak. Saat ia berdiri dengan pisau di tangan, dan ayahnya terjatuh bersimbah darah. Kilasan peristiwa itu selalu hadir seperti mimpi buruk yang tak pernah berakhir, menahan napasnya dan mencengkeram pikirannya."Aku akan menghantuimu seumur hidupmu," suara ayahnya yang serak dan menyeramkan bergema, memenuhi ruang dalam mimpinya. Kata-kata itu seperti belati yang menusuk ke dalam jiwanya, menambah beban rasa bersalah yang sudah terlalu berat."Pa, maaf. Aku terpaksa membunuhmu," gumam Grace dengan suara parau, diiringi isakan kecil. Kepalanya bergerak gelisah di atas bantal, menolak kenyataan yang menghantui bahkan dalam ketidaksadara
Malam itu, suasana di balkon terasa hening, hanya terdengar suara angin malam yang menyapu lembut. Grace duduk di salah satu kursi dengan kaleng minuman keras di tangannya, sesekali meneguk isinya. Tatapannya kosong, seperti sedang melayang di tempat lain. Ethan duduk di seberangnya menatap wanita itu dengan ekspresi serius, matanya memancarkan keteguhan yang sulit diterjemahkan."Sammy adalah ibumu, bukan?" tanya Ethan tiba-tiba, suaranya tenang namun penuh arti.Grace tersentak kecil. Ia menoleh dengan tatapan curiga, namun tetap berusaha menjaga ketenangannya. "Kenapa kamu bisa mengetahuinya?" tanyanya, nada suaranya datar, meski ada sedikit gemuruh di hatinya.Ethan mengangkat bahunya ringan, lalu meneguk minumannya. "Tidak ada yang bisa menutupi sesuatu dariku. Rumah itu… adalah rumah lamamu. Kalau tahu itu adalah tempat yang membuatmu sakit, kenapa harus kembali?" tanyanya dengan nada yang lebih lembut, tapi tetap menusuk.Grace menghela napa
"Wilson, ikut Mama pulang. Karena ada yang harus Mama selesaikan!" kata Grace dengan nada tegas, meskipun hatinya terasa berat. Wilson, yang biasanya ceria, hanya menatap ibunya dengan bingung. Ia menangkap sesuatu yang berbeda di wajah Grace. Mata Grace berkaca-kaca, seolah menahan sesuatu yang hampir meledak, namun Wilson memilih diam.Beberapa saat kemudianEthan tiba di rumah dengan wajah penuh kegelisahan. Langkahnya cepat, tapi hatinya terasa berat. Begitu masuk ke kamar, ia melihat laporan DNA yang tergeletak di atas meja. Amplop itu kini tampak seperti bukti nyata yang tak bisa ia abaikan. Ethan menghela napas panjang, lalu mengambil laporan itu dengan tangan yang bergetar."Grace, sudah melihatnya," gumam Ethan, usai membaca laporan itu untuk yang kesekian kalinya. Ia mengusap wajah dengan frustrasi, mencoba mengurai kekacauan dalam pikirannya. Tatapannya beralih ke arah kasur, yang hanya terlihat mainan Wilson.Apartemen GraceGrace duduk
Ethan yang terdiam seketika seolah sedang teringat sesuatu, mendadak merasa panik. "Gawat! Laporan DNA ada di rumahku. Aku menyimpannya di kamar, dan aku juga tidak mengunci pintunya. Karena Wilson suka tidur di kamarku," batin Ethan, yang langsung berlari mengejar Grace."Grace Anderson, tunggu aku!" teriak Ethan sambil keluar dari markas dengan wajah penuh kecemasan."Bos, Jaksa itu sudah pergi," ujar salah satu anak buahnya, memberikan informasi dengan raut khawatir melihat reaksi bosnya.Tanpa menjawab, Ethan langsung masuk ke dalam mobilnya. Ia menyalakan mesin dan melajukan kendaraan dengan kecepatan tinggi, tak peduli pandangan heran dari anak buahnya."Kenapa aku begitu lalai? Seharusnya aku kunci laci mejaku," gumam Ethan, sambil menggenggam erat setir. Matanya fokus ke jalanan di depannya, berusaha melewati kendaraan yang menghalangi. Mobil Grace sudah jauh di depan, dan Ethan harus mengejarnya sebelum sesuatu yang tidak diinginkan terjadi
