[POV Adrian]
-----
Ruang hening seperti rumah sakit di malam hari. Tuan John mengelus-elus lengannya, tepat di bagian yang aku tato.
"Kamu tahu Nak, apa yang dibutuhkan artis tato selain skill menato?"
Pertanyaan ini pasti bukan pertanyaan biasa. Ini tentang karirku, ini tentang masa depan. Aku tidak boleh salah menjawab, tapi kira-kira apa yang dibutuhkan selain skill?
Sesekali Tuan John menoleh memandangku, lalu fokus ke lengannya. "Carl, apa kau bisa menjawab?"
Seperti diriku, Carl juga blank. Dia menggaruk kepala sangat kencang, mungkin sampai kuku jari tangannya panas. Berbeda denganku, dia bisa mengarang.
"Koneksi
[POV Adrian] ----- Netraku seperti besi yang tertarik magnet, gagal berpaling dari wanita berpakaian kaos ketat dan celana jeans panjang. Dia pun salah tingkah, mengusap tengkuknya, tertunduk, mengintip ke arah wajahku berulang kali. Suara kekeh Tuan John membuatku berpaling dari bidadari dunia. Beliau berkomentar, "Sepertinya kau benar Carl, ketampanan dan kecantikan juga berpengaruh pada nasib manusia." Ucapan paman seperti balsem yang membuat wajahku memanas. Segera kuganti arah pandangan ke kertas kontrak, berniat menandatangani lembar terakhir di sana. "Ada apa Bibi Elisa?" tanya Carl, suaranya membuatku
[POV Fany] ----- Dunia bagai jungkir balik. Ini tidak benar, kan? "Kenapa, kenapa." Kubekap bibirku sebelum suara semakin keras keluar. Gontai aku berjalan mundur sambil menggeleng, berbalik badan berlari kabur seperti maling menjauh dari keluarga Melisa. Langkahku melambat di lantai satu. Menekan dinding aku berusaha mencari pembenaran untuk semua kejadian yang baru terjadi. Mungkin semua ini hanya mimpi. Ya, pasti begitu. Aku masih kecil dan tertidur di kasur Bibi Nicole. Ya, aku berharap semua itu terjadi. Akan tetapi kenapa gagal? Ayo, buka mata! Aku ingin bangun, Tuhan. Tolong biarkan aku bangun dari mimpi buruk ini! Lembut tang
[POV Fany] ----- Seperti magnet yang menarik serpihan besi, dia menangkap telapak tanganku. Berulang kali aku menarik berusaha melepaskan diri, tapi gagal. Enggan rasanya melihat dia, muak, marah, tapi dia Alfred, sosok yang selama ini menjaga, memperlakukanku bak harta karun yang dia jaga. Ya Tuhan, bagaimana ini. "Alfred, kamu mau mengantarku pulang?" Suara Melisa. Apa gadis itu tidak bisa membaca suasana? Apa dia sengaja ingin membuat Alfred memilih, antara diriku dan dirinya? Tanpa melepas genggaman, Alfred menjawab, "Sebentar." Sepertinya dia bingung. Seperti kucing, disuruh memilih whiskers dan ikan
Adrian "Aduh, aduh kakiku!" teriak Carl terlentang sambil memegang kaki kanannya. Pria besar berpakaian setelan jas hitam keluar dari mobil. Pria berkulit hitam itu berjongkok, khawatir melihat keadaan Carl. Suaranya terdengar nyata, bukan dibuat-buat, dia benar-benar menyesali perbuatannya. “Maaf, maafkan aku. Kamu baik-baik saja, Nak? Aku benar-benar tidak sengaja menabrak kalian. Sumpah demi Tuhan!" "Kejar maling itu Bro, jangan pikirkan aku!" perintah Carl, walau mukanya meringis, dia menunjuk ke arah perampok. Sepertinya uang yang dirampok sangat berharga bagi warung bunga milik Elisa. “Akan aku usahakan, Carl. Kamu tenang saja, ya.” Aku menerobos kerumunan mengejar bedebah yang sekarang panik baru mulai berlari. Aku bukan pelari yang baik. Beruntung trotoar padat oleh turis dan penjual pernak-pernik, menyebabkan maling kesulitan membuat jarak dariku. Tinggal hitungan waktu saja, sebelum aku berhasi
