“Bawa apa itu?” tanya Ibu lagi sambil berjalan mendekat. Aleya memindahkan tote bag dari tangan kananya ke kiri dan kemudian meraih tangan Ibu untuk salim.
“Ada deh … Leya yang bikin loh, Leya bawa ke belakang ya, Bu.” Aleya tersenyum pada wanita paruh baya yang juga mantan ibu mertuanya itu.“Mbak,” sapa Aleya padaku, aku mengangguk dan memaksa senyum meski terasa canggung dan kikuk. “Ayra … sini sama Bunda.” Aleya memanggil Ayra yang masih duduk di pangkuanku.“Ayra nggak salim Bunda,” bisikku pada Ayra kemudian. Bocah kecil menggemaskan itu turun dari pangkuanku dan berjalan menuju ke Aleya.Aleya mengulurkan tangannya yang disambut oleh Ayra. Perempuan dengan setelan biru itu menunduk untuk mencium pipi Ayra. Terlihat Aleya menurunkan badannya kemudian berdiri dengan lututnya untuk menyamakan tingginya dengan Aleya.“Ayuk ke belakang sama Bunda,” ajak Aleya, sosok kecil itu mengangguk. Dengan tangan kanannya dia mengendong Aleya dan k“Mama Ayra?” aku mengulang kata- kata Mas Satria untuk memastikan kalau aku tidak salah dengar. Mas Satria memintaku menjadi mama-nya Ayra, itu berarti dia ingin aku menikah dengannya.“Iya, mamanya Ayra.” Mas Satria mengangguk menegaskan.“Mas sedang tidak menggodaku kan?” tanyaku kembali memastikan.“Dih … nggak, Sayang.” Mas Satria menarik hidungku dengan gemas. “Aku serius, mau ya .. ya .. mau kan?” Sepasang alis itu terangkat berulang dengan senyum jahil.“Ish … tuh kan becanda,” ucapku dengan memanyunkan bibir. Melihatku Mas Satria malah tertawa, tawanya terdengar lepas seperti ada baban yang hilang.“Aku serius, Sayang. Aku tidak ingin menunggu lebih lama, aku butuh kamu dalam hidupku. Kamu mau … menikah denganku kan?” Mas Satria meraih tanganku dan kemudian menciumnya. Aku terdiam tidak kaget juga sebenarya, tapi, tidak mengira juga akan secepat ini. Tapi, Mas Satria benar aku juga tidak ingin menunggu lebih lama lagi.
“Meski nggak lapar ya kudu tetap makan, Sayang. Aku yang mengajakmu kemana-mana hari ini dan aku juga yang harus bertanggung jawab atas semuanya kan?! Termasuk juga dengan urusan perut.” “Aku nggak bisa makan,” ucapku lagi mengulang maksud penolakanku. “Aku suapin?” goda mas Satria.“Ish … beneran belum pengen makan,” ucapku lagi menegaskan.“Ya udah minum dulu.” Mas Satria meraih cangkir keramik dengan warna krem itu dan kemudian memberikan padaku. Dengan tangan kanan aku menyambut cangkir yang berisi teh itu dari Mas Satria. Tangan pria itu masih ikut memeganggi sampai aku menegak sebagian dari isi cengkir tersebut. Mas Satria mengembalikan cangkir berisi teh yang sebagian telah aku minum itu di atas meja.“Sedikit lebih baik?” tanyanya padaku, aku menggeleng dan kemudian mengangkat bahu.“Maaf, bukannya aku ingin merusak suasana,” uangkapku lagi.Aku juga tidak tau kenapa perasaanku jadi kacau seperti i
“Kita ke dokter saja, ya?!” Ibu masih terlihat cemas, terlihat jelas dari gurat wajahnya. “Nggak usah, Bu. Hanya pusing … sepertinya tekanan darah rendah lagi.” Aleya menolak, masih dengan mata terpejam bibirnya terlihat mencoba tersenyum.“Kamu yakin?” tanya Mas Satria kemudian, Aleya mengangguk.Wajah ayu Aleya masih nampak pucat meski dia terlihat memaksa untuk tersenyum dan meyakinkan yang lain kalau dia dalam kondisi baik. Sekilas mata itu terbuka dan dia melihat ke arahku, senyum samar kembali dia ulas. Tapi, kenapa rasanya tidak nyaman ya, terbaca olehku ada perih yang coba ia tahan dan tidak ingin dia tunjukkan pada siapapun.Sungguh ini bukanlah situasi ataupun keadaan yang aku ingginkan. Saat aku bahagia menemukan cintaku kenapa harus ada sisi hati yang lain yang harus terluka. Mas Satria benar kita tidak bisa membuat semua orang bahagia, tapi, saat melihat perempuan sebaik Aleya terluka. Hatiku seakan bisa merasakan kesakitan yang sama