Grace mengemudikan mobilnya dengan perasaan lega. Ia baru saja menyelesaikan misi penting, menahan Dom Hart dan putranya, James, dua sosok yang selama ini selalu lolos dari kesalahan."Sammy, mungkin lebih baik kita tidak bertemu lagi. Anggap saja kita tidak pernah saling kenal. Aku sudah memiliki hidupku sendiri, dan kamu pilih jalanmu sendiri," gumamnya dengan suara penuh tekad, mencoba menghapus bayangan masa lalu yang mungkin akan mengganggu jalannya ke depan.Beberapa saat kemudian, Grace menghentikan mobilnya di depan sebuah gedung besar dengan penjagaan ketat—markas Ethan Christoper. Ia menghela napas panjang sebelum keluar dari mobilnya. Dengan langkah mantap, ia berjalan menuju pintu utama yang dijaga beberapa anak buah Ethan."Jaksa Shin? Kenapa Anda bisa ada di sini?" tanya Emil, dengan nada terkejut.Grace menatapnya tajam. "Aku ingin bertemu dengan Ethan. Apakah dia ada di sini?""Ada, dia sedang di kantornya. Silakan saja," jawa
Grace dan timnya melangkah masuk ke dalam ruangan, suasana menjadi tegang seketika. Matanya langsung tertuju pada Dom dan Jamez yang tergeletak di lantai, darah mengalir deras dari betis mereka, dengan senjata tajam yang menancap dalam. Pemandangan itu membuat Grace terdiam sejenak, namun ia segera menguasai diri."Bawa mereka pergi!" perintah Grace dengan suara tegas, matanya tetap tajam.Grace kemudian memandang keluar, perasaannya tiba-tiba menjadi kaku. Ia melihat sosok seorang pria yang tak asing baginya. Tubuhnya mendadak tegang."Kenapa dia bisa ada di sini?" batin Grace, matanya menyipit, mencari tahu apakah ia salah lihat atau tidak.Teriakan Sammy keras memecah ketegangan. "Lepaskan suami dan anakku! Jangan sentuh mereka!" Sammy berlari ke depan, berusaha menghalangi para jaksa yang hendak memborgol Dom dan Jamez. Suaranya penuh emosi, penuh kekhawatiran.Sammy yang kesal menoleh ke arah Grace, matanya berkilat tajam dengan kemarahan yang
Berita gempar di siang itu mengguncang masyarakat. Namun, bukan bencana alam yang menjadi perhatian, melainkan pengungkapan kasus besar yang melibatkan pejabat-pejabat korup. Nama-nama besar seperti Dom Hart dan James Hart tercantum dalam daftar penangkapan, membuat kegemparan meluas di seluruh kota.Kemarahan masyarakat memuncak. Mereka mencemooh para pejabat yang telah mengkhianati kepercayaan rakyat. Negara yang seharusnya makmur dan adil, kembali tercoreng oleh skandal korupsi. Gelombang protes mulai terlihat, baik di jalanan maupun di media sosial, menuntut keadilan ditegakkan tanpa pandang bulu.Di tengah kekacauan tersebut, Grace dan timnya tidak tinggal diam. Dengan langkah tegas, mereka mendatangi gedung kementerian, membawa surat perintah penangkapan. Setiap langkah mereka mencerminkan determinasi dan keberanian.Setibanya di gedung para menteri, Grace mengetuk pintu utama dengan tangan yang mantap. "Kami dari tim penegakan hukum. Ini surat perintah pe