Adrian "Hei, bukan kah dia yang tempo hari?" Pria Mexican lain datang menghampiri sambil menunjukku. "Dia pemuda yang datang bersama gadis seksi di depan mini-market!" Sepertinya mereka kawanan tempo hari, yang mengganggu Fany. Bagus, kali ini aku bisa menghajar mereka semua sekaligus tanpa takut menyeret Fany masuk ke dalam masalah. Aku berlari melempar tutup tong sampah seperti melempar Frisbee, mengenai muka salah seorang dari mereka. Aku menendang kemaluan pria terdekat, lalu meninju dagunya dari bawah sampai dia mendongak ke atas. Seorang dari mereka menyerang memakai pisau lipat, berhasil melukai pinggangku. Pada sabetan kedua, aku memegang bagian tajam pisau sampai telapak tanganku luka. Aku sundul keningnya hingga dia jatuh terkapar. Suara sirine mobil polisi terdengar dari jauh. Aku melempar pisau ke dinding. Bahaya jika sampai polisi melihatku memegang pisau. Banyak polisi bermunculan, me
Fany Setelah pelajaran terakhir di kampus hari ini selesai, aku menunggu Adrian, berdiri di trotoar bersama teman-teman. Aku mencoba tersenyum menutupi perasaan hati dengan bersikap normal dan berhasil. Sampai detik ini hanya Casandra yang tahu apa yang aku rasakan. Aku mengobrol dengan beberapa teman, hingga akhirnya kami berpisah. Sekarang hanya Casandra yang tersisa menemaniku di sini. Dia memasang wajah murung sembari memeriksa layar gawainya. "Fany, aku ada kegiatan latihan cheerleader. Lebih baik kamu menunggu di lapangan, dari pada di sini sendirian." Aku mengangguk pelan, mengikutinya. Lebih baik di sana dari pada menunggu di trotoar kan? Lapangan universitas selalu hijau dengan garis-haris putih seperti garis pada penggaris. Aku duduk di tribune penonton anggota tim amerika football berlatih, mereka berteriak seperti di hutan. Para cheerleader pun berlatih di pinggir lapangan rerumputan hijau dengan pen
Fany Mobil Alfred berhenti tepat di seberang jalan. Dia turun dari mobil menghampiriku. "Fany, kenapa tidak menjawab teleponku?" "Kamu menelepon?" tanyaku pura-pura membuka gawai. "Maaf, tidak sempat kuangkat karena tadi sedang berada dalam kelas." Dia memandang sekitar. "Mana Adrian?" "Entahlah, mungkin sibuk." "Kalau begitu biar aku antar pulang, ya." "Tidak usah, aku menunggu teman," jawabku, sembari melepaskan lenganku dari genggamannya.. Aku tidak berani memandang langsung matanya yang sangat cemas sekarang. Aku memilih memandang ujung kakiku. "Fany,kenapa hari ini kamu aneh?" tanyanya. Aku menggeleng dan itu membuat kedua telapak tangannya mendarat ke pundakku. "Fany, ayo jujur ada apa? Aku mengenalmu sangat lama, kamu selalu begini jika ada masalah. Apa Adrian nakal?" Entah kenapa aku malah tertawa kecil. Adrian memang nakal, kalau dia menjadi baik baru aku
Adrian Aku berteriak-teriak dalam mobil. “Pak! Pak Polisi, luka di perutku—“ Polisi kekar menggedor kaca jendela dari luar. “Diamlah, jangan banyak bicara!” Dia berdiri bersandar pintu, menutupi semua orang yang hendak mengintip ke dalam mobil. Sialan polisi satu ini. Aku tahu, pasti dia cemburu karena polisi wanita tadi baik kepadaku. Walau demikian aku warga Amerika! Aku memiliki hak untuk mendapat perawatan ketika terluka! Untuk memperjuangkan hak, aku menggeser duduk ke arah pintu sebelah. Tanganku diborgol, jadi tidak bisa menggedor jendela. Aku tidak menyerah. Aku memakai kening untuk membuat gaduh, menabrak kaca jendela pintu mobil yang tertutup. Usahaku membuahkan hasil. Seorang polisi tua yang sedang sibuk mengamankan lokasi perkelahian menghampiri diriku sekarang. Dia membuka pintu mobil, sedikit membungkuk mengintip lalu bertanya, “Ada apa, Nak?” Aku menggeser badan supaya luka di pingga