“Sabar.” Dengan telapak tangan kanan aku menutup cepat bibirku, hingga bibir Mas Satria menyentuh punggung tanganku. Meski begitu tetap saja wajah kami saling bersentuhan satu dengan yang lainnya. “Maaf,” ucap Mas Satria kemudian, tapi, wajah itu belum juga beralih. “Aku mencintaimu sungguh.” “Iya tau,” jawabku masih dengan tangan kanan membekap bibirku sendiri.Dengan tangan kiri aku mendorong dada Mas Satria, tapi, percuma tubuh itu sama sekali tak bergerak. Perasaanku campur aduk jadinya, debaran di dada belum juga mereda meski aku bisa sedikit mengendalikan diriku. Sebuah kecupan mas Satria daratkan cepat di keningku sebelum dia akhirnya melangkah mundur untuk memberiku ruang gerak.“Ish … curang,” ucapku sedikit manyun.“Mau dibalikin? Sini aja.” Mas Satria malah tertawa dan menunjuk pipi kanannya.“Apaan.” Aku memukul pelan lengan pria yang masih saja tertawa itu. Tetap saja kecolongan meski aku berusaha menolak atau memang aku yang memberinya kesempatan. Entahlah … aku belum
"Dih ... napsu amat minta di culik," celetukku dan lagi-lagi pria itu terkekeh.Sebuah jalan setapak dengan lebar sekitar satu meter aku lewati bersama Mas Satria, relatif sepi karena jalan berbatasan dengan tembok belakang rumah beberapa blok. Obrolan tak jelas mewarnai perjalanan kami yang tidak sampai sepuluh menit. Sepanjang jalan tangan Mas Satria tidak melepas genggamannya dari tanganku.Berjalan berdua seperti ini seperti sedang mengingat masa lalu dimana kami sering berjalan ke depan gang kost-kostan untuk membeli makanan atau sekedar jalan melepas bosan. Sedekat inilah kami dulu bahkan lebih dekat karena kami terbiasa melakukan hal bersama. Aku juga masih cukup manja saat itu, sesuai dengan umurku yang memang masih belasan.“Kok jalan kaki?” Baru saja aku akan mengucap salam saat mama tiba-tiba menyapaku ketika aku selesai membuka pagar.“Ish … mama bikin kaget, Assalamualaikum.” Aku menghampiri mama yang terlihat sedang menyirami tanama
“Antar mama ke RSI … ta-tadi kata Ronan temannya Arya di bawa kesana,” jawab mama dengan berlinang air mata.“i … iya … tunggu, tunggu … mama tenang sebentar. Sebentar yah ….” Aku mencoba untuk sedikit tenang agar bisa berpikir. “Aku ambil sweater dulu.” Tanpa menunggu jawaban mama aku bergegas keluar kamar dan kembali ke kamarku untuk mengambil sweater. Ponselku yang masih mengisi daya langsung aku ambil beserta chargher nya sekalian dan memasukkan ke dalam tas. Sejenak menarik napas untuk mengingat apa saja yang perlu aku bawa. Aku melihat kembali isi tasku dan memastikan dompet sudah ada di dalamnya. Setelah memastikan cukup aku langsung keluar dari kamar. Terlihat mama sudah menungguku di ruang tamu.“Ma … kunci mobil dimana?” tanyaku saat tidak menemukan kunci mobil yang biasanya di letakkan di samping meja tv di ruang tengah. Tidak ada sahutan dari mama aku kemudian mencari di sekitar ruang tengah. Ya Tuhan … saat panik dan terburu-buru seperti ini kenapa harus pake acara nye