"Kau tidak percaya dengan kataku?" tanya dengan nada serius. Ia melipat kedua tangannya di dada, menatap Grace dengan tajam.Grace menghela napas panjang sebelum menjawab, berusaha menenangkan pikirannya. "Wilson tidak ada hubungan darah denganmu. Tidak ada alasan kau menjadikannya sebagai penerusmu," jawabnya tegas, mencoba menyampaikan logika di balik pemikirannya.Ethan mengangkat alis, senyumnya samar tapi penuh arti. "Aku dan Wilson sangat cocok. Dia juga menyukaiku!" katanya dengan percaya diri, seolah hal itu cukup untuk membenarkan tindakannya.Grace memutar bola matanya, merasa sulit untuk menerima alasan Ethan. "Aku akan segera menjemputnya," ujarnya dengan suara dingin. "Tidak baik tinggal di rumahmu begitu lama. Anak ini akan terbiasa jika dibiarkan seperti ini."Ethan mendengus kecil, tampak tidak setuju. "Jangan terlalu keras," ucapnya pelan namun tegas, nada suaranya sedikit melembut. "Lagi pula, kau sibuk seharian. Kalau dia bersamaku, dia aman. Ada anggotaku yang men
Sementara itu, di halaman belakang markas, Ethan berdiri sambil memandang pemandangan yang jarang ia nikmati—putranya, Wilson, tengah bermain dengan beberapa anggota gengnya. Suara tawa Wilson bergema di udara, membawa kehangatan yang hampir membuat Ethan lupa akan masalah-masalah berat yang menantinya. Wilson tampak begitu gembira, berlari mengejar salah satu anggota yang pura-pura menyerah. Untuk sesaat, dunia Ethan terasa lebih ringan.Namun, keheningan Ethan terusik ketika Emil mulai membuka topik pembicaraan, "Bos, hasil tes DNA sudah keluar. Bagaimana Bos akan menjelaskan ini kepada Jaksa Shin?" tanya Emil dengan nada penuh kehati-hatian.Ethan mengambil amplop itu tanpa berkata-kata, menatapnya sejenak sebelum membuka hasil yang sudah ia duga. "Dia pasti akan menyerang Bos setelah mengetahui kenyataannya," timpal Ekin, yang berdiri di samping Emil, memperhatikan ekspresi bos mereka dengan cermat.Ethan menarik napas panjang, lalu menatap mereka deng
Wilson memperhatikan keanehan pada Ethan. Pria yang biasanya terlihat tenang dan tak tersentuh itu tampak berbeda hari ini. Matanya terlihat merah, seolah sedang menahan sesuatu yang ingin tumpah.“Apakah Paman sedang menangis?” tanya Wilson dengan nada polos namun penuh rasa ingin tahu. Anak kecil itu menatap Ethan dengan pandangan tajam, seolah berusaha membaca apa yang tersembunyi di balik wajah sang pria dewasa.Ethan terdiam sejenak, menarik napas panjang sebelum menjawab. “Tidak,” katanya sambil mengusap kepala Wilson dengan lembut, mencoba menghilangkan kecemasan di wajah bocah itu.“Lalu, kenapa mata Paman merah? Apakah terjadi sesuatu?” tanya Wilson lagi. Kali ini nadanya lebih serius, seperti seseorang yang tak mudah dibohongi.Ethan tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan emosinya. “Paman hanya bangga padamu, Wilson. Di usiamu yang masih kecil, kamu sudah bisa mandiri dan bersikap dewasa,” jawabn
"Kenapa kau harus bersikap egois? Hidupku sudah hancur karena ayahmu. Dan kenapa sekarang kau tidak melepaskan aku? Cecillia, kau bisa pura-pura tidak tahu. Lupakan saja kami. Masih banyak penjahat yang harus kau tahan. Kenapa hanya kami yang menjadi sasaranmu," ujar Sammy dengan suara bergetar. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya, matanya memancarkan rasa frustasi yang mendalam.Grace menatap wanita di depannya dengan tajam, napasnya memburu, tetapi ia berusaha tetap tenang. "Hancur hidupmu? Sehancur apa? Setelah pergi dari rumah, kamu bertemu dengan orang kaya dan menikah dengannya. Apakah ini masih dianggap hancur?" Ia tertawa sinis, namun suaranya penuh luka yang tertahan. "Lalu, bagaimana denganku? Apakah aku tidak hancur? Ketakutan, kedinginan, bahkan bermimpi buruk selama dua belas tahun! Kau menikmati hidup mewah selama ini. Sedangkan aku menghadapi semua masalah dengan cara sendiri. Kau tidak pernah ada untukku. Kau tidak layak menyalahkan aku!"Sammy terdiam