[Pov Adrian]-----"Terima kasih Tuhan!" Paman berpelukan dengan Bibi seperti menang undian bernilai Milyar dollar. Sesuatu yang menyentuh hati, tapi juga membuatku merasa tak enak.Alfred melangkah pergi dari ruang, membiarkan pintu terbuka tanpa berucap satu kata pun. Mungkin dia kecewa?Berdiri merapikan jas, aku sengaja tidak berkata apa pun, enggan merusak kebahagiaan Fany dan keluarganya. Mereka jarang seperti ini. Melangkah keluar, Santino dan yang kain mengikutiku."Keputusanmu sudah tepat, tapi bagaimana dengan Alfred, apa dia menerima semua ini?" selidik Santino."Itu yang ingin aku ketahui."&nb
[POV Fany] ----- Aku memeluknya dalam harap. Ya, dia harapanku satu-satunya. "Aku mohon Adrian, kabulkan permintaanku yang ini. Aku berjanji akan melayanimu selamanya." Memandang wajahnya yang datar, aku yakin dia mulai goyah. "Tolong, jangan hukum orang tuaku." Melepas hari-jariku di punggungnya, wajah Adrian lekat memandangku. Jakunnya naik lalu turun dengan berat. Dia pasti mengerti apa yang aku inginkan, karena dia Adrian. "Maaf,Fany. Aku tidak bisa." "Apa? Kenapa? Aku tahu mereka salah, tapi mereka baik, semua hanya kesalahpahaman--" "Maaf. Mike Bened ayahku, juga ayah Alfred. Akan adil jika aku menghukum mereka."
[POV Fany]-----Para bened pergi, merubah situasi menjadi sunyi seperti Texas di malam hari. Ayah dan Ibu berusaha saling menguatkan.Anak mana yang tega melihat orang tua menderita? Bahkan ketika diriku melihat Ibu terhisak seperti seorang anak kehilangan orang tua, hatiku perih. Apa aku harus ke sana? Apa aku berhak bersama mereka?Suara santino di sebelahku terdengar mengiba. Mungkin melihat situasi ini mengguncang jiwanya? "Aku mendengar banyak cerita tentangmu dari Bibi Nicole.""Apa maksudmu?"Aku perhatikan dia memandang redup ke orang tuaku. Dia pria misterius, tapi entah mengapa aku merasa dia tahu banyak hal, melebihi apa yang aku tahu.
[POV Adrian]-----Masih dalam mantra kesunyian, tiada satu pun suara dalam ruang kecuali hisak tangis Fany di lengan Alfred. Hisak yang membuat mataku basah dan tangan bergetar ingin menghampirinya untuk berkata, 'jangan menangis'.Ini pasti berat untuk Fany, mengetahui realita panas yang menyiksa dalam kurun waktu nyaris bersamaan. Bagaimana lagi, realita adalah obat dari segalanya."Aku tidak sanggup lagi."Melepas Fany, Alfred beranjak bangkit dari duduknya, membuka pintu hendak pergi dari ruang yang hampa.Fany menarik tangannya. "Al, mau ke mana?"Melepas genggaman, Alfred pergi dari ruang bersama isi hatinya yang pasti tersiksa, t
[POV Adrian]-----Hening dalam ruang menambah ketegangan yang ada. Semua menanti apa yang selanjutnya aku inginkan. Bahkan Mancini si biang gaduh berdiri di tepi meja, memandang lurus ke wajah Tuan Reine yang tertunduk.Bibi meremas tangan Paman, memandang suaminya dengan netra basah. Terdengar suara tangis yang tertahan ketika berbisik. "Yang sabar." Suara pilu yang memancing rasa ingin tahuku untuk menggali kebenaran."Paman, Bibi, mau minum sesuatu?"Mereka berdua diam tanpa memandangku, seperti diriku yang enggan mengontak mata Fany. Mereka membuatku tidak enak hati. Walau jalang tua itu murni iblis, tapi Paman baik. Entah berapa kali dia membelikan mainan kala natal tiba.