“Kalau menerut informasi yang aku dapat barusan sepertinya ada patah di bagian lengan tangan kiri. Langsung kita CT Scan saja untuk pastinya. Sekalian untuk mengecek bagian – bagian lainnya. Untuk administrasi kamu isi data Arya dulu, sedangkan hal lainnya nanti aku yang bantu.” Mas Danta memberikan instruksi tentang hal yang harus aku lakukan.“Iya, Mas.” Aku bingung harus menjawab apa selain juga aku banyak pikiran yang berjejal dalam benakku.“Dokter Danta kok di sin” Aku dan Mas Danta masih berdiri dihadapan, saat seorang perempuan dengan kerudung hitam mennyapa Mas Danta.“Dokter Mega, ini ada keluarga yang mengalami kecelakaan. Kebagian jaga?” Kedua dokter itu bterlibat dalam sebuah pembicaraan.“Mas … aku urus administrasinya dulu, ya.” Aku berpamitan pada Mas Danta yang masih terlibat obrolan dengan perempuan berkerudung yang disapanya dengan panggilan dokter Mega itu.“Yau dah, biar tante sama aku.”Mas Danta mengangguk menjawab
Aku sepertinya kehabisan kata-kata atau sebenarnya sedang malas untuk menangapi hal itu. Mencoba untuk abai dan berpikir positif, berpikir hubungan mereka hanya sebatas balas budi atau apalah. Tapi, tetap saja aku tidak bisa untuk tidak berpikir aneh aneh tentang mereka. Mungkin aku berlebihan atau terlalu perasa atas kondisi mereka berdua sekarang. Hanya saja itulah yang aku rasakan sekarang, aku tidak suka.“Kamu, ngapain di sini?” tanya Mas Satria kemudian padaku.“Aku … emm maksudnya Arya kecelakaan dan kondisinya sangat buruk. Mungkin besok akan operasi, tapi, lebih jelasnya belum tau.” Sedikit blepotan aku menjawab efek dari rasa kesal yang sedang coba aku tutupi.“Ditabrak? Terus apa saja yang luka?” Mas Satria terlihat sedikit kaget mendengar jawabanku.“Kenapanya belum tau, mungkin kecelakaan tunggal. Tadi sepintas dengar ada patah di bagian lengan, terus luka-luka di kaki bagian lututnya, dagunya juga tadi dama tangan,” jelasku pada Mas Satria kemudian.Tidak banyak yang bis
Pandanganku terhenti pada sosok yang cukup aku kenal, meski mungkin dia tidak mengenalku. Satria, pria dari masa lalu Rania istriku terlihat berada di depan ruang praktek dokter Anna. Di sampingnya terlihat seorang perempuan berperawakan kecil seperti anak SMA, yang jelas itu bukan istrinya yang dulu. Karena kalau istrinya yang dulu aku sempat tahu saat dirawat disini.Tidak mungkin adiknya juga karena setahuku adiknya sudah meninggal, itu aku dapat dari cerita Rania. Apa mungkin itu istrinya dan Satria sudah menikah lagi, tetapi, perempuan itu terlihat sangat muda. Keduanya seperti sedang menunggu antrian periksa di dokter Anna di poli kandungan.Hamil?Kenapa jadi aku yang kepo dan ingin tahu, sudahlah. Aku melanjutkan langkah untuk menuju ruang praktekku. Kalau pun itu memang benar istrinya dan sekarang hamil itu akan lebih baik. Berarti Satria sudah menemukan kebahagiaannya sekarang. Aku tahu masih ada rasa bersalah atau apalah yang Rania rasakan selama ini
PoV Danta Aroma wangi masakan menguar dan menghampiri Indera penciumanku saat aku berjalan mendekat ke arah dapur tempat Rania berada sekarang. Selepas salat Subuh tadi dia sudah berkutat di dapur untuk mengeksekusi resep masakan yang baru dilihatnya semalam di sebuah channel youtube. Wanita yang sudah hampir setahun aku nikahi itu memang punya kegemaran baru sekarang, yaitu mencoba resep masakan. “Wangi banget,” ucapku saat memasuki dapur, Rania menoleh dan tersenyum.“Semoga nggak keasinan lagi seperti kemarin,” jawab Rania dan kembali menarik pandangannya ke arah panci di depannya.Aku tersenyum mengingat kejadian kemarin, entah berapa sendok garam yang dia masukkan ke dalam masakannya. Kalau ada pepatah buah jatuh tidak akan jauh dari pohonnya, hal ini tidak berlaku untuk Rania. Mama mertuaku pintar memasak dan enak bahkan pernah membuka catering juga cerita Rania, tetapi, berbenda dengan anak perempuannya yang juga istriku ini. Tetapi, R
Duda itu Mantan PacarkuPart xtra 22*** Ketukan di kaca mobil sontak membuat dua insan yang tengah terbuai dalam debar asmara itu saling menjauhkan diri satu dengan yang lain. Wajah keduanya menghangat seketika dengan debaran di dada yang semakin kencang terasa. Aletha lekas menurunkan kaca mobil saat melihat keluar telah berdiri sahabatnya, Titan yang mengetuk pintu mobil Satria.“Ada apa?” tanya Aletha yang masih sedikit gugup kaget.“Jangan lewat sepanjang jalan Plaosan Timur ada kegiatan warga nutup jalan katanya, nanti lurus aja terus masuk ke kiri selepas lampu merah dekat pom bensin.” Titan memberi tahu kondisi jalan yang akan mereka lewati nanti ke tempat acara syukuran yang diadakan di sebuah restoran.“Oh … gitu, okay. Ya udah ini mau langsung ke sana.” Aletha mengangguk mengerti, Satria yang duduk di belakang kemudi ikut mengangguk.Sepasang pengantin baru itu tengah menetralisir perasaannya masing-masing karena
Sepertinya ini adalah persiapan pernikahan tercepat dari sebelumnya yang pernah aku lakukan, karena setelah aku melamar Aletha hanya butuh waktu kurang dari 2 minggu saja sampai hari yang di tentukan, yaitu hari ini. Aku dan Aletha sepakat untuk menikah di Masjid samping KUA dengan disaksikan keluarga dekat saja, tidak ada resepesi yang akan digelar karena Aletha tidak menghendakinya. Keluarga Aletha hanya mengundang kerabat dekat untuk syukuran selepas ijab kabul.Ini bukan yang pertama, bukan juga yang kedua aku akan mengucapkan kalimat sakral sebuah janji suci, tetapi, aku berdoa ini menjadi yang terakhir aku melakukannya. Aku tidak ingin mengulang lagi untuk suatu masa nanti, biarlah kegagalan pernikahanku dulu menjadi sebuah pelajaran yang berharga untukku. Hari Sabtu jam 9 pagi ini kesendirianku akan aku akhiri dan aku akan membuka sebuah lembaran baru dengan cerita baru.Aku menyetir sendiri dan mempersiapkan semuanya sendiri, kemeja putih dengan jas d
Pov Aletha *** [Dari kantor aku langsung ke rumahmu] [Aku sudah OTW] Aku membuka aplikasi chat berlogo warna hijau di ponselku, dua pesan masuk dari Mas Satria yang biasa aku panggil dengan sebutan Om itu beberapa waktu yang lalu. [Iya, hati-hati di jalan] Sebuah kalimat balasan aku kirimkan kemudian, belum terbaca setelah beberapa detik. Mungkin dia sedang menyetir. Aku kemudian meletakkan ponselku di meja dan beranjak ke lemasri untuk memilih baju yang akan aku kenakan. Masih merasa aneh dengan semuanya, serasa mimpi, tapi, bukan mimpi. Bahkan beberapa hari yang lalu pria itu masih sangat ketus padaku, tapi, entah apa yang terjadi padanya hinga dia sampai mengatakan hal itu. Lalu bagaimana denganku? Aku juga tidak tahu kenapa mengatakan iya, tapi, aku juga sedang tidak main-main denga