[POV Fany]-----Setelah membentak, Alfred bergumam sambil mengusap wajah. Senyumnya berat padaku. Netra yang berkaca-kaca, apa artinya? "Maaf, aku terlalu terbawa suasana."Mengangguk, aku menjawab, "Tidak apa-apa. Sebenarnya ada apa? Siapa mereka, dan kenapa Adrian seperti itu?""Aku ceritakan sambil jalan, ayo, ikut ke ruang sebelah."Sebelum kami melangkah, orang tua Alex menghampiri. Tua renta, memelas dengan wajahnya. "Nak, sebenarnya ada apa? Siapa orang-orang tidak sopan tadi?"Kasihan. Apa pun masalah yang terjadi, ayah Alex orang baik. Bagaimana jika dia jantungan. Aku memberi senyum sambil menenangkan. "Paman tenang saja, ini hanya--"
[POV Fany]-----Pintu kayu besar berukiran bunga terbuka. Suara musik organ mengiringi langkah kami di karpet merah panjang bertabur bunga menuju altar. Kiri dan kanan tamu undangan berdiri memberi senyum untuk kami. Ini dia, ini sesuatu yang penting bagi kehidupan kami.Pernikahan adalah kegiatan sakral dan disinilah aku. Memakai gaun putih nampak pundak, bagian bawah menyentuh karpet merah basilika, berdiri bersama orang yang dalam mimpi pun tidak terbayang akan menjadi suamiku. Ya Tuhan, semoga yang aku lakukan ini benar.Sesampainya di depan altar, aku menilik ke belakang, Ayah dan Ibu berpakaian setelan jas hitam duduk bersebelahan pada kursi panjang baris terdepan, menangis. Bahagia? Mungkin, bisa saja sedih. Setelah mendengar rekaman Ayah, aku yakin kemungkinan mereka sedih lebih besar dari bahagia
[POV Adrian]-----Dingin masuk melalui jendela mobil yang terbuka. Di luar sana langit batuk-batuk. Semoga tidak hujan, tidak sebelum urusanku selesai. Sepertinya ini akan menjadi hari panjang.Tidak terbayang, bahkan dalam mimpi sekalipun untuk duduk di sebelah pria yang mungkin mengirim penembak membunuh ayah.Kami berdua dalam mobil SUV. Di luar para Carlone dan Broxn mengelilingi mobil. Bisa saja aku nekat membunuhnya, tapi apa kata dunia? Aku tidak takut mati, bagaimana dengan Alfred? Bagaimana dengan Fany dan Alex? Siapa yang menjaga Ibu?Dingin kaleng bir menerpa kulit jari tangan, membuyarkan lamunan yang membuatku fokus pada ujung sepatu.Ramah Pak Tua tersenyum. "Ja
[POV Adrian]-----Kakiku membeku dalam mobil, enggan melangkah keluar. Bukan karena padatnya penjagaan di pintu gerbang mansion megah, tapi karena rasa bimbang ketika akan membuka kotak pandora."Lihat di sana." Mancini menunjuk jajaran mobil SUV hitam. "Plat nomor BL. Bronx datang ke pesta."Menoleh ke sebelah, kudapati dia tersenyum tanpa dosa. Mungkin mendekati wajahku yang bingung. "Bronx?"Dari kursi depan, Santino menjawab, "Mereka dulu berkuasa di California, tapi Carlone dan Mancini mengusir mereka. Mereka yang mengirim penembak untuk Ayahmu.""Apalagi yang kita tunggu?" Jarang Alfred gagal mengontrol emosi seperti sekarang. Berusaha mendorong Mancini keluar dari pintu Limosin, dia didorong du