“Tidak.” Aku menggeleng meski Pak agus juga tidak akan melihatnya. “Kami tidak sedang mencari tempat pelarian, tetapi, mencari tempat untuk kami bisa saling mengisi dan melengkapi,” jawabku kemudian. “Aku mengerti, aku senang dengan hal ini. Aku menganggapmu bukan hanya rekan kerja, lebih dari itu dan Aletha adalah keponakan kesayanganku. Yang aku minta jangan pernah membuatnya patah lagi dan berbahagialah kalian. Aku akan bicara dengan mamanya Aletha setelah ini. Lebih cepat juga lebih baik daripada ada apa-apa nanti kalau ditunda- tunda.” Pak Agus memberikan dukungannya dan aku merasa lega untuk itu. Sekarang tinggal bicara lagi dengan Aletha untuk mempersiapkan semuanya dengan lebih matang. Mungkin aku hanya bisa pergi sendiri saat nanti mengutarakan niatku kepada keluarga Aletha karena di kota ini aku tidak memiliki keluarga selain Ibu saja. Aku menutup panggilan selepas mengucapkan salam, sudah jam 6 lebih dan aku haru
“Iya,” jawabku sambil mengangguk. “Rania?” tanya Ibu ragu. “Bukan, Dia sudah bahagia dengan kehidupannya. Mungkin sekarang waktunya aku untuk bisa menata kembali kehidupanku. Ibu pernah meminta aku untuk kembali mendapatkan hati Rania karena dia tidak tahu kalau Rania sudah menikah. Aku mengatakan pada Ibu kalau Rania sudah menikah dengan pria lain dan hal itu membuat Ibu merasa semakin bersalah padaku dan juga Rania. “Kamu yakin bisa mencintai perempuan lain?” tanya Ibu kemudian. Sebuah pertanyaan yang wajar karena Ibu tahu aku sangat mencintai Rania dan betapa terpuruknya aku karena patah hati. “Aku harus bisa meski semua membutuhkan waktu. Rania … sampai saat ini aku masih mencintainya, tetapi, aku juga harus melanjutkan kehidupanku. Dia juga sudah bahagia dengan kehidupannya dan tidak seharusnya aku masih berharap untuk dapat bersamanya.” Aku lega melihat Rania bahagia deng
“Kamu serius?” tanyaku yang sedikit merasa kaget dengan pertanyaan Aletha. “Nggak,” jawab gadis itu enteng. “Ya seriuslah, Om.”“Beneran?” tanyaku lagi, padahal aku yang membuat pembicaraan ini dan aku sendiri pula yang masih merasa belum percaya.“Iya, ada beberapa point yang aku sepakat dengan pemikiran, Om. Karena dunia akan tetap berjalan bagaimanapun keadaan kita. Tidak akan ada yang peduli pada diri kita selain diri kita sendiri dan hidup juga sebuah pilihan bukan? apakah kita akan tetap berdiam membenamkan diri dalam kesakitan atau kita mulai berusaha membebaskan diri dari sebuah belenggu luka.” Aletha terlihat serius dengan bicaranya.“Sebuah hal baik katanya harus disegerakan, setidaknya untuk menghindari fitnah dan membuang waktu hanya untuk sekedar pengenalan. Setidaknya kita memiliki niat yang sama, sama-sama ingin lepas dari masa lalu dan melangkah ke depan untuk kehidupan baru. Aku berharap ini sebuah keputusan yang tepat dan aku ha
Pov Satria “Nggak suka becandanya, bisa bahas hal lainnya.” Raut wajah Aletha berubah. Wajar saja dia berpikir demikian sedangkan kami memang belum lama saling mengenal, apalagi aku selalu bersikap ketus padanya selama ini. Aku juga belum yakin denga napa yang aku katakana, tetapi, ada sebuah dorongan yang tidak aku mengerti untuk aku mengatakan hal ini padanya. Aku merasa tidak ada yang buruk dengan pemikiran dari Pak Agus meski aku tidak tahu dia sedang serius atau hanya mencandaiku. Kami sama-sama terluka oleh masa lalu dan kami butuh seseorang untuk saling menguatkan. Tetapi, aku tidak yakin juga apa dia bisa menerimaku. Tetapi, akan lebih baik aku ungkapkan apa yang menjadi keinginanku masalah diterima atau ditolak itu urusan nanti. Setidaknya aku sudah berusaha keluar dari kubangan nestapa masa lalu yang selalu membayangi perjalanan hidupku. “Aku serius,” jawabku kemudian. “Tapi kenapa?” tanya Aletha, kedua tangannya mengenggam gelas minumnya dengan pandangan mata yang me